Minggu, 09 Maret 2014

Makin Menyempitnya Lumbung Padi di Sumatera Barat



OLEH Azwar Rasyidin
Guru Besar Fakultas Pertanian Unand dan Ketua Perhimpunan Alumni dari Jepang (Persada) Wilayah Sumatera Barat
Lahan pertanian yang kian menyempit
Sumatera Barat diperkirakan tidak bisa memenuhi target produksi, kecuali Sumatera Barat dapat menerapkan perbaikan bahan organik tanah dan pengelolaan air yang memadai.
Tahun 2010 yang telah dilewati menyisakan beberapa persoalan pada kebutuhan pokok di Sumatera Barat. Di pengujung 2010 harga kebutuhan masyarakat bergerak naik, harga gula, daging sapi, cabai, beras dan santan kelapa mengalami kenaikan yang signifikanb. Kenaikan harga ini biasanya terkait erat dengan terbatasnya jumlah pasokan di pasar. Harga santan kelapa yang biasanya Rp8.000/kg, kini menjadi Rp10.000/kg. Menurut pedagang menjelang akhir tahun 2010, pedagang mulai kesulitan mendapatkan pasokan kelapa.

Kondisi harga dan jumlah pasokan yang ada di pasar merupakan suatu petunjuk bahwa  produksi pertanian di Sumatera Barat pada tahun 2010 kurang menggembirakan. Kondisi itu dikhawatirkan akan berlanjut ketahun 2011. Hal itu terkait dengan terjadinya perubahan pada areal pertanian, sebagai akibat dari bencana alam, berupa galodo dan gempa bumi yang merusak beberapa fasilitas pertanian.
Sebagai contoh gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Kepulauan Mentawai  pada 25 Oktober lalu, secara tidak lansung mengganggu produksi kelapa di daerah pesisir kepulauan tersebut. Sedangkan gempa 30 September 2009 juga menimbulkan berbagai kerusakan pada fasilitas irigasi di kawasan pesisir pantai barat Pulau Sumatra.
Selama satu dasawarsa kemaren telah banyak dicapai kemajuan di bidang usaha pertanian, terutama dalam produksi tanaman sayur-sayuran dan hortikultura. Sumatera Barat juga telah mendapat kemajuan yang baik dalam hal sistem pertanian organik dan peningkatan produksi padi melalui sistem tanam padi sebatang (SRI).
Situs resmi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat melaporkan, produksi padi 1.889.487 to/tahun atau setara dengan 1.228.167 ton beras. Sementara Sumatera Barat hanya membutuhkan 500.000 ton/tahun. Walaupun demikian  masih diperlukan beberapa perbaikan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, khususnya yang berada dalam kawasan provinsi Sumatera Barat. Kekhawatiran lain adalah beras dari Sumatera Barat sering mengalir ke provinsi tetangga, seperti Riau dan Jambi. Di samping itu, rumah makan Padang di luar provinsi melengkapi dirinya dengan membawa beras Sumatera Barat dalam rangka menjaga rasa.
Kondisi wilayah yang demikian menyebabkan Sumatera Barat mendapat keterbatasan alamiah dalam pengembangan pertanian, khususnya dan atau kegiatan explorasi lainnya.
Sebagai hulu dari beberapa sungai besar yang mengalir ke pantai timur, seperti sungai Batang Hari, Indragiri, Rokan, dan Kampar, wilayah Sumatera Barat secara nasional berperan dalam konservasi air, dan daerah aliran sungai. Karena itu banyak daerah pegunungan dan perbukitan yang seharusnya tidak digarap dan untuk daerah yang boleh digarap harus dilakukan pertanian konservasi.
Sawah sebagai Properti Nagari
Dalam tambo Minangkabau disebutkan bahwa properti suatu nagari adalah sawah, ladang, hutan, ayam-itik, kerbau, sapi kambing, labuah tapian, musajik, pandam pakuburan, dan anak kamanakan.  Saya mencoba melihatnya dari sudut produksi, yaitu  sawah. Bentuk konvensional adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok, yaitu bentuk usaha pertanian tanaman pangan. Padi adalah komoditas utama dari zaman dulu, cerita tentang rangkiang, dan sawah gadang penghulu adalah suatu simbolisme bahwa pemenuhan kebutuhan pokok adalah hal yang utama bagi kenagarian.
Penanaman padi dilakukan pada tiga tempat, sawah, bancah, dan ladang. Secara teknis dapat dikatakan bahwa sawah adalah daerah yang membutuhkan air irigasi, umumnya berada pada wilayah pegunungan dan perbukitan. Bancah adalah daerah yang membutuhkan drainase biasanya berada pada dataran alluvial yang memiliki curah hujan tinggi, sedangkan ladang adalah lahan kering yang biasa menempati lereng bawah dan sebagian lereng tengah volkanik, yang mana daerah ini memiliki curah hujan tinggi.
Bila ditinjau dari sudut ilmu konservasi tanah dan air, maka sawah adalah suatu bentuk pertanian konservasi hasil usaha nenek moyang bangsa. Petakan sawah di lereng gunung adalah model terassering yang dianjurkan pada wilayah berlereng. Sawah di lereng gunung tidak membutuhkan irigasi berskala besar atau irigasi pompa, karena air dapat mengalir secara gravitasi.
Sawah biasanya diairi dengan menggunakan sistem irigasi berskala kecil. Sumber air irigasi adalah air yang mengalir di lereng gunung. Karena itu konsep hutan dibagian atas gunung adalah suatu bentuk konservasi alam dalam hubungan dengan produksi bahan makanan.
Beberapa sentra produksi padi di masa lampau, seperti Tanah Datar, Solok, Agam, dan Lima Puluh Kota menempatkan areal persawahan di lereng bawah volkanik, sedangkan lereng atas dan sebagian lereng tengah yang curam difungsikan sebagai daerah hutan. Cara penataan ruang lereng pegunungan volkanik seperti ini kemudian dikukuhkan Belanda dengan membuat jalan rantai atau jalan hutan. Dengan ketentuan wilayah sebelah atas jalan tidak boleh dieksplorasi, sedangkan kegiatan pertanian hanya ada di sebelah bawah jalan.
Luas areal persawahan pada daerah yang disebutkan di atas adalah 87.164 hektare. Setiap musim tanam daerah tersebut akan menghasilkan 255.000 ton beras dengan menggunakan asumsi bahwa hasil gabah perha adalah rata rata 4.5 ton, dan rendemen 65 persen.
Dengan perhitungan panen 2 kali setahun, maka wilayah tersebut akan mensuplai 510.000t ton per tahun beras. Umumnya beras yang dihasilkan adalah beras berkualitas dan sering dibawa keluar Sumatera Barat. Secara umum daerah sekitar gunung yang terletak di Kabupaten Solok, Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluh Kota  berada dalam zona  C sampai E iklim pertanian Oldelman, yaitu daerah dengan curah hujan  tidak melebihi 2.500 mm per tahun dengan bulan basah 3-6 bulan dan memiliki bulan kering yang tegas 2-6 bulan.
Kondisi Sungai yang Mencemaskan
Persawahan di wilayah itu diairi dengan irigasi berskala kecil, yaitu mengandalkan air yang mengalir dari lereng gunung. Persoalan yan ditemui pada tahun ini adalah jumlah air yang mengalir pada sungai yang berasal dari gunung tersebut tidak lagi seperti 10 tahun yang lalu. Batang Sigarunggung yang mengalir di Kota Batusangkar biasanya punya debit yang besar, tapi tahun ini walaupun di bulan November sampai Desember debit sungai tersebut terlihat sangat kecil.
Demikian juga dengan Batang Bangkahan yang melintas di Sungai Tarab, juga memperlihatkan jumlah debit yang sangat kecil. Kondisi aliran sungai di lereng Marapi pada akhir tahun 2009 dikhawatirkan akan mempengaruhi kebutuhan air pada tahun 2010.
Hal ini bukan hanya di Marapi, tapi juga pada aliran Batang Gumanti dan Batang Agam. Kondisi ini berhubungan dengan aktivitas perluasan pertanian pada nagari di lereng gunung tersebut yang sudah memasuki  wilayah konservasi.
Persoalan lain yang terlihat pada wilayah tersebut adalah hampir tidak adanya pengembalian bahan organik ke sawah. Aklibatnya terjadi penurunan bahan organik dan rendahnya unsur hara tertentu seperti fosfor. Kalau kondisi tersebut tidak diperbaiki, maka lumbung padi tersebut diduga akan kehilangan 50 persen sampai 65 persen.
Ini terjadi di Agam, Tanah Datar, Solok dan Lima Puluh Kota mencakup 38 persen dari luas persawahan di Sumatera Barat. Dikhawatirkan jumlah stok beras di Sumatera Barat akan terpengaruh oleh penurunan produksi pada areal volkanik yang dulunya merupakan lumbung padi.
Luas lahan sawah di Sumatera Barat tercatat 226.502 hektare dengan hasil 4,5 ton per hektare, dan rendemen 65 persen. Sawah Sumatera Barat akan menyumbang  611.555 ton/musim tanam. Dibandingkan dengan kebutuhan berdasarkan jumlah penduduk 4.697.764 jiwa dengan konsumsi 10 kg/orang/bulan, dengan faktor koreksi 0.7, maka Sumatera Barat membutuhkan 422.799 ton per tahun.
Dengan asumsi di atas, maka Sumatera Barat mengalami surplus beras. Persoalan di lapangan adalah tidak semua area menghasilkan padi 4,5 ton per hektare. Pada beberapa wilayah di wilayah perbukitan lipatan yang memiliki tanah ultisol dengan bahan organik rendah, hasil padi per hektare  rata rata 1,4 ton per hektare per musim tanam.  Pada wilayah yang masih tadah hujan, pertanaman padi hanya dapat dilakukan  1 x dalam setahun. Sumatera Barat memiliki 26 persen  areal sawah tadah hujan.
Sehubungan banyaknya alih fungsi lahan sawah menjadi daerah pemukiman, terutama pada sawah di pinggiran kota, luas penyusutan lahan sawah diperkirakan 15 persen  terutama pada daerah sentra produksi padi, seperti areal pinggir Kota Padang, Payakumbuh, Bukittinggi , Solok, dan Batusangkar.
Sumatera Barat diperkirakan tidak bisa memenuhi target produksi, kecuali Sumatera Barat dapat menerapkan perbaikan bahan organik tanah dan pengelolaan air yang memadai.
Dampak Peraturan Kehutanan
Usaha penyelamatan hutan dilakukan dengan memperketat peraturan untuk penebangan kayu. Peraturan ini tidak hanya berlaku pada lahan hutan tapi juga merembet ke kayu yang ditanam di ladang penduduk. Karena itu usaha pemenuhan kebutuhan kayu beralih ke kayu lain yang tidak membutuhkan larangan dan surat izin. Kayu kelapa menjadi alternatif, kayu ini memiliki serat yang bagus dan sangat menarik untuk bahan perabot atau interior. 
Di Sumatera Barat ada satu perusahaan yang mengiklankan dapat mengirim kayu kelapa 20 kubik setiap minggu. Hal itu berarti bahwa setiap minggu 2 batang kelapa di potong untuk mendapatkan 20 kubik kayu kelapa, atau 8 batang setiap bulan. Bila ada 5-10 perusahaan pengolahan kayu kelapa, maka laju kehilangan kelapa adalah 40-80 batang perbulan. Laju pemotongan batang kelapa ditambah dengan rusaknya areal kelapa di areal pesisir menjadikan pasokan buah kelapa ke pasar pasar tradisional mulai berkurang.
Kelapa tidak tergolong ke dalam kebutuhan pokok masyarakat, tapi kelapa dan cabia adalah komoditas yang diperlukan  dalam keseharian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sumatera Barat. 
Hal itu berarti bahwa konsep moratorium yang diterapkan departemen kehutanan secara tidak langsung mengancam ketahanan pangan di Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya.
Sumatera Barat pada tahun-tahun terakhir mengalami kemajuan pesat di bidang perkebunan, khususnya perkebunan sawit. tercatat 327.607 lahan di seluruh Sumatera Barat yang tersebar ke dalam semua kabupaten. Sawit adalah tanaman yang membutuhkan banyak air sekitar 720-1980 mm/tahun dibutuhkan untuk membentuk bahan kering tanaman. Selain itu, tidak semua areal di Sumatera Barat yang basah atau termasuk zona iklim pertanian A. Karena itu, meluasnya perkebunan sawit akan berdampak  juga terhadap berkurangnya aliran permukaan. Pada wilayah pesisir di dataran rendah berkurangnya air ini akan mempengaruhi ketersediaan air untuk tanaman padi.
Penerapan Sistem Pertanian Terpadu
Daerah Sumatera Barat  selain memiliki lahan  sawah  yang luas tapi juga terkenal karena memiliki lahan kritis yang luas. Sehubungan dengan bentuk lahan yang didominasi oleh daerah perbukitan dan pegunungan pada hulu sungai besar yang mengalir ke pantai timur. Maka praktik pertanian konservasi adalah hal yang paling sesuai. Sawah sebagai suatu bentuk pertanian konservasi adalah model yang dapat dipertahankan dan dikembangkan. Konsep bertani dan beternak dan rehabilitasi lahan perbukitan dan pegunungan dengan tanaman berkayu sangat diperlukan dalam rangka mempertahankan sumber air untuk kebutuhan pertanian dan manusia di lereng bawah.
Pengembangan pertanian di lahan kering mengalami hambatan karena lereng yang curam. Hal tersebut mengharuskan Sumatera Barat mempertahankan sawah sebagai model pertanian padi di lereng gunung dan perbukitan. Sawah juga dapat dikembangkan untuk pertanian lahan kering pada waktu ditemui bulan dengan defisit air. Untuk menjaga ketersediaan air pada areal persawahan Sumatera Barat harus kembali membuat batasan areal pegunungan yang boleh digarap, atau membuat kolam penyimpanan air pada areal puncak. Di samping itu juga, perlu penghentian eksplorasi galian C  dan tambang di daerah pegunungan yang berada di atas 1.000 m di atas permukaan laut (dml).
Lahan yang populer dengan lahan kering kritis perlu ditangani secara khusus, yaitu dengan menanam tanaman keras yang tidak banyak membutuhkan air. Penanaman lahan kering dengan tanaman pinus pada areal dengan zona D dan C adalah tidak bijaksana. Pinus merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air. Kebutuhan air pohon pinus jauh lebih besar dari tanaman sawit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...