OLEH GUSRIYONO
Jurnalis
Pementasan Orang-orang Bawah Tanah |
…. Ada kunjungan. Datang
sumbangan. Tidak berbunga.
Kalungkanlah!
Kalungkan bunga-bunga….
Kalungkan bunga-bunga….
…. Ada kunjungan. Turun bantuan.
Lunak bunganya. Sajikan!
Sajikanlah adat budaya
lama….
Selamat datang di Koto
Tingga. Welcome….
Malin meneriakkan kata-kata tersebut beberapa kali melalui
toa atau pengeras suara yang dipegangnya. Pemberitahuan tersebut sebagai
isyarat agar penduduk Koto Tingga, yang tinggal beberapa orang itu,
bersiap-bersiap menyambut tamu yang berkunjung dengan tarian sesuai budaya yang
mereka pertahankan—dalam hal ini Minangkabau. Muncullah penduduk Koto Tingga
yang berprofesi sebagai pedagang, yang menjual berbagai macam produk Koto
Tingga termasuk adat dan budaya.
Kemudian,
pemusik dengan gandang tamburnya menyajikan musik riang menyambut pengunjung,
diiringi penari, 3 laki-laki dan 3 perempuan. Mereka menarikan budaya lama itu
di depan kuburan yang dianggap kuburan Bundo Kanduang. Kuburan itu didirikan di
atas tanah yang disewa secara kredit kepada Panglimo.
Adalah 7 orang
pelarian revolusi, Malin (Afrizal Harun), Ustad (Dedi Darmadi), Pakih (Anggi
Hadi Kesuma), Katik (Syafriandi Afridil), Siti Cannon (Ayuning Saputri), Puti
Xerox (Elsa Novri Asminda), dan Gadih (Winda Sesmita). Mereka menetap dan
mempertahankan budaya lama di Koto Tingga, sebagai tameng persembunyian.
Kemudian,
masing-masing menganggap diri pahlawan kebudayaan, yang mempertahankan adat dan
pusaka lama itu, sembari menjualnya kepada para pengunjung. Termasuk
memperkelam sejarah, melalui kuburan Bundo Kanduang dan ahli warisnya, seperti
perebutan pemimpin upacara adat antara Puti Xerox dengan Siti Cannon.
Berbagai kejadian
lengkap beserta konfliknya tersaji dengan renyah dan penuh olok-olok di
lapangan terbuka yang dijadikan Koto Tingga itu. Sebagaimana naskah itu ditulis
oleh Wisran Hadi—pun naskah-naskahnya yang lain—berisi kritikan terhadap adat
dan budaya lama dengan gaya bercemooh atau olok-olok yang satir.
Menariknya,
pementasan naskah Orang-Orang Bawah Tanah
yang disutradarai Yusril dan diproduksi Komunitas Hitam Putih ini memilih
pakaian adat Minangkabau sebagai kostum pemain. Sesuatu yang sudah sangat
jarang ditemukan dalam pementasan teater atau sandiwara sekali pun di zaman
sekarang.
Pilihan pakaian
adat ini akan mengingatkan penonton pada pementasan sandiwara pada tahun-tahun
1980an atau sebelumnya. Untung saja, Yusril tidak menggunakan layar yang
buka-tutup setiap pergantian adegan. Kalau iya, klop deh, jadulnya…. Serasa
berada di tahun-tahun Yusril muda, barangkali. Hehe…
Diakui Yusril,
pilihan kostum tersebut sebagai upaya memberikan tontonan alternatif bagi
penonton terutama kalangan generasi muda. Bahkan, katanya, ketika dipentaskan
di teater arena ISI Padangpanjang, beberapa penonton terharu, melihat masih ada
yang memakai pakaian adat dalam pertunjukan teater.
Kemudian,
pilihan lain yang diambil Yusril, mendekatkan pemain dan permainan ke penonton dengan
pentas di lapangan terbuka. Seperti yang dilakukan pada Jumat (11/11) malam.
Di tanah lapang
bekas reruntuhan Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Sumbar, Orang-Orang Bawah Tanah dipentaskan
Yusril dengan penonton yang duduk lesehan di karpet. Sesekali, terjadi
interaksi antara pemain dan penonton. Melalui cara ini, Yusril ingin
menunjukkan teater bisa pentas dan hadir di mana saja. Tidak mesti di gedung
pertunjukan. Ia bisa hadir di pasar, di mall, di lapangan bola, dan ruang-ruang
publik lainnya.
Hanya saja,
diakui Yusril, pementasan di lapangan terbuka malam itu sedikit luput dari
perhitungan distorsi bunyi atau suara. Tidak seperti pementasan sebelumnya di
ISI Padangpanjang yang berada dalam gedung teater arena, pementasan di lapangan
terbuka Taman Budaya diwarnai dengan bunyi mesin kendaraan, seperti mobil dan
sepeda motor hingga pesawat, suara-suara orang latihan menyanyi dan musik, dan
sebagainya. Jadilah Koto Tingga, seperti kota yang riuh.
Termasuk juga,
perhitungan bloking pemain, yang membuat letih karena jarak yang terlalu jauh.
Lapangan terbuka yang lebih luas panggung teater arena telah menguras stamina
pemain. Mungkin, resiko ini perlu juga dipertimbangkan di masa datang.
Naskah Orang-Orang Bawah Tanah ini dipilih
Yusril, karena mengetahui proses penulisan naskah tersebut, mulai dari ide
sampai observasi yang dilakukan oleh Wisran Hadi. Kemudian, sekitar 20 tahun
lalu, Yusril juga membawa berkeliling pementasan naskah ini. Dengan konsep yang
berbeda dari pementasan sekarang.
Ketika itu,
naskah ini dimainkan dengan konsep realis di atas panggung gedung pertunjukan.
Kuburan Bundo Kanduang dihadirkan berbentuk kuburan sebenarnya, tidak seperti
pementasan kali ini, yang hanya disimbolkan dengan bentangan kain merah persegi
panjang. Serta berbagai perbedaan lainnya.
Penulisan naskah ini, menurut Yusril, ketika pemerintah menggalakkan program Visit Indonesian Year 1990. Ketika itu, seperti juga sekarang, pemerintah kasak-kasuk ingin melestarikan kebudayaan daerah untuk dijual kepada para pengunjung atau wisatawan, sebagai penambah devisa bagi Negara.
Maka, muncullah
orang-orang yang menganggap diri pahlawan pelestari kebudayaan dengan berbagai
atributnya. Fenomena inilah yang bertahun-tahun silam dikritik oleh Wisran Hadi
melalui naskah dramanya tersebut. Termasuk juga persoalan-persoalan sejarah dan
mitos yang dipercayai masyarakat, yang sengaja digadang-gadang untuk
mengembangkan pariwisata.
Begitulah, orang-orang mulai meninggalkan Koto Tingga satu persatu. Hingga menjadi negeri yang ditinggalkan dan tertinggal. Tidak ada lagi ucapan selamat datang atau welcome. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar