OLEH
Dirwan Ahmad Darwis
Penulis pengamat sosial dan Koordinator
Ikatan Setia Kawan Wartawan Malaysia Indonesia, tinggal di Kuala Lumpur E-mail:
dirwan2005@hotmail.com
Dari beragam informasi
yang diperoleh, baik dari obrolan maupun bacaan, terkait topik di atas,
tergerak hati saya untuk menulis fenomena perilaku orang-orang partai politik
(parpol) di Indonesia. Sekaligus, ketertarikan itu termasuk membincangkan pemimpin
parpol yang sekaligus juga pemimpin rakyat: apakah kapasitas sebagai Presiden,
Menteri, Gubernur hingga ke Bupati dan Walikota. Selain itu, saya juga ingin
menyinggung para pejabat dan pengikutnya yang berasal dari partai termasuk inner circle (orang dalam) di sekelilingnya.
Sesungguhnya, di samping
profil pemimpin itu sendiri, perilaku dan gelagat orang-orang parpol plus inner circle inilah yang sebenarnya menarik
untuk dicermati. Di Sumatera Barat saat ini, ada sejumlah kepala daerah (Bupati
dan Walikota, termasuk Gubernur) yang pada kenyataannya mempunyai jabatan ganda.
Dari satu sisi mereka adalah para pemimpin dengan jabatan kepala daerah yang
dipilih langsung oleh rakyat, namun di sisi lain pula mereka juga adalah sebagai
pimpinan tertinggi di partainya—dengan sejumlah pengikut tentunya.
Kalau kita runut ke belakang,
sebelum yang bersangkutan berhasil menjadi kepala daerah atau pemimpin rakyat, banyak
proses yang dilalui. Paling tidak, menjadi kepala daerah, tidak datang begitu
saja, dan berjalan melibatkan banyak pihak. Yang jelas parpol dengan segenap
anggota yang mengusulkan, lalu bersama-sama dengan koalisi bergerak mendukungnya.
Jelas di sini, bahwa
pendukung parpol/koalisi/plus pribadi-pribadi tertentu lainnya sangat mempunyai
andil dalam proses mengantarkan si calon menjadi pemimpin rakyat yang
definitif. Dalam hal ini, pada hakikatnya,
mau tidak mau sang pemimpin “berhutang” budi dan tenaga (tidak tertutup juga kemungkinan
berhutang uang?) kepada para pendukungnya. Maka di sinilah kualitas pemimpin
itu akan diuji. Sejauh mana dia mampu mengelola berbagai kepentingan yang ada
di sekelilingnya dengan kepentingan daerah dan masyarakat badarai sesuai amanah
utama yang diembannya.
Kemampuan mengelola ini yang pada akhirnya akan
berdampak terhadap kredibilitas kepemimpinannya yang kelak akan dikenang orang
sepanjang waktu. Seorang pemimpin dengan mental yang baik dan stabil, pasti
ingin menorehkan catatan tinta emas sepanjang pemerintahannya. Namun tidak
jarang para pemimpin ini tergelincir akibat bujuk rayu dan laporan palsu
orang-orang partai dan para inner circle di
sekelilingnya.
Terkait orang-orang
dari partai penguasa (khususnya) dan para inner
circle ini—sudah menjadi rahasia umum—tindak tanduk mereka terkadang
melebihi pemimpin itu sendiri. Tidak jarang mereka terkesan sangat arogan,
lapar dan dahaga terhadap hal-hal yang berbau ekonomi dengan konsep “aji
mumpung”: mumpung partainya lagi berkuasa, mumpung si anu jadi kepala daerah,
mumpung ada kesempatan, mumpung dekat dengan si anu, serta mumpung-mumpung
lainnya.
Orang-orang partai yang
duduk terhormat di lembaga legislatif pun ikut terkesima dengan ajaran dan mahzab
“aji mumpung” ini. Maka hasilnya, “marasai”
lah BUMD, bank-bank daerah, para Kepala Dinas/SKPD, serta instansi-insatansi
terkait lainnya.
Lalu pertanyaannya,
sebaik apapun atau sealim apapun pemimpin itu, apakah dia tau permainan
orang-orang di sekitarnya yang bermahzab aji mumpung ini? Kalau pun dia tahu,
apa tindakannya? Dihalangi dengan cara-cara kasar tidak mungkin, nanti dibilang
tidak tahu balas budi, lupa kacang dengan kulitnya, atau lain-lain sindiran
yang kalau diteruskan kelompok ini mungkin bisa berbalik menjadi lawan dalam
diam-diam. Namun kalau dibiarkan tentu akan
merusak kredibilitas.
Dari fenomena di atas,
diharapkan agar kepala daerah/pemimpin parpol (apa lagi partai yang membawa
unsur-unsur Islami) yang masih punya hati nurani dan mental yang stabil, agar
melakukan pengawasan intensif terhadap orang-orangnya di luar sana. Jangan
hanya menerima laporan saja.
Sebagai seorang
politisi diharapkan para pemimpin ini mampu menciptakan sebuah mekanisme
pengawasan sederhana dengan mengedepankan budaya “malu” dan “perjuangan”. Namun,
mekanisme “slogan” atau aturan-aturan baku sekalipun tidaklah cukup kalau tidak
melibatkan personel-personel tertentu sebagai task force (mata-mata atau spy).
Para mata-mata ini
haruslah orang-orang yang teruji pribadinya (tentu saja agama dan keimanannya),
orang-orang yang bermental pejuang atau pahlawan sejati, tidak perlu dalam
bentuk tim, bahkan mereka ini tidak perlu kenal antara satu sama lainnya. Namun
yang penting pelihara “periuk nasi”nya dan keluarganya, karena di zaman
sekarang sangat susah mencari pejuang seperti di zaman nabi.
Di negara tetangga
Malaysia, ada staf pemerintah dengan jabatan namanya “Pegawai Seranta”. Posisi
ini diformalkan dan mereka ditugaskan di instansi-instansi tertentu. Dia bukan sebagai
pimpinan di instansi tersebut, tapi memang sebagai pegawai khusus dengan tugas
tertentu yang langsung membuat laporan ke pimpinan tertinggi. Karena ini sebuah
sistem, maka sang pimpinan instansi juga merasa diawasi dan akan bekerja dengan
sungguh-sungguh. Di lain hal, kehadiran pegawai seranta ini, tidak pula membuat
pimpinan instansi merasa bahwa pimpinan tertinggi (kepala daerah) tidak percaya
padanya.
Informasi lain
sebagai tambahan, di negara tetangga ini saya punya beberapa rekan politisi
(pimpinan) yang menerapkan konsep mata-mata buatan sendiri termasuk untuk
mengawasi pegawai seranta yang berkemungkinan bermain mata dengan pimpinan
instansi. Mereka merekrut orang-orang tertentu dengan kriteria sebagaimana
disampaikan di atas, dengan penerapan sistem kerja bernuansa Islami.
Alhamdulillah menurutnya terbukti manjur, program-program yang diagendakan
selalu tepat sasaran dan volume kegagalannya sangat kecil.
Dengan cara ini,
diharapkan pemimpin akan mendapatkan informasi yang sahih alias dapat
dipercaya, sehingga tidak ragu-ragu dalam membuat keputusan, sekalipun nanti
keputusan itu akan menuai kontroversi, karena sudah dipredisksi lebih awal
melalui sel-sel jaringan informan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar