OLEH Hary Efendi Iskandar
Pemerhati Sosial-Politik
Dampak gempa di Sumbar 30 September 2009 |
Beberapa hari belakangan ini—Kota Padang khususnya, Sumatra Barat umumnya—pembicaraan
orang-orang tidak beranjak seputar isu gempa dan tsunami yang akan terjadi
dalam waktu dekat. Akibat isu liar ini, kota-kota yang berada di pesisir pantai
Sumatra Barat, lengang. Warganya eksodus mencari tempat sanak saudara yang
tinggal di darek.
Pada awal 2005 isu serupa juga terjadi. Seminggu setelah peristiwa gempa
dan tsunami pada 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias. Saya merasakan betul betapa
luar biasanya pengaruh sebuah Isu. Isu yang beredar secara massif lewat SMS
membuat banyak orang kehilangan akal sehatnya.
Seorang ibu tergopoh-gopoh di jalanan sambil mengendong bayinya yang masih
berumur belasan hari; ada satu keluarga mengungsi membawa serta ternak sapinya;
ada warga pergi meninggalkan rumahnya dengan memakai pakaian seadanya sehingga
kurang enak di pandang mata, dan banyak lagi kejadian-kejadian lain yang
mengambarkan betapa orang tidak lagi menggunakan akal sehatnya.
Malam itu jalan raya di Kota Padang sangat sesak dan macet oleh mobil dan kendaraan
bermotor. Mereka sama-sama menuju daerah dan lokasi yang aman dari gempuran
tsunami. Mereka saling berebutan di jalan raya sehingga korban pun tidak dapat
dihindarkan.
Menyaksikan orang-orang dari kelas berada dan berpendidikan relatif lebih baik
mengungsi, membuat saya prihatin dan sekaligus maklum. Ternyata dalam saat-saat
tertentu, terutama ketika berada di bawah tekanan lingkungan sosiologisnya
membuat orang kehilangan akal sehatnya. Beberapa waktu lalu, peristiwa seperti ini
kembali terjadi dan mengusik perhatian kita semua.
Kredibitas Pemerintah Buruk
Terkait soal isu gempa dan tsunami menurut hemat saya mengandung beragam
makna yang menarik untuk direnungkan.
Pertama, secara politis isu gempa
dan tsunami mempertontonkan kepada kita semua betapa rendahnya kepercayaan (trust) rakyat terhadap pemerintah.
Kedua, dampak isu. Isu gempa dan tsunami
barangkali sesuatu yang sengaja atau tidak dimunculkan oleh pihak-pihak yang
tidak diketahui secara pasti dari mana asalnya dan motifnya. Namun ada kalanya
isu ini baik langsung maupun tidak langsung menguntungkan pihak-pihak tertentu
yang ingin memanfaatkannya, entah itu oleh kelompok kriminal, pelaku ekonomi,
ataupun elite penguasa. Tentu bukan bermaksud untuk menuduh salah satunya, akan
tetapi itulah yang berkembang liar di tengah masyarakat di saat atau setelah isu
gempa dan tsunami itu beredar. Berkembangnya beberapa anggapan itu memiliki
korelasi yang kuat dengan kenyataan yang
terjadi di masyarakat, dan ada pula yang hanya sebatas gosip yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Beberapa waktu lalu, ketika masyarakat mengungsi meninggalkan rumahnya
akibat isu itu, tersirat kabar baik yang melalui informasi media cetak ataupun
yang berkembang dalam masyarakat, dimana munculnya beberapa kasus perampokan.
Di Kampung saya di Pariaman, misalnya, ada warga yang kehilangan barang berupa
TV, VCD, dan seterusnya. Di beberapa kelurahan di Padang juga mengalami hal
yang sama.
Yang menarik lagi adalah ketika isu gempa ini dikaitkan dengan motif
ekonomi. Isu gempa dan tsunami menyebabkan orang yang selama ini tinggal di
dekat bibir pantai banyak yang menjual tanah dan rumahnya. Kebanyakan mereka
menjual dengan harga relatif murah dan di luar harga normal. Kasus ini saya
temukan di beberapa lokasi di Padang seperti di Purus, Air Tawar, Tabing dan
Perumahan Singgalang.
Pada umumnya, yang membeli itu adalah pelaku usaha. Rumah ataupun tanah
yang dibeli kecenderungan akan dipergunakan untuk pusat dan aktivitas ekonomi
dan bukan untuk tempat tinggal mereka. Selain itu yang lebih menawan lagi
adalah berkembangnya secala luar biasa perumahan-perumahan di kawasan “baru” di
Kota Padang yang dianggap aman dari tsunami. Saya menyaksikan bagaimana
cepatnya perkembangan lokasi-lokasi peruman baru di Lubuk Minturun, Koto
Tangah, Pauh, Belimbing (Kuranji), ataupun beberapa lokasi di Lubuk Kilangan.
Di beberapa lokasi yang saya sebutkan itu peninggakatan harga rumah
ataupun tanah terjadi 100-500%. Dengan demikian, bahwa isu tsunami baik
langsung maupun tidak langsung sesungguhnya menguntungkan pihak pemilik modal
dan menyesengsarakan rakyat yang berjuang untuk bertahan hidup. Berkembangnya
perumahan-perumahan baru ini tentu memiliki hubungan yang erat dengan tingginya
permintaan.
Memanfaatkan Isu
Dari aspek politis, isu ini juga amat strategis dikelola oleh pihak
penguasa yang ingin memanfaatkannya. Hal itu telah diperankan dan dibuktikan oleh
Walikota Padang Fauzi Bahar. Dengan latar belakang seorang militer yang berasal
dari Korp Marinir, Fauzi Bahar Bahar dengan sangat baik mengambil posisi tepat ketika
terjadinya keresahan warga Kota Padang akibat isu gempa dan tsunami. Kecepatan
dan ketepatan posisinya dalam mengkonter isu ini memberi kenyamanan tersendiri
bagi warga Kota Padang.
Di saat itu kita benar-benar merasakan bahwa kita memang memiliki
pemerintah dan pemimpin. Hal ini pula kemudian yang mendongkrak popularitasnya
sehingga ia terpilih kembali menjadi Walikota Padang untuk kedua kalinya
(2007-2013). Bukan hanya sebatas itu, bahkan isu ini kabarnya juga membantu
Fauzi Bahar dalam memuluskan kerja-kerjanya khususnya dalam penyelesaian ganti rugi tanah warga yang
diperuntukkan untuk kepentingan umum yang biasanya relatif rumit
diselesaikan.
Selain itu isu gempa dan tsunami yang sangat meresahkan warga juga dapat
diterjemahkan dari aspek habblumminallah
(ttransendent). Jika isu ini selalu direspons dengan kegalauan, kegelisahan
dan tingkah kolektif yang senantiasa was-was dengan ancaman gempa dan tsunami,
tanpa dibarengi oleh semangat dan usaha yang serius memperbaiki hubungan dengan
Tuhan Penguasa Alam Semesta, maka hal itu menandakan bahwa semakin “dangkalnya”
esensi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan manusia.
Saya tidak ingin berpanjang lebar menjelaskan tentang isu gempa dan
tsunami ataupun gempa dan tsunami sungguhan seperti yang terjadi di Aceh (2004)
dan Mentawai (2010) dipandang dari perspektif keagaman, karena saya bukanlah
seorang buya, kiyai ataupun ustad. Sebuah kesadaran kolektif yang mendorong
kita untuk memiliki keterampilan yang memadai untuk menghadapi dan
menyelamatkan diri jika musibah dan cobaan Tuhan itu datang.
Ini adalah bagian dari kewajiban kita sebagai hamba Tuhan, yaitu harus berusaha
(ikhtiar) secara sungguh-sungguh (berjihad) dan dibarengi oleh sikap
berserah diri (tawaqal) kepada-Nya.
Jika pun kita tetap akhirnya tetap menjadi korbannya, maka itulah suratan
takdir hidup yang tidak perlu diratapi sepanjang masa oleh anak cucu kita. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar