OLEH Gusriyono
Jurnalis
Angga Djamar |
Tidak banyak perempuan yang berani mengabdikan diri dan bertahan
menjadi penari. Angga Djamar salah seorang dari perempuan yang sedikit itu.
Kerja keras dan proses yang terus menerus menjadi kunci utama suksesnya.
”Menari adalah hidupku,” kata Angga tegas. Dia baru saja selesai
latihan, bersama penari Nan Jombang lainnya; Rio, Intan, Geby, dan Ririn. Kami
bertemu di rumahnya di Belimbing, Padang, tempat latihan sekaligus tempat
tinggal keluarga besar Nan Jombang Dance Company yang dinakhodai Ery Mefri,
koreografer.
“Sejak gempa September 2009 lalu, kami latihan di sini. Sebelumnya di
Taman Budaya Sumbar. Mudahan-mudahan tidak lama lagi, “ladang tari” Nan Jombang
di Balaibaru sudah bisa dipakai untuk latihan,” tuturnya, memberi kabar tentang
tempat latihan dan pertunjukan seni yang sedang dibangunnya. Barangkali, Angga
sedikit dari perempuan yang bersikukuh memilih jalan hidup sebagai penari.
Baginya, apapun pilihan hidup, kemauan dan kerja keras adalah prinsip yang
harus dipegang kuat, untuk mencapai apa yang dipilih dan dicita-citakan itu.
“Berproses itu penting. Sebab, kualitas karya ditentukan oleh proses.
Dan, kualitas menjadi perhitungan dasar bagi orang untuk membawa kita pada iven
atau pertunjukan yang lebih besar,” ungkap perempuan kelahiran Padang, 27 Juni
1977 ini.
Mungkin, proses yang sungguh-sungguh itu menurutnya yang kurang
dihayati dan dimiliki oleh penari-penari lain di Sumbar. Dalam penilaiannya,
perkembangan seni tari di Sumbar cukup bagus. Bahkan, Sumbar termasuk yang
diperhitungkan dalam pentas tari nasional dan internasional. Hanya saja,
kebanyakan penari Sumbar berproses kalau ada iven atau proyek pertunjukan.
“Sangat jarang saya lihat, mereka berproses secara terus-menerus. Di
Nan Jombang, inilah yang terus dijaga. Latihan dan latihan, meski tidak ada
iven sekali pun. Sehingga, kalau hari ini Nan Jombang bisa go international,
itu pun sebagai bagian dari proses itu,” kata anak perempuan pasangan Djamar
(alm) dan Nuryanis itu.
Tentang proses yang dijalaninya, Angga belajar menari dengan Ery Mefri
sejak tahun 1992, saat dia masih duduk dibangku kelas II SMP. Ketika itu ia
sering melihat kakaknya, Zus, yang juga salah satu pendiri Nan Jombang, latihan
tari di Taman Budaya Sumbar. Ketertarikannya muncul karena tari yang dilihatnya itu tidak seperti tari yang
dalam bayangannya selama ini, seperti tari piring, tari pasambahan dan
sebagainya. Karena tari kontemporer hadir dengan teaterikal yang kuat serta
peran dan misi yang jelas. Dari bentuk dan gerak yang beda itu, ia tertarik ikut
latihan.
“Apalagi ketika itu kakak saya sedang fokus kuliah dan memutuskan
berhenti menari. Jadilah saya penggantinya,” ucap Angga, yang pertama pentas
bersama Nan Jombang dalam tari berjudul Hutan Warisan koreorgrafi Ery Mefri, di
Teater Kecil TIM, Jakarta, November 1993.
Pilihan menekuni dunia tari ini bukan perjalanan yang mulus dari awal
baginya. Polemik tentang pilihan-pilihan yang ditawarkan keluarganya menjadi
persoalan yang mesti dijawabnya dengan tegas. Mulai SMA ia sudah diwanti-wanti
oleh orang tuanya dengan pilihan antara menari atau sekolah. Tamat SMA pun
demikian, ia disuruh ke Jakarta oleh orangtuanya untuk kuliah dan bekerja di
sana. Muncul lagi polemik yang sama dalam dirinya; memilih menjadi penari atau
menekuni profesi yang lain.
“Akhirnya saya memutuskan untuk tetap menari. Saya akan buktikan bahwa
dengan menari saya bisa mencapai apa yang dicita-citakan. Ini pilihan sadar,
tanpa tekanan apa pun. Da Ery pun menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada saya
waktu itu,” kata penari yang membuktikan pilihan itu dengan pentas pertama kali
di luar negeri dalam Queensland Music Festival di Brisbane Powerhouse
Australia, 20–31 Juli 2005.
Memilih menjadi penari, menurutnya, bukan berarti tidak kuliah. Dia
menamatkan pendidikan strata satu di sebuah universitas swasta di kota Padang,
pada Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi. Ilmu yang diperolehnya dibangku
kuliah itu pun bukan sesuatu yang sia-sia karena tidak ada kaitan sama sekali
dengan tari. Justru dengan ilmu tersebut dia merasa termudahkan memenej Nan
Jombang Dance Company.
Di samping itu, di Nan Jombang, katanya, Ery Mefri tidak hanya
mengajarkan tari. Tetapi juga filosofi hidup dan cara bersikap. Pengajaran
tersebut, juga membentuk karakter Angga dalam melakoni hidup sebagai penari.
Sementara itu, dalam pandangan Ery Mefri, yang berbeda dari Angga
ketekunannya berproses dan keteguhannya bersikap memilih menari sebagai
profesi. Bahkan, di saat para penari berburu menjadi koreografer setelah
beberapa kali tampil. Angga malah tetap memilih menjadi penari saja, meski
sudah diberi kesempatan.
“Angga berangkat dari nol, atau kosong. Kemudian diisi melalui proses
yang panjang. Saya melihat semangat dan totalitas berkarya pada dirinya. Semoga
ini juga menjadi motivasi bagi perempuan lain,” tukasnya. Dalam pengalamannya, dia mencoba sebagai
koreografer pada Temu Koreografer Wanita, 10-12 September 2000, di Solo, dengan
karya The Hope becomes a Dream. Itu pun atas permintaan koreografer Sardono.
Proses selanjutnya berkolaborasi dengan koreografer dan sutradara, Hiroshi
Koyke, dari Jepang dengan karya Garibaba’s Strange World pada April–Juni 2009.
Kemudian, dalam karir kepenariannya membawakan karya-karya Ery Mefri, Angga
telah mengunjungi 12 kota di 8 negara untuk iven-iven tingkat dunia. Tahun ini, 3 iven internasional pun telah
menanti, Festival Zuercher Theater Spectacle di Switzerland dengan tari Rantau
Berbisik pada 31 Agustus-2 September.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar