OLEH Deddy Arsya
Pengarang
Kaphe Padang, si kafir dari Padang, istilah yang populer pada
paruh kedua abad ke-19 di Aceh. Terminologi yang mengandung stigma, yang
dilekatkan kebanyakan orang Aceh kepada perantau asal Minangkabau di sana.
Mengapa stigma ini bisa muncul?
Masyarakat
Minangkabau adalah masyarakat yang termasuk paling awal ‘terbaratkan’ di
Indonesia. Terbaratkan lewat pendidikan Belanda. Pendidikan Belanda yang telah
dengan cepat populer di tengah masyarakatnya bahkan sejak pertengahan abad
ke-19.
Elizabeth
Graves misalnya mencatat dalam disertasi doktoralnya yang kemudian
diterjemahkan. Asal-usul Elite
Minangkabau Modern: Respon Terhadap Kolonial Belanda Abad XIX/XX, menerangkan
bagaimana elite terdidik Minangkabau dari sekolah-sekolah Belanda kemudian
memainkan peran penting dalam dunia birokrasi Hindia Belanda. Ambtenaar bumiputra di beberapa
kota-kota penting di Hindia Belanda didominasi oleh kaum terdidik yang
'diimpor' dari Minangkabau. Sebabnya, di antara masyarakat daerah-daerah lain
di Hindia Belanda, masyarakat Minangkabau atau Sumatera Barat telah lebih dulu
berkenalan dengan pendidikan sekuler-barat yang berguna bagi modal untuk
menjadi pegawai pemerintah.
Pada
awalnya, demikian Graves, kaum terpelajar jebolan pendidikan Belanda di
Sumatera Barat itu hanya ditujukan untuk memenuhi ‘kebutuhan’ pemerintah Belanda
di Sumatera Barat sendiri akan pegawai rendah. Ini terutama dimulai untuk
mengisi kekosongan jabatan kerani di gudang-gudang kopi (pakhuis) pada masa jayanya tanam paksa kopi. Untuk kemudian,
jebolan-jebolan sekolah sekuler ini tidak saja hanya untuk memenuhi lowongan
jabatan tukang catat di gudang kopi, tetapi juga telah mengisi jabatan di birokrasi
pelabuhan, di stasiun kereta api pos dan telegram, juru catat di pak opium, atau
sebagai kerani para tuanku laras yang kebanyakan memang buta huruf. Elite terdidik
Minangkabau selanjutnya juga mengisi jabatan yang lebih tinggi dalam stuktur
kepegawaian pemerintah Hindia Belanda seperti jaksa, ajudan jaksa, maupun
kepala penjara (hoofdgevangenis). Selain
sebagai guru dan dokter pemerintah.
Pandangan
mengenai pendidikan sekuler terus berkembang dalam masyarakat Minangkabau kemudian.
Sekolah Belanda yang dulu 'dicemooh' perlahan-lahan mulai dianggap sebagai
jalan bagi peningkatan status sosial. Padangan ajeg muncul: hanya mereka yang
bersekolah di sekolah pemerintahlah yang akan dapat ‘memasuki gerbang’ biograsi
Hindia Belanda. Tidakkah dengan masuk ke dalam birokrasi pihak yang berkuasa,
prestise sosial sebuah keluarga dan kaum akan naik di tengah masyarat?
Maka
muncullah elite baru Minangkabau yang bernama para pegawai atau ambtenaar. Elite baru ini bersaing
dengan elite-elite Minangkabau lama: kaum saudagar, para ulama, maupun elite
bangsawan tradisional.
Perkembangan
ini memicu keluarga-keluarga Minangkabau untuk beramai-ramai menyekolahkan
anaknya ke sekolah-sekolah Belanda. Antusiasme masyarakat Minangkabau pada
sekolah sekuler (atau sekolah pada umumnya), tentu saja berimplikasi lain:
menggelembungnya kaum terdidik, 'over sarjana’. Sementara, di sisi lain, daya
tampung birokrasi kolonial untuk menyediakan lapangan pekerjaan sebagai pegawai
negeri bagi lulusan-lulusan sekolah Belanda yang semakin waktu semakin berjibun
jumlahnya itu semakin terbatas. Persaingan untuk mendapatkan status pegawai
semakin ketat; ratusan ribu lulusan sekolah sekuler berdesak-desakan di ambang
pintu birokrasi kolonial yang terasa kian menjadi sempit.
Akibatnya
pula, jika semula kaum terdidik dari sekolah barat itu berupaya sedapat mungkin
untuk menjadi pegawai di Sumatera Barat saja, di kampung halamannya sendiri,
kini ketika kesempatan menjadi pegawai di daerah sendiri itu semakin kecil
(terutama hanya terbuka bagi lulusan
yang punya relasi dengan kepala laras atau pejabat pribumi yang
berkuasa), maka 'ekspansi' keluar daerah Minangkabau pun menjadi jalan keluar
yang mungkin.
Pada
awal abad ke-20, demikian catat Graves, elite terdidik baru memilih keluar
kampung dan memasuki dunia yang lebih besar dalam masyarakat Hindia Belanda. Orang-orang
Minangkabau lulusan sekolah-sekolah Belanda abad itu kemudian mencari
peruntungan menjadi pegawai-pegawai di daerah-daerah yang masih dianggap
'kosong’. Ada yang ke Kalimantan dan Sulawesi. Sementara perpindahan di
Sumatera mencakup ke kota-kota kolonial baru di Jambi, Bengkulu, Riau, atau
Aceh yang baru pada awal abad ke-20 dapat ditaklukkan Belanda seutuhnya.
Perantau
Minangkabau dari golongan lulusan sekolah sekuler telah menjadi elite baru di
daerah-daerah baru tersebut. Mereka adalah pendukung paling urgen, tulang
punggung bagi jalannya birokrasi kolonial Hindia Belanda di daerah-daerah
tersebut.
Dalam
kondisi demikian, hanya sedikit diketahui bagaimana respon masyarakat setempat
terhadap mereka. Untuk kasus Aceh, misalnya, dapat dibaca dalam sebuah buku
yang pernah terbit tahun 1987, yang kemudian diterbitkan ulang baru-baru ini, Sumatera: Revolusi dan Elite Tradisional. Anthony Reid dalam buku itu mengungkapkan
bahwa pada paro kedua abad ke-20, kaum terdidik asal Minangkabau yang menjadi
pegawai di Aceh mendapat 'stigma' tersendiri bagi kebanyakan penduduk setempat.
Kaphe Padang, si kafir dari Padang, demikian stigma
itu dilekatkan. Bukan lantaran mereka bukan muslim, bukan pula lantaran mereka
tidak menjalankan falsafah 'adat basandi
syara', syara' basandi kitabullah' yang terkenal itu. Akan tetapi, stigma
ini muncul karena mereka, dalam pandangan kebanyakan orang Aceh pada periode
itu, ‘telah menjadi Belanda’. Tidakkah masyarakat Minangkabau telah dikenal
sebagai ‘pembangkang’ bahkan sejak periode padri. Tetapi di sisi lain tidakkah telah
pula menjadi ‘pendukung’ Belanda paling setia? Dalam masyarakat Aceh, pada
periode itu, pandangan yang kedualah yang populer.
Anthony
Reid mengenai ini menulis bahwa ‘ikatan Islam’ pun bahkan tidak bisa
mengimbangi rasa curiga kebanyakan orang Aceh terhadap perantau Minangkabau
yang datang ke Aceh sebagai pegawai sipil atau perantara kompeni. Pada 1920-an, dalam catatan Reid, 8.000-an
orang suku Minangkabau di Aceh “masih sering seenaknya dicaci sebagai “kaphe
Padang”, tidak peduli jika mereka ta’at menjalankan ibadah agama Islamnya sekalipun”.
***
Kajian
tentang Minangkabau seperti pasar malam. Ramai dan meriah. Mungkin untuk
Indonesia, kajian tentang Minangkabau hanya bisa disaingi oleh penelitian
tentang Jawa. Namun, di tengah berjubelnya kajian, nyaris sulit menemukan
bagaimana praksis perantau Minangkabau di daerah rantaunya dan bagaimana pula respon
masyarakat setempat terhadap mereka.
Kita
telah sedikit mengetahui bagaimana respon orang Aceh terhadap perantau
Minangkabau awal abad ke-19. Tetapi kita nyaris tidak mendapat gambaran yang
memadai bagaimana respon Jambi dan Riau pada periode yang sama misalnya.
Tidakkah kedua daerah yang disebutkan terakhir ini adalah yang paling giat melakukan
perlawanan terhadap dominasi orang-orang dari Sumatera Barat terutama pada
pascakolonial? ‘Perlawanan’ yang belakangan masih akan menampakkan
kemunculannya.
Padang,
2013-01-01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar