OLEH Gusriyono
Amril MY Dt Garang |
Bagi Amril MY Dt Garang, perpindahannya
dari perupa/pematung ke pelukis kaligrafi adalah sebuah perjalanan spiritual.
Ini adalah jawaban atas kegelisahan dan gejolak batinnya dalam memahami hidup
bertuhan dan beragama. Kemudian, dengan kaligrafilah ia mendakwahkan Islam
sebagai agama yang diyakininya.
Memasuki Galeri Seni Rupa Taman Budaya
Sumbar pada bulan Ramadhan ini, serasa ada yang lain dari biasanya. Selain
suasana spiritual Ramadhan, aura ruangan tersebut juga tidak seperti hari-hari
lain.
Ada yang berubah dan mengubah suasananya
menjadi lebih menyejukkan. Empat puluh delapan lukisan kaligrafi yang
dipamerkan di galeri itu membawa makna dan suasana spiritual yang lain. Selama
bulan Ramadhan ini, dipamerkan lukisan kaligrafi Islam bertajuk ”Yang Satu”
karya dari kaligrafer Sumbar, Amril MY Dt Garang dan Amir Syarif.
Amril MY Dt Garang, salah seorang pelukis
yang berpameran, mengungkapkan melukis kaligrafi merupakan bagian dari dakwah,
karena dakwah tidak hanya berpidato, berceramah dan sebagainya.
”Melukis biasa itu untuk umumnya hanya
untuk keindahan dan apresiasi seni. Sementara melukis kaligrafi ada pesan lain
yang ingin disampaikan. Inilah yang saya sebut dengan berdakwah dalam bentuk
rupa.
Sebab, melalui kaligrafi tidak hanya
menampilkan bentuk, tapi juga makna sekaligus nilai-nilai yang menjadi pesan,”
ungkapnya usai pembukaan pameran kaligrafi akhir Juli lalu.
Sebelumnya, laki-laki kelahiran
Tanahdatar, 24 April 1950, itu dikenal sebagai pematung. Ia telah membuat
banyak patung dan monumen di Sumbar. Namun, di tengah perjalanan proses
kreatifnya, ia mengaku seperti mendapat hidayah dengan berpindah ke seni lukis
kaligrafi. Perpindahan itu saat ia mengalami gejolak batin tentang berdosa atau
tidak, apa yang telah dikerjakan atau menjadi karyanya sebagai pematung.
”Saya tidak banyak belajar agama
sebelumnya. Saya sekolah di sekolah umum, kemudian menjadi perupa, membuat
monument. Sejak tahun 1984 sudah ada 21 monumen yang saya buat di Sumbar ini.
Diantara monumen itu ada patung-patung. Banyak orang mengingatkan, termasuk
anak dan guru saya, bahwa membuat monumen dan patung itu sama dengan membuat
berhala.
Saya jadi bertanya-tanya, benarkah
membuat patung itu membuat berhala, benarkah membuat patung berdosa. Padahal
saya tidak membuat berhala. Kebetulan saya membuat monumen ada yang berupa
manusia. Bathin saya tetap bergolak, iya atau tidak benarkah pandangan
tersebut,” ceritanya.
Akhirnya, dengan pengembaraan
spiritualnya itu, Amril Dt Garang memutuskan untuk berhenti mematung dan
membuat monumen. Sebab, ia tidak mau terjebak hidup dalam keragu-raguan
mengenai perkara berdosa atau tidak terhadap pekerjaannya tersebut. Setelah
berhenti mematung menurutnya seolah menemukan jalan terang dalam menjalani
hidup sesuai keyakinannya.
”Ketika berhenti membuat monumen dan
patung itu, saya berdoa, kalau memang membuat monumen itu sama dengan membuat
berhala dan berdosa, maka ampunilah saya. Dan, saya tidak akan mengulanginya.
Kemudian, saya beralih ke kaligrafi Islam, sehingga menemukan ketenangan dan
makna hidup. Saya menyebutnya pengalaman spiritual. Barangkali tidak banyak
orang yang memilik pengalaman spiritual seperti itu,” ujarnya.
Jalan terang menuju bentuk dan makna
ayat-ayat tuhan itu membawanya pada banyak pameran sebagai tempat untuk
mendakwahkannya. Diantara pameran-pameran kaligrafi yang diikutinya, pameran
kaligrafi MTQ Sumbar ke 17 di Solok tahun 1985, Festival Istiqlal di Jakarta
tahun 1991, pameran kaligrafi di Padang tahun 1994, 2002, 2005, Festival
Istiqlal 1995, pameran kaligrafi di Lubuk Sikaping, Pasaman, 2009, Festival
Timur Tengah di UI 2010, pameran kaligrafi di Malaka, Malaysia, 2003, pameran
kaligrafi di Kuala Lumpur, Malaysia, 2003, serta Islamabad dan Lahore tahun
2009.
Terhadap perkembangan seni lukis
kaligrafi di Indonesia dan Sumbar, ia menilai sangat pesat dan luar biasa.
Namun, ungkapnya, kemajuan perkembangan seni kaligrafi itu barangkali baru
sebatas mencari nilai-nilai keindahan. Sedangkan pada tahap berikutnya adalah
mencari maknawinya.
“Sudah ada juga yang mulai memasuki
pencarian makna tersebut. Kalau saya melihat ada yang lebih dari sekadar
keindahan dari kaligrafi itu, yaitu pesan moral atau pesan kehidupannya. Maka
bagi pelukis kaligrafi sebaiknya harus sampai ke sana, yaitu bentuk, makna, dan
pesan moralnya itu,” tutur pengajar di jurusan Seni Rupa UNP ini.
Selain pertumbuhan pelukisnya, kaligrafi
Islam juga berkembang seiring dengan bangunan beribadah seperti masjid dan
mushalla, yang tidak hanya melihat kontruksinya saja, tapi sudah dilengkapi
dengan hiasan interiornya, yaitu kaligrafi. Hal tersebut membutuhkan banyak
pelukis-pelukis kaligrafi, sebab, hampir seluruh masjid membutuhkannya,
dibutuhkan seniman-seniman kaligrafi.
”Bahkan, MTQ Nasional juga mendukung
perkembangan kaligrafi Islam ini dengan menambahkan lomba melukis kaligrafi
diantara cabang lombanya. Ini semakin membuka kesempatan pelukis kaligrafi
untuk berkiprah,” katanya.
Begitulah, Amril MY Dt Garang bersyiar
dengan ayat-ayat Tuhan dalam warna yang tenang dan menyejukkan. Seperti disebut
seniman, Ady Rosa, dalam pengantar kuratorialnya untuk pameran kaligrafi selama
Ramadhan ini, lukisan kaligrafi Amril MY Dt Garang didominasi warna-warna biru,
memiliki fungsi mendamaikan dan menyejukkan. Serta memiliki kedalaman makna
sebagai simbol Yang Satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar