Senin, 24 Maret 2014

AMIR SYARIF: Surau yang Menginspirasi

OLEH Gusriyono
Jusnalis
Surat Yasin den
Amir Syarif
gan media akrilik di atas kanvas terbentang sepanjang 3 meter dan lebar 1,5 meter. Lukisan kaligrafi Islam itu dikerjakan Amir Syarif dalam waktu sekitar 6 bulan. Selama Ramadhan ini lukisan itu menjadi salah satu karya yang dipajang dalam pameran kaligrafi ”Yang Satu” di Taman Budaya Sumbar.
”Yasin adalah ruh dari segala ayat dalam Al Quran. Ia menjadi intisari Al Quran, ibarat jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh manusia,” katanya.
Amir Syarif, satu di antara sekian banyak pelukis di Sumbar yang telah malang melintang dalam dunia seni rupa tersebut. Jalan menjadi pelukis ini telah diteranginya sejak kecil. Bermula dari kesukaannya melukis sketsa, kemudian memperdalam ilmu di Akademi Seni Rupa  Indonesia (ASRI) Yogyakarta hingga tamat tahun 1962.

Perjalanan awal karyanya didominasi oleh objek masyarakat adat dengan orang-orang yang masih memiliki budaya primitif. Kemudian, ia melirik pemandangan dan budaya Minangkabau, serta persoalan-persoalan sosial. Pada perjalanan selanjutnya, ia secara ajeg melukis kaligrafi dengan nuansa Islam yang kental.
”Kitab suci Al Quran yang agung dan kebenarannya mutlak memiliki nilai tinggi serta penuh keberkatan, sehingga menjadikannya sangat mulia, sempurna dan menakjubkan. Hal inilah yang mendasari konsep saya dalam melukis kaligrafi Islam,” tutur laki-laki kelahiran Lubukalung, 24 Juni 1939 ini.
Kembali ke surau yang dicanangkan pemerintah Sumbar memberi motivasi baginya untuk ikut melukis kaligrafi. Sebab, salah satu elemen penting dalam pendidikan surau itu adalah membaca dan menulis Al Quran. Dalam hal menulis ayat-ayat tuhan tersebut tentunya dibutuhkan pengetahuan dan ketelatenan berkarya. Di sinilah ia bermain dengan gradasi warna-warna lembut dan tegas. Sebagai sirat dalam firman Tuhan yang mempesona dan menyejukkan itu ada batas yang tegas dan jelas, yang mesti diingat oleh manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.
Dengan berbagai pengalaman spritual dan kerinduan pada sang pencipta membuat Amir Syarif menemukan kepuasan tersendiri dalam melukis kaligrafi dibanding melukis objek lainnya.
”Saya sudah tidak muda lagi. Di umur-umur sekarang ini saya sangat merindukan suasana religius dan pengalaman spritual. Melukis kaligrafi bagi saya memberi kepuasan batin dalam mencapai pengalaman religi tersebut,” ungkapnya. 
Dalam pamerannya kali ini, Amir Syarif menampilkan 25 karyanya yang sebagian besar melukiskan nama-nama Allah atau Asmaul Husna. Di antara karya-karya tersebut memiliki perjalanan spritual tersendiri baginya. Seperti pada karya berjudul Al Latif. Di bawah nama Allah yang berarti Yang Maha Lembut itu ia menuliskan ayat ke-16 dari surat Lukman. Yang terjemahannya, ”Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
”Ketika itu saya kehilangan jam tangan. Saya tanya kepada orang pintar (dukun, red), namun tidak berhasil menemukannya. Kemudian, saya bertemu dengan seorang ulama dan menanyakan hal yang demikian. Lalu ditulisnya sepotong ayat Al Quran, yaitu surat Lukman, dan disuruh baca. Dua hari kemudian, jam itu saya temukan kembali di tempat saya letakkan semula. Entah siapa yang meletakkannya di sana. Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Sehingga, saya lukis ayat tersebut dalam bentuk kaligrafi di bawah nama Allah, Al Latif, yang berarti Maha Lembut atau Maha Halus,” ceritanya.
Sementara itu, kurator pameran Kaligrafi ”Yang Satu”, Ady Rosa menyebut, lukisan Amir Syarif umumnya didominasi melalui gradasi warna-warna biru sebagai salah satu personality identity dengan aksentuasi warna-warna merah lembut. Seperti terlihat pada lukisan bertajuk Iqra’ (bacalah).
Lukisan kaligrafi tersebut dengan latar belakang warna biru dan di kejauhan nampak cahaya bulat horizontal, sisi kanan berulang kaligrafi Iqra’ dengan warna turkeys blue, merah lembut dan hijau lembut.
”Iqra’ merupakan surat yang membebaskan manusia dari buta aksara dan buta batin agar membaca pada Yang Satu,” ungkapnya.
Pada lukisan yang lain, seperti berjudul As Salam, sisi lukisan bagian dalam ditata dengan warna ungu dengan memberi irisan saik wajik warna biru dan hitam. Di sudut kiri bulat merah dalam latar biru, kaligrafi dengan kontur cokelat. Ini menyiratkan kesejahteraan sebagai patron hidup manusia yang membawa kedamaian. Ianya mendudukkan manusia agar hidup selamat dan sejahtera di dunia hingga akhirat.
”Artinya, pemahaman sejahtera bukan hanya duniawi saja. Sebab, jika duniawi saja, maka kondisinya seperti sekarang ini. di mana-mana terjadi penyimpangan budaya yang luar biasa, seperti korupsi, mafia hukum, dan sebagainya,” tandasnya.
Pada akhirnya, dalam sebuah pemaknaan kaligrafi tidak hanya seni merangkai titik-titik dan garis pada pelbagai bentuk dan irama. Ia juga hadir dalam perasaan seseorang dan merangsang ingatan pada Illahi dalam bentuk zikir yang lain.

Huruf yang dilukis menjadi penjelmaan jiwa duniawi yang secara terus menerus memberi pesan spiritual. Dan, Amir Syarif membentangkan karyanya tidak hanya mengedepankan estetika kasat mata. Ada kedalaman estetika rohaniah yang terpadu sebagai syiar Islam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...