OLEH Gusriyono
Jurnalis
Penulis esai, kritikus, dan jurnalis seni
dirasakan sangat langka dalam tahun-tahun belakangan di Sumbar. Kelangkaan ini
berpengaruh bagi perkembangan seni, akibat kurangnya apresiasi terhadap
pertunjukan-pertunjukan yang ada, terutama di Taman Budaya Sumbar.
Selama tiga hari (12-14/4/2011), 25
penulis muda dan jurnalis beberapa media di Sumbar mengikuti workshop penulisan
esai, kritik dan jurnalistik seni di Taman Budaya Sumbar. Para peserta ini
kebanyakan mahasiswa yang pernah atau sedang belajar menulis, yang diundang
oleh Taman Budaya Sumbar. Terdiri dari, pemenang lomba penulisan cerpen 2011,
komunitas seni di Unand, UNP, UBH, ISI Padangpanjang, UPI, IAIN Imam Bonjol,
INS Kayutanam, dan jurnalis.
Program pertama Taman Budaya Sumbar tahun
2012 ini menghadirkan 3 pembicara dari kalangan media. Yaitu, pemred Visual
Art, Yusuf Susilo Hartono, mantan wartawan Kompas, Yurnaldi, dan redaktur
budaya Haluan, Nasrul Azwar.
Hari pertama, para peserta mendapatkan
pelatihan dari Yurnaldi tentang jurnalistik seni. Menurutnya, jurnalistik seni
tidak tumbuh berkembang di media massa, karena banyak wartawan, penulis, dosen,
pengamat, pemerhati, dan pemimpin redaksi atau owner media yang peduli dengan
kesenian.
“Bayangkan, apa yang terjadi jika banyak
masyarakat tidak tahu dengan kesenian mereka sendiri. Tak tahu sejauh mana
perkembangannya, bagaimana pembinaannya. Apa yang seharusnya dilakukan
pemerintah dan orang-orang yang peduli keseniannya,” kata wapemred Harian Vokal
yang terbit di Palembang ini.
Dengan fenomena seperti ini, katanya,
seolah-olah menjadi wajar jika pemerintah dan wakil rakyat tidak menganggarkan
banyak dana untuk pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan kesenian di
masyarakat. Ia mencontohkan, kenapa orang di Sumbar tidak begitu mengenal tari
indang. Karena tidak ada orang yang melaporkan atau menulisnya di media massa.
“Sebagai wartawan seni atau penulis seni,
anda suatu kali akan menikmati jerih payah anda sebagai wartawan dan penulis
seni. Tulisan dan laporan anda dibaca banyak orang, dan dengan sendirinya nama
anda menjadi catatan tersendiri. Baik di mata narasumber atau seniman maupun
oleh pimpinan dimana anda bekerja sebagai wartawan,” ungkapnya memotivasi para
peserta.
Selain itu, disampaikannya, kalau seorang
seniman ingin dikenal, jalinlah kerjasama dengan para jurnalis seni dan penulis
seni. Seniman jangan pelit memberi informasi tentang karyanya. Para jurnalis
seni dan penulis seni juga harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan
tentang karya seni tersebut.
Selanjutnya, dihari kedua, Jumat (13/4),
peserta diajarkan penulisan esai dna feature seni oleh Nasrul Azwar. Disampaikan
Nasrul Azwar, tugas seorang penulis membuat suatu informasi yang dikumpulkan
dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan
adalah kegagalan seorang penulis. Dan, karena informasi dan gagasan seringkali
beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan,
mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas serta
elok, sehingga mampu menggaet dan memelihara minat pembaca untuk menyerap
seluruh informasi yang disampaikan.
Sementara itu, Yusuf Susilo Hartono, yang
memberikan materi setelah Nasrul Azwar, memaparkan tentang kritik jurnalistik.
Materi ini berangkat dari tipe kritik seni rupa yang dibagi kritikus Edmund
Burke Feldman; kritik jurnalistik, pedagogic, scholary, dan kritik popular.
Kritik jurnalistik ini ditulis di surat
kabar, majalah, dan online, yang disajikan kepada pembaca melalui deskripsi,
analisis formal, interpretasi dan evaluasi. Keempat tahap yang disingkatnya
dengan dai eva ini ditempuh melalui jalan deduktif, yakni dari khusus ke umum,
fokusnya fakta visual, kemudian menarik kesimpulan tentang nilai secara
keseluruhan.
Dikatakannya, proses interpretasi merupakan
hal penting dari proses kritik. Di sini, kritikus berusaha menemukan makna
karya, tema karya, masalah artistik, dan intelektual karya. Kemudian
menyambungkan makna karya itu dengan relevansinya bagi kehidupan kita. Hal ini
bertolak dari asumsi bahwa objek seni adalah hasil karya seniman yang tidak
bisa lepas dari aspek nilai si pembuatnya di tengah masyarakat.
“Penting di ingat, dalam kritik seni,
seniman bukan pemegang otoritas terbaik dalam mengartikan maksud karyanya.
Apa-apa yang dikatakan seniman tidak selalu merupakan kebenaran. Oleh karena
itu harus diuji kembali pada karya yang bersangkutan, benar tidak sih omongan
si seniman itu. Demikian juga apa yang ditulis kurator, juga harus diuji
kembali fakta karya yang bersangkutan,” ungkapnya.
Tantangan menulis kritik jurnalistik,
menurut Yusuf, bagaimana dalam ruangan yang terbatas di koran atau majalah itu,
sang kritikus bisa menyajikan tulisan yang ringkas, padat, berisi, dan menarik.
“Kata kuncinya banyak menonton pameran dan pertunjukan seni, membaca buku, dan
terus menulis. Bisa karena biasa,” tukasnya.
Belum
kuasai ilmu jurnalistik dasar
Nasrul Azwar tidak mengira bahwa peserta
workshop kebanyakan belum memiliki dasar-dasar jurnalistik. Akibatnya, terpaksa
bahasannya yang semula tentang feature disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
“Saya kira pesertanya orang-orang yang
telah memiliki pengetahuan dasar jurnalistik. Sehingga saya memberikan materi
yang sebenarnya untuk tingkat lanjut. Tetapi, karena belum semuanya paham
jurnalistik terpaksa menyesuaikan saja,” ujarnya usai memberikan pengajaran.
Menurutnya, untuk dilatih menjadi penulis
esai, kritikus, atau jurnalis seni, seseorang harus memiliki pengetahuan dasar
tentang seni dan jurnalis dulu. Sehingga, pelatihan ini menjadi lanjutan untuk
meningkatkan kemampuan dasar menulisnya itu.
“Jika pesertanya kebanyakan orang-orang
baru dalam penulisan dan jurnalistik seni, maka yang diharapkan pihak Taman
Budaya Sumbar, lahirnya penulis dan jurnalis seni yang handal itu tidak akan
tercapai. Sebab, mereka belum menguasai ilmu menulis tingkat dasar, kemudian,
langsung diberikan pelajaran menulis tingkat lanjut,” tuturnya.
Sebelumnya, salah seorang peserta dari
UNP juga mengungkapkan, pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar belum
tersosialisasi dengan baik. Banyak kalayak yang tidak tahu informasi
pertunjukan seni yang diadakan di pusat kebudayaan tersebut. Kadang-kadang
setelah pertunjukan selesai baru tahu kalau di Taman Budaya ada pertunjukan
seni. Dengan demikian, jika pun ada yang berminat menulisnya karena informasi
tidak sampai, tentu saja tidak akan terpublikasikan dengan baik.
Artinya, selain mengeluhkan, tidak banyak
apresiasi dan publikasi pertunjukan-pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar yang
diberitakan media lokal dan nasional, pihak Taman Budaya juga harus gigih mensosialisasikan
atau menginformasikan program pertunjukannya ke masyarakat. Baik lewat spanduk,
poster, undangan, jaringan sosial di internet, dan sebagainya. (***)
OLEH
Gusriyono
Jurnalis
Penulis esai, kritikus, dan jurnalis seni
dirasakan sangat langka dalam tahun-tahun belakangan di Sumbar. Kelangkaan ini
berpengaruh bagi perkembangan seni, akibat kurangnya apresiasi terhadap
pertunjukan-pertunjukan yang ada, terutama di Taman Budaya Sumbar.
Selama tiga hari (12-14/4/2011), 25
penulis muda dan jurnalis beberapa media di Sumbar mengikuti workshop penulisan
esai, kritik dan jurnalistik seni di Taman Budaya Sumbar. Para peserta ini
kebanyakan mahasiswa yang pernah atau sedang belajar menulis, yang diundang
oleh Taman Budaya Sumbar. Terdiri dari, pemenang lomba penulisan cerpen 2011,
komunitas seni di Unand, UNP, UBH, ISI Padangpanjang, UPI, IAIN Imam Bonjol,
INS Kayutanam, dan jurnalis.
Program pertama Taman Budaya Sumbar tahun
2012 ini menghadirkan 3 pembicara dari kalangan media. Yaitu, pemred Visual
Art, Yusuf Susilo Hartono, mantan wartawan Kompas, Yurnaldi, dan redaktur
budaya Haluan, Nasrul Azwar.
Hari pertama, para peserta mendapatkan
pelatihan dari Yurnaldi tentang jurnalistik seni. Menurutnya, jurnalistik seni
tidak tumbuh berkembang di media massa, karena banyak wartawan, penulis, dosen,
pengamat, pemerhati, dan pemimpin redaksi atau owner media yang peduli dengan
kesenian.
“Bayangkan, apa yang terjadi jika banyak
masyarakat tidak tahu dengan kesenian mereka sendiri. Tak tahu sejauh mana
perkembangannya, bagaimana pembinaannya. Apa yang seharusnya dilakukan
pemerintah dan orang-orang yang peduli keseniannya,” kata wapemred Harian Vokal
yang terbit di Palembang ini.
Dengan fenomena seperti ini, katanya,
seolah-olah menjadi wajar jika pemerintah dan wakil rakyat tidak menganggarkan
banyak dana untuk pendokumentasian, pembinaan, dan pengembangan kesenian di
masyarakat. Ia mencontohkan, kenapa orang di Sumbar tidak begitu mengenal tari
indang. Karena tidak ada orang yang melaporkan atau menulisnya di media massa.
“Sebagai wartawan seni atau penulis seni,
anda suatu kali akan menikmati jerih payah anda sebagai wartawan dan penulis
seni. Tulisan dan laporan anda dibaca banyak orang, dan dengan sendirinya nama
anda menjadi catatan tersendiri. Baik di mata narasumber atau seniman maupun
oleh pimpinan dimana anda bekerja sebagai wartawan,” ungkapnya memotivasi para
peserta.
Selain itu, disampaikannya, kalau seorang
seniman ingin dikenal, jalinlah kerjasama dengan para jurnalis seni dan penulis
seni. Seniman jangan pelit memberi informasi tentang karyanya. Para jurnalis
seni dan penulis seni juga harus banyak membaca dan memiliki pengetahuan
tentang karya seni tersebut.
Selanjutnya, dihari kedua, Jumat (13/4),
peserta diajarkan penulisan esai dna feature seni oleh Nasrul Azwar. Disampaikan
Nasrul Azwar, tugas seorang penulis membuat suatu informasi yang dikumpulkan
dan dilaporkan menjadi jelas bagi pembaca. Ketidakmampuan menekankan kejelasan
adalah kegagalan seorang penulis. Dan, karena informasi dan gagasan seringkali
beku dan tanpa jiwa, menjadi tugas seorang penulis pula untuk mencairkan,
mengemas, dan menyajikan informasi itu menjadi sajian penuh vitalitas serta
elok, sehingga mampu menggaet dan memelihara minat pembaca untuk menyerap
seluruh informasi yang disampaikan.
Sementara itu, Yusuf Susilo Hartono, yang
memberikan materi setelah Nasrul Azwar, memaparkan tentang kritik jurnalistik.
Materi ini berangkat dari tipe kritik seni rupa yang dibagi kritikus Edmund
Burke Feldman; kritik jurnalistik, pedagogic, scholary, dan kritik popular.
Kritik jurnalistik ini ditulis di surat
kabar, majalah, dan online, yang disajikan kepada pembaca melalui deskripsi,
analisis formal, interpretasi dan evaluasi. Keempat tahap yang disingkatnya
dengan dai eva ini ditempuh melalui jalan deduktif, yakni dari khusus ke umum,
fokusnya fakta visual, kemudian menarik kesimpulan tentang nilai secara
keseluruhan.
Dikatakannya, proses interpretasi merupakan
hal penting dari proses kritik. Di sini, kritikus berusaha menemukan makna
karya, tema karya, masalah artistik, dan intelektual karya. Kemudian
menyambungkan makna karya itu dengan relevansinya bagi kehidupan kita. Hal ini
bertolak dari asumsi bahwa objek seni adalah hasil karya seniman yang tidak
bisa lepas dari aspek nilai si pembuatnya di tengah masyarakat.
“Penting di ingat, dalam kritik seni,
seniman bukan pemegang otoritas terbaik dalam mengartikan maksud karyanya.
Apa-apa yang dikatakan seniman tidak selalu merupakan kebenaran. Oleh karena
itu harus diuji kembali pada karya yang bersangkutan, benar tidak sih omongan
si seniman itu. Demikian juga apa yang ditulis kurator, juga harus diuji
kembali fakta karya yang bersangkutan,” ungkapnya.
Tantangan menulis kritik jurnalistik,
menurut Yusuf, bagaimana dalam ruangan yang terbatas di koran atau majalah itu,
sang kritikus bisa menyajikan tulisan yang ringkas, padat, berisi, dan menarik.
“Kata kuncinya banyak menonton pameran dan pertunjukan seni, membaca buku, dan
terus menulis. Bisa karena biasa,” tukasnya.
Belum Kuasai Ilmu Jurnalistik Dasar
Nasrul Azwar tidak mengira bahwa peserta
workshop kebanyakan belum memiliki dasar-dasar jurnalistik. Akibatnya, terpaksa
bahasannya yang semula tentang feature disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
“Saya kira pesertanya orang-orang yang
telah memiliki pengetahuan dasar jurnalistik. Sehingga saya memberikan materi
yang sebenarnya untuk tingkat lanjut. Tetapi, karena belum semuanya paham
jurnalistik terpaksa menyesuaikan saja,” ujarnya usai memberikan pengajaran.
Menurutnya, untuk dilatih menjadi penulis
esai, kritikus, atau jurnalis seni, seseorang harus memiliki pengetahuan dasar
tentang seni dan jurnalis dulu. Sehingga, pelatihan ini menjadi lanjutan untuk
meningkatkan kemampuan dasar menulisnya itu.
“Jika pesertanya kebanyakan orang-orang
baru dalam penulisan dan jurnalistik seni, maka yang diharapkan pihak Taman
Budaya Sumbar, lahirnya penulis dan jurnalis seni yang handal itu tidak akan
tercapai. Sebab, mereka belum menguasai ilmu menulis tingkat dasar, kemudian,
langsung diberikan pelajaran menulis tingkat lanjut,” tuturnya.
Sebelumnya, salah seorang peserta dari
UNP juga mengungkapkan, pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar belum
tersosialisasi dengan baik. Banyak kalayak yang tidak tahu informasi
pertunjukan seni yang diadakan di pusat kebudayaan tersebut. Kadang-kadang
setelah pertunjukan selesai baru tahu kalau di Taman Budaya ada pertunjukan
seni. Dengan demikian, jika pun ada yang berminat menulisnya karena informasi
tidak sampai, tentu saja tidak akan terpublikasikan dengan baik.
Artinya, selain mengeluhkan, tidak banyak
apresiasi dan publikasi pertunjukan-pertunjukan seni di Taman Budaya Sumbar yang
diberitakan media lokal dan nasional, pihak Taman Budaya juga harus gigih mensosialisasikan
atau menginformasikan program pertunjukannya ke masyarakat. Baik lewat spanduk,
poster, undangan, jaringan sosial di internet, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar