OLEH GUSRIYONO
Jurnalis
Musik tradisi Minang |
Hampir seluruh
penonton di Gedung Teater Utama Taman Budaya Sumbar “tumpah” ke depan panggung.
Mereka berjoget bersama dalam iringan komposisi musik berjudul Bajoget karya Susandra Jaya. Luapan
kegembiraan ini seakan perayaan atas perjalanan empat bagian dari komposisi
musik Piaman dalam Ritme yang
dimainkan Susandra bersama kelompoknya, Jumat (20/4/2012) malam itu.
Para penonton
meminta Susandra Jaya mengulangi komposisi bagian terakhir ini agar bisa ikut
berjoget bersama-sama. Seakan ikut memaknai pepatah berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit
dahulu, bersenang-senang kemudian, yang menjadi dasar penciptaan bagian
keempat tersebut. Karya ini menyiratkan sebuah akhir bahagia dari kekhawatiran
beratnya perjuangan hidup berumahtangga. Suasana gembira dan suka cita itu
diungkapkan dengan materi musikal riang melalui instrumen pupuik rabunian, gandang katindik, yang bersumber dari musik
tradisi Katumbak Pariaman.
Komposisi Piaman dalam Ritme ini merupakan siklus
hidup rang sumando atau lelaki di
Pariaman. Di mulai dari masa kecil dengan judul karya Buai Anak. Bagian ini merefleksikan proses pendewasaan anak dalam
didikan orangtua. Maka dihadirkanlah suasana yang tenang dengan melodi-melodi
yang mengalun dan kadang-kadang riang.
Kemudian, sebagai
klimaks dari komposisi Piaman dalam Ritme
ini, Ratok Rang Sumando. Di bagian
ini menonjolkan emosi rang sumando dalam menghadapi konflik rumahtangga.
Apalagi ditautkan dengan tradisi bajapuik
tadi, yang menimbulkan konflik batin tersendiri bagi laki-laki Minangkabau.
Menjadi seorang suami yang baik memang sulit terutama di masa-masa awal
perkawinan. Rasa kesedihan, emosi dan ratapan ini diungkapkan dengan melodi
sarunai, vokal, dan pupuik rabunian dalam mengekspresikan ratapan rang sumando.
Komposisi Piaman dalam Ritme seperti gugatan atau
pemberontakan sang komposer terhadap tradisi
bajapuik di Pariaman, yang dihadirkan dalam warna bunyi dalam bentuk
melodis, ritmis, olahan vokal, serta tingkah laku atau ekspresi yang
berkarakter dan bervariasi. Di sini, lelaki kelahiran Limaupurut Padangpariaman
itu, bersama kelompoknya, Emri, Hafif HR, Bustanul Arifin, Leva Khudri Balti,
Rismelya Fitri, Lidya Triana, Shofwan, Agung Hero Hernanda, dan Agung Perdana,
mengeksplorasi beberapa musik dan dendang tradisi di Pariaman. Kemudian, yang tak
kalah menariknya, sebagai orang Pariaman, ia mampu mengadaptasi kenakalan-kenakalan
atau cimeeh urang Piaman dalam
musiknya. Sehingga menjadi sebuah tontonan yang mengasyikkan.
Diskusi Salah Arah
Selesai pementasan,
penyelenggara pertunjukan membuka ruang diskusi sebagai apresiasi dan
interpretasi atas karya Susandra Jaya tersebut. Sayangnya, diskusi itu salah
arah. Diskusi yang seharusnya berbicara tentang musik karya Susandra Jaya,
melenceng menjadi diskusi soal tradisi kawin
bajapuik di Pariaman.
Hal ini dipicu
setelah Susandra Jaya membentangkan maksud penciptaan karyanya itu. Sesuatu
yang seharusnya tidak dilakukan Susan. Akan lebih baik kalau ia diam saja saat
itu, sehingga memunculkan pertanyaan dan interpretasi penonton tentang
komposisi yang dibuatnya. Kalau saja itu dilakukannya, mungkin diskusi akan
cukup menarik diikuti.
Namun, kekeliruannya
itulah yang membuat pembicaran mengenai pertunjukan musik hilang, karena orang
sibuk bicara tentang kawin bajapuik. Tidak
ada satu pun penonton atau peserta diskusi yang berbicara dalam bentuk analisis
atau interpretasi lain mengenai komposisi musik yang baru mereka lihat dan
dengarkan itu. Bahkan, salah seorang wakil rakyat yang turut dalam diskusi itu
ikut nimbrung berbicara, yang ingin menghapuskan tradisi bajapuik ini.
Seolah-seolah menghapus aturan adat itu mudah seperti mencabut atau mengganti
peraturan daerah.
Pada akhirnya, apa
yang diharapkan dari diskusi, berupa apresiasi, analisis, dan interpretasi terhadap
komposisi musik yang pentas malam itu tidak kesampaian. Diskusi hanya
kesia-siaan. Sekadar menahan langkah penonton untuk tidak segera keluar setelah
pertunjukan usai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar