Selasa, 11 Maret 2014

LSM, Transparansi, dan Akuntabilitas




OLEH Roidah
Aktivis LSM di Padang
 Isu akuntabilitas pernah timbul-tenggelam dalam pemberitaan media cetak di dalam dan di luar negeri. Tapi kepentingan siapakah sebenarnya untuk membicarakan akuntabilitas LSM itu? Yang pasti tak perlu dinafikan kalau LSM sering dijadikan jalan untuk kekuasaan ataupun sebaliknya. Di mana akuntabilitas hanya dikendalikan pihak-pihak tertentu. Sementara akuntabilitas LSM sering ditafsirkan dari sisi finansial dan harus bersedia diikat dengan regulasi. Tujuannya demi mengontrol dan memonitor dari mana uang yang ada pada LSM mengalir dan untuk apa saja digunakan, termasuk untuk mengetahui apa saja kerugian pemerintah karena penggunaan dana tersebut. Memang, finansial merupakan faktor pendukung kelanjutan LSM. Mustahil ada LSM mampu bertahan tanpa dukungan dana dalam waktu yang panjang. Tapi yang pasti uang bukanlah segalanya.

Akuntabilitas LSM bisa diketahui dari memahami peran yang dibawa LSM itu sendiri. Asumsi umum meletakkan LSM sebagai pembawa perubahan sosial yang efektif, mengatasnamakan masyarakat marginal, ada pihak penyandang dana yang sebagian besar berasal dari pihak asing, dan menjalankan fungsi-fungsi menejerial organisasi serta program. Semua itu bersifat publik karena kepentingan masyarakat ikut terkait pada aktifitas LSM. Makanya wajar LSM diminta transparansi dan akuntabilitas, karena gerakkan LSM memiliki efek sosial.
Pentingnya transparansi dan akuntabilitas LSM akan terkait pada pencitraan LSM  itu sendiri, agar tidak bercitra minus. Makanya ruang lingkup transparansi dan akuntabilitas pun lebih luas dari sekedar audit keuangan dan publikasinya karena antara pemerintah dan LSM terdapat latar belakang, persepsi, dan motivasi yang berbeda tentang perlunya transparansi dan akuntabilitas LSM. Karena dibalik regulasi oleh pemerintah yang ditujukan ke LSM, berkemungkinan ada kepentingan represif membatasi gerakkan sosial LSM.
Dan sebenarnya adakah peluang pemerintah Indonesia saat ini mengatur akuntabilitas LSM buat tujuan-tujuan tertentu? Jawabannya bisa beragam. Bila ditinjau dari trend perkembangan LSM sejak Orde Baru maka yang terbayang adalah kekhawatiran akan kembalinya pengekangan kebebasan berkumpul dan mengekspresikan pendapat di muka umum, dimana kedua hal tersebut justru merupakan modal identitas LSM. Otoritas pemerintah kadang dimanfaatkan sebagai senjata membidik LSM. Makanya wajar tidak banyak LSM tumbuh dan bertahan selama Orde Baru. LSM-LSM yang konsisten memperjuangkan nasib masyarakat marginal masa Orde Baru betul-betul tertatih-tatih berkembang.
Ketika reformasi bergulir dan kelonggaran berkumpul lebih terasa, LSM tumbuh menjamur. Sayangnya diselipi kepentingan oknum di luar LSM buat mendapatkan proyek dan bantuan dari luar negeri lewat ikut-ikutan mendirikan LSM. Hingga muncul permasalahan baru, yaitu di mana-mana LSM mulai dipertanyakan eksistensi, agenda, dan konsistensinya yang bermuara pada gugatan good NGO governance, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas.
Di banyak negara, LSM secara kolektif telah menjabarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu dengan menyusun dan mengikatkan diri pada suatu kode etik tertentu, melakukan monitoring dan evaluasi, pe-rating-an, sertifikasi dan peningkatan partispasi, serta  terbuka terhadap sikap kritis publik dalam mengontrol LSM behavior. Itu pula yang dilakoni salah satu jaringan LSM di Sumbar bernama Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM). KPMM menerapkan self action yang mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Tujuannya demi menunjukkan bahwa LSM juga bisa transparan dan akuntabel. Hasilnya bisa meningkatkan posisi tawar dan martabat LSM, termasuk meningkatkan public trust.
Sehingga gerakan transparansi dan akuntabilitas tidak parsial, tapi memiliki legitimasi yang kuat. Lalu dibuat pula aturan bersama secara partisipatif hingga ada reward and punishment. Selain itu jaringan LSM seperti KPMM (yang beranggotakan 10 LSM) telah menerapkan pola operasional yang independent dan lepas dari conflict interest serta kepentingan politik praktis pemerintah serta tidak menjadi lembaga yang superior bagi LSM-LSM lainnya.
Kehadiran ‘jaringan bersama’ LSM ini juga diharapkan bisa menjadi promotor dan pembawa perubahan yang lebih baik bagi LSM dalam membuktikan kamampuan dan kemauan untuk akuntabel dan transparan. Namun tentu saja belum sempurna atau tetap saja tiada yang sempurna di muka bumi ini. Begitu juga KPMM kerap mengalami pasang-surut kekonsistenan anggotanya untuk terus berada di koridor transparansi dan akuntabilitas. Namun bencana gempa yang beberapa kali melanda daerah yang terkenal dengan julukan Ranah Minang itu agaknya mampu memberikan inspirasi atau banyak pelajaran bagi LSM lokal dalam upaya saling bekerjasama untuk menunjukkan ketransparansian dan keakuntabelan mereka, terutama dalam penanganan bencana yang sebaiknya dilakukan secara kolektif dan efektif, alias pentingnya sinergi semua pihak. Karena sinergi merupakan salah satu cara memacu akuntabilitas hingga semua lini dapat berbagi informasi. Makanya ke depan semua LSM lokal diharapkan juga bisa bekerjasama lebih erat dalam semua persoalan apapun yang ada di masyarakat yang mereka (LSM) tangani. Semoga. n


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...