Minggu, 09 Maret 2014

Beragam Makna di Balik Isu Gempa dan Tsunami



OLEH Hary Efendi Iskandar
Pemerhati Sosial-Politik
Dampak gempa di Sumbar 30 September 2009
Beberapa hari belakangan ini—Kota Padang khususnya, Sumatra Barat umumnya—pembicaraan orang-orang tidak beranjak seputar isu gempa dan tsunami yang akan terjadi dalam waktu dekat. Akibat isu liar ini, kota-kota yang berada di pesisir pantai Sumatra Barat, lengang. Warganya eksodus mencari tempat sanak saudara yang tinggal di darek.
Pada awal 2005 isu serupa juga terjadi. Seminggu setelah peristiwa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias. Saya merasakan betul betapa luar biasanya pengaruh sebuah Isu. Isu yang beredar secara massif lewat SMS membuat banyak orang kehilangan akal sehatnya.

Seorang ibu tergopoh-gopoh di jalanan sambil mengendong bayinya yang masih berumur belasan hari; ada satu keluarga mengungsi membawa serta ternak sapinya; ada warga pergi meninggalkan rumahnya dengan memakai pakaian seadanya sehingga kurang enak di pandang mata, dan banyak lagi kejadian-kejadian lain yang mengambarkan betapa orang tidak lagi menggunakan akal sehatnya.
Malam itu jalan raya di Kota Padang sangat sesak dan macet oleh mobil dan kendaraan bermotor. Mereka sama-sama menuju daerah dan lokasi yang aman dari gempuran tsunami. Mereka saling berebutan di jalan raya sehingga korban pun tidak dapat dihindarkan.
Menyaksikan orang-orang dari kelas berada dan berpendidikan relatif lebih baik mengungsi, membuat saya prihatin dan sekaligus maklum. Ternyata dalam saat-saat tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan lingkungan sosiologisnya membuat orang kehilangan akal sehatnya. Beberapa waktu lalu, peristiwa seperti ini kembali terjadi dan mengusik perhatian kita semua.
Kredibitas Pemerintah Buruk
Terkait soal isu gempa dan tsunami menurut hemat saya mengandung beragam makna yang menarik untuk direnungkan. Pertama, secara politis isu gempa dan tsunami mempertontonkan kepada kita semua betapa rendahnya kepercayaan (trust) rakyat terhadap pemerintah.
Kedua, dampak isu. Isu gempa dan tsunami barangkali sesuatu yang sengaja atau tidak dimunculkan oleh pihak-pihak yang tidak diketahui secara pasti dari mana asalnya dan motifnya. Namun ada kalanya isu ini baik langsung maupun tidak langsung menguntungkan pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkannya, entah itu oleh kelompok kriminal, pelaku ekonomi, ataupun elite penguasa. Tentu bukan bermaksud untuk menuduh salah satunya, akan tetapi itulah yang berkembang liar di tengah masyarakat di saat atau setelah isu gempa dan tsunami itu beredar. Berkembangnya beberapa anggapan itu memiliki korelasi yang kuat  dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, dan ada pula yang hanya sebatas gosip yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Beberapa waktu lalu, ketika masyarakat mengungsi meninggalkan rumahnya akibat isu itu, tersirat kabar baik yang melalui informasi media cetak ataupun yang berkembang dalam masyarakat, dimana munculnya beberapa kasus perampokan. Di Kampung saya di Pariaman, misalnya, ada warga yang kehilangan barang berupa TV, VCD, dan seterusnya. Di beberapa kelurahan di Padang juga mengalami hal yang sama.
Yang menarik lagi adalah ketika isu gempa ini dikaitkan dengan motif ekonomi. Isu gempa dan tsunami menyebabkan orang yang selama ini tinggal di dekat bibir pantai banyak yang menjual tanah dan rumahnya. Kebanyakan mereka menjual dengan harga relatif murah dan di luar harga normal. Kasus ini saya temukan di beberapa lokasi di Padang seperti di Purus, Air Tawar, Tabing dan Perumahan Singgalang.
Pada umumnya, yang membeli itu adalah pelaku usaha. Rumah ataupun tanah yang dibeli kecenderungan akan dipergunakan untuk pusat dan aktivitas ekonomi dan bukan untuk tempat tinggal mereka. Selain itu yang lebih menawan lagi adalah berkembangnya secala luar biasa perumahan-perumahan di kawasan “baru” di Kota Padang yang dianggap aman dari tsunami. Saya menyaksikan bagaimana cepatnya perkembangan lokasi-lokasi peruman baru di Lubuk Minturun, Koto Tangah, Pauh, Belimbing (Kuranji), ataupun beberapa lokasi di Lubuk Kilangan.
Di beberapa lokasi yang saya sebutkan itu peninggakatan harga rumah ataupun tanah terjadi 100-500%. Dengan demikian, bahwa isu tsunami baik langsung maupun tidak langsung sesungguhnya menguntungkan pihak pemilik modal dan menyesengsarakan rakyat yang berjuang untuk bertahan hidup. Berkembangnya perumahan-perumahan baru ini tentu memiliki hubungan yang erat dengan tingginya permintaan.
Memanfaatkan Isu
Dari aspek politis, isu ini juga amat strategis dikelola oleh pihak penguasa yang ingin memanfaatkannya. Hal itu telah diperankan dan dibuktikan oleh Walikota Padang Fauzi Bahar. Dengan latar belakang seorang militer yang berasal dari Korp Marinir, Fauzi Bahar Bahar dengan sangat baik mengambil posisi tepat ketika terjadinya keresahan warga Kota Padang akibat isu gempa dan tsunami. Kecepatan dan ketepatan posisinya dalam mengkonter isu ini memberi kenyamanan tersendiri bagi warga Kota Padang.
Di saat itu kita benar-benar merasakan bahwa kita memang memiliki pemerintah dan pemimpin. Hal ini pula kemudian yang mendongkrak popularitasnya sehingga ia terpilih kembali menjadi Walikota Padang untuk kedua kalinya (2007-2013). Bukan hanya sebatas itu, bahkan isu ini kabarnya juga membantu Fauzi Bahar dalam memuluskan kerja-kerjanya khususnya  dalam penyelesaian ganti rugi tanah warga yang diperuntukkan untuk kepentingan umum yang biasanya relatif rumit diselesaikan. 
Selain itu isu gempa dan tsunami yang sangat meresahkan warga juga dapat diterjemahkan dari aspek habblumminallah (ttransendent). Jika isu ini selalu direspons dengan kegalauan, kegelisahan dan tingkah kolektif yang senantiasa was-was dengan ancaman gempa dan tsunami, tanpa dibarengi oleh semangat dan usaha yang serius memperbaiki hubungan dengan Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka hal itu menandakan bahwa semakin “dangkalnya” esensi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan manusia.
Saya tidak ingin berpanjang lebar menjelaskan tentang isu gempa dan tsunami ataupun gempa dan tsunami sungguhan seperti yang terjadi di Aceh (2004) dan Mentawai (2010) dipandang dari perspektif keagaman, karena saya bukanlah seorang buya, kiyai ataupun ustad. Sebuah kesadaran kolektif yang mendorong kita untuk memiliki keterampilan yang memadai untuk menghadapi dan menyelamatkan diri jika musibah dan cobaan Tuhan itu datang.
Ini adalah bagian dari kewajiban kita sebagai hamba Tuhan, yaitu harus berusaha (ikhtiar) secara sungguh-sungguh (berjihad) dan dibarengi oleh sikap berserah diri (tawaqal) kepada-Nya. Jika pun kita tetap akhirnya tetap menjadi korbannya, maka itulah suratan takdir hidup yang tidak perlu diratapi sepanjang masa oleh anak cucu kita. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...