OLEH
Gusriyono
Jusnalis
Surat Yasin den
gan media akrilik di atas
kanvas terbentang sepanjang 3 meter dan lebar 1,5 meter. Lukisan kaligrafi
Islam itu dikerjakan Amir Syarif dalam waktu sekitar 6 bulan. Selama Ramadhan
ini lukisan itu menjadi salah satu karya yang dipajang dalam pameran kaligrafi
”Yang Satu” di Taman Budaya Sumbar.
Amir Syarif |
”Yasin adalah ruh dari segala ayat dalam
Al Quran. Ia menjadi intisari Al Quran, ibarat jantung yang memompa darah ke
seluruh tubuh manusia,” katanya.
Amir Syarif, satu di antara sekian banyak
pelukis di Sumbar yang telah malang melintang dalam dunia seni rupa tersebut.
Jalan menjadi pelukis ini telah diteranginya sejak kecil. Bermula dari
kesukaannya melukis sketsa, kemudian memperdalam ilmu di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta hingga tamat
tahun 1962.
Perjalanan awal karyanya didominasi oleh
objek masyarakat adat dengan orang-orang yang masih memiliki budaya primitif.
Kemudian, ia melirik pemandangan dan budaya Minangkabau, serta
persoalan-persoalan sosial. Pada perjalanan selanjutnya, ia secara ajeg melukis
kaligrafi dengan nuansa Islam yang kental.
”Kitab suci Al Quran yang agung dan
kebenarannya mutlak memiliki nilai tinggi serta penuh keberkatan, sehingga
menjadikannya sangat mulia, sempurna dan menakjubkan. Hal inilah yang mendasari
konsep saya dalam melukis kaligrafi Islam,” tutur laki-laki kelahiran
Lubukalung, 24 Juni 1939 ini.
Kembali ke surau yang dicanangkan
pemerintah Sumbar memberi motivasi baginya untuk ikut melukis kaligrafi. Sebab,
salah satu elemen penting dalam pendidikan surau itu adalah membaca dan menulis
Al Quran. Dalam hal menulis ayat-ayat tuhan tersebut tentunya dibutuhkan
pengetahuan dan ketelatenan berkarya. Di sinilah ia bermain dengan gradasi
warna-warna lembut dan tegas. Sebagai sirat dalam firman Tuhan yang mempesona
dan menyejukkan itu ada batas yang tegas dan jelas, yang mesti diingat oleh
manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Dengan berbagai pengalaman spritual dan
kerinduan pada sang pencipta membuat Amir Syarif menemukan kepuasan tersendiri
dalam melukis kaligrafi dibanding melukis objek lainnya.
”Saya sudah tidak muda lagi. Di umur-umur
sekarang ini saya sangat merindukan suasana religius dan pengalaman spritual.
Melukis kaligrafi bagi saya memberi kepuasan batin dalam mencapai pengalaman
religi tersebut,” ungkapnya.
Dalam pamerannya kali ini, Amir Syarif
menampilkan 25 karyanya yang sebagian besar melukiskan nama-nama Allah atau
Asmaul Husna. Di antara karya-karya tersebut memiliki perjalanan spritual
tersendiri baginya. Seperti pada karya berjudul Al Latif. Di bawah nama Allah
yang berarti Yang Maha Lembut itu ia menuliskan ayat ke-16 dari surat Lukman.
Yang terjemahannya, ”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus lagi Maha Mengetahui.”
”Ketika itu saya kehilangan jam tangan.
Saya tanya kepada orang pintar (dukun, red), namun tidak berhasil menemukannya.
Kemudian, saya bertemu dengan seorang ulama dan menanyakan hal yang demikian.
Lalu ditulisnya sepotong ayat Al Quran, yaitu surat Lukman, dan disuruh baca.
Dua hari kemudian, jam itu saya temukan kembali di tempat saya letakkan semula.
Entah siapa yang meletakkannya di sana. Ini sebuah pengalaman yang sangat
berharga bagi saya. Sehingga, saya lukis ayat tersebut dalam bentuk kaligrafi
di bawah nama Allah, Al Latif, yang berarti Maha Lembut atau Maha Halus,”
ceritanya.
Sementara itu, kurator pameran Kaligrafi
”Yang Satu”, Ady Rosa menyebut, lukisan Amir Syarif umumnya didominasi melalui
gradasi warna-warna biru sebagai salah satu personality identity dengan
aksentuasi warna-warna merah lembut. Seperti terlihat pada lukisan bertajuk
Iqra’ (bacalah).
Lukisan kaligrafi tersebut dengan latar
belakang warna biru dan di kejauhan nampak cahaya bulat horizontal, sisi kanan
berulang kaligrafi Iqra’ dengan warna turkeys blue, merah lembut dan hijau
lembut.
”Iqra’ merupakan surat yang membebaskan
manusia dari buta aksara dan buta batin agar membaca pada Yang Satu,”
ungkapnya.
Pada lukisan yang lain, seperti berjudul
As Salam, sisi lukisan bagian dalam ditata dengan warna ungu dengan memberi
irisan saik wajik warna biru dan hitam. Di sudut kiri bulat merah dalam latar
biru, kaligrafi dengan kontur cokelat. Ini menyiratkan kesejahteraan sebagai
patron hidup manusia yang membawa kedamaian. Ianya mendudukkan manusia agar
hidup selamat dan sejahtera di dunia hingga akhirat.
”Artinya, pemahaman sejahtera bukan hanya
duniawi saja. Sebab, jika duniawi saja, maka kondisinya seperti sekarang ini.
di mana-mana terjadi penyimpangan budaya yang luar biasa, seperti korupsi,
mafia hukum, dan sebagainya,” tandasnya.
Pada akhirnya, dalam sebuah pemaknaan
kaligrafi tidak hanya seni merangkai titik-titik dan garis pada pelbagai bentuk
dan irama. Ia juga hadir dalam perasaan seseorang dan merangsang ingatan pada
Illahi dalam bentuk zikir yang lain.
Huruf yang dilukis menjadi penjelmaan jiwa
duniawi yang secara terus menerus memberi pesan spiritual. Dan, Amir Syarif
membentangkan karyanya tidak hanya mengedepankan estetika kasat mata. Ada
kedalaman estetika rohaniah yang terpadu sebagai syiar Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar