OLEH Isril Berd
Kepala Pusat Kajian Pengembangan Lahan dan Pemukiman Universitas Andalas
Foto www.linggapos.com |
Bila dicermati saat ini
pengelolaan hutan lindung belum terorganisir dengan baik. Hal ini disebabkan karena belum adanya
peraturan daerah (perda) yang mengatur pengelolaan
hutan lindung sebagai bentuk tindak lanjut dari otonomi daerah. Tentu
saja, kondisi ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan PP Nomor 6 tahun 2007.
Tampaknya, di tingkat pemerintahan daerah, konsep kesatuan pengelolaan hutan lindung masih sebatas wacana. Pengelolaan hutan lindung belum menjadi prioritas bagi pemerintah daerah.
Akibatnya, tingkat kerusakan hutan lindung
sangat tinggi karena dikonversi menjadi peruntukan
daya guna lahan lainnya. Konversi hutan dikesankan untuk kepentingan pendapatan asli daerah (PAD) dan pengembangan wilayah.
Kondisi demikian itu—banyaknya
hutan lindung yang dikonversi demi mengejar target PAD—terungkap dalam pertemuan Forum DAS dan Pakar
Tingkat Nasional dengan mengusung tema “Penguatan Peran Forum DAS dan Pihak
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu dalam Rangka Mendukung Penanaman Satu Miliar Pohon” yang diadakan oleh
Kementerian Kehutanan di Jakarta pada 19-20 Oktober 2010 yang lalu.
Kenyataan itu diperparah lagi
oleh pemberdayaan UU No 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, Kewenangan Daerah, Kabupaten, Kota untuk mengurus daerahnya sendiri sangat
menjadi besar. Kewenangan tersebut termasuk pemanfaatan sumber daya alam
sebagaimana tercantum pada pasal 17 dan pasal 18. Kewenangan itu dijadikan semacam pemicu untuk daerah yang bersangkutan peningkatan pendapatan daerah yang mengatasnamakan
kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan DAS Belum Fokus
Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS)
sebagai bagian dari pembangunan wilayah sampai saat ini masih menghadapi
berbagai masalah yang kompleks dan saling terkait.
Misalnya, antara lain ditunjukan dengan belum
adanya keterpaduan antarsektor, dalam mengkaji karakterikstik DAS. Sedangkan hamparan wilayah DAS lintas
kecamatan, kabupaten, provinsi dan bahkan
lintas negara. Di sampaing itu, partisipasi masyarakat yang belum
optimal dalam pengelolaan DAS yang berujung pada kerusakan DAS yang semakin
mengkhwatirkan.
Bencana alam yang
tidak kunjung reda yang melanda negeri ini yang berdampak pada kerusakan lingkungan telah menjadi
keprihatinan banyak pihak, baik di dalam negeri maupun oleh dunia
internasional. Hal ini ditandai dengan meningkatnya bencana alam yang
dirasakan, seperti bencana banjir, tanah longsor dan kekeringan yang semakin
meningkat. Rendahnya daya dukung DAS sebagai suatu ekosistem diduga merupakan
salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam yang terkait dengan air (water related disaster) tersebut.
Kerusakan DAS
dipercepat oleh peningkatan pemanfaatan sumber daya alam sebagai akibat dari pertambahan penduduk dan
perkembangan ekonomi, konflik kepentingan dan kurang keterpaduan antarsektor,
antarwilayah hulu-tengah-hilir, terutama pada era otonomi daerah yang
pengelolaan sumber daya alam pada DAS
lebih diorientasikan pada peran economic
developmet dan mengabaikan wawasan lingkungan, sumberdaya alam ditempatkan
sebagai sumber PAD.
Dengan adanya peluang
pemanfaatan sumber daya alam tersebut, menyebabkan
terjadinya perubahan pemanfaatan ruang. Perubahan ini sering mengutamakan
pertimbangan analisis ekonomi dari pada kepentingan lainnya. Hal ini menjadi
masalah pada dareah antara hulu dan hilir ataupun perbatasan antarkabupaten,
maupun antarprovinsi bahkan mungkin antarnegara, jika peruntukan ruang
tersebut berbeda. Sementara kondisi biofisiknya sama, seperti kawasan hutan, di perbatasan wilayah administrasi diperuntukan sebagai hutan lindung yang
secara nyata tidak memberikan peningkatan pendapatan daerah. Sedangkan dihilir DAS atau
diperbatasan wilayah administrasi lainnya yang berada di hilirnya diperuntukan sebagai hutan produksi. Areal peruntukan lainnya sangat menguntungkan karena bernilai ekonomi. yang
dapat meningkatkan pendapatan daerah.
Problema lainnya adalah
pemanfaatan ruang pada daerah hulu tidak seirama dengan daerah hilir. Dimana
hulu DAS yang seharusnya lebih banyak diperuntukan ke fungsi lindung akan
tetapi karena tuntutan ekonomi, maka peruntukan berobah jadi kawasan hutan
produksi maupun kawasan budi daya. Kenyataan ini menyebabkan daerah hilir
menerima risiko dari aktivitas daerah hulu.
Kawasan hilir sering banjir
dan kekeringan sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan. Risiko penurunan kualitas lingkungan ini bisa
berakibat lebih luas dan menyangkut berbagai sektor, seperti sektor usaha budi daya pertanian,, perdagangan, transportasi dan sebagainya. Seperti sektor
pertanian diindikasikan dengan terjadinya
panen tidak berhasil akibat banjir atau kekeringan, begitu juga sektor
perdagangan akibat terhambatnya sistem
transportasi maka berdampak meningkatnya harga barang dan jasa.
Pada umumnya orang menyangsikan air merupakan produk hutan,
walau alam menunjukkan, seiring dengan berkurangnya luas tutupan hutan dan
bertambahnya DAS kritis. Semakin kering air di musim kemarau dan semakin sering banjir di musim
hujan. Kondisi ini diperparah dengan belum dilindunginya hutan lindung sebagai
pengatur tata air yang ditunjukkan oleh tumpang tindihnya kebijakan dan
kurangnya sinergis antara pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS yang
berujung terjadi banjir dimama mana. Terakhir bencana banjir bandang di Wasior Papua Barat
dan yang mengorbankan lebih seratus jiwa terenggut nyawa dari tubuh yang nestapa,
korban luka , harta, rumah, gedung, mobil, hutan, kebun, ternak dan lain
lainnya, serta ribuan penduduk yang harus direlokasi pemukimannya ketempat yang
lebih aman dan layak tentunya.
Hulu DAS dan
hilir atau daerah provinsi, kabupaten/kota yang memiliki kawasan
hutan yang fungsinya sangat penting bagi perlindungan lingkungan, berkewajiban untuk mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan, serta
mengelola kawasan hutan tersebut sesuai dengan fungsinya. Provinsi atau
kabupaten/kota yang mendapat manfaat dari kawasan hutan berkewajiban pula untuk mendukung keberadaan dan
kecukupan luas kawasan hutan dan kabupaten/kota yang memberi manfaat. Hal demikian ini ditegaskan pada PP No
44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, pasal 33.
Bila diperhatikan, banyak sekali permasalahan yang dihadapi di lapangan: Lemahnya koordinasi antarsektor
dan antarinstansi di daerah; belum sinerginya pelaksanaan pembangunan antarinstansi; belum adanya mekanisme
kompensasi hulu-hilir terkait dengan upaya
mempertahankan kecukupan kawasan hutan;
ketidakpastian penanganan kawasan/lahan tidur; dan kegiatan rehabilitasi hutan belum seimbang dengan laju degradasi yang
terjadi.
Banjir bandang Wasior Papua
Barat, Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan, Batang Gadis Sumatera Utara, Pasia Laweh
Kabupaten Tanah Datar. Mungkin juga kelak ketika terjadi alih fungsi lahan hutan lindung seluas 412 hektare
di punggung Bukit Karang
Putih hulunya DAS Harau, akan menyusul menimbulkan
banjir bandang yang akan memporak porandakan Padang bahagian selatan. Hal ini sangat dimungkinkan
dalam era global warming ini, yang akan
menyebabkan intensitas hujan sangat besar dan frekuensi yang sangat tinggi pula serta topografi yang berrgelombang, curam dan
berbukit, merupakan faktor faktor yang dapat mendukung terjadinya bencana
banjir bandang tersebut.
Dapat dimengerti bahwa dari
aspek hidrologis DAS berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air secara
kontiniu kesungai utama DAS tersebut. Jadi DAS adalah regulator untuk menjamin regulasi
air ke sungai utama DAS secara teratur.
Kalau suatu DAS fungsi hidrologisnya
tidak berfungsi dengan baik, tentu ada
yang salah dari DAS sebagai regulator sehingga fungsi menampung, menyimpan dan
mengalirkan sudah terganggu sistemnya.
Gangguan itu bisa saja karena
kondisi tutupan vegetasi hutan dan lahan sudah terganggu akibat terbukanya
lahan, terganggunya kemampuan infiltrasi air hujan kedalam tanah akibat pori
pori tanah tertutup akibat erosi permukaan, sehingga fungsi hidrologis
terganggu pula. Terbukanya lahan bisa banyak penyebabnya seperti antara lain
karena ulah manusia dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan bisa
juga karena kondisi alam itu sendiri. Alasan terakhir sangat sedikit
kemungkinannya karena sustainable
regenerasi dialam itu berlangsung dengan baik apabila tidak terganggu oleh
faktor faktor non alami, yang sering terjadi dimana mana.
Tentang Hutan Lindung
Hutan
lindung (protection forest) adalah suatu
kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat
tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya—terutama menyangkut
tata air dan kesuburan tanah—tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh
masyarakat di sekitarnya. Undang-undang RI No 41/1999 tentang Kehutanan
menyebutkan.
“Hutan
lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.”
Dari
pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah
hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan
(catchment area), di sepanjang aliran
sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan
bakau), dan tempat-tempat lain sesuai fungsi yang diharapkan.
Dalam
hal ini, undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai
kawasan hutan dalam pengertian di atas adalah: “...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”
Silang Pengertian
Hutan
lindung pengertiannya kerap dipertukar-tukarkan dengan kawasan lindung dan
kawasan konservasi pada umumnya. Kawasan konservasi, atau yang juga biasa
disebut sebagai kawasan yang dilindungi (protected
areas), lazimnya merujuk pada wilayah-wilayah yang didedikasikan untuk
melindungi kekayaan hayati seperti halnya kawasan-kawasan suaka alam dan
kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud oleh UU no 5/1990[2]. Jadi,
fungsinya jelas berbeda dengan hutan lindung. Sedangkan kawasan lindung
memiliki pengertian yang lebih luas, di mana hutan lindung tercakup di
dalamnya. Keppres No 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan: “Kawasan
lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan
nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.”
Kawasan
hutan lindung mencakup kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu
memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai
pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Dan memisahkannya dari bentuk-bentuk kawasan sempadan pantai, sempadan sungai,
serta sempadan waduk, danau, dan mata air.
Peraturan
1. Undang-Undang
RI No 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya memuat
perlindungan sistem penyangga kehidupan.
2. Undang-Undang
RI No 41/1999 tentang Kehutanan
3. Undang-Undang
RI No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
4. Keputusan
Presiden RI No 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar