OLEH Gusriyono
Jurnalis
Tak
terbayangkan oleh saya, di puncak Gunung Harun ini, berhari-hari ada dua orang
yang mencari emas secara tradisional. Mereka membangun bedeng di atas pondasi
bangunan bekas penambang zaman Belanda. Siang masuk lubang dan lorong mencari
emas, malam melepas lelah sembari membunuh sepi dan membiarkan hati bertalu
merindu pada keluarga. Karena hanya berdua, di puncak lengang itu, cerita yang sama
bisa diulang berkali-kali dalam obrolan pelepas lelah atau jelang tidur.
Pagi begitu
indah di bedeng milik dua penambang emas itu. Gemerisik air sungai di depan
bedeng dan bunyi binatang rimba seperti simfoni yang mendendangkan harapan
untuk hidup yang lebih baik. Dengan semangat yang baru setelah melepas lelah
semalam, aktifitas pun dimulai.
Syahrial,
Amir, dan Pak Ayat, telah bangun dari tadi. Sementara saya bersama fotografer,
Hijrah, masih terbungkus sarung dan jaket. Hawa pagi yang dingin membuat kami
sedikit malas untuk bangun, apalagi penat-penat dari perjalanan sehari kemarin
belum begitu pulih. Untuk sementara saya berdiri di mulut pintu bedeng. Pada
kejauhan ufuk timur, matahari bersinar.
Tak lama,
dengan meringis saya menuruni tangga kayu bedeng itu. Ternyata, penat kaki dan
nyeri persendian akibat berjalan lama kemarin, masih terasa. Setiba di bawah,
saya melihat ke tonggak bedeng. Ada bekas pondasi yang berwarna kusam. Menurut
Syahrial, tanah tempat bedengnya ini berdiri, dulunya adalah perumahan orang
Belanda yang terlibat dalam penambangan di sini. Bahkan, di bawah bedeng itu,
jauh di dalam tanah, juga dimungkinkan terdapat emas.
Di bawah
bedeng ini dimungkinkah terdapat emas? Saya kembali teringat serangga kecil
menyerupai api. Semalam, menjelang tidur, di dalam bedeng, saya melihat seperti
percikan api kecil, tapi bukan kunang-kunang, berterbangan. Saya ingat cerita
rakyat tentang lumbung emas Salido, yang menyiratkan, pertanda di sekitarnya
ada emas. Serangga itu, akan menyala, sesuai nukilan legendanya, di tempat yang
ada emas dalam tanahnya.
“Sebaiknya
mandi dulu, dik. Biar hilang penat badan tu,” saya dikejutkan Syahrial, yang
seperti menangkap saya tengah mengingat tentang sesuatu. Syahrial, melangkah
menuju sungai.
“Dingin,”
jawab saya sedikit terlambat, karena bibir saya sedikit gemetar. Sementara,
Syahrial terus berlalu ke sungai. Tak lama, arahnya saya ikuti dengan tujuan
mencuci muka. Sedangkan ia mengeluarkan umpan yang dimasukkan malam tadi dari garondong. Umpan merupakan
istilah yang digunakan penambang di sini terhadap batu-batu mengandung emas
yang digali dalam lubang-lubang tambang itu. Batu-batu tersebut dihancurkan
dengan palu kecil hingga sebesar biji jagung.
Garondong adalah alat untuk menghancurkan
batu-batu kecil sebesar biji jagung tadi hingga menjadi tepung untuk memisahkan
antara emas dan pasir. Garondong
ini terbuat dari pipa baja berukuran 22 inchi dengan panjang 70-90 sentimeter.
Kedalam pipa dimasukkan besi bekas as atau sumbu ban mobil untuk melumatkan
umpan. Garondong
ini diputar menggunakan kincir air, yang juga dibuat dengan teknologi
sederhana.
Umpan yang
telah lumat bercampur air raksa itu ditampung di sebuah baskom. Kemudian
disaring menggunakan kain dan diperas sehingga tinggalah logam mulia itu pada
kain. Pagi itu ia hanya mendapat hasil sebesar biji rimbang, dari 2 karung
umpan yang diisi semalam. Itu pun masih bercampur emas dan perak. Untuk
memisahkan dua jenis logam itu, Syahrial akan membakarnya.
Tidak jauh
dari sana, saya mulai memperhatikan Amir yang mengisi kembali garondong yang
kosong dengan umpan. Garondong ini akan dibiarkan bekerja seharian melumatkan
umpan tersebut. Sementara, mereka menghabiskan siang di dalam lubang mengambil
umpan. Lubang kecil itu cukup untuk dimasuki tubuhnya sendiri. Sehingga dinamai
lubang tikus.
Dua
penambang dari Lumpo ini mengaku baru empat hari di sana, setelah turun minggu
lalu. Mereka biasanya menetap di Gunung Harun selama dua minggu, kemudian turun
menjual emas yang didapat. Berkumpul sejenak dengan keluarga, lalu naik lagi
untuk dua minggu berikutnya.
“Sudah
hampir lima tahun belakangan kami menambang lagi di sini, sejak ditutup tahun
1995 lalu. Pekerjaan ini sudah mendarah daging bagi kami dan tidak mungkin
ditinggalkan. Kalau pun akan ditinggalkan, kami tidak memiliki lahan pertanian
yang bisa digarap. Pekerjaan ini satu-satunya jalan untuk mengisi periuk nasi
di rumah,” tutur lelaki beranak empat itu.
Hal senada
juga diungkapkan Amir. Baginya, pekerjaan ini seakan sudah menjadi jalan hidup
yang harus dilalui. Ia pun mengaku tidak memiliki lahan pertanian di kampung.
“Makanya saya tidak berpikir pekerjaan lain lagi. Tapi sampai kapan saya juga
tidak tahu,” tuturnya sambil meyakini, akan selalu ada rezeki dari Allah.
Puluhan,
bahkan ratusan penambang yang dulu ramai ke Gunung Harun, menurut Syahrial,
banyak yang berladang di kampung masing-masing. Bahkan ada yang berdagang, atau
mencari pekerjaan lain.
“Setelah
tambang ditutup, apakah mereka banyak yang kaya? Karena setidaknya punya agak
sedikit tabungan dari menjual emas yang katanya dulu itu cenderung lebih
banyak,” tanya saya kepada Syahrial dan Amir. Di luar dugaan, jawab mereka
menggeleng.
“Uang emas
ini panas,” kata Syahrial, diangguki Amir. Ia menjelaskan, ketika itu, mungkin
saking mudahnya mendapatkan emas, banyak juga foya-foya. Bahkan, terbelanjakan
ke hal tak penting, sehingga ketika tambang ditutup, baru menyadari, tak ada
uang atau emas tersisa dari kerja naik-turun Gunung Harun.
Seketika,
terlihat raut agak sedih kedua penambang ini. Mereka sesungguhnya, ingin punya
pekerjaan lain. Berada di puncak Gunung Harun, berdua, kadang hingga belasan
hari, adalah hal yang membosankan sebenarnya. Berhari-hari, hanya berdua,
kadang terasa mencekam. Sepi tak terkatakan. Terkenang keluarga, diredam.
“Kadang
satu topik cerita, bisa lima kali kami ulang-ulang dalam obrolan,” kata Amir.
Syahrial menarik napas berat. Kata mereka, jika ada orang asing datang ke
bedeng mereka, untuk suatu keperluan, mungkin saja penelitian, mereka mengaku
merasa bahagia. Kebahagiaan itu ternyata sederhana saja. Kedatangan orang baru,
atau orang asing ke puncak Gunung Harun, dan singgah ke bedeng mereka adalah
pertanda ada cerita baru. Mereka merasa senang dan terhibur. Ketika orang itu
pergi, kembali mereka berdua di puncak bukit yang lengang itu mengguguh asa.
Kembali, ya kembali, hanya ada Syahrial di pandangan Amir, begitu juga
sebaliknya: Hanya Amir di pandangan Syahrial. Kala malam datang, lengang itu
terasa oleh mereka. Sampai ke ulu hati. “Taka da pekerjaan lain, selain mencari
emas di sini,” tukas Amir, seakan ia memastikan, sebagai penambang terakhir.
Sebelum
menambang di Gunung Harun, Amir pernah bekerja menambang emas di Rejang Lebong,
sebuah daerah tambang emas di Curup, Bengkulu. Sedangkan Syahrial pernah
bekerja di sebuah tambang emas di Bogor. Mereka datang ke Gunung Harun ini pada
tahun 1990-an, saat tambang itu masih ramai. Pada saat itu, ia juga
sempat merasakan kejayaan panen emas. Bahkan, mereka pernah berhasil
mengumpulkan 2,5 ons emas atau seperempat kilogram emas dalam siklus kerja dua
mingguan itu. Hal tersebut sangat tidak sebanding dengan kondisi sekarang.
“Kalau
sekarang, rata-rata kami hanya bisa dapat dua emas dari penambangan selama dua
minggu itu. Kalau harganya, tergantung kadar emas, semakin tinggi kadar emasnya
maka tinggi pula harganya,” kata Syahrial.
Emas-emas
yang mereka dapatkan itu biasanya di jual ke toko-toko emas di Painan atau ada
juga dijual ke Padang. Jika harga emas di pasaran sekarang berkisar Rp1 juta
per mas, maka mereka hanya mendapat hasil Rp2 juta dalam dua minggu.
Masing-masingnya akan menerima Rp1 juta. Jumlah tersebut, aku mereka tidak
cukup sebenarnya, tapi bagaimana pun itu harus dijalani. Karena tidak ada
pilihan lain bagi mereka.
Selain
persoalan mengisi pundi-pundi yang semakin susah. Di Gunung Harun, para
penambang juga harus mempertaruhkan nyawanya. Sebab, bukan tidak mungkin
lubang-lubang yang digali itu menimbun tubuh mereka sendiri karena tiba-tiba
longsor. Atau penyakit asma, paru-paru basah, dan TBC yang bisa saja
menggerogoti. Karena semakin dalam lubang itu, oksigen semakin menipis. Belum
lagi risiko-risiko lain, di luar perkiraan.
Namun,
tidak menyurutkan niat para penambang ini untuk terus mengorek lambung
bukit-bukit yang ditaksir memiliki kandungan emas itu. Begitu juga dengan
Syahrial dan Amir. Mereka pun memiliki pengalaman menyabung nyawa di lubang
tambang itu. Bahkan, Syahrial, sebelum bukit tersebut longsor, sedang berada
dalam lubang bersama beberapa temannya.
“Untung
saja kami cepat lari keluar. Kalau tidak, kita tidak akan bertemu sekarang,”
tuturnya.
Diungkapkannya,
selain firasat, para penambang juga meyakini tanda-tanda akan terjadi longsor
kalau sedang berada dalam lubang. Biasanya, tanda-tanda itu, berupa batu kecil
yang jatuh dari langit-langit lubang menimpa bahu atau badan penambang.
“Pertama
jatuh ukurannya kecil, sebagai peringatan. Jika tidak diindahkan, maka akan
jatuh yang agak besar. Nah, kali ketiga, tidak juga keluar, akan jatuh
bongkahan yang lebih besar. Kalau sudah begitu terbang hamburlah keluar lagi.
Jika tidak ingin mati tertimbun lubang,” ungkapnya.
Di lain
waktu, Syahrial juga pernah mengalami peristiwa naas. Ketika sedang berada di
lubang, bedengnya terbakar. Ia dan kawan sebedeng tak sempat menyelamatkan
pakaian dan bekalnya. Sehingga, terpaksa mereka turun dengan baju yang lekat di
badannya saja. Sedangkan emas yang diharap belum dapat.
“Pekerjaan
ini seperti bertaruh atau berjudi. Kalau menang dapat banyak, kalah dapat
sedikit atau tidak dapat apa-apa sama sekali,” kata Syahrial berfilosofi.
Saya
menatap wajah Syahrial agak lama. Ya. Tentu, setidaknya sekitar ratusan tahun
silam, orang-orang dari berbagai bangsa dan Negara, juga bertaruh nasib di
sini. Dalam pertaruhan, jelas ada yang untung, ada yang rugi atau menjadi
korban permainan, yang kadang tidak fair.
Pertaruhan
itu tidak hanya bagi Syahrial dan Amir. Sekitar 400 tahun lalu, orang-orang
dari berbagai Negara juga bertaruh di sini. Sejak eksploitasi pertama oleh VOC
(kongsi dagang Belanda) di bawah kuasa commandeur Jacob Joriszoon Pit tahun
1669, tambang Salido telah didatangi para penambang yang demam kilau emas.
Pemerintah Belanda tidak hanya mengirim para buruh ke sana tapi juga didampingi
ahli tambang. Sebut saja, Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang
berasal dari Hongaria. Kemudian, Elias Hesse dan ahli bebatuan gunung Benjamin
Olitzsch. Serta, Arthur Clay.
Rekomendasi
para ahli tambang inilah yang membuat demam emas Salido semakin menjadi. Tak
tanggung-tanggung, Pemerintah Belanda mengongkosi penambangan ini meski kerap
gagal atau ditutup sementara, lalu dibuka lagi. Para buruh pun terus ditambah
setiap tambang dibuka kembali. Buruh-buruh ini dikirim dari Madagaskar dan
tawanan perang dari daerah sekitarnya, termasuk juga dari Nias.
Suryadi,
peneliti dan dosen Universitas Leiden, Belanda, mengungkapkan kehidupan di
Gunung Harun ini, di tempat saya berada bersama dua penambang, dulunya sangat
jelek. Banyak kematian buruh karena mabuk minuman keras. Awal eksplorasi ada 49
orang Eropa yang bekerja di tambang itu dengan gaji hanya f 12 (12 gulden)
sebulan, dan 104 orang budak lelaki serta 28 budak perempuan tanpa gaji. Namun
penambangan tetap dilanjutkan.
Bahkan
tenaga yang didatangkan itu, baik yang ahli dan mengaku ahli, maupun buruh,
banyak yang mati. Berdasarkan catatan Suryadi, tahun 1679 pernah dikirim
dari Amsterdam 59 orang ahli tambang. Kemudian ditambah lagi Mei 1680 sebanyak
28 ahli tambang dikirim hanya tinggal 3 orang yang hidup selebihnya mati.
Bahkan dari
catatan Daghregister Castael Batavia, Juli 1981 dikirim buruh sebanyak 236
orang dari Batavia, setelah 6 bulan kemudian yang sampai di Padang hanya 140
orang, selebihnya mati di perjalanan. Dilaporkan juga dalam buku Gold-Bewerke
in Sumatra (1931) antara 9 November 1680 hingga 16 Juni 1681 sebanyak 32 dari
262 buruh di tambang Salido meninggal.
Catatan
kematian tersebut sangat tidak sebanding dengan jumlah emas yang mereka
keluarkan. Berdasarkan studi R.J. Verbeek yang menulis beberapa buku tentang
Tambang Salido, antara tahun 1669-1735 sudah 800 ton bijih emas yang dihasilkan
tambang Salido, dengan nilai f 1.200.000 (1.200.000 gulden) atau rata-rata f
1.500 per ton (1.500 gulden per ton). Hingga benar-benar ditutup tahun 1928,
catatan kematian itu terus bertambah. Sementara hasilnya tetap dilaporkan
merugi.
Memang, ribuan
tahun lalu hingga sekarang, hasrat untuk mendapatkan penghasilan dari menambang
emas ini telah mendorong manusia melakukan hal-hal ekstrim, bahkan perang dan
penaklukan. Sebenarnya, emas bukan kebutuhan yang penting bagi manusia. Tapi
sifatnya sebagai logam mulia, membuat emas menjadi salah satu komoditi yang
diidamkan hampir setiap orang di dunia. Kilaunya seakan tak lekang oleh
perputaran zaman. Di sanalah harapan penambang emas itu ikut tertumpang.
Menjelang
siang, saya menjabat tangan Syahrial dan Amir. Kami hendak turun. Pak
Ayat pun tersenyum. Kemudian kami bergerak, sambil sesekali menoleh dimana
Syahrial dan Amir mesti berhari-hari lagi di Gunung Harun, untuk sekadar emas,
demi menyambung hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar