OLEH Deddy Arsya
Pengarang
tinggal di Padang
Cerita-cerita perjalanan menjadi populer
kembali dewasa ini. Majalah traveling
berlahiran. Rubrik jalan-jalan hadir setiap minggu di suratkabar besar dan
kecil. Buku-buku cerita perjalanan dengan gampang ditemui pada rak-rak toko
buku, baik yang ditulis belakangan maupun yang telah bernilai langka dalam
literatur kesejarahan.
Genre ini punya ikatan erat dengan proses
penjajahan. Teks-teks perjalanan menginspirasi penjelajah Eropa awal menemukan
dunia baru. Tetapi di sisi yang berbeda, teks-teks ini juga punya hubungan dengan
kepentingan pariwisata. Sejarah pariwisata modern konon mengambil bentuk
promosi paling awal melalui kisah-kisah perjalanan.
***
Kurun abad ke-17 dikatakan sebagai periode
awal pariwisata modern di Nusantara. Di kapal-kapal yang membawa penjelajah
barat ke negeri gugusan kepulauan ini terdapat pada pedagang, rohaniwan,
ilmuwan, dan serdadu bayaran. Mereka yang terkesan dengan keindahan alam
Nusantara dan penduduknya membuat catatan-catatan pribadi dalam bentuk catatan
perjalanan. Catatan tersebut kemudian diterbitkan setelah penulisnya kembali ke
tanah airnya. Catatan itu membangkitkan minat orang sebangsanya untuk melakukan
perjalanan yang sama.
Ahmad Sunjaya, dalam sebuah artikel
penutup untuk buku yang ditulis Clockener Brousson—seorang serdadu dan penulis Eropa
abad ke-20 yang menuliskan pengalamannya berkunjung ke Indonesia, yang
baru-baru ini diterjemahkan menjadi Batavia
Awal Abad ke-20—menyebutkan bahwa ada dua jenis teks-teks perjalanan yang
muncul pada abad ke-16, yaitu scheepjournalen
(catatan perjalanan kapal) dan reisdagboek
(catatan kejadian sehari-hari).
Pada abad ke-17, jenis yang pertama
merupakan salah satu bahan bacaan yang paling disukai di Eropa. Isinya menyajikan petualangan pelayaran di
tengah alam liar yang eksotik di Hindia. Ahmad Sunjaya menulis, bahwa catatan kategori
ini misalnya ditulis pelaut Wilem Bbrantsz Bontekoe, pendeta Francois
Valentijn, Goerg Evetard Rumphius, Nicolaus de Graaff dan ahli botani Franz
Wilhelm Junghun. Catatan-catatan tersebut menjadi buku pegangan para petualang
Eropa sebelum menjejakkan kaki di Nusantara.
Sementara jenis yang kedua mulai populer
pada abad berikutnya. Di mana gambaran kehidupan keseharian masyarakat yang
didatangi mengambil tempat yang lebih signifikan. Pencatatan tidak lagi hanya
dilakukan oleh mereka yang ikut dalam ekspedisi zaman pelayaran, tetapi telah
meluas kepada pegawai-pegawai Eropa yang telah menetap di tanah jajahan,
pejabat-pejabat militer maupun sipil kolonial, para ilmuwan, dan termasuk pihak
pers. Pembicaraan panjang-lebar dilakukan mengenai penduduk pribumi yang mereka
kunjungi. Mulai dari pengidentifikasian watak, mentalitas, tabiat, hingga
segala sesuatu yang berkaitan dengan adat-istiadat setempat dengan cukup detil.
Namun, di sisi ini, gambaran negeri-negeri
yang dikunjungi ‘wisatawan’ Eropa itu tidak semuanya dapat dipercaya. Banyak di antaranya yang keliru dan dilebih-lebihkan.
Banyak yang hanya menggunakan sudut pandang si Eropa penceritanya sendiri. Sebagaimana
Edward Said pernah melakukan penelusuran atas karya-karya asing (termasuk
kisah-kisah perjalanan) mengenai negeri-negeri timur. Gambaran para penulis
Eropa itu tidak hanya mengenai kemolekan alam negeri-negeri timur yang eksotis belaka,
tetapi juga, menurut Said, cendrung menitip-beratkan pada sifat-sifat keberbedaan
timur dengan barat. Jika barat mewakili rasionalitas, modernitas, dan
keberadaban, maka timur adalah negasinya: malas, beringas, irasional. Upaya
pengidentifikasian tabiat hampir selalu dilakukan terhadap timur, yang pada
akhirnya melahirkan generalisasi atas watak kultur masyarakatnya.
Gambaran mereka tentang negeri yang
dikunjungi itu, tepat sebagaimana yang juga dikatakan Ahmad Sunjaya, bersifat ‘het imaginaire reisverhaal’—kisah
perjalanan imajiner. Yang mana
pengalaman pribadi penulis dicampurkan dengan apa yang telah dibaca atau
didengar dari para petualang lainnya yang lebih awal. Dan juga, ditambah unsur
khayalan sang penulis yang berlatar pikiran ‘buruk’ atas watak ketimuran yang
terbangun sejak dari awal keberangkatan mereka ke tanah jajahan.
Catatan perjalanan jenis ini, mengutip
Frances Gouda, penulis sejarah kolonial Indonesia lainnya, malah justru
menggugah minat para orang kaya di Eropa untuk datang. Apalagi bagi mereka yang
memiliki jiwa petualangan dan memiliki banyak modal. Gambaran masyarakat
jajahan dalam buku-buku perjalanan—gambaran kemolekan alam tetapi juga kebuasan
bangsanya—itulah yang mengeras dalam pikiran orang-orang Eropa selama
berabad-abad sebagai dasar pengetahuan mereka tentang negeri-negeri di timur. Keberbedaan
dengan mereka, bagi ‘turis barat’, tampak sebagai eksotisme dunia timur yang
menantang.
Denis Lombard, sejarawan Prancis yang
hadir pada abad kita sekarang, bahkan masih mengakui ini dalam bukunya yang
terkenal, Nusa Jawa dan Silang Budaya:
“Lebih dari satu abad kemudian, citra Kepulauan Indonesia pada kami masih
sering sekali merupakan citra eksotisme. Mooi
Indie, Hindia yang molek, sebagaimana kepulauan itu disebutkan pada zaman
penjajahan, masih tetap ada.” Seakan-akan, tidak ada perubahan berarti yang
dialami masyarakat di dunia timur selama berabad-abad itu. Masyakaratnya,
memakai bahasa Lombard lagi, “beku dalam keindahan berwarna-warni.”
Citra itulah pula yang dilanjutkan elit-elit
negeri kita, diteruskan dengan sadar atau tanpa sadar. Kebijakan pariwisata
seperti hendak mengekalkan yang tidak mungkin kekal itu. Pariwisata
menginginkan masyarakat—yang dijadikannya objek—sedapat mungkin menjadi kuno
dan bersetia dengan kekunoannya. Masyarakat yang beku belaka. Sebabnya adalah
bahwa apa yang paling kuno dari objek pariwisata Indonesia akan laku untuk
mendatangkan turis-turis dari dunia modern.
Tidak saja oleh pelaku pariwisata atau
stakeholder yang terkait dengan itu, tetapi kecendrungan ini juga dilakukan oleh
para traveler. Catatan-catatan
perjalanan dalam mengunjungi negeri-negerinya sendiri menjadi a-historis,
terbebas dari waktu, seakan-akan tidak ada yang berubah dari masyarakat yang
dikunjunginya itu. ‘Tradisi yang lestari’, demikian kesimpulan akhir rata-rata
mata acara yang bersifat etnografi di
teve-teve swasta (dan terutama teve nasional milik pemerintah, TVRI, yang
dianggap penjaga tradisi) maupun pada rubrik-rubrik jalan-jalan di suratkabar
dalam menilai sebuah masyarakat yang dikunjunginya.
Orang-orang pengkaji ketimuran masa lalu
memang ‘menginginkan’, si timur yang eksotis, si monyet yang dungu, untuk tetap
seperti itu. Tidakkah kata lestari pun mengandung bias politis? Masyarakat
diangankan untuk tetap menjadi laboratiorium raksasa tempat artefak-artefak
kebudayaan dari masa silam tegak berdiri. Ada sebuah tempat di mana masyarakat modern
dunia, turis-turis asing, dapat bernostalgia melihat riwayat antropologis mereka
yang telah lenyap. Tempat itu bernama Indonesia, tempat ‘manusia kera’ masih
tinggal di abad 21, abad post-industrial ini.
Namun, manusia toh bukan komodo, kata
Putu Setia suatu kali, dalam sebuah edisi Koran
Tempo. Komodo yang bersetia pada kekunoannya. Bagaimana mungkin manusia
bisa diharapakan untuk tetap “bersetia pada kekunoannya”, pada “kebekuannya”,
sementara pada hakikatnya pada masyarakat-manusia toh perubahanlah yang abadi?
Padang, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar