OLEH Azwar Rasyidin
Guru Besar Fakultas Pertanian Unand dan Ketua Perhimpunan
Alumni dari Jepang (Persada) Wilayah Sumatera Barat
Lahan pertanian yang kian menyempit |
Sumatera Barat
diperkirakan tidak bisa memenuhi target produksi, kecuali Sumatera Barat dapat
menerapkan perbaikan bahan organik tanah dan pengelolaan air yang memadai.
Tahun 2010 yang telah
dilewati menyisakan beberapa persoalan pada kebutuhan pokok di Sumatera Barat.
Di pengujung 2010 harga kebutuhan masyarakat bergerak naik, harga gula, daging
sapi, cabai, beras dan santan kelapa mengalami kenaikan yang signifikanb. Kenaikan
harga ini biasanya terkait erat dengan terbatasnya jumlah pasokan di pasar.
Harga santan kelapa yang biasanya Rp8.000/kg, kini menjadi Rp10.000/kg. Menurut
pedagang menjelang akhir tahun 2010, pedagang mulai kesulitan mendapatkan
pasokan kelapa.
Kondisi harga dan jumlah
pasokan yang ada di pasar merupakan suatu petunjuk bahwa produksi pertanian di Sumatera Barat pada
tahun 2010 kurang menggembirakan. Kondisi itu dikhawatirkan akan berlanjut
ketahun 2011. Hal itu terkait dengan terjadinya perubahan pada areal pertanian,
sebagai akibat dari bencana alam, berupa galodo dan gempa bumi yang merusak
beberapa fasilitas pertanian.
Sebagai contoh gempa
bumi dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Mentawai pada 25 Oktober lalu, secara tidak lansung
mengganggu produksi kelapa di daerah pesisir kepulauan tersebut. Sedangkan
gempa 30 September 2009 juga menimbulkan berbagai kerusakan pada fasilitas
irigasi di kawasan pesisir pantai barat Pulau Sumatra.
Selama satu dasawarsa
kemaren telah banyak dicapai kemajuan di bidang usaha pertanian, terutama dalam
produksi tanaman sayur-sayuran dan hortikultura. Sumatera Barat juga telah
mendapat kemajuan yang baik dalam hal sistem pertanian organik dan peningkatan
produksi padi melalui sistem tanam padi sebatang (SRI).
Situs resmi Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat melaporkan, produksi padi 1.889.487 to/tahun atau
setara dengan 1.228.167 ton beras. Sementara Sumatera Barat hanya membutuhkan
500.000 ton/tahun. Walaupun demikian
masih diperlukan beberapa perbaikan, terutama untuk memenuhi kebutuhan
pokok masyarakat, khususnya yang berada dalam kawasan provinsi Sumatera Barat.
Kekhawatiran lain adalah beras dari Sumatera Barat sering mengalir ke provinsi
tetangga, seperti Riau dan Jambi. Di samping itu, rumah makan Padang di luar provinsi
melengkapi dirinya dengan membawa beras Sumatera Barat dalam rangka menjaga
rasa.
Kondisi wilayah yang
demikian menyebabkan Sumatera Barat mendapat keterbatasan alamiah dalam
pengembangan pertanian, khususnya dan atau kegiatan explorasi lainnya.
Sebagai hulu dari
beberapa sungai besar yang mengalir ke pantai timur, seperti sungai Batang
Hari, Indragiri, Rokan, dan Kampar, wilayah Sumatera Barat secara nasional
berperan dalam konservasi air, dan daerah aliran sungai. Karena itu banyak
daerah pegunungan dan perbukitan yang seharusnya tidak digarap dan untuk daerah
yang boleh digarap harus dilakukan pertanian konservasi.
Sawah
sebagai Properti Nagari
Dalam tambo Minangkabau
disebutkan bahwa properti suatu nagari adalah sawah, ladang, hutan, ayam-itik,
kerbau, sapi kambing, labuah tapian, musajik, pandam pakuburan, dan anak
kamanakan. Saya mencoba melihatnya dari
sudut produksi, yaitu sawah. Bentuk
konvensional adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok, yaitu bentuk usaha
pertanian tanaman pangan. Padi adalah komoditas utama dari zaman dulu, cerita
tentang rangkiang, dan sawah gadang penghulu adalah suatu simbolisme bahwa
pemenuhan kebutuhan pokok adalah hal yang utama bagi kenagarian.
Penanaman padi dilakukan
pada tiga tempat, sawah, bancah, dan ladang. Secara teknis dapat dikatakan
bahwa sawah adalah daerah yang membutuhkan air irigasi, umumnya berada pada wilayah
pegunungan dan perbukitan. Bancah
adalah daerah yang membutuhkan drainase biasanya berada pada dataran alluvial yang memiliki curah hujan
tinggi, sedangkan ladang adalah lahan kering yang biasa menempati lereng bawah
dan sebagian lereng tengah volkanik, yang mana daerah ini memiliki curah hujan
tinggi.
Bila ditinjau dari sudut
ilmu konservasi tanah dan air, maka sawah adalah suatu bentuk pertanian
konservasi hasil usaha nenek moyang bangsa. Petakan sawah di lereng gunung
adalah model terassering yang
dianjurkan pada wilayah berlereng. Sawah di lereng gunung tidak membutuhkan
irigasi berskala besar atau irigasi pompa, karena air dapat mengalir secara
gravitasi.
Sawah biasanya diairi
dengan menggunakan sistem irigasi berskala kecil. Sumber air irigasi adalah air
yang mengalir di lereng gunung. Karena itu konsep hutan dibagian atas gunung
adalah suatu bentuk konservasi alam dalam hubungan dengan produksi bahan
makanan.
Beberapa sentra produksi
padi di masa lampau, seperti Tanah Datar, Solok, Agam, dan Lima Puluh Kota
menempatkan areal persawahan di lereng bawah volkanik, sedangkan lereng atas
dan sebagian lereng tengah yang curam difungsikan sebagai daerah hutan. Cara
penataan ruang lereng pegunungan volkanik seperti ini kemudian dikukuhkan
Belanda dengan membuat jalan rantai atau jalan hutan. Dengan ketentuan wilayah
sebelah atas jalan tidak boleh dieksplorasi, sedangkan kegiatan pertanian hanya
ada di sebelah bawah jalan.
Luas areal persawahan
pada daerah yang disebutkan di atas adalah 87.164 hektare. Setiap musim tanam
daerah tersebut akan menghasilkan 255.000 ton beras dengan menggunakan asumsi
bahwa hasil gabah perha adalah rata rata 4.5 ton, dan rendemen 65 persen.
Dengan perhitungan panen
2 kali setahun, maka wilayah tersebut akan mensuplai 510.000t ton per tahun beras.
Umumnya beras yang dihasilkan adalah beras berkualitas dan sering dibawa keluar
Sumatera Barat. Secara umum daerah sekitar gunung yang terletak di Kabupaten
Solok, Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota
berada dalam zona C sampai E
iklim pertanian Oldelman, yaitu daerah dengan curah hujan tidak melebihi 2.500 mm per tahun dengan bulan
basah 3-6 bulan dan memiliki bulan kering yang tegas 2-6 bulan.
Kondisi
Sungai yang Mencemaskan
Persawahan di wilayah
itu diairi dengan irigasi berskala kecil, yaitu mengandalkan air yang mengalir
dari lereng gunung. Persoalan yan ditemui pada tahun ini adalah jumlah air yang
mengalir pada sungai yang berasal dari gunung tersebut tidak lagi seperti 10
tahun yang lalu. Batang Sigarunggung yang mengalir di Kota Batusangkar biasanya
punya debit yang besar, tapi tahun ini walaupun di bulan November sampai Desember
debit sungai tersebut terlihat sangat kecil.
Demikian juga dengan
Batang Bangkahan yang melintas di Sungai Tarab, juga memperlihatkan jumlah
debit yang sangat kecil. Kondisi aliran sungai di lereng Marapi pada akhir tahun
2009 dikhawatirkan akan mempengaruhi kebutuhan air pada tahun 2010.
Hal ini bukan hanya di
Marapi, tapi juga pada aliran Batang Gumanti dan Batang Agam. Kondisi ini
berhubungan dengan aktivitas perluasan pertanian pada nagari di lereng gunung
tersebut yang sudah memasuki wilayah
konservasi.
Persoalan lain yang
terlihat pada wilayah tersebut adalah hampir tidak adanya pengembalian bahan organik
ke sawah. Aklibatnya terjadi penurunan bahan organik dan rendahnya unsur hara
tertentu seperti fosfor. Kalau kondisi tersebut tidak diperbaiki, maka lumbung
padi tersebut diduga akan kehilangan 50 persen sampai 65 persen.
Ini terjadi di Agam,
Tanah Datar, Solok dan Lima Puluh Kota mencakup 38 persen dari luas persawahan
di Sumatera Barat. Dikhawatirkan jumlah stok beras di Sumatera Barat akan
terpengaruh oleh penurunan produksi pada areal volkanik yang dulunya merupakan
lumbung padi.
Luas lahan sawah di Sumatera
Barat tercatat 226.502 hektare dengan hasil 4,5 ton per hektare, dan rendemen
65 persen. Sawah Sumatera Barat akan menyumbang
611.555 ton/musim tanam. Dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan
jumlah penduduk 4.697.764 jiwa dengan konsumsi 10 kg/orang/bulan, dengan faktor
koreksi 0.7, maka Sumatera Barat membutuhkan 422.799 ton per tahun.
Dengan asumsi di atas,
maka Sumatera Barat mengalami surplus beras. Persoalan di lapangan adalah tidak
semua area menghasilkan padi 4,5 ton per hektare. Pada beberapa wilayah di
wilayah perbukitan lipatan yang memiliki tanah ultisol dengan bahan organik rendah,
hasil padi per hektare rata rata 1,4 ton
per hektare per musim tanam. Pada
wilayah yang masih tadah hujan, pertanaman padi hanya dapat dilakukan 1 x dalam setahun. Sumatera Barat memiliki 26
persen areal sawah tadah hujan.
Sehubungan banyaknya
alih fungsi lahan sawah menjadi daerah pemukiman, terutama pada sawah di
pinggiran kota, luas penyusutan lahan sawah diperkirakan 15 persen terutama pada daerah sentra produksi padi,
seperti areal pinggir Kota Padang, Payakumbuh, Bukittinggi , Solok, dan
Batusangkar.
Sumatera Barat
diperkirakan tidak bisa memenuhi target produksi, kecuali Sumatera Barat dapat
menerapkan perbaikan bahan organik tanah dan pengelolaan air yang memadai.
Dampak
Peraturan Kehutanan
Usaha penyelamatan hutan
dilakukan dengan memperketat peraturan untuk penebangan kayu. Peraturan ini
tidak hanya berlaku pada lahan hutan tapi juga merembet ke kayu yang ditanam di
ladang penduduk. Karena itu usaha pemenuhan kebutuhan kayu beralih ke kayu lain
yang tidak membutuhkan larangan dan surat izin. Kayu kelapa menjadi alternatif,
kayu ini memiliki serat yang bagus dan sangat menarik untuk bahan perabot atau
interior.
Di Sumatera Barat ada
satu perusahaan yang mengiklankan dapat mengirim kayu kelapa 20 kubik setiap
minggu. Hal itu berarti bahwa setiap minggu 2 batang kelapa di potong untuk
mendapatkan 20 kubik kayu kelapa, atau 8 batang setiap bulan. Bila ada 5-10
perusahaan pengolahan kayu kelapa, maka laju kehilangan kelapa adalah 40-80
batang perbulan. Laju pemotongan batang kelapa ditambah dengan rusaknya areal
kelapa di areal pesisir menjadikan pasokan buah kelapa ke pasar pasar
tradisional mulai berkurang.
Kelapa tidak tergolong
ke dalam kebutuhan pokok masyarakat, tapi kelapa dan cabia adalah komoditas
yang diperlukan dalam keseharian
masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sumatera Barat.
Hal itu berarti bahwa
konsep moratorium yang diterapkan departemen kehutanan secara tidak langsung
mengancam ketahanan pangan di Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya.
Sumatera Barat pada
tahun-tahun terakhir mengalami kemajuan pesat di bidang perkebunan, khususnya
perkebunan sawit. tercatat 327.607 lahan di seluruh Sumatera Barat yang
tersebar ke dalam semua kabupaten. Sawit adalah tanaman yang membutuhkan banyak
air sekitar 720-1980 mm/tahun dibutuhkan untuk membentuk bahan kering tanaman. Selain
itu, tidak semua areal di Sumatera Barat yang basah atau termasuk zona iklim
pertanian A. Karena itu, meluasnya perkebunan sawit akan berdampak juga terhadap berkurangnya aliran permukaan.
Pada wilayah pesisir di dataran rendah berkurangnya air ini akan mempengaruhi
ketersediaan air untuk tanaman padi.
Penerapan
Sistem Pertanian Terpadu
Daerah Sumatera
Barat selain memiliki lahan sawah
yang luas tapi juga terkenal karena memiliki lahan kritis yang luas.
Sehubungan dengan bentuk lahan yang didominasi oleh daerah perbukitan dan
pegunungan pada hulu sungai besar yang mengalir ke pantai timur. Maka praktik
pertanian konservasi adalah hal yang paling sesuai. Sawah sebagai suatu bentuk
pertanian konservasi adalah model yang dapat dipertahankan dan dikembangkan.
Konsep bertani dan beternak dan rehabilitasi lahan perbukitan dan pegunungan
dengan tanaman berkayu sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan sumber air
untuk kebutuhan pertanian dan manusia di lereng bawah.
Pengembangan pertanian di lahan kering
mengalami hambatan karena lereng yang curam. Hal tersebut mengharuskan Sumatera
Barat mempertahankan sawah sebagai model pertanian padi di lereng gunung dan
perbukitan. Sawah juga dapat dikembangkan untuk pertanian lahan kering pada waktu
ditemui bulan dengan defisit air. Untuk menjaga ketersediaan air pada areal
persawahan Sumatera Barat harus kembali membuat batasan areal pegunungan yang
boleh digarap, atau membuat kolam penyimpanan air pada areal puncak. Di samping
itu juga, perlu penghentian eksplorasi galian C
dan tambang di daerah pegunungan yang berada di atas 1.000 m di atas
permukaan laut (dml).
Lahan yang populer
dengan lahan kering kritis perlu ditangani secara khusus, yaitu dengan menanam
tanaman keras yang tidak banyak membutuhkan air. Penanaman lahan kering dengan tanaman
pinus pada areal dengan zona D dan C adalah tidak bijaksana. Pinus merupakan tanaman
yang banyak membutuhkan air. Kebutuhan air pohon pinus jauh lebih besar dari
tanaman sawit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar