OLEH Puti Reno Raudha Thaib
Ketua
Bundo Kanduang Sumatera Barat
Perempuan Minang berburu babi (Sumber foto: KITLV Leiden) |
Upacara
adat yang dilakukan oleh umumnya masyarakat Minangkabau baik di ranah maupun di
rantau terkadang menyimpang dari apa yang telah dibuat sebelumnya oleh
orang-orang tua terdahulu. Mungkin hal itu dapat dilihat sebagai perkembangan
citarasa dan penyesuaian terhadap zaman, tetapi dapat pula dilihat sebagai
sesuatu yang disengaja untuk dikeroposkan, disimpangkan, diperdangkal dan bisa
juga dianggap sebagai usaha untuk melakukan pembusukan terhadap adat dan budaya
Minangkabau itu sendiri.
Kapan
mulainya, siapa yang memulai dan siapa yang bertanggung jawab terhadap semua
hal itu, tak seorang pun dapat dituding atau dituduh. Paling umum yang
dilakukan orang adalah mengungkapkan rasa ketidakpuasan terhadap penyimpangan tersebut
dengan berbisik-bisik, bergunjung, tanpa mau mencari sebab akibat dari suatu
perubahan yang terjadi.
Harus
diakui pula, bahwa apapun yang terjadi di tengah masyarakat, tergantung dari
masyarakat itu sendiri. Begitu hukum alam yang berlaku. Namun, bagaimanapun
juga, setiap adat dan budaya harus punya rujukan yang jelas. Jika terjadi
penyimpangan atau perkembangan haruslah diketahui dulu sebab akibatnya. Kenapa
perubahan itu terjadi, kenapa harus dilakukan perubahan, serta sekian
pertanyaan berikutnya.
Dalam hal
ini peranan perempuan dalam upacara adat pun terjadi pergeseran yang besar
sekali. Banyak sekali hal-hal yang menurut kepantasan adat tidak lagi dianggap
sebagai suatu kepantasan, bahkan dianggap sudah kuno. Anak daro yang
menyongsong marapulai sampai ke tengah halaman dalam sebuah acara baralek, misalnya, adalah sesuatu yang
sangat jauh panggang dari api, kalau dikaitkan dengan peranan perempuan yang
dianggap mulia dalam tatanan masyarakat penganut sistem matrilineal.
Menurut
adat, tidak seorang pun perempuan dibenarkan bicara di depan umum, baik dalam
majelis perkawinan apapun. Tetapi sekarang, yang mengantarkan pasambahan adalah
perempuan. Banyak contoh lainnya. Namun di balik semua itu, jelas bahwa peranan
perempuan dalam upacara adat Minangkabau hari ini, merupakan cerminan
pergeseran yang sangat luar biasa terjadi dalam memposisikan perempuan
Minangkabau.
Pembicaraan
saya kali ini akan menukik pada beberapa persoalan perempuan itu sendiri. Namun
saya tidak bermaksud untuk menggurui, mencarikan jalan keluar dari perubahan
yang sedang berlangsung. Paling-paling saya hanya akan membanding antara apa
yang pernah dialami dulu dan sekarang, apa yang saya pelajari dari berbagai
bacaan dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Perbandingan-perbandingan itu
penting, setidaknya untuk sebagai “kaca diri” terhadap kehidupan sosial budaya
kita dulu dan hari ini.
Pengertian dan Makna Upacara
Bagi orang
Minangkabau yang ahli semantik atau mereka yang punya kecenderungan demikian,
akan selalu mempertengkarkan antara pengertian kata “upacara” dan “acara”.
Antara kata “alek” dan “baralek”, antara kata “sambah dan “pasambahan”. Antara
kata “adat” dan “’adat”, serta “adat dan “paradatan”.
Banyak
sekali kata-kata idiom bahasa Minangkabau yang tidak seharusnya dicarikan
padanan kata dengan bahasa Indonesia. Namun hal ini dilakukan karena pencarikan
padanan kata Minangkabau dengan kata dalam bahasa Indonesia dianggap sebagai
usaha untuk “mensosialisasikan” adat dan budaya Minangkabau itu sendiri.
Untuk
pembicaraan kali ini, saya tidak akan melayani perbedaan dan pengertian semantik.
Biarlah hal itu menjadi milik dan perdebatan para ahlinya. Saya hanya berpegang
dalam pengertian sederhana dari kata upacara. Upacara sebagaimana kita pahami
bersama adalah serangkaian kegiatan bersama untuk mendapatkan atau mencapai berbagai
tahapan kegiatan. Tahapan-tahapan kegiatan tersebut, dinamakan acara. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa dalam sebuah upacara ada beberapa acara. Kata
orang itulah yang disebut sebagai mata acara.
Upacara
adat menurut adat Minangkabau begitu juga. Pada setiap upacara adat ada beberapa
mata acara di dalamnya. Dalam upacara baralek,
misalnya, ada acara-acara penunjangnya, maminang,
manjapuk marapulai, hidangan makan, tagak gala bagi marapulai (khusus untuk
masyarakat di daerah pasisie dan rantau), manjapuik,
basandiang dan seterusnya. Oleh karena itu, saya tidak akan bicara detail
akan tetapi upacara yang banyak dan beragam itu, karena masing-masingnya punya
variasi dari setiap nagari dan lingkungan adat budayanya.
Berbagai Macam Upacara
Menurut
kajian sosiologi, masyarakat Minangkabau ini disebut sebagai masyarakat
tradisional yang profan. Maksudnya adalah masyarakat yang meletakkan sesuatu
pada tempatnya; upacara adat diatur secara norma-norma dan nilai-nilai adat,
sedang upacara agama diatur pula oleh norma-norma dan ajaran-ajaran agama.
Dengan demikian orang Minangkabau mengenal dua bentuk upacara:
1.
Upacara
peradatan terdiri dari: upacara menaiki rumah gadang, baralek (pinang maminang,
maetong hari, manjapuik marapulai, basandiang, dsbnya), tagak pangulu,
kematian, tagak gala (tagak gala penghulu dan tagak gala untuk calon marapulai
di daerah pesisir)
2.
Upacara
keagamaan terdiri dari: upacara akikah, khatam Alquran, sunnat rasul, nikah,
maulud nabi, bahkan ketika salah seorang akan naik haji juga dibuatkan upacara
tersendiri (Dan beberapa lagi).
Selain
kedua bentuk upacara tersebut, ada pula yang disebut “permainan” kata pamenan”
juga sering diperdebatkan para ahli semantic dengan membedakan kata “pamenan”
dan “pamainan”. Ada “pamenan mato” dan tidak sama dengan “pamainan mato”. Di
dalam berbagai upacara pamainan, barandai, basilek, juga pacu kuda, buru babi,
dsbnya, masing-masingnya mengandung berbagai acara pula.
Jadi,
acara-acara pada setiap upacara masing-masing akan berbeda jauh sekali, dan
semua itu dianggap oleh masyarakat Minangkabau umumnya sebagai “acara” saja.
Salah kaprah terjadi, karena dalam pembukaan acara buru babi juga janangnya
memegang carano, hal itu dianggap sama nilaibya dengan carano yang disuguhkan
ke tengah majelis adat ketika akan terjadi perundingan-perundingan adat.
Kedudukan Perempuan
Sebagaimana
yang sering saya ceramahkan tentang kedudukan dan peranan perempuan
Minangkabau, secara sepintas saya akan ulangi lagi disini untuk mencari modus
tentang kedudukan perempuan dalam berbagai upacara adat dan budaya Minangkabau.
System
matrilineal yang dikenal oleh orang MInangkabau “katurunan saparuik” telah
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat strategis. Keturunan harus
dihitung menurut garis ibu. Warisan dan kesukuan merupakan milik merupakan
milik perempuan di dalam kaum tersebut, sedangkan para lelakinya adalah
pemegang hak pengaturan. Sebagaimana yang ditemukan dalam dunia modern.
Pemilik, atau pemegang saham terbesar adalah perempuan. Perempuan itu dalam
istilah ekonominya adalah owner. Sedangkan laki-lakinya adalah pengatur, dalam
istilah ekonominya adalah manajer.
Pemilik
(perempuan) memiliki semuanya dan sebagai tugasnya adalah mengawasi dan
mengkontribusikan segala hasil dari sawah lading milik kaum kepada
anggota-anggota kaum sesuai kesepakatan antar kaum. Sedangkan manajer
(laki-laki) mengatur segala masalah pengembangan, perluasan dan pertahanan
semua harta pusaka milik kaumnya. Salah kaprah terjadi, karena perempuan tidak
mengerti dengan posisinya sedangkan laki-laki menganggap harta pusaka kaum
milik pribadinya.
Dalam
berbagai pembicaraan tentang kedudukan perempuan dikatakan bahwa perempuan itu
adalah sebagaimana yang dipresentasikan oleh kalimat-kalimat bijaksana penuh
makna: turun nan sakali sejumaat
(perempuan harus punya jadwal yang jelas untuk bepergian), karajo manjaik jo manyulam (mengerjakan sesuatu dengan teliti,
detail dan mengayam keindahan dengan rasa seni yang dalam, menjahit dan
persoalan keluarga dan kaumnya yang retak atau robek), duduak dianjuang paranginan (menempatkan diri pada tempat
ketinggian untuk mengetahui semua persoalan di dalam kaum, harus tahu di hulu
dan dihilir persoalan keluarga dan kaumnya), unduang-unduang ka sarugo (penentu apakah kaum itu akan menjadi
orang-orang saleh, beriman atau sebaliknya), payuang panji ka madinah (penjadi pelindung, pemberi arah dan
contoh teladan dalam budi pekerti yang sesuai dengan sunnah rasulullah), induak bareh amban paruak (sebagai
benteng terakhir untuk suatu kaum apakah mereka akan hidup berkecukupan atau
menjadi pengemis, aluang bunian
(penyimpanan rahasian seluruh masalah kaum dan seluruh cacat cela/ aib serta
kelebihan anggota kaumnya, dsbnya.
Dari apa
yang telah diperkatakan oleh berbagai kalangan tentang kedudukan perempuan Minangkabau
yang jauh berbeda dengan kedudukan perempuan dalam tradisi budaya yang bukan
matrilineal, sejatinya perempuan Minangkabau harus dapat memposisikan dirinya
sebagaimana yang dikatakan demikian. Adat Minangkabau tidak member peluang
sedikitpun bagi perempuan menjadi “liar”. Semua harus ada “junjungan”nya.
Bagaimana kalau tanaman melata tidak diberi junjungan? Tanaman itu akan mati,
akan terinjak-injak dan tidak akan sanggup memberikan buah yang sempurna.
Begitu
hebat peranan perempuan yang telah dianalogikan dalam bahasa-bahasa sastra yang
indah dan dengan makna yang dalam.
Peranan Perempuan dalam Berbagai Upacara
Perempuan
Minangkabau sesuai dengan konstelasi adat budaya serta agamanya mempunyai etika
dan moral yang terjaga dengan baik. Perempuan harus dapat menjaga citranya
sebagai perempuan Minangkabau yang nantinya akan menjadi “mande” (ibu bagi
keturunannya), yang akan menjadi “bundo kanduang” (perempuan tertua dalam kaum)
bagi seluruh anggota kaumnya. Oleh karena itu, perempuan tidak boleh kehilangan
citra di tengah pandnagan kaumnya, apalagi di tengah masyarakat yang lebih
luas. Perempuan yang kehilangan citranya, sama artinya dengan mempermalu
seluruh anggota kaum. Oleh karena itu, di dalam berbagai ungkapan dalam cerita
Minangkabau, ketika seorang penghulu mengumpulkan kaumnya, pertanyaan yang
dilontarkan anggota kaumnya adalah; dimana jando dapek malu. Artinya perempuan
mana pula yang telah membuat malu.
Oleh
karena itu perempuan tidak boleh kehilangan citranya, (jadi, politik pencitraan
dalam masyarakat Minangkabau sudah berlangsung sejak lama), maka segala
sesuatunya harus punya aturan yang jelas. Aturan-aturan yang jelas ini sering
diplesetkan oleh pejuang jender atau aktivis perempuan sebagai kungkungan.
Dengan pongahnya mereka mengatakan bahwa perempuan Minangkabau itu telah
tertungkung oleh tradisinya sendiri. Pertanyaan kita pada pejuang jender itu
tentulah ini; silahkan beri contoh, tradisi mana di dunia ini yang tidak
mengungkung anggota masyarakatnya perlu saya tegaskan lagi disini bahwa apabila
kita telah berada dalam sebuah komunitas (Apakah komunitas itu namanya adat,
agama, dsbnya) kita harus takhluk dan mengikuti yang berlaku dalam komunitas
itu.
Dalam
kaitan ini, kita harus memaklumi bahwa tidak pada semua upacara perempuan itu
harus berbicara. Ada tempat-tempat atau ruang yang khusus disediakan baginya.
Dia adalah perempuan, pemilik (owner/pemegang
otoritas), tidak mungkin para pemilik harus lebih lantang dari laki-laki (manajer).
Lalu
timbul pertanyaan, pada ruang-ruang apa sajakah itu perempuan itu boleh atau
dibenarkan bicara?
Pertama,
perempuan akan bicara bahkan bertindak apabila tidak ada lagi laki-laki yang
berani atau mampu berbicara dan bertindak. Pada posisi ini, perempuan
benar-benar harus berada pada posisi yang menentukan. Jika tidak demikian, maka
keberadaan suatu kaum akan bisa sirna, karena laki-lakinya tidak berdaya
(mungkin karena tekanan politik, tekanan senjata dan kekuasaan, tekanan hutang
yang telah mereka perbuat sebelumnya, hutang yang telah mereka perbuat
sebelumnya, hutang malu dsbnya).
Kedua,
perempuan akan bicara ada sesuatu yang kabur dan tidak jela bagi laki-laki yang
tengah memutuskan berbagai perkara. Dalam menentukan hari baralek misalnya,
suara perempuan mutlak harus diikuti. Karena, merekalah yang tahu kapan “waktu
yang baik” bagi pasangan suami istri bila tidur pertama kali. Merekalah yang
tahu, kapan “hari baik” untuk memulai sesuatu kegiatan di dapur dan
penghidangan. Merekalah yang mengerti dan tahu pasti, siapa yang harus dijadikan
penghulu jika terjadi pertengkaran para lelaki dalam memilih penghulunya.
Ketiga,
perempuan akan bicara secara terbuka di dalam majelis yang dihadari oleh
perempuan semua, seperti dalam acara turun mandi, tujuh bulanan, manjalang
mintuo atau malam bainai. Dengan demikian jelas, bahwa pidato pasambahan yang
dilakukan dalam sebuah acara umum (Waktu itu dihadiri oleh para datuk dan
pnghulu, oleh apra laki-laki dan bujang-bujang) seperti yang sering kita alami
ketika upacara baralek sekarang, adalah suatu penyimpangan yang luar biasa.
Pertanyaan kita tentulah, kenapa harus perempuan yang mengantarkan pidato
pasambahan? Tidakkah ada lagi laki-laki yang mampu untuk bapasambahan? Atau itu
ditujukan untuk komersialisasi diri perempuan itu?
Penutup
Kita harus
menyadari, bahwa kebudayaan akan terus berkembang. Akan tetapi sesuatu
perkembangan yang sudah berada di luar norma-norma dan nilai-nilai adat dan
agama tentulah harus diperhatikan dengan bersungguh-sungguh. Perempuan dalam
ajaran adat Minangkabau adalah mulia. Perempuan adalah manusia yang mulia dan
harus dimuliakan, yangterhormat dan dihormati. Apalagi kau dikait-kaitkan
dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam ABS-SBK.
Persoalannya
sekarang adalah, apakah kita sebagai orang Minangkabau masih ingin atau masih
mau menghormati perempuannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai yang sudah
ditanamkan sebelumnya atau akan “mampasuna-sunakan” perempuan dalih kesetaraan
jender, kesamaan hak, globalisasi, peranan domestic, keterkungkungan perempuan
dan lain sebagainya itu?
Jawabannya
adalah tergantung dari sikap budaya perempuan itu sendiri. Dia mau jadi hamba sahaya
nafsu dengan mengkomersialkan dirinya atau akan tetap terus menjadi perempuan
utama dalam kehidupan ini?
Perlu
dicatat, perempuan tidak akan dicatat sejarah jika hanya ingin merubah-ubah
saja demi uang, demi popularitas, demi kecantikan, demi sanjungan-sanjungan
tanpa suatu pencerahan dan kemaslahatan masyarakat umum.
Padang,
22 November 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar