Sabtu, 29 Maret 2014

Kamal Guci: Minangkabau Terintegrasi Empat Unsur


OLEH Gusriyono
Jurnalis
Kamal Guci dan lukisannya
Dalam satu minggu kemarin, jika Tuan dan Nyonya berkunjung ke Galeri Taman Budaya Sumbar, maka Tuan dan Nyonya dapat melihat lukisan-lukisan mengungkap topografi Minangkabau. Lukisan-lukisan itu kebanyakan bercerita tentang Minangkabau yang risau.
Memasuki Galeri Taman Budaya Sumbar, Tuan dan Nyonya akan berhadap-hadapan dengan sebuah lukisan potret. Seorang lelaki gondrong dengan kumis melintang sedang tersenyum. Senyum yang risau penuh kegalauan. Itulah potret si pelukis Kamal Guci. Pelukis asal Lubuk Guci, Pakandangan, Padangpariaman, ini menggelar pameran tunggal lukisannya bertajuk “Dari Ranah Menembus Rantau” tanggal 2-8 Agustus lalu.

Melihat lukisan-lukisannya, yang bercorak Minangkabau, Kamal Guci tidak hanya bicara keelokan. Namun, ada persoalan lain yang ditangkap Kamal Guci dari keelokan itu. Sebuah pembalikan, sebab Kamal Guci tidak lagi bicara tentang hamparan rumput hijau, sawah yang menguning, atau rumah gadang yang kokoh, lembah dan gunung yang memukau.
Kamal Guci hadir dengan rumah gadang dengan atap tersingkap, surau yang runtuh, rangkiang yang dililit akar dan seterusnya, dengan latar keelokan gunung, lembah, dan rimba tersebut. Ironi memang, dua hal bertolak belakang terpampang dengan nuansa mistikal. Ada perjalan spiritual tersendiri bagi pelukisnya di sana.
Dalam penuturannya, Kamal Guci, yang bertahan di kampung halamannya Lubuk Guci, mulai menelusuri lebih dalam tentang Minangkabau sejak 1991. Ditempuhinya setiap nagari, dibaringkan badannya di setiap surau, didudukinya setiap palanta lapau di Minangkabau ini untuk mendapatkan pengajaran tentang Minangkabau. Dari perjalanan itulah ia memahami bahwa ada pergeseran konsep ideal Minangkabau itu dengan realitasnya.
Kemudian, mulailah ia menggurat sketsa dari pikiran-pikiran dan persoalan yang tidak berkesesuaian itu. Mengalirlah segala pertanyaan dalam setiap sapuan kuas di kanvas hingga tercipta jawaban berupa lukisan yang sekarang dipamerkan tersebut.
“Bicara Minangkabau tidak bisa lepas dari 4 unsur alam, yaitu, angin, air, api, dan tanah. Pertama saya bertanya pada angin. Lalu, angin menjawab dengan munculnya angin kencang, badai dan segala macamnya, hingga banyak atap rumah gadang yang terkelupas. Ternyata angin tidak sayang lagi kepada orang Minangkabau. Maka lahirlah karya saya yang berjudul Badai I,” ungkap lelaki kelahiran 13 Oktober 1960 itu.
Setelah angin, lanjut Kamal Guci, ia bertanya pada api, masihkah api dipergunakan orang Minang sesuai fungsinya. Ternyata api juga marah kepada orang Minang. Maka terjadilah kebakaran besar di Pakandangan. Lalu Kamal Guci memindahkannya ke atas kanvas, dan terciptalah 2 lukisan tentang api ini.
“Kepada tanah pun saya bertanya, masihkah tanah Minangkabau memberikan rahmat dan kesejahteraan bagi orang Minangkabau. Jawabannya tetap sama, bahwa tanah juga marah kepada Minangkabau, karena tidak menghargai tanah sebagaimana mestinya. Bertepatan dengan pertanyaan itu, saya sedang mengerjakan lukisan berjudul Terkubur. Lukisan itu selesai, lalu datang gempa yang meluluhlantakkan ranah Minang,” ceritanya.
Lukisan itupun terkubur bersama lukisan lainnya, karena studio lukisnya juga runtuh. Ia bersyukur bahwa lukisan “Terkubur” itu tidak rusak meski ikut terkubur reruntuhan bersama 30 lukisan lainnya, sehingga bisa dipamerkan hingga 17 September mendatang. Akibat peristiwa gempa itu, ia harus merelakan 5 lukisannya rusak tertimbun.
“Ini bukti bahwa tanah itu marah kepada orang Minang, ditelannya negeri ini dengan gempa,” tutur alumni SMSR tahun 1984 ini.
Begitu pula dengan air, Kamal Guci pun bertanya. Masihkah air ini suci dan mensucikan dosa-dosa orang Minangkabau. Jawabannya tetap sama, bahwa air sudah banyak yang kotor dan tidak mampu lagi menyucikan orang Minangkabau. Namun, lukisannya dari pertanyaan tentang air ini masih dalam proses.
Tentang dunia lukis ia mengungkapkan bahwa setiap pelukis harus tahu dan paham dengan objek yang akan dilukisnya. Ia belajar banyak hal dari pelukis-pelukis besar seperti Wakidi, Usman Kagami dan seterusnya. Ia juga belajar pada Brasto, pelukis pantai yang menghabiskan hari selama 2 tahun berkemah di tepi pantai untuk melukis, Saleh, pelukis rimba yang bersikukuh dengan objek tersebut, juga Kidro, tukang becak yang menjadi pelukis dengan objek becak, karena setiap hari bergulat dengan becak tersebut.
“Intinya, ketahui objek dulu. Kalau objek sudah tahu dan kita kenal, maka ia akan sayang kepada kita,” demikian filosofinya.
Satu hal lagi yang ditekankan Kamal Guci adalah melukis dalam keadaan suci. Ini tidak terlepas dari pesan ulama termasuk ayahnya sendiri yang juga ulama tarekat, bahwa sebelum melukis harus berwuduk terlebih dahulu.
“Berwuduk ini penting sekali sebelum melukis. Sebab dalam melukis sesuatu itu ada zikirnya. Seperti kita melukis daun, maka ada zikir untuk daun, dan sebagainya. Lagi pula jika kita melukis dalam keadaan suci dan berzikir, ada pancaran spiritual dalam lukisan tersebut yang membuatnya lebih bermakna. Ada roh dari lukisan itu,” ujar pelukis yang lukisannya banyak dimiliki orang-orang besar negeri ini, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Anas Malik, Gamawan Fauzi, Agum Gumelar, Zainal Bakar, Fadli Zon, Patrialis Akbar, dan sederet nama tokoh penting lainnya yang ia sendiri sudah lupa namanya. Selain di dalam negeri, karya-karya Kamal Guci juga banyak dibeli kolektor luar negeri.
Di setengah abad usianya kini, sebagai pelukis, harapannya, lukisannya bisa dibaca anak cucunya kelak. Anak cucu ini tentu saja tidak hanya dalam pengertian harfiah. Namun, bisa saja merujuk pada generasi berikutnya.

“Saya ingin lukisan saya bisa dibaca oleh anak cucu nantinya. Ketika mereka lihat lukisan saya, mereka ingat Tuhan, ingat Minangkabau, supaya kembali ke jalan yang benar. Minangkabau tidak akan habis digali, untuk itu kepada pelukis Sumbar saya sampaikan, melukislah dengan dasar agama dan adat Minangkabau,” tandasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...