Senin, 24 Maret 2014

AMRIL MY DT GARANG:Berdakwah dengan Lukisan Kaligrafi Islam

OLEH Gusriyono
Amril MY Dt Garang
Bagi Amril MY Dt Garang, perpindahannya dari perupa/pematung ke pelukis kaligrafi adalah sebuah perjalanan spiritual. Ini adalah jawaban atas kegelisahan dan gejolak batinnya dalam memahami hidup bertuhan dan beragama. Kemudian, dengan kaligrafilah ia mendakwahkan Islam sebagai agama yang diyakininya.
Memasuki Galeri Seni Rupa Taman Budaya Sumbar pada bulan Ramadhan ini, serasa ada yang lain dari biasanya. Selain suasana spiritual Ramadhan, aura ruangan tersebut juga tidak seperti hari-hari lain.
Ada yang berubah dan mengubah suasananya menjadi lebih menyejukkan. Empat puluh delapan lukisan kaligrafi yang dipamerkan di galeri itu membawa makna dan suasana spiritual yang lain. Selama bulan Ramadhan ini, dipamerkan lukisan kaligrafi Islam bertajuk ”Yang Satu” karya dari kaligrafer Sumbar, Amril MY Dt Garang dan Amir Syarif.

Amril MY Dt Garang, salah seorang pelukis yang berpameran, mengungkapkan melukis kaligrafi merupakan bagian dari dakwah, karena dakwah tidak hanya berpidato, berceramah dan sebagainya. 
”Melukis biasa itu untuk umumnya hanya untuk keindahan dan apresiasi seni. Sementara melukis kaligrafi ada pesan lain yang ingin disampaikan. Inilah yang saya sebut dengan berdakwah dalam bentuk rupa.
Sebab, melalui kaligrafi tidak hanya menampilkan bentuk, tapi juga makna sekaligus nilai-nilai yang menjadi pesan,” ungkapnya usai pembukaan pameran kaligrafi akhir Juli lalu.
Sebelumnya, laki-laki kelahiran Tanahdatar, 24 April 1950, itu dikenal sebagai pematung. Ia telah membuat banyak patung dan monumen di Sumbar. Namun, di tengah perjalanan proses kreatifnya, ia mengaku seperti mendapat hidayah dengan berpindah ke seni lukis kaligrafi. Perpindahan itu saat ia mengalami gejolak batin tentang berdosa atau tidak, apa yang telah dikerjakan atau menjadi karyanya sebagai pematung.
”Saya tidak banyak belajar agama sebelumnya. Saya sekolah di sekolah umum, kemudian menjadi perupa, membuat monument. Sejak tahun 1984 sudah ada 21 monumen yang saya buat di Sumbar ini. Diantara monumen itu ada patung-patung. Banyak orang mengingatkan, termasuk anak dan guru saya, bahwa membuat monumen dan patung itu sama dengan membuat berhala.
Saya jadi bertanya-tanya, benarkah membuat patung itu membuat berhala, benarkah membuat patung berdosa. Padahal saya tidak membuat berhala. Kebetulan saya membuat monumen ada yang berupa manusia. Bathin saya tetap bergolak, iya atau tidak benarkah pandangan tersebut,” ceritanya.
Akhirnya, dengan pengembaraan spiritualnya itu, Amril Dt Garang memutuskan untuk berhenti mematung dan membuat monumen. Sebab, ia tidak mau terjebak hidup dalam keragu-raguan mengenai perkara berdosa atau tidak terhadap pekerjaannya tersebut. Setelah berhenti mematung menurutnya seolah menemukan jalan terang dalam menjalani hidup sesuai keyakinannya.
”Ketika berhenti membuat monumen dan patung itu, saya berdoa, kalau memang membuat monumen itu sama dengan membuat berhala dan berdosa, maka ampunilah saya. Dan, saya tidak akan mengulanginya. Kemudian, saya beralih ke kaligrafi Islam, sehingga menemukan ketenangan dan makna hidup. Saya menyebutnya pengalaman spiritual. Barangkali tidak banyak orang yang memilik pengalaman spiritual seperti itu,” ujarnya.
Jalan terang menuju bentuk dan makna ayat-ayat tuhan itu membawanya pada banyak pameran sebagai tempat untuk mendakwahkannya. Diantara pameran-pameran kaligrafi yang diikutinya, pameran kaligrafi MTQ Sumbar ke 17 di Solok tahun 1985, Festival Istiqlal di Jakarta tahun 1991, pameran kaligrafi di Padang tahun 1994, 2002, 2005, Festival Istiqlal 1995, pameran kaligrafi di Lubuk Sikaping, Pasaman, 2009, Festival Timur Tengah di UI 2010, pameran kaligrafi di Malaka, Malaysia, 2003, pameran kaligrafi di Kuala Lumpur, Malaysia, 2003, serta Islamabad dan Lahore tahun 2009.  
Terhadap perkembangan seni lukis kaligrafi di Indonesia dan Sumbar, ia menilai sangat pesat dan luar biasa. Namun, ungkapnya, kemajuan perkembangan seni kaligrafi itu barangkali baru sebatas mencari nilai-nilai keindahan. Sedangkan pada tahap berikutnya adalah mencari maknawinya.
“Sudah ada juga yang mulai memasuki pencarian makna tersebut. Kalau saya melihat ada yang lebih dari sekadar keindahan dari kaligrafi itu, yaitu pesan moral atau pesan kehidupannya. Maka bagi pelukis kaligrafi sebaiknya harus sampai ke sana, yaitu bentuk, makna, dan pesan moralnya itu,” tutur pengajar di jurusan Seni Rupa UNP ini.
Selain pertumbuhan pelukisnya, kaligrafi Islam juga berkembang seiring dengan bangunan beribadah seperti masjid dan mushalla, yang tidak hanya melihat kontruksinya saja, tapi sudah dilengkapi dengan hiasan interiornya, yaitu kaligrafi. Hal tersebut membutuhkan banyak pelukis-pelukis kaligrafi, sebab, hampir seluruh masjid membutuhkannya, dibutuhkan seniman-seniman kaligrafi.
”Bahkan, MTQ Nasional juga mendukung perkembangan kaligrafi Islam ini dengan menambahkan lomba melukis kaligrafi diantara cabang lombanya. Ini semakin membuka kesempatan pelukis kaligrafi untuk berkiprah,” katanya.

Begitulah, Amril MY Dt Garang bersyiar dengan ayat-ayat Tuhan dalam warna yang tenang dan menyejukkan. Seperti disebut seniman, Ady Rosa, dalam pengantar kuratorialnya untuk pameran kaligrafi selama Ramadhan ini, lukisan kaligrafi Amril MY Dt Garang didominasi warna-warna biru, memiliki fungsi mendamaikan dan menyejukkan. Serta memiliki kedalaman makna sebagai simbol Yang Satu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...