OLEH Gusriyono
Jurnalis
Sejak lama, masyarakat di sepanjang
Batanghari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, bekerja mencari emas. Makin
lama, ”pendapatan emas” mereka kehilangan kilau.
Air sungai berwarna kekuning-kuningan tersebut terpapar
cahaya matahari sore yang condong ke barat. Di tengah aliran Batanghari, di
Nagari Sitiung itu, tampak sebuah kapal kayu dengan mesin dumping penyedot emas
dari dasar sungai berkedalaman 10 meter.
Setelah hasil sedotan pipa dari dasar sungai itu
dipilah di dalam kapal, yang batu dan kerikil dibuang, yang ditinggalkan hanya
butiran pasir hitam, kapal kayu menepi.
Beberapa orang keluar dari kapal dengan mesin dumping
berkekuatan 25-30 PK itu, dan menyerahkan pasir hitam kepada tukang dulang di
tepi sungai.
Di tepi sungai, pemandangan dihiasi kolam-kolam
tambang. Tiga perempuan paruh baya menggoyang-goyangkan dulang atau indang,
semacam piring besar dari kayu.
Dari indang yang sengaja dimasukkan air, pasir-pasir
hitam luruh ke bawah. Kemudian, jika sedang mujur, emas akan tampak berkilau,
walau sebulir kecil. Emas tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah periuk
yang sudah disediakan, yang di dalamnya sengaja diisi air raksa. Begitu
berkali-kali dilakukan dalam mendulang. Kadang, ada emas, kadang sering tidak
ada sama sekali.
Tak lama, tiba-tiba seseorang mencoba mengambil gambar
mereka yang di kapal dan yang sedang mendulang dengan kamera digital. Mendadak
seorang perempuan menghampiri sang fotografer, sembari berkata, ”Jangan foto
mereka!”
Perempuan itu, juga para pendulang, memang cemas jika
ada orang asing yang datang. Apalagi mengambil foto. Kecemasan mereka
beralasan. Jika polisi tahu, mereka akan ditangkap dan peralatan serta kapal
akan disita. Sebab, mereka menyadari, tambang rakyat tempat mereka mencari
nafkah, tidak memiliki izin dari pemerintah. Secara hukum, mereka boleh
dibilang ilegal.
Dua hari sebelumnya, beberapa lokasi penambangan
ditertibkan polisi. Sebagai tumbal atau barang bukti, polisi menangkap para
pekerja serta pengurus mesin bersama mesin-mesinnya. Jika sudah demikian, di
beberapa lokasi, aktivitas penambangan akan berhenti beberapa lama. Mereka yang
menyangkutkan hidup pada kilau bulir-bulir logam mulia itu harus istirahat
sejenak sambil mengupil simpanan mereka untuk biaya harian.
Di sudut lain, seorang pekerja tambang bertelanjang
dada dengan celana pendek yang kuyup tengah memperbaiki kapal dumping bersama
tiga temannya. Lelaki bernama Epi, 38, itu, mengatakan, kapal tersebut sedang
ganti rumah-rumah, karena kayunya sudah lapuk. Dia mengeluhkan, penghasilan
tambang tidak lagi sebanyak dulu dibanding masa jaya dulu, lima tahun silam.
Sementara, ongkos atau modal operasional yang dikeluarkan sehari semakin
meningkat. ”Sekarang hanya sekadar bertahan hidup saja lagi. Tidak bisa
mengharap lebih seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Dalam sehari, rata-rata para penambang, kata Epi, hanya
memperoleh 2 gram emas. Jika satu gram harganya Rp 450 ribu, berarti
penghasilannya Rp 900 ribu sehari. Hasil tersebut jauh lebih kecil dari
tahun-tahun sebelumnya, mencapai 10-20 gram sehari, dengan harga jual per gram
antara Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu. Saat itu, kenang Epi, penghasilan
rata-rata sebulan bisa Rp 50 juta.
Sedangkan modal yang dikeluarkan per hari hampir sama
dengan saat ini. Jika dikalkulasikan, pembelian solar dua galon seharga Rp 300
ribu, upah indang Rp 75 ribu per orang, biasanya 1 kapal 3 orang tukang indang,
berarti Rp 225 ribu. Ditambah, spare park mesin Rp50 ribu, sabun deterjen untuk
membersihkan emas Rp 20 ribu, serta keset dari sabuk kelapa untuk menyaring
pasir mengantung emas dengan batuan lainnya, yang rutin dikeluarkan 200 ribu
setiap menambang. Jika pengeluaran itu ditotalkan mencapai Rp 795 ribu, artinya,
penambang hanya mengantongi duit Rp 105 ribu per hari.
Itu pun kalau masuk kerja tiap hari. Sebab, di sana
juga berlaku sistem bergantian untuk para pekerja di satu kapal. Para pekerja
akan bergantian 1 minggu per orang atau kelompok. Artinya, seorang pekerja yang
sudah bekerja 1 minggu akan istirahat dulu 1 minggu kemudian dan digantikan
oleh pekerja lain yang belum dapat giliran.
”Sisa-sisa itulah yang kami kumpulkan sampai sebulan,
hingga dapat Rp 3-5 juta. Kemudian kami bagi lagi dengan pemilik kapal. Ibaratnya,
daun petai kami yang pertautkan. Apalagi duit emas ini sama dengan duit panas.
Jika tak cepat dibelanjakan untuk yang berguna, akan habis tak jelas saja,”
ujar Epi sambil menghela napas panjang, seolah ingin menghembuskan kegalauan
sejauh mungkin dari badannya.
Cerita Epi itu dibenarkan Jul, 41, salah seorang
pemilik kapal di Sitiung itu. Ketika ditemui di kedai kopi pinggir Batanghari,
ia tengah gusar. Satu unit kapalnya karam di sungai sudah hampir dua bulan,
belum bisa diangkat ke permukaan. Ia terus berupaya mengeluarkan kapal itu
bersama anggota atau anak buahnya, agar nanti bisa beroperasi lagi.
”Jika kapal karam seperti ini atau tidak bisa
beroperasi akan ada sekitar 15 keluarga terpaksa kekurangan belanja dapurnya,”
kata Jul sambil meletakkan telepon selularnya di meja kedai, tempat dia biasa
ngopi.
Di kedai kopi ini juga sedang berkumpul para pekerja
tambang dengan badan basah kuyup usai menyelam, serta beberapa pemuda yang hari
itu tidak menambang. Mereka ingin menyudahi hari sambil mengopi agak segelas
dulu sebelum pulang ke rumah. Selain sebagai pemilik kapal, Jul cukup
berpengaruh dalam kelompok tambang itu.
Ia sudah memiliki jam terbang cukup tinggi dalam
mengurus persoalan tambang emas rakyat tersebut. Kata-katanya didengar oleh
para pemilik kapal dan pekerja tambang. Karena Jul sering mengikuti
pembahasan-pembahasan soal legalitas atau izin penambangan, yang belum tuntas
hingga sekarang, di kantor bupati, Dinas ESDM atau pun kantor DPRD Dharmasraya.
Diceritakan Jul, modal 1 unit kapal dengan mesin
dumping itu Rp 80 juta. Oleh warga setempat disebut dompeng. Ada 6 unit kapal
yang dimilikinya, dengan pekerja 5 orang per unit kapal. Sedangkan, di lokasi
penambangan tersebut terdapat sekitar 70 unit kapal yang melakukan penambangan.
Katanya, aktivitas penambangan berlangsung di sana sejak tahun 2009, dengan
armada 15-20 unit kapal yang beroperasi ketika itu. Kemudian, tahun berikutnya
terjadi penambahan hingga 70 unit. Sementara tahun 2011 tidak ada penambahan
armada.
”Malah sebagian pemilik sudah mulai berniat
menguranginya, karena banyak kapal yang parkir atau tidak beroperasi. Kalau
dijalankan, penghasilannya tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan,” ujar
Jul.
Selain di sepanjang Batanghari, tambang emas rakyat di
Dharmasraya ini juga beroperasi di anak-anak sungai yang bermuara ke
Batanghari. Seperti, Batang Kotobalai, Sungai Betung, Kotobesar, Bonjol,
Bulang, Nyonyo, dan seterusnya. Aktivitas penambangan di anak-anak sungai itu
lebih ke daratan yang berawa.
Mereka menggali lubang-lubang besar di tepi-tepi sungai
seperti kolam dengan kedalaman 4 meter. Lalu dialiri air sungai atau genangan
air rawa. Di permukaan air kolam itulah mereka menempatkan rakit atau perahu
mesin dumping, yang akan menyedot emas dari lubang itu. Mereka tidak menyelam
seperti di Batanghari.
Menurut keterangan pemilik mesin dumping di Batang
Kotobalai, Al, 45, dan Hen, 37, aktivitas tambang di rawa-rawa tepi sungai itu
sudah dimulai sejak 10 tahun lalu. Pada tahun 2000 masyarakat atau pemilik
ulayat mulai menambang secara sembunyi-sembunyi di lahan-lahan yang agak
tersuruk dan jauh dari jalan umum.
Ketika itu, Dharmasraya belum dimekarkan menjadi
kabupaten, masih berada dalam wilayah Sawahlunto/Sijunjung. Setelah Dharmasraya
menjadi kabupaten pemekaran tahun 2006, barulah aktivitas penambangan mulai
dilakukan agak terbuka, di lahan-lahan pinggir sungai yang sulit ditumbuhi
tanaman produktif seperti karet dan sawit itu.
”Sebenarnya, jauh sebelum itu, masyarakat sudah
menambang emas juga di sana. Seperti yang dilakukan orangtua saya dulu. Hanya
saja dilakukan dengan cara tradisional, yaitu mendulang atau mengindang. Cara
inilah yang kemudian diperbaharui secara teknis menggunakan mesin dumping,
menyedot pasir mengandung emas itu,” tutur Hen.
Lokasi tambang emas liar itu umumnya berada pelosok
nagari, sehingga luput dari praktik ilegal oknum-oknum berseragam di balik
tambang emas itu. Butuh perjuangan menuju lokasi tambang dari jalan lintas
Sumatera. Dari Padang, jarak Dharmasraya sekitar 300 km.
Penambangan, umumnya, dilakukan oleh masyarakat yang
memiliki tanah ulayat di pinggir anak-anak sungai itu. Kadang ada juga yang
menyewakan tanah ulayat untuk ditambang itu kepada pendatang dari Jawa. Para
pemilik ulayat, kata Al, mematok harga sewa Rp 50 juta sampai Rp 100 juta per
hektare. Sedangkan modal yang dikeluarkan untuk penambangan dengan rakit
tersebut berkisar Rp 25 juta per unit mesin dumping.
Jika dihitung penghasilan mereka saat ini, sama dengan
yang dialami penambang di Batanghari. Tambang di anak sungai ini juga
menghasilkan 2 gram per hari dengan harga jual yang juga sama, Rp 450 ribu per
gram di pasar Kotobaru atau Pulaupunjung. ”Penghasilannya tidak pula tiap hari,
kadang ada yang kosong atau tidak dapat. Apalagi yang kami garap sekarang itu,
lahan-lahan bekas tambang lama. Di lokasi kita, tidak ada pembukaan lahan baru
saat ini. Bahkan, beberapa pemilik mesin sudah mulai mengalihkan penambangan ke
daratan di lokasi lain, karena bekas lahan lama itu tidak banyak menghasilkan
lagi,” ungkap Al.
Sebelumnya, investigasi Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumbar menyimpulkan, pencemaran akibat penambangan emas di
DAS Batanghari memasuki tingkat membahayakan kesehatan manusia. Pasalnya,
kegiatan penambangan dilakukan menggunakan logam berat seperti merkuri. Ada
kemungkinan besar ikan-ikan yang dipelihara sepanjang Batanghari terpapar logam
berat, sehingga berbahaya bagi kesehatan.
Berdasarkan catatan Walhi Sumbar, dalam lima tahun
terakhir aktivitas penambangan emas yang merusak lingkungan di kawasan itu
meningkat tajam. Persoalan menjadi lebih berbahaya, karena DAS Batanghari juga
mengarah ke Provinsi Jambi yang banyak terdapat usaha budidaya ikan dalam
keramba.
Hampir semua penambang bercerita demikian, tentang
kerja dan penghasilan mereka. Entah itu pribumi yang punya ulayat, atau penyewa
lahan serta pekerja yang datang dari Jawa dan Kalimantan. Bahwa, nasib atau
peruntungan tak selalu berkilau seperti emas. Meski pun demikian, yang tak
pernah redup dari para penambang ini adalah harapan.
Berharap selalu ada kilauan emas yang tersedot
mesin-mesin dumping, dari kedalaman Batanghari maupun lubang atau kolam di tepi
anak-anak sungai itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar