OLEH Roidah
Aktivis LSM di Padang
Isu
akuntabilitas pernah timbul-tenggelam dalam pemberitaan media cetak di dalam
dan di luar negeri. Tapi kepentingan siapakah sebenarnya untuk membicarakan akuntabilitas
LSM itu? Yang pasti tak perlu dinafikan kalau LSM sering dijadikan jalan untuk
kekuasaan ataupun sebaliknya. Di mana akuntabilitas hanya dikendalikan
pihak-pihak tertentu. Sementara akuntabilitas LSM sering ditafsirkan dari sisi
finansial dan harus bersedia diikat dengan regulasi. Tujuannya demi mengontrol
dan memonitor dari mana uang yang ada pada LSM mengalir dan untuk apa saja
digunakan, termasuk untuk mengetahui apa saja kerugian pemerintah karena
penggunaan dana tersebut. Memang, finansial
merupakan faktor pendukung
kelanjutan LSM. Mustahil ada LSM mampu bertahan tanpa dukungan dana dalam waktu
yang panjang. Tapi yang pasti uang bukanlah segalanya.
Akuntabilitas
LSM bisa diketahui dari memahami peran yang dibawa LSM itu sendiri. Asumsi umum
meletakkan LSM sebagai pembawa perubahan sosial yang efektif, mengatasnamakan
masyarakat marginal, ada pihak penyandang dana yang sebagian besar berasal dari
pihak asing, dan menjalankan fungsi-fungsi menejerial organisasi serta program.
Semua itu bersifat publik karena kepentingan masyarakat ikut terkait pada
aktifitas LSM. Makanya wajar LSM diminta transparansi dan akuntabilitas, karena
gerakkan LSM memiliki efek sosial.
Pentingnya
transparansi dan akuntabilitas LSM akan terkait pada pencitraan LSM itu sendiri, agar tidak bercitra minus. Makanya
ruang lingkup transparansi dan akuntabilitas pun lebih luas dari sekedar audit
keuangan dan publikasinya karena antara pemerintah dan LSM terdapat latar
belakang, persepsi, dan motivasi yang berbeda tentang perlunya transparansi dan
akuntabilitas LSM. Karena dibalik regulasi oleh pemerintah yang ditujukan ke
LSM, berkemungkinan ada kepentingan represif membatasi gerakkan sosial LSM.
Dan
sebenarnya adakah peluang pemerintah Indonesia saat ini mengatur akuntabilitas
LSM buat tujuan-tujuan tertentu? Jawabannya bisa beragam. Bila ditinjau dari trend perkembangan LSM sejak Orde Baru
maka yang terbayang adalah kekhawatiran akan kembalinya pengekangan kebebasan berkumpul
dan mengekspresikan pendapat di muka umum, dimana kedua hal tersebut justru merupakan
modal identitas LSM. Otoritas pemerintah kadang dimanfaatkan sebagai senjata
membidik LSM. Makanya wajar tidak banyak LSM tumbuh dan bertahan selama Orde
Baru. LSM-LSM yang konsisten memperjuangkan nasib masyarakat marginal masa Orde
Baru betul-betul tertatih-tatih berkembang.
Ketika
reformasi bergulir dan kelonggaran berkumpul lebih terasa, LSM tumbuh menjamur.
Sayangnya diselipi kepentingan oknum di luar LSM buat mendapatkan proyek dan
bantuan dari luar negeri lewat ikut-ikutan mendirikan LSM. Hingga muncul
permasalahan baru, yaitu di mana-mana LSM mulai dipertanyakan eksistensi,
agenda, dan konsistensinya yang bermuara pada gugatan good NGO governance, terutama dalam hal transparansi dan
akuntabilitas.
Di banyak negara,
LSM secara kolektif telah menjabarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu
dengan menyusun dan mengikatkan diri pada suatu kode etik tertentu, melakukan
monitoring dan evaluasi, pe-rating-an, sertifikasi dan peningkatan partispasi, serta
terbuka terhadap sikap kritis publik
dalam mengontrol LSM behavior. Itu
pula yang dilakoni salah satu jaringan LSM di Sumbar bernama Konsorsium
Pengembangan Masyarakat Madani (KPMM). KPMM menerapkan self action yang mandiri tanpa campur tangan pemerintah. Tujuannya
demi menunjukkan bahwa LSM juga bisa transparan dan akuntabel. Hasilnya bisa
meningkatkan posisi tawar dan martabat LSM, termasuk meningkatkan public trust.
Sehingga gerakan
transparansi dan akuntabilitas tidak parsial, tapi memiliki legitimasi yang
kuat. Lalu dibuat pula aturan bersama secara partisipatif hingga ada reward and punishment. Selain itu jaringan LSM seperti KPMM (yang
beranggotakan 10 LSM) telah menerapkan pola operasional yang independent dan lepas dari conflict interest serta kepentingan
politik praktis pemerintah serta tidak menjadi lembaga yang superior bagi
LSM-LSM lainnya.
Kehadiran
‘jaringan bersama’ LSM ini juga diharapkan bisa menjadi promotor dan pembawa
perubahan yang lebih baik bagi LSM dalam membuktikan kamampuan dan kemauan untuk
akuntabel dan transparan. Namun tentu saja belum sempurna atau tetap saja tiada
yang sempurna di muka bumi ini. Begitu juga KPMM kerap mengalami pasang-surut
kekonsistenan anggotanya untuk terus berada di koridor transparansi dan akuntabilitas.
Namun bencana gempa yang beberapa kali melanda daerah yang terkenal dengan
julukan Ranah Minang itu agaknya mampu memberikan inspirasi atau banyak
pelajaran bagi LSM lokal dalam upaya saling bekerjasama untuk menunjukkan
ketransparansian dan keakuntabelan mereka, terutama dalam penanganan bencana
yang sebaiknya dilakukan secara kolektif dan efektif, alias pentingnya sinergi
semua pihak. Karena sinergi merupakan salah satu cara memacu akuntabilitas hingga
semua lini dapat berbagi informasi. Makanya ke depan semua LSM lokal diharapkan
juga bisa bekerjasama lebih erat dalam semua persoalan apapun yang ada di
masyarakat yang mereka (LSM) tangani. Semoga. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar