OLEH GUSRIYONO
Jurnalis
Darvies Rasjidin, pelukis, bersama karyanya |
“Selain keseimbangan alam, sikap gotong royong seperti
yang dicontohkan karanggo ini juga hampir menipis di zaman sekarang. Perilaku
itu muncul hanya saat-saat tertentu saja, seperti ketika terjadi bencana saja.
Selebihnya, orang-orang lebih memilih hidup secara individual,” ungkap pelukis
yang akrab disapa Mak Darvies ini.
Karanggo sebagai simbol yang memiliki spirit dan
filosofi terkait perilaku gotong royong diamati saban hari oleh Mak Darvies. Di
rumahnya, di Yogyakarta, ia sengaja memelihara karanggo di sebatang pohon. Dari
sanalah ia belajar filosofi gotong royong para semut itu, yang kemudian menjadi
inspirasi dalam lukisannya. Lihat saja lukisan series daun, yang terdiri dari
beberapa lukisan, yang mengeksplorasi kerja karanggo.
“Saya mengamati bagaimana mereka membangun rumah.
Kemudian saya tuangkan dalam beberapa lukisan di series daun itu. Dalam
kehidupan nyata, saya melihat perwujudannya saat terjadi gempa di Yogyakarta,
mungkin juga di Sumbar, dimana orang datang dari mana saja membantu membangun
rumah warga yang runtuh dengan semangat gotong royong, tanpa pamrih.
Jadi secara filosofis, bagaimana kita melihat spirit
dari kebersamaan itu dalam membangun tatanan kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa,” ungkap pelukis yang menetap di Yogyakarta sejak 1998 ini.
Selain karanggo dan daun, kuas juga jadi pengamatan
suami Sarpini ini. Dalam pikirannya, mengapa kuas habis dipakai dibuang atau
dibiarkan saja. Bukankah sebelumnya ia memiliki peran penting dalam kehidupan
seorang pelukis.
“Bagi saya, kuas sangat berarti. Makanya saya kumpulkan
kuas-kuas yang telah dipakai itu. Selain itu, lelehan warna pada kuas-kuas
bekas itu juga sangat menarik bagi saya,” ujar ayah Adli Rafif ini.
Dari Retak-retak ke Berseri
Proses kreatif laki-laki kelahiran Solok, 15 Oktober
1948, ini beranjak dari kegelisahan terhadap identitas kulturalnya—Minangkabau.
Pada perjalanan awalnya, ia melukis Minangkabau serupa artefak yang
retak-retak. Lukisan retak-retak itu muncul sebagai gagasan atas kondisi
Minangkabau yang bergerak dalam ketegangan eksotisme dan kerapuhan. Nasib yang
terus mengerayangi budaya tradisi di mana pun. Beberapa lukisannya pada periode
retak-retak ini, Minangku (1987), Selawat Dulang (1990), Menanti Giliran (1997),
serta Mimpi Gumarang dan Binuang (1998).
Di tengah perjalanan berkaryanya, lulusan SSRI Padang
(sekarang SMK 4 Padang) dan STSRI ASRI Yogyakarta (sekarang ISI Yogyakarta) ini
beralih ke lukisan berseri dan meninggalkan retak-retak. Maka lahirlah karya-karya
seperti, seri daun yang terdiri dari beberapa lukisan yang berhubungan dengan
daun, seri batu, yang terdiri dari 10 lukisan, serta seri kuas dengan judul
Paint Brush I, Paint Brush II, Paint Brush III, dan lain-lain.
Khusus untuk seri batu, cerita anak Bumi Teater
pimpinan Almarhum Wisran Hadi ini, tidak diketahui nasibnya sekarang. Sebab, 10
lukisan itu dikirimnya ke Jakarta atas permintaan seorang teman untuk mengikuti
pameran. Dalam waktu bersamaan, lukisan itu juga diminta oleh seorang kolektor
dengan harga Rp10 juta perlukisan. Namun, karena menghargai teman yang akan
membawanya pameran itu, ia batalkan permintaan kolektor itu, dan dikirimnya 10
lukisan itu ke Jakarta. Untuk ongkos kirim dan biaya lainnya, ia dikirimi Rp25
juta oleh temannya itu.
“Setelah itu, tidak ada lagi kejelasannya. Kalau
dibandingkan dengan harga kolektor itu, berarti ada Rp75 juta hasil lukisan
saya yang tidak jelas keberadaannya sampai sekarang. Sementara lukisan itu
tidak kembali sampai sekarang,” ungkapnya.
Penikmat Lebih Banyak dari Kolektor
Sejak era booming lukisan kontemporer Indonesia tahun
2000-an, pelukis-pelukis muda Indonesia menjadi incaran kolektor Asia. Dalam
gairah tersebut, respon para segala pihak, pelukis, kritikus, kolektor, meledak
dalam pasar yang atraktif. Namun, di sisi lain, akibat lemahnya infrastruktur
dan suprastruktur seni di Indonesia, booming itu sekaligus menjadi boomerang
tersendiri.
Dalam suasana tak menentu itu, pasar cenderung
menggeliat liar, tanpa standar harga, tanpa sokongan wacana. Harga karya-karya
seni bisa melambung begitu saja di ajang lelang meski senimannya tidak dikenal
punya proses kreatif dan reputasi meyakinkan.
“Lukisan seberapa pun harganya tetap di lepas ke pasar
lelang oleh spekulan. Lelang pun tidak terkontrol lagi. Biasanya, lukisan masuk
pasar lelang bila telah berumur 5 tahun lebih. Tapi saat booming, masih
angek-angek sudah dilepas,” ungkap Mak Darvis.
Akibatnya, kata Mak Darvies, fenomena ini banyak
melahirkan penikmat lukisan, ketimbang kolektor. Sebab, orang yang benar-benar
kolektor akan berhati-hati dalam menyeleksi lukisan-lukisan dari para spekulan
dan pasar lelang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar