OLEH
Gusriyono
Jurnalis
Kamal Guci dan lukisannya |
Dalam
satu minggu kemarin, jika Tuan dan Nyonya berkunjung ke Galeri Taman Budaya
Sumbar, maka Tuan dan Nyonya dapat melihat lukisan-lukisan mengungkap topografi
Minangkabau. Lukisan-lukisan itu kebanyakan bercerita tentang Minangkabau yang
risau.
Memasuki
Galeri Taman Budaya Sumbar, Tuan dan Nyonya akan berhadap-hadapan dengan sebuah
lukisan potret. Seorang lelaki gondrong dengan kumis melintang sedang
tersenyum. Senyum yang risau penuh kegalauan. Itulah potret si pelukis Kamal
Guci. Pelukis asal Lubuk Guci, Pakandangan, Padangpariaman, ini menggelar
pameran tunggal lukisannya bertajuk “Dari Ranah Menembus Rantau” tanggal 2-8
Agustus lalu.
Melihat
lukisan-lukisannya, yang bercorak Minangkabau, Kamal Guci tidak hanya bicara
keelokan. Namun, ada persoalan lain yang ditangkap Kamal Guci dari keelokan
itu. Sebuah pembalikan, sebab Kamal Guci tidak lagi bicara tentang hamparan
rumput hijau, sawah yang menguning, atau rumah gadang yang kokoh, lembah dan
gunung yang memukau.
Kamal
Guci hadir dengan rumah gadang dengan atap tersingkap, surau yang runtuh,
rangkiang yang dililit akar dan seterusnya, dengan latar keelokan gunung,
lembah, dan rimba tersebut. Ironi memang, dua hal bertolak belakang terpampang
dengan nuansa mistikal. Ada perjalan spiritual tersendiri bagi pelukisnya di
sana.
Dalam
penuturannya, Kamal Guci, yang bertahan di kampung halamannya Lubuk Guci, mulai
menelusuri lebih dalam tentang Minangkabau sejak 1991. Ditempuhinya setiap
nagari, dibaringkan badannya di setiap surau, didudukinya setiap palanta lapau
di Minangkabau ini untuk mendapatkan pengajaran tentang Minangkabau. Dari
perjalanan itulah ia memahami bahwa ada pergeseran konsep ideal Minangkabau itu
dengan realitasnya.
Kemudian,
mulailah ia menggurat sketsa dari pikiran-pikiran dan persoalan yang tidak
berkesesuaian itu. Mengalirlah segala pertanyaan dalam setiap sapuan kuas di
kanvas hingga tercipta jawaban berupa lukisan yang sekarang dipamerkan
tersebut.
“Bicara
Minangkabau tidak bisa lepas dari 4 unsur alam, yaitu, angin, air, api, dan
tanah. Pertama saya bertanya pada angin. Lalu, angin menjawab dengan munculnya
angin kencang, badai dan segala macamnya, hingga banyak atap rumah gadang yang
terkelupas. Ternyata angin tidak sayang lagi kepada orang Minangkabau. Maka
lahirlah karya saya yang berjudul Badai I,” ungkap lelaki kelahiran 13 Oktober
1960 itu.
Setelah
angin, lanjut Kamal Guci, ia bertanya pada api, masihkah api dipergunakan orang
Minang sesuai fungsinya. Ternyata api juga marah kepada orang Minang. Maka
terjadilah kebakaran besar di Pakandangan. Lalu Kamal Guci memindahkannya ke
atas kanvas, dan terciptalah 2 lukisan tentang api ini.
“Kepada
tanah pun saya bertanya, masihkah tanah Minangkabau memberikan rahmat dan
kesejahteraan bagi orang Minangkabau. Jawabannya tetap sama, bahwa tanah juga
marah kepada Minangkabau, karena tidak menghargai tanah sebagaimana mestinya.
Bertepatan dengan pertanyaan itu, saya sedang mengerjakan lukisan berjudul
Terkubur. Lukisan itu selesai, lalu datang gempa yang meluluhlantakkan ranah
Minang,” ceritanya.
Lukisan
itupun terkubur bersama lukisan lainnya, karena studio lukisnya juga runtuh. Ia
bersyukur bahwa lukisan “Terkubur” itu tidak rusak meski ikut terkubur
reruntuhan bersama 30 lukisan lainnya, sehingga bisa dipamerkan hingga 17
September mendatang. Akibat peristiwa gempa itu, ia harus merelakan 5
lukisannya rusak tertimbun.
“Ini
bukti bahwa tanah itu marah kepada orang Minang, ditelannya negeri ini dengan
gempa,” tutur alumni SMSR tahun 1984 ini.
Begitu
pula dengan air, Kamal Guci pun bertanya. Masihkah air ini suci dan mensucikan
dosa-dosa orang Minangkabau. Jawabannya tetap sama, bahwa air sudah banyak yang
kotor dan tidak mampu lagi menyucikan orang Minangkabau. Namun, lukisannya dari
pertanyaan tentang air ini masih dalam proses.
Tentang
dunia lukis ia mengungkapkan bahwa setiap pelukis harus tahu dan paham dengan
objek yang akan dilukisnya. Ia belajar banyak hal dari pelukis-pelukis besar
seperti Wakidi, Usman Kagami dan seterusnya. Ia juga belajar pada Brasto,
pelukis pantai yang menghabiskan hari selama 2 tahun berkemah di tepi pantai
untuk melukis, Saleh, pelukis rimba yang bersikukuh dengan objek tersebut, juga
Kidro, tukang becak yang menjadi pelukis dengan objek becak, karena setiap hari
bergulat dengan becak tersebut.
“Intinya,
ketahui objek dulu. Kalau objek sudah tahu dan kita kenal, maka ia akan sayang
kepada kita,” demikian filosofinya.
Satu
hal lagi yang ditekankan Kamal Guci adalah melukis dalam keadaan suci. Ini
tidak terlepas dari pesan ulama termasuk ayahnya sendiri yang juga ulama
tarekat, bahwa sebelum melukis harus berwuduk terlebih dahulu.
“Berwuduk
ini penting sekali sebelum melukis. Sebab dalam melukis sesuatu itu ada
zikirnya. Seperti kita melukis daun, maka ada zikir untuk daun, dan sebagainya.
Lagi pula jika kita melukis dalam keadaan suci dan berzikir, ada pancaran
spiritual dalam lukisan tersebut yang membuatnya lebih bermakna. Ada roh dari
lukisan itu,” ujar pelukis yang lukisannya banyak dimiliki orang-orang besar
negeri ini, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono X, Anas Malik, Gamawan Fauzi,
Agum Gumelar, Zainal Bakar, Fadli Zon, Patrialis Akbar, dan sederet nama tokoh
penting lainnya yang ia sendiri sudah lupa namanya. Selain di dalam negeri,
karya-karya Kamal Guci juga banyak dibeli kolektor luar negeri.
Di
setengah abad usianya kini, sebagai pelukis, harapannya, lukisannya bisa dibaca
anak cucunya kelak. Anak cucu ini tentu saja tidak hanya dalam pengertian
harfiah. Namun, bisa saja merujuk pada generasi berikutnya.
“Saya
ingin lukisan saya bisa dibaca oleh anak cucu nantinya. Ketika mereka lihat
lukisan saya, mereka ingat Tuhan, ingat Minangkabau, supaya kembali ke jalan
yang benar. Minangkabau tidak akan habis digali, untuk itu kepada pelukis
Sumbar saya sampaikan, melukislah dengan dasar agama dan adat Minangkabau,”
tandasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar