OLEH Nasrul Azwar
Para pengunjung dan penikmat kawa daun di salah satu kedai kawa dauh di di Nagari Tabek Patah, Tanah Datar, Sumatera Barat. (Foto Buya
Roni)
|
Daihatsu Xenia yang membawa kami dari Kota Padang berhenti di samping sebuah
kedai sederhana di KM 10 Jalan Raya Batu Sangkar-Bukittinggi-Payakumbuh di
Provinsi Sumatera Barat, pengujung tahun lalu. Kedai itu berada di Nagari Tabek
Patah, Kabupaten Tanah Datar, 120 KM dari ibu kota Provinsi Sumatera Barat. Perjalanan
panjang bersama kendaraan “sejuta umat” itu—setelah melewati Kota
Arosuka-Solok—tak terasa telah mengantarkan kami ke kedai kuliner khas Minang
itu.
Sore dengan pendar lembayung, saat itu. Kedai dengan gaya khas kebanyakan
kedai-kedai Minang (biasa disebut lapau) meja-meja dan lesehannya tampak sudah
penuh pengunjung. Tapi di pojok sebelah kanan, meja terbuat dari bambu lokal
itu, baru terisi 2 orang. Kami pun bergabung di sana.
“Kawa lima, Da.” Seru Roni Kurniawan, yang akrab disapa Buya, salah
seorang teman saya, ke orang kedai yang mendatangi meja kami. Kami memesan lima
sayak (tempurung) kelapa kawa daun dan gorengan berupa bakwan dan pisang
goreng. Sore makin harmoni.
Minuman kawa daun (sebagian masyarakat Minang menyebutnya kopi kawa
daun). Arti kawa dan kopi sebenarnya
sama. Kopi juga disebut kawa. Kawa itu disebut kopi. Sebagian daerah di Minang
ada yang menyebut kawa itu kopi, ada juga mengatakan kopi itu kawa.
Minuman yang enam tahun terakhir ini naik daun di daerah Sumatera Barat,
terutama daerah darek (Tanah Datar, Limopuluh Koto, Agam), uniknya, tak
disajikan dengan wadah gelas atau mangkuk. Tapi wadahnya menggunakan tempurung
kelapa (di Minang disebut sayak) yang sudah dikikis bersih sehingga terlihat
menghitam dengan alas bambu untuk menupangnya agar tak tumpah.
Pengunjung tampak menikmati ritual minum kawa daun sore itu. Mereka
datang dari pelbagai pelosok kota-kota di Sumatera Barat: tua-muda. Mereka
datang bergerombolan. Silih berganti. Ada juga yang sedang berpacaran.
Contohnya, sepasang remaja yang duduk di semeja dengan kami. Mereka terlihat
bercengkrama. Tertawa renyah. Tampaknya mereka belum memesan apa-apa.
Tak pakai lama,dua orang mengantarkan lima sayak (tempurung) yang berisi
kawa (kopi) daun ditambah dua piring gorengan. Sayak itu beralaskan potongan
bambu. Di atas bambu itulah sayak ditaruh. Sedikit ditambah gula pasir atau
gula merah, ritual upacara kecil minum kawa daun pun kami mulai. Kendati
berasal dari daun kopi yang sangrai, rasanya bukan seperti rasa kopi yang agak
pahit, tapi kelat sedikit dan ringan. Sendok pengacaunya, tak menggunakan
sendok biasa yang kita pakai, tapi sendok yang terbuat dari kulit manis.
Makanya, sensasi rasanya sangat beda dan melekat di lidah.
“Menyegarkan dan khas,” timpal Tika Syamer, teman saya lainnya setelah
mencicipi kawa daun dari sayaknya.
“Kawa duo, Da,” pesan remaja yang duduk
di sebelah kami itu. Akhirnya keduanya memesan kawa daun.
Irfan dan Mega, nama kedua remaja ini,
mengaku tertarik mencoba kopi daun itu karena penasaran. “Kata orang yang
pernah mencoba, rasanya kelat. Pokoknya enak dan baunya harum,” kata Irfan
sembari melirik ke Mega yang kawa daunnya belum terusik. Keduanya mengenalkan
dirinya pada kami.
“Bakwan dan goreng pisangnya juga enak,”
tambah Mega.
Enam terakhir,
bermunculan kedai-kedai (lapau) yang beratapa daun kelapa—terutama di sekitaran
Kabupaten Tanah Datar dan Limapuluh Koto—yang menyajikan minuman khas kawa daun
ini. Malah, di Kota Padang dan Bukittinggi, kafe-kafe juga sudah menyediakan
minuman ini.
Nofrizal Eka Putra, 35
tahun, pemilik salah satu pemilik kawa daun, yang berlokasi di Tabek Patah KM
10 Jalan Batu Sangkar, adalah seorang dari sekian banyak pengelola lapau kopi
daun di sepanjang jalan utama itu.
“Kawa daun sudah menjadi
gaya hidup masyarakat tanpa pandang usia. Kita buka sejak siang sampai malam.
Sudah ada beberapa cabang baru kita buka. Selain itu, menyediakan kawa daun bak
melestarikan sejarah dan tradisi masyarakat Minang,” terang Nofrizal saat
berbincang kepada saya.
Ia jelaskan, sejarah minuman
kopi daun itu sebenarnya cara halus politik kolonial Belanda menguasai tanaman
kopi di Ranah Minang. “Buah kopinya dibawa Belanda ke negerinya, sementara daun
kopi dikatakan kepada masyarakat juga enak diminum dengan cara direndam dengan
air panas. Dan jadilah saat itu, kopi daun sebagai minuman masyarakat,” kata
Nofrizal, tersenyum.
Minuman kopi daun atau
sering disebut kawa, berasal dari daun
kopi yang tak terlalu tua dan juga tak terlalu muda dipetik lalu dan disangrai
di atas tunggu di dapur yang menggunakan kayu bakar. Asapan kayu ini yang menciptakan rasa yang
khas setelah daun kopi itu direbus. Warnanya agak mirip teh.
Dengan kreativitas masyarakat, bentuk
kawa daun pun beragam dengan harga yang bervariasi. Harga kawa daun tak pula
mahal dan sangat bermasyarakat. Untuk kawa daun biasa tanpa tambahan lainnya, harganya
tiga ribu rupiah per tempurung kelapa. Jika ditambah es, jadi empat ribu rupiah.
Kawa susu lima ribu rupiah, dan jika ditambah telur telur kawa harganya tujuh ribu
rupiah per batok kelapa.
Menurut Nofrizal Eka Putra, setiap hari, ia menghabiskan sekitar 10-15 karung
ukuran menengah kawa daun yang siap direbus. Daun kawa dipasok oleh
petani-petani sekitar Tabek Patah.
“Lebih kurang, empat sampai rebusan daun
kawa sehari. Jika hari libur, bisa mencapai rebusan,” kata Nofrizal Eka Putra.
Kawa daun direbus dengan menggunakan kayu api. Asapan kayu itu
yang mungkin membuat kawa daun mengandung rasa yang khas di lidah. Wadah
rebusan terbuat dari drum yang dipotong setengahnya. “Sekali rebus, setengah
drum.”
Maraknya lapau-lapau kawa daun yang tumbuh, tentu berdampak pada
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Memang, sepanjang jalan raya
Batu Sangkar-Bukittinggi-Payakumbuh-Padang, lapau kawa daun bermunculan di
sepanjang jalan. Dan kini telah menjadi salah satu destinasi wisata kuliner di
Sumatera Barat.
Berkhasiat
Dikutip dari situs www.kopikawadaun.com, sebuah penelitian
terbaru yang dilansir para ilmuwan dari Royal Botanic Gardens di Kew, London,
dan Joint Research Unit for Crop Diversity, Adaptation and Development di
Montpellier, kawa daun ternyata memiliki khasiat untuk kesehatan. Para ahli ini menemukan bahwa minuman dari
daun kopi ini ternyata lebih sehat ketimbang teh dan kopi itu sendiri.
Menurut para ilmuwan itu air daun kopi
mengandung senyawa yang bermanfaat mengurangi risiko penyakit jantung dan
diabetes. Daun kopi mengandung antioksidan lebih tinggi dibandingkan teh biasa.
"Yang mengejutkan adalah berapa
banyak antioksidan dalam daun kopi. Jumlahnya jauh lebih tinggi dibandingkan
teh hijau dan teh hitam," ujar Dr Aaaron Davies, pakar kopi dan botani
dari Royal Botanic Gardens seperti dilansir laman Telegraph.
Tak hanya antioksidan, daun kopi juga
mengandung bahan kimia alami yang berkhasiat mengatasi masalah peradangan.
Bahan kimia alami ini biasanya ditemukan pada buah mangga.
"Ditemukan juga zat dalam level yang
tinggi yang disebut mangiferin dalam daun tanaman kopi Arabika," terang
Aaaron.
Para peneliti menilai, selama ini daun
kopi diabaikan karena orang lebih mengedepankan biji kopi yang memiliki nilai
lebih tinggi. Meski demikian, mereka yakin bahwa daun kopi bisa menjadi minuman
sehat baru, setelah teh hitam atau teh hijau.
Teh daun kopi mengandung kafein yang
rendah dan memiliki rasa yang biasa, tidak pahit seperti teh atau sekuat kopi.
Dr Davies menjelaskan, kopi daun teh sangat populer di beberapa negara, seperti
Ethiopia dan Sudan Selatan. Bahkan ada upaya memasarkan teh daun kopi ini di
Inggris pada tahun 1800-an.
Sejarah Panjang Kawa Daun
Berawal dari Sistem
Tanam Paksa Dalam literatur sejarah, penamaan kopi daun identik dengan
ironisnya kondisi masyarakat Melayu saat kolonial Belanda menguasai Nusantara
ini. Bangsa kolonial Belanda dengan cerdik membangun stigma terhadap bangsa
pribumi. Maka, tak heran, muncullah stigma negatif dengan sebutan Melayu Kopi
Daun, Intel Melayu, dan lainnya.
Banyak kajian sejarah
membahas mendalam masalah ini. Salah satunya studi yang dilakukan Mestika Zed
dengan judul Melayu Kopi Daun: Eksploitasi Kolonial dalam Sistem Tanam Paksa
Kopi di Minangkabau, Sumatera Barat (1847-1908).
Sementara itu, Suryadi,
peneliti dari Leiden University Institute for Area Studies (LIAS) Leiden, di
Leiden University Library, Belanda, mengatakan terdapat satu naskah schoolschriften
tentang Minangkabau dari akhir abad ke-19 yang merefleksikan sindiran ironis
dalam bentuk pantun terhadap sistem tanam paksa yang diterapkan oleh Belanda di
Minangkabau. Salah satu kutipan pantun tersebut berbunyi:
Sikilia di paleh-paleh,
Kayu tobi ateh pambatang,
Lah mujua nan Tigo Baleh,
Bakopi bakabun gadang.
“Pantun di atas
menyindir tiga belas penghulu (atau mungkin juga Tuanku Laras) yang tampaknya
mendapat konsesi oleh kompeni Belanda untuk mengelola perkebunan kopi yang
hasilnya harus diserahkan kepada Belanda,” kata Suryadi.
Sejarah telah mencatat
bahwa dengan diterapkannya sistem tanam paksa di Minangkabau, Belanda makin
memengaruhi sistem kehidupan masyarakat Minangkabau (kehidupan bernagari),
dengan menciptakan jabatan Tuanku Laras untuk mengontrol masyarakat dan
menjamin produksi kopi yang mereka inginkan dan yang menjadi salah satu
komoditi yang sangat menguntungkan di pasar Eropa.
Dalam pantun lainnya
juga dengan tegas disebutkan:
Sikilia taji dalam balat,
‘Alah ka ilia kapalonyo,
Iliakan kopi tiok Ahad,
Kito nak buliah pahalonyo.
Jelas maksud bait ini
adalah sindiran kepada Belanda yang memaksa penduduk pribumi menyetorkan hasil
kopi kepada penjajah itu, dan dengan manis (tapi ironis) disebutkan bahwa
dengan menyetor buah kopi itu kepada Belanda “kita memperoleh pahala”.
Suryadi menjelaskan,
minum kopi sudah begitu membudaya di kalangan orang Belanda sejak dulu hingga
sekarang. Kelekatan lidah orang Belanda dengan bubuk kopi jelas dapat
ditelusuri jauh ke zaman kolonial.
“Kita ingat istilah
“Melayu Kopi Daun” yang merujuk kepada eksploitasi tanaman kopi oleh Belanda di
Sumatra pada zaman kolonial: biji kopi yang berkualitas tinggi dibawa oleh orang
Belanda ke Eropa dan orang Melayu (pribumi) yang menanamnya hanya dapat
menikmati daunnya yang direndam menjadi kawa,” katanya.
Pada tahun 1830
Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan cultuurstelsel atau ‘Tanam
Paksa’. Kebijakan ini dihentikan tahun 1870, tapi prakteknya terus berlangsung
sampai awal abad ke-20. Salah satu tanaman yang harus ditanam secara
besar-besaran oleh penduduk pribumi adalah kopi.
“Hasil panen kopi harus
dijual kepada Belanda dengan harga murah, tapi mereka menjualnya di Eropa
dengan harga mahal,” ungkap papar Suryadi yang telah mengajar 10 tahun di
Universitas Leiden, yang juga putra Pariaman, Sumatera Barat ini.
Kebijakan ‘tanam paksa’
yang menyengsarakan rakyat itu juga dikritik oleh Multatuli dalam novelnya yang
terkenal Max Havelaar. Namun kini, minum kopi daun sudah menjadi gaya
hidup masyarakat. Belum bisa diurai, apakah ini karena romantisme masa lalu,
atau karena kopi daun itu sangat enak.
Mentari terbenam. Kami pun berangkat menuju arah
Payakumbuh. Di kota ini, malamnya akan digelar pertunjukan teater berjudul
Tambo Gustaf. Menyeruput kawa daun sembari menikmati teater, mungkin gaya hidup
yang layak dinikmati. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar