OLEH Deddy Arsya
probohindarto.wordpress.com |
Pada suatu masa ketika Islam telah
menjadi sebuah negara-kota, kekayaan berlimpah ke kas negara akibat penaklukan
kota-kota kaya Persia dan Byzantium. Pada ketika itu, beberapa amir kaum muslim,
para gubernur baru daerah taklukan, perlahan-lahan mulai menjadi tambun,
kelebihan berat badan. Di sisi ini, Umar si khalifah, yang praktis dan taat,
mulai merasa cemas, merasa pesan-pesan rasul telah disalah-artikan
penerus-penerusnya. Dia lantas berniat menghentikan gerak penaklukan yang
sedang begitu bersemangat itu.
Jika penaklukan-penaklukan muslim Arab
diteruskan, Umar khawatir, kekayaan petinggi-petinggi muslim akan terus
menggunung. Kemewahan akan semakin menjadi gaya hidup mereka. Umar ‘cemas’ pada
satu kata dalam kitab suci, “bermegah-megah telah melalaikanmu!”. Kekhawatiran
akan bermegah-megah dan bermewah-mewah dari para gubernur itulah yang barangkali
meminta Umar, si khalifah, untuk mulai menghentikan penetrasi politis kaum
muslim awal. Dia mencopot Amr bin Ash dari jabatannya sebagai gubernur Mesir
karena berpikir Amr telah menjadi sesak napas di tengah tumpukan kekayaan
daerah taklukan yang berlimpah. Dia juga memberhentikan Khalid bin Whalid juga
karena sang pedang Islam itu mengambil beberapa rampasan perang yang bukan
haknya.
Umar memang lain, utusan Romawi terkejut
mendapatinya tertidur di lantai masjid nabi hanya beralaskan tikar kasar.
“Seorang pemimpin dunia Islam yang kaya dan luas membentang dari timur dan
barat, saya dapati hanya seperti seorang pengembala domba,” kata utusan itu.
Kisah Umar adalah narasi pengabdian pada
masyarakat yang mengangkatnya sebagai pemimpin. Narasinya adalah narasi
penyerahan tiada ampun kepada rakyat yang dipimpinnya. Dia menolak makan daging
dan gandum di saat masyarakat muslim Arab tengah dihantam bencana kelaparan
akibat gagal panen dan musim yang buruk. Dia menjadi kurus di tengah-tengah
beberapa gubernur muslim lainnya yang begitu cepat menjadi gemuk.
Muhammad telah lama wafat, dan ajarannya
tentang kesederhanaan pemimpin lebih sering tinggal dalam kitab suci dan
kitab-kitab hadits ketimbang diamalkan. Atau cukup tinggal dalam diri beberapa
orang sahabat. Praktis, sejak Islam menjadi peradaban besar
pasca-khulafarasyidin, nyaris, kesederhanaan hanya milik rakyat miskin yang tak
mampu bermegah-megah. Dan pada di sisi lain milik para sufi-darwis, gelombang
baru dalam dunia Islam pasca-rasul yang sejarah kemunculannnya juga
dilatarbelakangi oleh kemegahan kekuasaan zamannya. Setelahnya, kita mengenal
sejarah politik Islam adalah sejarah kemegahan para sultan, yang dalam bahasa
kitab suci disebutkan dengan geram mengecam mereka ‘yang menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitungnya,
yang merasa semua kekayaan itu akan menyelamatkan mereka’.
Kesederhanaan Umar barangkali adalah contoh
besar, prototipe, kesederhaan bagi orang-orang Sunni. Sementara kaum Syiah
mengambil contoh pada Ali dan keluarganya. “Di tengah kemajuan Islam yang gilang-gemilang,
di manakah putra Abu Thalib itu?” demikian kata Ali Syariati dalam sebuah buku
yang diterjemahka ke dalam bahasa Indonesia dua tahun yang lalu, Fatimah: The Great Women.
Dalam riwayat kaum Syiah yang pernah ditulis,
Ali Syariati menarasikan bahwa Ali dan keluarganya tersuruk-suruk dalam
kemiskinan, hanya memiliki rumah kecil di samping masjid nabi, berselimut
lusuh, dan makan seadanya dari hari ke hari. Di tengah kedigdayaan kekuasaan
Islam, kas negara yang penuh dengan harta rampasan dan zakat, adalah musykil
seorang ahlul bait rasul, keluarga dekat Muhammad, bisa hidup dalam kemiskinan
yang akut serupa itu. Tetapi demikianlah
yang dicatatkan sejarah.
Pun Hasan bin Ali, putra Fatimah
satu-satunya yang masih tersisa setelah Husein dipancung di Padang Karbala. Dia
lebih memutuskan untuk menjadi pengembala domba daripada ikut ambil bagian
dalam pesta kemegahan penguasa Umayyah. Kata-katanya yang terkenal mengenai ini
didengung-dengungkan pembaca hikmah: “Saya lebih memilih menjadi pengembala
domba di puncak gunung daripada harus berebut harta rampasan dengan sesama
muslim”.
Kisah Ali dan keluarganya menjadi
inspirasi ulama-ulama dan pemimpim-pemimpin kaum Syiah kemudian bersoal
kesederhanaan. Setidak-tidaknya sejak Reza Pahlevi digulingkan gelombang
revolusi Iran tahun 1979, kita bisa menyaksikan dengan jelas kesederhanaan
pemimpin-pemimpin mereka. Sejak Imam Khomenei hingga Ahmadinejad kini. Kita
bisa belajar banyak pada figur penguasa politik yang tidak glamor dan tidak
gemerlap bersoal kepemilikan harta itu. Imam Khomenei hanya punya rumah kecil
dengan perabot yang hampir tak ada. Sementara Dinejad hanya memiliki mobil
butut dengan rumah yang juga sederhana—terlihat janggal bagi seorang penguasa
tertinggi sebuah negeri yang cukup kaya.
Kisah-kisah kesederhanaan sesungguhnya juga
bisa ditemukan dalam sejarah bangsa kita. Telah banyak ditulis dan diketahui
tentang Hatta, yang hanya memiliki sepatu jelek selama menjabat sebagai wakil
presiden, yang rekening listriknya bahkan
menunggak. Kita juga bisa mengenang Natsir, yang tidak kaya-kaya sekali pun
telah jadi perdana menteri berulang kali. Kekusaan bagi mereka betul-betul
bukan lahan untuk memanen kekayaan material.
Sikap Hatta maupun Natsir, juga bukan
sikap yang massif pada zamannya. Mereka hanya
suara redup di tengah gebalau zamannya yang nyaring pada kemewahan. Tidakkah,
sebagaimana sekarang, pejabat-pejabat Orde Lama pun berlomba-lomba menumpuk-numpuk
kekayaan, menjadi kaya raya di tengah kemiskinan rakyatnya. Biografi seorang Jaksa
Agung zaman Orde Lama, Mengadili Menteri
Memenjarakan Perwira, menunjukkan bahwa korupsi pada masa itu tidak kalah merajalela.
Para perwira dan menteri digiring masuk penjara karena korupsi. Aidit, ketua partai
penganjur kesetaraan kelas sekali pun bahkan dianggap telah terlena dalam gaya
hidup borjuasi yang ditantang partainya sendiri. Orang-orang di selingkaran
kekuasaan hidup mewah dengan mobil-mobil dan rumah-rumah yang dibeli dengan
uang yang ghaib.
Lantas apa gunanya cerita-cerita tentang
kesederhanaan pemimpin ini kini diulang-ulang?
Cerita tentang kesederhanaan adalah
cerita yang seperti mengada-ada kini. Cerita tentangnya, meminjam penggalan
sajak Jon Confort, telah menjadi ‘tinjauan beku’. Kisah semacam itu seperti
datang dari sebuah kurun yang seolah tak ada dalam waktu. Maka cerita tentang
kesederhanaan Umar ibn Khattab, Ali, Fatimah, Hatta, Natsir, dan lain-lain itu
adalah juga cerita yang berpotensi ‘teralienasi’ dari zaman kita.
Kesederhanaan hanya akan dicemooh. Suara
nyaring zaman ini yang pemimpinnya condong kepada kehidupan bermewah-mewah akan
mencemoohnya. Ada anggota dewan perwakilan rakyat daerah yang pada masa awal
jabatannya masih bersahaja mengendarai motor ke kantornya, bahkan ke mana-mana,
tetapi siapa yang bisa bertahan dalam kesederhanaan yang menyakitkan itu, untuk
tidak membeli mobil baru, rumah baru, memperbanyak tabungan masa depan, dan
lain sebagainya?
Tentu hanya orang-orang yang berkepribadian
kuat dan jujurlah yang bisa. Dan orang-orang serupa itu langka di setiap zaman.
Apalagi di tengah zaman yang seperti kita alami bersama sekarang. Sebagaimana
pada masa Orde Lama, maka suara-suara kesederhanaan juga suara yang asing pada
zaman ini. Tetapi, semoga dan tentu tetap akan ada pemimpin-pemimpin yang
memilihnya sekalipun sulit untuk menjalaninya. Mereka akan menjadi contoh pemimpin
untuk masa depan.
Padang, 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar