Minggu, 09 Maret 2014

Kritikus dan Jurnalis Seni Lahir dari Kepekaan



OLEH Gusriyono
Jurnalis

Penulis esai, kritikus, dan jurnalis seni dirasakan sangat langka dalam tahun-tahun belakangan di Sumbar. Kelangkaan ini berpengaruh bagi perkembangan seni, akibat kurangnya apresiasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada, terutama di Taman Budaya Sumbar.
Selama tiga hari (12-14/4/2011), 25 penulis muda dan jurnalis beberapa media di Sumbar mengikuti workshop penulisan esai, kritik dan jurnalistik seni di Taman Budaya Sumbar. Para peserta ini kebanyakan mahasiswa yang pernah atau sedang belajar menulis, yang diundang oleh Taman Budaya Sumbar. Terdiri dari, pemenang lomba penulisan cerpen 2011, komunitas seni di Unand, UNP, UBH, ISI Padangpanjang, UPI, IAIN Imam Bonjol, INS Kayutanam, dan jurnalis.
Program pertama Taman Budaya Sumbar tahun 2012 ini menghadirkan 3 pembicara dari kalangan media. Yaitu, pemred Visual Art, Yusuf Susilo Hartono, mantan wartawan Kompas, Yurnaldi, dan redaktur budaya Haluan, Nasrul Azwar.

Hari pertama, para peserta mendapatkan pelatihan dari Yurnaldi tentang jurnalistik seni. Menurutnya, jurnalistik seni tidak tumbuh berkembang di media massa, karena banyak wartawan, penulis, dosen, pengamat, pemerhati, dan pemimpin redaksi atau owner media yang peduli dengan kesenian.
“Bayangkan, apa yang terjadi jika banyak masyarakat tidak tahu dengan kesenian mereka sendiri. Tak tahu sejauh mana perkembangannya, bagaimana pembinaannya. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dan orang-orang yang peduli keseniannya,” kata wapemred Harian Vokal yang terbit di Palembang ini.
Dengan fenomena seperti ini, katanya, seolah-olah menjadi wajar jika pemerintah dan wakil rakyat tidak menganggarkan banyak dana untuk pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan kesenian di masyarakat. Ia mencontohkan, kenapa orang di Sumbar tidak begitu mengenal tari indang. Karena tidak ada orang yang melaporkan atau menulisnya di media massa.
“Sebagai wartawan seni atau penulis seni, anda suatu kali akan menikmati jerih payah anda sebagai wartawan dan penulis seni. Tulisan dan laporan anda dibaca banyak orang, dan dengan sendirinya nama anda menjadi catatan tersendiri. Baik di mata narasumber atau seniman maupun oleh pimpinan dimana anda bekerja sebagai wartawan,” ungkapnya memotivasi para peserta.
Selain itu, disampaikannya, kalau seorang seniman ingin dikenal, jalinlah kerjasama dengan para jurnalis seni dan penulis seni. Seniman jangan pelit memberi informasi tentang karyanya. Para jurnalis seni dan penulis seni juga harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan tentang karya seni tersebut.
Selanjutnya, dihari kedua, Jumat (13/4), peserta diajarkan penulisan esai dna feature seni oleh Nasrul Azwar. Disampaikan Nasrul Azwar, tugas seorang penulis membuat suatu informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan adalah kegagalan seorang penulis. Dan, karena informasi dan gagasan seringkali beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan, mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas serta elok, sehingga mampu menggaet dan memelihara minat pembaca untuk menyerap seluruh informasi yang disampaikan.
Sementara itu, Yusuf Susilo Hartono, yang memberikan materi setelah Nasrul Azwar, memaparkan tentang kritik jurnalistik. Materi ini berangkat dari tipe kritik seni rupa yang dibagi kritikus Edmund Burke Feldman; kritik jurnalistik, pedagogic, scholary, dan kritik popular.
Kritik jurnalistik ini ditulis di surat kabar, majalah, dan online, yang disajikan kepada pembaca melalui deskripsi, analisis formal, interpretasi dan evaluasi. Keempat tahap yang disingkatnya dengan dai eva ini ditempuh melalui jalan deduktif, yakni dari khusus ke umum, fokusnya fakta visual, kemudian menarik kesimpulan tentang nilai secara keseluruhan.
Dikatakannya, proses interpretasi merupakan hal penting dari proses kritik. Di sini, kritikus berusaha menemukan makna karya, tema karya, masalah artistik, dan intelektual karya. Kemudian menyambungkan makna karya itu dengan relevansinya bagi kehidupan kita. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa objek seni adalah hasil karya seniman yang tidak bisa lepas dari aspek nilai si pembuatnya di tengah masyarakat.
“Penting di ingat, dalam kritik seni, seniman bukan pemegang otoritas terbaik dalam mengartikan maksud karyanya. Apa-apa yang dikatakan seniman tidak selalu merupakan kebenaran. Oleh karena itu harus diuji kembali pada karya yang bersangkutan, benar tidak sih omongan si seniman itu. Demikian juga apa yang ditulis kurator, juga harus diuji kembali fakta karya yang bersangkutan,” ungkapnya.
Tantangan menulis kritik jurnalistik, menurut Yusuf, bagaimana dalam ruangan yang terbatas di koran atau majalah itu, sang kritikus bisa menyajikan tulisan yang ringkas, padat, berisi, dan menarik. “Kata kuncinya banyak menonton pameran dan pertunjukan seni, membaca buku, dan terus menulis. Bisa karena biasa,” tukasnya.
Belum kuasai ilmu jurnalistik dasar
Nasrul Azwar tidak mengira bahwa peserta workshop kebanyakan belum memiliki dasar-dasar jurnalistik. Akibatnya, terpaksa bahasannya yang semula tentang feature disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
“Saya kira pesertanya orang-orang yang telah memiliki pengetahuan dasar jurnalistik. Sehingga saya memberikan materi yang sebenarnya untuk tingkat lanjut. Tetapi, karena belum semuanya paham jurnalistik terpaksa menyesuaikan saja,” ujarnya usai memberikan pengajaran.
Menurutnya, untuk dilatih menjadi penulis esai, kritikus, atau jurnalis seni, seseorang harus memiliki pengetahuan dasar tentang seni dan jurnalis dulu. Sehingga, pelatihan ini menjadi lanjutan untuk meningkatkan kemampuan dasar menulisnya itu.
“Jika pesertanya kebanyakan orang-orang baru dalam penulisan dan jurnalistik seni, maka yang diharapkan pihak Taman Budaya Sumbar, lahirnya penulis dan jurnalis seni yang handal itu tidak akan tercapai. Sebab, mereka belum menguasai ilmu menulis tingkat dasar, kemudian, langsung diberikan pelajaran menulis tingkat lanjut,” tuturnya.
Sebelumnya, salah seorang peserta dari UNP juga mengungkapkan, pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar belum tersosialisasi dengan baik. Banyak kalayak yang tidak tahu informasi pertunjukan seni yang diadakan di pusat kebudayaan tersebut. Kadang-kadang setelah pertunjukan selesai baru tahu kalau di Taman Budaya ada pertunjukan seni. Dengan demikian, jika pun ada yang berminat menulisnya karena informasi tidak sampai, tentu saja tidak akan terpublikasikan dengan baik.
Artinya, selain mengeluhkan, tidak banyak apresiasi dan publikasi pertunjukan-pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar yang diberitakan media lokal dan nasional, pihak Taman Budaya juga harus gigih mensosialisasikan atau menginformasikan program pertunjukannya ke masyarakat. Baik lewat spanduk, poster, undangan, jaringan sosial di internet, dan sebagainya. (***)
OLEH Gusriyono
Jurnalis
Penulis esai, kritikus, dan jurnalis seni dirasakan sangat langka dalam tahun-tahun belakangan di Sumbar. Kelangkaan ini berpengaruh bagi perkembangan seni, akibat kurangnya apresiasi terhadap pertunjukan-pertunjukan yang ada, terutama di Taman Budaya Sumbar.
Selama tiga hari (12-14/4/2011), 25 penulis muda dan jurnalis beberapa media di Sumbar mengikuti workshop penulisan esai, kritik dan jurnalistik seni di Taman Budaya Sumbar. Para peserta ini kebanyakan mahasiswa yang pernah atau sedang belajar menulis, yang diundang oleh Taman Budaya Sumbar. Terdiri dari, pemenang lomba penulisan cerpen 2011, komunitas seni di Unand, UNP, UBH, ISI Padangpanjang, UPI, IAIN Imam Bonjol, INS Kayutanam, dan jurnalis.
Program pertama Taman Budaya Sumbar tahun 2012 ini menghadirkan 3 pembicara dari kalangan media. Yaitu, pemred Visual Art, Yusuf Susilo Hartono, mantan wartawan Kompas, Yurnaldi, dan redaktur budaya Haluan, Nasrul Azwar.
Hari pertama, para peserta mendapatkan pelatihan dari Yurnaldi tentang jurnalistik seni. Menurutnya, jurnalistik seni tidak tumbuh berkembang di media massa, karena banyak wartawan, penulis, dosen, pengamat, pemerhati, dan pemimpin redaksi atau owner media yang peduli dengan kesenian.
“Bayangkan, apa yang terjadi jika banyak masyarakat tidak tahu dengan kesenian mereka sendiri. Tak tahu sejauh mana perkembangannya, bagaimana pembinaannya. Apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dan orang-orang yang peduli keseniannya,” kata wapemred Harian Vokal yang terbit di Palembang ini.
Dengan fenomena seperti ini, katanya, seolah-olah menjadi wajar jika pemerintah dan wakil rakyat tidak menganggarkan banyak dana untuk pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan kesenian di masyarakat. Ia mencontohkan, kenapa orang di Sumbar tidak begitu mengenal tari indang. Karena tidak ada orang yang melaporkan atau menulisnya di media massa.
“Sebagai wartawan seni atau penulis seni, anda suatu kali akan menikmati jerih payah anda sebagai wartawan dan penulis seni. Tulisan dan laporan anda dibaca banyak orang, dan dengan sendirinya nama anda menjadi catatan tersendiri. Baik di mata narasumber atau seniman maupun oleh pimpinan dimana anda bekerja sebagai wartawan,” ungkapnya memotivasi para peserta.
Selain itu, disampaikannya, kalau seorang seniman ingin dikenal, jalinlah kerjasama dengan para jurnalis seni dan penulis seni. Seniman jangan pelit memberi informasi tentang karyanya. Para jurnalis seni dan penulis seni juga harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan tentang karya seni tersebut.
Selanjutnya, dihari kedua, Jumat (13/4), peserta diajarkan penulisan esai dna feature seni oleh Nasrul Azwar. Disampaikan Nasrul Azwar, tugas seorang penulis membuat suatu informasi yang dikumpulkan dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan adalah kegagalan seorang penulis. Dan, karena informasi dan gagasan seringkali beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan, mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas serta elok, sehingga mampu menggaet dan memelihara minat pembaca untuk menyerap seluruh informasi yang disampaikan.
Sementara itu, Yusuf Susilo Hartono, yang memberikan materi setelah Nasrul Azwar, memaparkan tentang kritik jurnalistik. Materi ini berangkat dari tipe kritik seni rupa yang dibagi kritikus Edmund Burke Feldman; kritik jurnalistik, pedagogic, scholary, dan kritik popular.
Kritik jurnalistik ini ditulis di surat kabar, majalah, dan online, yang disajikan kepada pembaca melalui deskripsi, analisis formal, interpretasi dan evaluasi. Keempat tahap yang disingkatnya dengan dai eva ini ditempuh melalui jalan deduktif, yakni dari khusus ke umum, fokusnya fakta visual, kemudian menarik kesimpulan tentang nilai secara keseluruhan.
Dikatakannya, proses interpretasi merupakan hal penting dari proses kritik. Di sini, kritikus berusaha menemukan makna karya, tema karya, masalah artistik, dan intelektual karya. Kemudian menyambungkan makna karya itu dengan relevansinya bagi kehidupan kita. Hal ini bertolak dari asumsi bahwa objek seni adalah hasil karya seniman yang tidak bisa lepas dari aspek nilai si pembuatnya di tengah masyarakat.
“Penting di ingat, dalam kritik seni, seniman bukan pemegang otoritas terbaik dalam mengartikan maksud karyanya. Apa-apa yang dikatakan seniman tidak selalu merupakan kebenaran. Oleh karena itu harus diuji kembali pada karya yang bersangkutan, benar tidak sih omongan si seniman itu. Demikian juga apa yang ditulis kurator, juga harus diuji kembali fakta karya yang bersangkutan,” ungkapnya.
Tantangan menulis kritik jurnalistik, menurut Yusuf, bagaimana dalam ruangan yang terbatas di koran atau majalah itu, sang kritikus bisa menyajikan tulisan yang ringkas, padat, berisi, dan menarik. “Kata kuncinya banyak menonton pameran dan pertunjukan seni, membaca buku, dan terus menulis. Bisa karena biasa,” tukasnya.
Belum Kuasai Ilmu Jurnalistik Dasar
Nasrul Azwar tidak mengira bahwa peserta workshop kebanyakan belum memiliki dasar-dasar jurnalistik. Akibatnya, terpaksa bahasannya yang semula tentang feature disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
“Saya kira pesertanya orang-orang yang telah memiliki pengetahuan dasar jurnalistik. Sehingga saya memberikan materi yang sebenarnya untuk tingkat lanjut. Tetapi, karena belum semuanya paham jurnalistik terpaksa menyesuaikan saja,” ujarnya usai memberikan pengajaran.
Menurutnya, untuk dilatih menjadi penulis esai, kritikus, atau jurnalis seni, seseorang harus memiliki pengetahuan dasar tentang seni dan jurnalis dulu. Sehingga, pelatihan ini menjadi lanjutan untuk meningkatkan kemampuan dasar menulisnya itu.
“Jika pesertanya kebanyakan orang-orang baru dalam penulisan dan jurnalistik seni, maka yang diharapkan pihak Taman Budaya Sumbar, lahirnya penulis dan jurnalis seni yang handal itu tidak akan tercapai. Sebab, mereka belum menguasai ilmu menulis tingkat dasar, kemudian, langsung diberikan pelajaran menulis tingkat lanjut,” tuturnya.
Sebelumnya, salah seorang peserta dari UNP juga mengungkapkan, pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar belum tersosialisasi dengan baik. Banyak kalayak yang tidak tahu informasi pertunjukan seni yang diadakan di pusat kebudayaan tersebut. Kadang-kadang setelah pertunjukan selesai baru tahu kalau di Taman Budaya ada pertunjukan seni. Dengan demikian, jika pun ada yang berminat menulisnya karena informasi tidak sampai, tentu saja tidak akan terpublikasikan dengan baik.
Artinya, selain mengeluhkan, tidak banyak apresiasi dan publikasi pertunjukan-pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar yang diberitakan media lokal dan nasional, pihak Taman Budaya juga harus gigih mensosialisasikan atau menginformasikan program pertunjukannya ke masyarakat. Baik lewat spanduk, poster, undangan, jaringan sosial di internet, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...