Ketua V LKAAM Sumatera Barat
Nagari Seribu Rumah Gadang (Sumber: yathada.wordpress.com) - |
Badan
Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Pemerintah Provinsi Sumatera
Barat, 24-26 Juni 2011, menggiatkan Forum Anak Sumatera Barat Tahun 2011. Sesi
menarik ditawarkan ke LKAAM Sumbar, membincangkan “fungsi nilai adat, budaya
dan agama dalam upaya membangun kepribadian anak“.
Pengalaman orang
Minangkabau mendidik anak berkarakter, adalah melaksanakan agama dengan adat
sebagai kebudayaan lokalnya. Di lingkungan rumah tangan dan kaum suku/ kampung,
orang tua sebagai guru pertama mengajar anaknya berpengetahuan hingga cerdas,
ninik mamak mendidik kamanakan (anak saudara perempuannya) berbudi di surau
suku/ kampung. Anak kamanakan pun mau berguru dengan orang tua, mempertinggi
budi dengan mamak. Kemauan kedua belah pihak itu (orang tua – mamak dan anak
kamanakan) mengajar dan belajar adat dan agama direkat nilai/ norm agama dan adat.
Norm agama dalam hadis disebut „belajar tak ada henti/ longlife education/ uthlub
al-ilma min l-mahdi ila l-lahdi (cari ilmu mulai dari ayunan sampai ke
liang lahad). Nilai adat, “kalau ingin pandai berpengetahuan dan berilmu tidak
ada jalan lain rajin berguru, kalau hendak mulia dan bermatabat tidak ada cara
lain, dipertinggi budi pekerti. Nilai ini menjadi prioritas agama yakni makrima
l-akhlaq (budi mulia), adat melaksanakannya seperti terdapat pada petatah
di antaranya sebagai berikut:
Anjalai
tumbuh di munggu
Sugi-sugi
di rumpun padi
Supayo
pandai rajin baguru
Supayo
tinggi naikkan budi
Di
Minang dulu tak lebih mulia emas dan perak (uang) dari ilmu dan budi. Orang
beilmu dan berbudi tinggi martabatnya. Bia tak bapitih asalai babudi. Petatah
adat menata laku: anak ikan dimakan ikan/ gadang ditabek anak tenggiri/ ameh
bukan dusanak bukan/ budi saketek rang hargoi. Sejak kecil anak kamanakan
orang Minang dididik dalam mengikat hubungan sesama bukan karena pitih/ emas
dan bukan dusanak saja, tetapi budi. Fenomenalogis sekarang, orang tua – mamak dan
anak kamanakan, bukan saja kurang mewariskan nilai itu, tetapi diakui ada ketidakberdayaan
mengajar dan belajar adat dan agama. Akibatnya fungsi dan pengaruh adat dan
budaya lokal serta agama semakin mengendor dalam mengatur prilaku dan tertib
sosial masyarakat. Pada keluarga pun sebagai lembaga pendidikan informal dan
orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak, pun kurang berdaya dalam
bertarung dengan arus deras pengaruh luar sekarang.
Selain fungsi
rumah tangga dan peran orang tua kendor dalam berperan, surau suku (dipimpin
ninik mamak dilaksanakan urang jinih nan-4 (imam, katik, bila dan qadhi) yang
dulu sebagai „simbol budi“ pekerti dan mengajarkan trilogi: agama, adat dan
silat, sekarang hampir tidak berfungsi bahkan bangunan/ lembaganya sudah banyak
yang roboh sejak paderi mencapnya sebagai sarang tbc (takhayul, bidh’ah
dan churafat). Sebenarnya besar peluang memfungsikan surau kembali
ketika memasuki era otonomi daerah di Sumatera Barat yang dilaksanakan dalam
sistim „kembali ke nagari berbasis surau“. Namun sayangnya sampai sekarang
rumusan surau model sebagai basis kehidupan bernagari belum ditemukan yang
efektif.
Di lain
pihak ulama semakin langka terutama ulama yang mengerti adat dan sebaliknya tak
banyak penghulu yang mengerti agama. Balai Adat sebagai lambang demokrasi dan
tempat bermusyawarah menyelesaikan sengketa adat juga lembaga penataan pemerintah
dan perintah ninik mamak dalam pelaksanaan fatwa ulama sudah dalam keadaan
tidak berdaya. Kepemimpinan ninik mamak oleh penghulu bersama urang nan-4
jinih (penghulu bersama manti, malim dan dubalang) mengalami degradasi
dan tidak terkonsolidasi.
Di sisi
lain lembaga ilmu pengetahuan dan perguruan tinggi sebagai lembaga yang men-supply
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta basis para pakar berposisi sebagai
“cadiak pandai”, pun sekarang kurang memperlihatkan peranannya dalam meneliti
dan mendorong mengajarkan adat/ budaya daerah. Tak dipungkiri banyak hasil
penelitian baik di perguruan tinggi maupun pada Badan Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Balitbangda) serta di Balai Penelitian lainnya, amat
kurang upaya penerapannya di tengah-tengah masyarakat dan belum menjadi
indikator pembangunan, baik oleh perguruan tinggi melalui dharma pengabdian
masyarakat maupun oleh Pemda melalui Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD)
terkait. Hasil penelitian yang bagus-bagus itu masih tersimpan di lemari dan di
laci birokrat akademik sehabis digunakan sebagai kredit point setelah menerima
koin. Belum ada kebersamaan masyarakat akademik dengan pemerintah daerah dalam
mewujudkan pembangunan terutama dalam pelestarian adat, budaya dan pengembangan kehidupan beragama berbasis
penelitian.
Dari fenomena mengendornya pelaksanaan fungsi
adat, budaya daerah dan nilai agama tadi, berdampak kepada subkultur Minangkabau,
yakni negeri ini kehilangan spirit, kecerdasan budaya lokal dan vitalitas
peranan tokoh serta fungsi kelembagaan adat, budaya daerah dan agama. Artinya
pelaksanaan dan pengamalan syara’ (agama) dan adat semakin kendor, akibatnya
terindikasi, pada kepribadian anak-anak Minang, kurang memcerminkan kepribadian
nan-4 sebagai substansi karakter “adat (budaya lokal) melaksanakan agama“
yakni: karakter sopan – santun dan budi – baso.
Pengaruh Global
Secara
umum ada hal yang ironis, kepribadian anak di tengah masyarakat adat Minang
masih tidak sepi dari perbincangan dan ungkapan miring. Substansi adat sebagai
pelaksanaan dari syara’ (agama) yakni sopan – santun, budi – baso seperti tadi
disebut sudah tidak banyak menjadi karakter anak. Mungkin saja orang tua sudah
menunjukajarinya sejak kecil sopan santun, paling-paling bertahan hingga
tamatan PAUD/ TK. Tadinya pergi sekolah, menyalami dan mencium orang tuanya,
sudah di SD – SMA, sopan santun seperti itu mulai pudar, bahkan pergi sekolah
dan pulang “nylonong“ saja, pergi “melajang“, pulang “tenang-tenang
saja“ dan orang tuan seperti tak kuasa pula memperbaikinya.
Fenomena
perubahan drastis karakter anak disebabkan banyak faktor. Lingkunan pengaruh global
terlalu kuat, kesempatan mendayafungsikan nilai adat budaya dan agama semakin
melemah. Sistem pendidikan pun terlalu banyak membuat anak di lokal. Tak ada
waktu yang tersisa di luar bersosialisasi dan membentuk karakter. Waktu di luar
yang sedikit itu pun dihabiskan pula untuk kursus, karena sekolah juga
mengandalkan kursus. Malam tidak sempat lagi mengaji bahkan makan saja susah,
harus segera mengulang pelajaran (sekolah dan kursus) yang bertumpuk, itu
sampai larut malam dan pagi harus segera pula bangun pagi ke sekolah.
Hampir-hampir anak di SD/ MI sampai SMA/ MA tidak bisa bernafas meluangkan
waktu dari kesibukan belajar di lokal sekolah dan kursus di luar.
Fenomena
kesibukan anak di lokal sekolah dan kursus ini menjadi percakapan menarik pada
seminar yang dilaksanakan Dewan Riset – Bappeda Sumatera Barat dalam merumuskan
Stregi Pembangunan Pendidikan di Sumatera Barat 27 Juni 2011. Dalam forum ini orang tua, kakek/ nenek (seperti
Fachri Ahmad, Bgd. M. Letter, Syafruddin Nurdin, Agus Irianto dll) saling
mengeksplisitkan pengalaman mereka
mengenai kesibukan anak/ cucu mereka belajar dan kursus dewasa ini.
Akibat tidak ada waktu bagi anak bersosialisasi di luar sekolah dan kursus,
terasa benar pada pendidikan dasar sudah mulai runtuh karakter anak. Dari
perspektif agama disebut akhlaknya sudah mulai berkurang. Mereka sudah
berbudaya seperti layaknya anak muda “semau-maunya saja“. Lebih dominan
pengaruh budaya asing dari budayanya sendiri. Kata orang Minang:
alah limau dek mindalu
hilang pusako dek pancarian
Peristiwa
anak Minang ini menunjukkan gejala disitegrasi, tergoda nilai baru yang
sepenuhnya belum dimengerti, ditinggalkan nilai lama yang ada padanya yang
sudah sejak lama teruji membentuk kepribadian. Kepribadian mereka tidak lagi
mencerminkan berakar dari nilai agama dan norm adat budaya Minang. Itu yang
menjadi gunjing, anak tak beradat, meskipun sudah belajar BAM (Budaya Alam
Minangkabau) yang terjebak pada ranah kognitif (diajarkan dan diuji tulsi
seperti ilmu lain) tak dilihat pembiasaannya berprilaku.
Selain BAM mata pelajaran yang berkarakter,
sama halnya dengan pendidikan dengan mata pelajaran berkarakter (agama,
Pancasila, KWn) di sekolah pun masih terjebak pula pada ranah kognitif saja,
tidak ada yang dinilai pembiasaan sikap dan karakter. Fenomena ini sering
dikritik Prof. Dr. Irwan Parayitno/ Gubernur Sumatera Barat dalam berbagai
forum pendidikan dan adat – budaya lokal Minangkabau. Profesor Irwan ini ikut
mengonsep pendidikan terpadu (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan
berkarakter secara nasional tahun 1984, ia berharap mata pelajaran berkarangter
itu tidak perlu diuji secara tertulis, karena masih strategi metode pembiasaan,
karenanya pembiasaan prilaku agama, adat dan prilaku sebagai warga negara itu
yang harus dinilai pada anak.
Pada perinsipnya
pembicaraan “fungsi adat, budaya dan agama dalam upaya pembangunan
kepribadian anak”, cukup menarik baik dalam perbincangan adat, perbincangan
agama maupun perbincangan budaya bangsa. Tetap saja banyak permasalahan
sebenarnya dan menarik dipecahkan dalam pembentukan kepribadian anak. Setidaknya
pembicaraan pada fokus pengamatan masalah, (1) karakter nilai adat budaya dan
agama dan kondisi kepribadian anak Minang sekarang dan (2) upaya membentuk kepribadian anak dengan nilai
adat budaya dan agama.
Rumusan Nilai Adat Minang
Adat Minangkabau bagaimana pun termasuk subkultur
(kebudayaan) bangsa, yang punya filosofi ABS – SBK (Adat Basandi Syara’ –
Syara’ Basandi Kitabullah), dioperasionalkan SM – AM (Syara’ Mangato – Adat
Memakai) dan ATJG (Alam Terkembang Jadi Guru). Artinya adat Minang adalah
pelaksanaan agama (syara’). Dalam melaksanakan syara’ yang bersumber
al-Qur’an (Kitabullah) plus Hadis Nabi saw, dibumikan dengan kepintaran membaca
kearifan alam. Adat Minang juga merupakan pagar yang kuat melindungi agama
(Islam). Kata petatah Minang:
Di dalam nan duo
kalarasan
Adat manjadi darah
daging
Syara’ nan lazim ka
imanan
Adat nan kawi nan
mandinding
Tidak adat Minang namanya kalau bertentangan dengan norm
yang bersumber dari agama, dan tidak orang Minang namanya kalau tidak pandai
membaca tanda kearifan alam sesuai dengan ATJG tadi sebagai sunnatullah/ kitab
Allah yang tidak tertulis. Keterpaduan adat, agama dan alam ini dituangkan
dalam petata di antaranya:
Simuncak mati
tarambau
Ka ladang mambao
ladiang
Adat jo syara’
Minangkabau
Umpamo awua dengan
tabing
Sanda manyanda
kaduonyo.
Adat dalam perspektif
subkultur Minangkabau merupakan sistem
nilai yang mengatur prilaku terumus dalam petata petiti. Agama adalah sandi (landasan penguat tiang
bangunan rumah Minang, bukan sendi – atau pondasi) dari adat, yang rujukan
utamanya (sandi) Kitabullah (al-Qur’an) dan alam sunnatullah yang tidak
tertulis. Sedangkan budaya
merupakan prilaku mengacu norm
agama dan adat. Lalu Kebudayaan dalam
perspektif adat Minangkabau inheren
dengan adat itu sendiri, karena kebudayaan itu sudah menjadi sistem lagi
yang berfungsi mengatur semua sistem prilaku (intangible lainnya) dan mengartur
semua hasil cipta, rasa dan karsa (tangible lainnya).
Defenisi kebudayaan banyak sekali dalam berbagai
perspektif. Namun dari sekian banyak defenisi kebudayaan, setidaknya pada
kebudayaan itu terdapat 7 sistem yakni: (1) sistem sosial, (2) sistem ekonomi
(termasuk sistem prilaku pertanian, kehutanan, kelautan, perdagangan, moneter,
pariwisata sering ditafsirkan devisa/ padahal pariwisata itu juga sistem
kebudayaan dsb), (3) sistem politik , (4) sistem ilmu pengetahuan (termasuk
pendidikan), (5) sistem filsafat, (6) sistem seni, (7) sistem religi (sistem
prilaku beragama, bukan kitab suci dalam pengertian yang sakral dan
transedental). Semua sistem ini dan pengaturannya terdapat dalam fungsi adat di
Minangkabau. Karenya kebudayaan itu adalah adat itu sendiri di Minangkabau.
Pemahaman tentang kebudayaan dalam perspektif berbagai
suku bangsa di Indonesia penting dibakukan. Sebab memahami adat saja dalam
kontek kebudayaan secara nasional, sering sekali adat itu ditulis dan diucapkan
dengan adat istiadat, padahal adat istiadat itu satu di antara pembagian dari 4
pembagian adat dalam perspektif subkultur Minangkabau. Pemahaman seperti ini sedang
dicari dan dibutuhkan untuk merumuskan frem of thinking dalam RUU Kebudayaan di Indonesia dewasa
ini. Sementara pemahaman kebudayaan
inheren dengan adat di Minangkabau ini sudah saya tegaskan di Gubernuran
Sumatera Barat, 16 Juni 201 dalam
Pertemuan dengan Tim Panja DPRRI Komisi
X dengan Gubernur, dihadiri pula Pimpinan Lembaga Adat, Budayawan, Tokoh
Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Kebuayaan di Sumbar. Saya memberikan
koreksi RUU Kebudayaan yang masih prematur itu, yakni pemakaian/ penulisan kata
adat istiadat itu
dikorksi, cukup ditulis adat
saja, karena di Minang, adat istiadat itu sudah termsuk dalam kata adat.
Justru adat istiadat itu di Minang merupakan salah satu
dari adat yang empat (adat nan sabana adat, adat teradatkan, adat nan diadatkan
dan adat istiadat). Makanya pendefenisian kebudayaan dalam perspektif Minang
inheren dengan adat, karena cakupan sistem adat itu luas seperti luasnya
cakupan sistem kebudayaan meliputi semua sistem kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara termasuk semua sistem yang menjadi nomenklatur
kementerian di Negara Republik Indonesia.
Karenanya, pemberian pengertian umum tentang kebudayaan
dalam RUU semestinya diberi batasan dan identitas mana yang dilestarikan,
diatur dan diselenggarakan Negara. Dalam
prakteknya selama ini yang diselenggarakan program kebudayaan meliputi seni dan
olahraga saja, padahal semua sistem. Karenanya diusulkan RUU Kebudayaan itu
meliputi seluruh sistem kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena
pembangunan ekonomi misalnya kalau tidak diberi pondasi dan tidak didukung
iklim budaya dan prilaku yang sehat, dipastikan akan menuai kegagalan. Jadi
ekonomi diselenggarakan kementerian ekonomi, dan sistem budayanya diatur oleh
kementerian kebudyaaan.
Dalam budaya Minangkabau sesuai dengan konsesus atau
Perjanjian Bukit Marapalam yang menjadi filosofi masyarakat adat Minangkabau
yakni ABS – SBK, adat itu sudah menyatu dengan agama. Adat itu adalah
pelaksanaan agama (syara’/ Islam). Orang yang berprilaku sesuai dengan agama tercermin
dalam pelaksanaan adatnya, disebut sudah berbudaya Minang. Artinya tidak orang
Minang namanya kalau tidak beragama Islam, atau tidak adat Minang namanya kalau
tak berakidah dan berpegang dengan Tuahn sesuai agamanya (syara’/ Islam). Bagi
orang Minang, adatnya tak boleh lepas dari Tuhan, bila tinggal Tuhan dunia
hangus dan akhirat lepas. Hal ini diingatkan petatah:
Nan mancancang nan
mamapeh
Nan bahutang nan
mambayia
Tali jo Tuhan kalau
lapeh
Dunia anguih akhirat
cayaia
Artinya adat yang secara
substansial mempunyai 4 karakter (kepribadian) yakni sopan - santun dan
budi – baso, tidak saja mengatur prilaku dunia tetapi juga ada tujuan
akhirat. Orang Minang berprilaku akhlak mulai dan bermartabat, tidak saja mulia
di dunia, tapi juga menjadi jembatan emas ke akhirat.
Karakter Sopan
Sopan merupakan karakter yang patuh. Dalam
perinsip syara’ sumber al-Qur’an (Surat
Al-Rahman, 55:56) kepribadian menawan yang sopan – sopan itu
dilekatkan dengan bidadari. Kepribadian sopan itu tunduk secara ikhlas kepada
aturan baik aturan agama, adat, maupun aturan negara. Karakter ini, mendorong
sikap dan prilaku damai dan tulus mematuhi dan menta’ati semua aturan yang
berlaku. Tidak ada merasa terpaksa dan tidak ada rasa dongkol melaksanakan
aturan. Yang baik sama-sama dipakai dan buruak sama-sama
ditinggalkan. Norm ini dipatri dalam petitih:
Adat
biaso kito pakai
Limbago
nan samo dituang
Nan elok
samo dipakai
Nan
buruak samo dibuang.
Dengan komitmen
kuat bersikap sopan, timbul rasa malu melanggar aturan, melakukan yang buruk, melakukan
yang mancando (rupa-rupa buruk dipandang orang) atau sumbang salah (nan 12 baleh)
sperti salah duduk, salah tegak, salam tidur, salah bangun, salah berkata, salah
diam, salah makan – salah minum dsb.
Karakter
sopan lebih jauh membentangkan dunia damani. Dalam keadaan apapun
memperlihatkan sikap berdisiplin. Pemimpin (ninik mamak, orang tua), dan yang
dipimpin (anak dan kamanakan) pandai dan cerdas serta mendambakan persatuan
kesatuan mewujudkan kedamaian dalam masyarakat yang bertikai (koflik) diimami
hukum. Norm adat dalam petiti di antaranya:
Ayia
janiah sayaknyo landai
Jalan
rayo titian batu
Kalau
barundiang cadiak jo nan pandai
Nan duo
menjadi atu
Sikap
sopan, padanya tidak akan ada sedikitpun rasa bangga lolos dari hukuman dan
sanksi setelah melanggar aturan. Ia adil dalam menimbang. Manimbang di ateh
nan ado (menimbang di atas yang ada). Ado ukua jo jangko (ada
ukuran dan jangka). Norm adatnya dalam petiti:
Barih
manahan tiliak
Balabih
manahan cubo
Bantuak
dimakan siku-siku
Artinya, karena ada patokan hukum adat,
karakter sopan jauh dari sikap protes tak berdasar, apalagi demo yang tidak
pernah berakar dari budaya Minangkabau, karena demo itu bertentangan dengan
norm: jangan mambaok busuak kalangau/ jan manapiak ayia di dulang, dado awak
juo nan kabasah. Mendemo orang tua/ apalagi ayah atau mamaknya sama artinya
meneriakan busuk sendiri.
Penyelesaian
masalah secara musyawarah di Minang lebih hebat dari demokrasi pareman barat,
dan lembaganya bertingkat: bajanjang naik/ batanggo turun (mulai dari
lembaga paruik, jurai, suku/ kampung sampai ke nagarai). Orang Minang optimis
seberat apapun perkara pasti selesai, karena: tak ada kusuik nan tak
kasalasai/ tak ado karuah nan tak kajaniah.
Artinya
orang yang sopan baik sikap, tindakan maupun perkataan tidak ada yang melanggar
norm yang berlaku (agama, adat dan hukum negara). Dalam berkata ia tahu dengan jalan
nan ampek (kato mandaki, kato manurun, kato mendatar dan kato malereng). Kato
mandaki, berkata kepada orang yang dihormati, perkataannya tidak menjatuhkan
wibawa dan martabatnya. Kato mendatar, kata orang muda dengan bahasa yang manis
(estetika, erotika tetapi tetap
dalam kontrol etika). Kato
malereng, perkataan berkias dan halus, menunjukan kearifan, kepiawaian dan
cerdik cendekia. Orang Minang paling luka dengan kato maleren. Luka dek
sembilu piladang obatnya/ luka dek kato malereng dibawa mati. Demikian
kepada yang kecil ada kato manurun, adalah perkataan yang menyayangi semua yang
kecil dan termasuk kepada orang tua yang sudah tua dan lemah
Rasional dan Emosional
Santun merupakan
karakter dengan wujud perilaku/ sikap, tindak dan perkataan yang menawarkan
rasa sejuk dalam pikiran dan senang dalam hati. Pareso (kecerdasan
pikiran/ intelectual/ rasional) selalu seimbang dengan raso (kecerdasan
emosional). Rasionalnya dibawa turun, rasa dibawa naik, bertemu pada gelombang
yang sama, dan memancarkan nada nyambung dengan mitra yang seimbang.
Pemimpin
(penghulu, ulama, cadiak pandai dan bundo kandung) yang santun di Minang baik
secara rasional maupun emosional, melahirkan sikap melindungi seluruh tumpah
darah (ranah dan rantau) dan rakyat (anak kamanakan) sesuai fungsinya
masing-masing. Norm adat menata dalam petatah:
Penghulu
lantai nagari
Cadiak
pandai pagaran kokoh
Alim
ulama suluah bendang
Bundo
kandung hiasan nagari.
Kalau ada orang salah dan silang sengketa, dengan
rasa, pandai menyelesaikan dengan santun dan membuat jera sipelaku. Kalau terpaksa merespon tantangan berkelahi, ia bisa berhenti dan menghentikan
perkelahian dan pertikaian secara santun dan sportif.
Sikap sportif itu dalam prakteknya dalam adat
diberi nilai, hitam tahan tapo, putiah tahan sasah, kok manang jan manapuak
dado, kok kalah jan manyasa. Artinya orang yang sportif mengakui keberadaan
orang meskipun lawan. Dalam pertarungan politik misalnya, pada event Pemilu,
Pilpres, Pilkada dan Pilwana (Pemilihan Wali Nagari) jika pesta pemilihan sudah
selesai, yang menang terhomat dan yang kalah tetap punya martabat. Sportifitas
diperlihatkan, pemenang pemilihan juga tidak boleh dendam dengan siapa saja.
Sebab dalam adat memakai disebutkan, api padam puntuang anyuik, galanggang
usai sangketo abih, biduak lalu kiambang batauik, yang namanya silaturahim
tidak boleh putus. Nilai adat ini sejalan dengan perinsip syara’ dalam praktek
Rasulullah saw seperti dalam sabdanya: ashila man qatha’aniy/ aku
senantiasa menyambung silaturrahmi dengan orang yang selalu memutusnya. Juga
sabdanya afwu man zhalamani/ aku selalu memberi maaf orang yang pernah
menzalimi aku, tentu itu dialakukan dengan penuh kewaspadaan yang santun.
Norm
adat Minang dalam berkompetisi bahkan dalam menerima tantangan berkelahi satu
lawan satu, atau cakak batanaan (berkelahi bawa nasi) atau cakak massal
(tawuran), tujuannya hanya ingin menunjukkan: ”kalau orang bagak/ ia bagak
pula”. Ada ketahanan diri. Apalagi anak laki-laki Minang, salangkah turun
dari janjang, musuah tidak dicari, kok basuo pantang dielakkan. Kesatria,
dalam norm adat: aso hilang/ dua tabilang/ tanamo anak laki. Tetapi
kalau memang perang ka bsosoh, caliakan tando laki-laki/ usah takuik nyawa
malayang/ jan cameh darah taserak.
Tetapi
dengan sporitiftas orang Minang, lebih senang, kalau harus berkelahi adalah
tanpa senjata. Bila pakai batu atau pisau disebut orang Minang ”gadang
sarawa” (besar celana) artinya penakut. Abih mansiu nan salatuih/ abih
peluru nan sabuah/ nan musuah balawan juo. Abih sanjato tajam/ hilang sanjato
lahia/ saanjato batin digunokan. Artinya orang berani, kita juga harus
berani. Tetapi jika sudah tahu orang juga berani/ bagak, kita harus bisa
menghentikan/ berhenti berkelahi dengan sportif. Tidak harus sampai membunuh.
Tidak
seperti sekarang, siswa dan mahasiswa berkelahi atau tawuran, tujuannya
membunuh, diasah ladiang 7 hari 7 malam, lalu dikejar lawan ditikam bunuh,
sangat tak sportif, tak santun, jahat, tak ada lagi kecerdasan otak dan
kecerdasan perasaan, kecerdasan spiritual. Tipe teroris, semua orang yang
menantang mau dibunuh semua, takut orang bergaul dengannya.
Dengan kepribadian
santun, semua orang senang bergaul dengannya. Ia mengembangkan gaya hidup
pandai menyantuni yang kecil dan pandai menyenangkan hati orang tua/ tidak tak
sekalipun hendak membuat hiba hati orang tua/ orang yang dihormati. Artinya
karakter santun melahirkan budi yang indah. Bisa memaafkan orang yang sering
menzaliminya di samping menyimpan kewaspadaan, bisa menyambung hubungan
silaturrahmi dengan orang yang tega memutuskan silaturrahmi, bahkan seperti
perinsip Islam, mau mengunjungi musuh, meski harus dengan tetap waspada.
Santun
Karakter budi baik itu mempertahankan
martabat manusia, tetapi memikulnya berat. Orang Minang membandingkan, memikul
budi yang baik tak semudah memikul beban, karena sama artinya mempertahankan
kemulian dan martabat diri dan orang lain. Normnya dalam petatah: anak
nelayan mambaok cangkua/ menanam ubi di tanah darek/ baban sakoyan dapek
dipikua/ budi sadikit taraso barek.
Demikian pula kepribadian berbudi itu amat
baik. Normnya terumus dalam petata petitih:
Nan
kuriak iyolah kundi
Nam
merah iyolah sago
Nan baik
iyolah budi
Nan
indah iyolah baso.
(Yang kuriak (ragi) ialah kundi
Yang merah ialah sago
Yang baik ialah budi
Yang indah ialah baso)
Kundi sejenis buah raginya menarik, keras dan
licin. Di mana pun ia berada, meski dibenam ke lumpur, ia tidak akan berlumpur,
tak bisa lumpur melekat padanya, pun ragi indahnya tidak berubah. Orang Minang
mengiuaskan, budi baik itu bagaikan kundi yang kuriak. Ia tidak akan pernah
berubah di mana dan kapan pun. Tak ada situasi yang bisa merubahnya.
Dengan karakter budi baik, orang Minang
menjadi konsisten pada 4 hal: tetap memiliki subtansi yang tuntas paham betul tentang adatnya, artikalasi yang baik tulisan dan lisan
cepat meyakinkan orang, inklusivisme yang tuntas tidak pernah
mendidikan kampung dalam negeri orang. Orang Minang ke mana pergi (termasuk
merantau) akan menghargai orang di mana ia tinggal. Ini sejalan
dengan normnya : di mano bumi dipijak di situ langit dijujung.
Dengan budi baik anak Minang, kalau ada orang
berjasa akan tetap dikenang, tidak pernah ada seperti kiasan: kacang lupa
dngan kulitnya atau baru melaut
lupa daratan. Orang Minang tak pernah bisa melupakan jasa orang sedikitpun.
Tak ada istilah ”itu gurunya
dulu”, sekali guru tetap guru, tak ada mantan guru. Sekali orang tua tetap
orang tuanya, ia akan berbakti, kata orang Miknang: walaupun mancik yang
orang tua tetap orang tua, artinya walaupun buruk tetap bangga dengan orang
tuanya.
Dengan budi baik, orang Minang akan tetap
menghormati orang yang pernah dihormatinya, meskipun orang yang dihormatinya
itu tidak menghormatinya. Sikap itu akan terbiasa sampai besar, dulu pejabat,
wali nagari, camat, bupati, gubernur amat dihormati, setelah mantan tetap
dihormati.
Jika pemimpin baru berbudi baik mau melanjutkan
bengkalai programnya (performance gap/ kinerja bengkalai), tidak harus lagi
mulai baru atau menolkan kilometer. Kalau begitu budi baik pemimpin, akan kuat
adat, kuat bangsa dan negara. Nilai adat dalam petatah disebutkan: kuek
rumah karano sandi/ rasak sandi karano binaso/ kuek bangso karano budi/ rusak
budi hancualah bangso.
Kecuali para mantan yang dihormati, mereka tak
adil, tak berbudi, melanggar norm adat, agama dan hukum negara, pasti masyarakat
adat yang menghukum, memisahkannya dari tata pergaulan sebagai sanksi ibarat
orang tak berguna lagi. Norm adat mengingatkan dalam petatah:
Batang
anau paantak tungku
Pangkanyo
sarang sipasan
Ligundi
di sawah ladang
Sariak
indak babungo lai
Mauleh
jiko mambuku
Mambuhuah
kalau mangasan
Budi
kalau kelihatan dek urang
Hiduik
nan indak paguno lai.
Posisi orang tak berbudi menjadi lebih rumit.
Dalam nilai petatah disebutkan: dek ribuik rabahlah padi/ dicupak Datuk
Tumanggung/ hiduik kalau tak babudi/ duduk tagak kemari tanggung.
Karena itu pula, budi baik juga berfungsi
penangkal malu diri dan orang lain. Karano raso malu itu penting, dalam
perinsip agama ”malu bagian dari iman”, kata adat ”kok habih raso jo malu/
bak kayu lungga pangabek”. Juga budi baik itu memberi ingat, kalau pernah
di posisi atas ingat akan turun, ketika muda ingat akan tua, artinya selalu
memberikan keinsafan. Nilai adat menata dalam petatah: Dek rajin pandai nan
datang/ dek malu buruak tasuo/ hari pagi mananti patang/ insyaflah diri dengan
tubuh.
Bangga Memberi
Karakter anak Minang yang membuat orang
terkenang adalah baso indah. Pandai manggadangkan hati. Tahu bahasa yang
indah, halus berkias dan suka menawarkan jasa baik kepada yang datang. Nilai
adat dalam petitih:
Adat
banazar
Maniliek
hereng jo gendeng
Mamakai
baso jo basi.
Baso merupakan karakter indah mempesona dan
suka memberi. Nilai yang digambarkan petata petiti tadi: yang merah ialah
sago/ yang indah ialah baso. Buah sago, merah, indah, keras dan licin. Sama
dengan kundi yang kuriak, keras dan licin tak bisa lengket debu dan lumpur
apapun padanya. Demikian baso yang indah, tak akan pernah pudar dalam situasi
apapun di mana dan kapanpun.
Fenomena baso, kalau ada orang mampir ke
kampungnya dan singgah di rumahnya, ia tak sudi melepas tamunya kalau tak makan
tak minum di rumahnya. Tentu di saping ada pribadi bangga memberi,
dan yang diberikan pun tersedia pula. Kalau tidak ada uang (ameh), tentu
pelayanan tak sesuai dengan yang diinginkan: dek ameh kameh. Nilai adat
mengingatkan dalam petatah:
Elok
rarak dek hari paneh
Elok
lenggang dek di nan data.
Karenanya ekonomi mempunyai etos ekonomi. Namuah
bajariah bausaho/ indak mamandang jauh ampie. Kalau tak di kampung
berusaha, merantau. Di kampung: Batanam nan bapucuak/ mamaliharo nan
banyawa. Sasukek duo baleh tayie/ dicupak mako digantang/ nan lunak ditanam
baniah/ nan kareh dibuek ladang. Ekonomi dibangun orang Minangkabau, untuk
menyuburkan baso nan indah. Bisa taagiah yang patuik diagiah (dapat
diberi orang yang patut disantuni). Karenanya harus kaya, ingin kaya berusaha: nak
kayo kuek mancari/ nak labo bueklah rugi. Harus hidup makmur: Bumi
sanang padi manjadi/ padi di ladang lah manguniang/ padi di sawah lah masak
pulo/ rangkiang panuah dek isinyo.
Simbol baso indah di Minangkabau, di rumah
gadang ada rangkiang atau lumbuang. Ada yagn bernama “sibayau-bayau” berfungsi
gudang untuk bisa mempabasoi dagang lalu/ urang nan datang. Ada bernama
”sitinjau lawik” berfungsi sebagai sumber untuk memsubsidi korng jo kampung.
Yang banyak lumbung/ rangkiang birauwari, berfungsi sebagai cadangan
pangan masyarakat (anak kamanakan), kapanuruik alua nan luruih, kapanampuan
jalan nan pasa.
Orang Minang mengajarkan baso yang indah. Kalau
ada orang yang berbasa basi satu kali, tiga kali ia babaso menawarkan
jasa baiknya. Artinya orang-orang yang pernah berarti/ berjasa dalam hidupnya,
ia akan menunjukkan basa yang indah pula kepada mereka yang berjasa. Kalau ada
yang pernah menawarkan jasa baik, ia akan membalasnya dengan jasa yang lebih
baik pula. Norm adat dalam petitih: rang kayo suko di makan/ rang lai suko
baragiah. Ekonomi memberi peluang bisa memberi sebagai ibadat dalam amalan
infak, menyantuni yang orang yang berkekurangan.
Basa yang indah membuahkan kenangan lama
dalam kehidupan. Persis seperti perinsip agama (islam), man rahima ruhima/
orang yang pernah menyayangi akan disayangi.
Nilai
Agama
Pembentukan kepribadian anak dimulai
pembiasaan pertama di lingkungan rumah tangga oleh pendidik petama ialah orang
tua (ayah dan ibu). Ibu berbudi dan mengajar anaknya berbudi melahirkan anak
berbudi. Kalau keruh hidup tak sempat mendidik anak, tak jelas pula budi anak.
Petatah berdasarkan ATJG (Alama Takambang Jadi Guru) menata nilai: kalau
karuah ayia di hulu/ sampai ka muaro karuah juo/ kalau kuriak induaknyo/ rintik
pulo anaknyo.
Karenanya di Minang dulu mendidik anak di
rumah prioritas pertama. Dalam sistem kekerabatan Minang, orang tua bekerjasama
dengan saudara laki-laki ibu (mamak) dalam pembentukan karakter anak/ kamanakan.
Tugas berbagi. Membentuk karakter kecerdasan intelektual adalah tugas orang
tua. Di sisi lain pembentukan karakter sopan – santun dan berbudi baik dan baso
indah dilakukan ninik mamak di surau suku/ kampung. Di surau
itu diajarkan dan dibiasakan trilogi: agama, adat dan silat. Sharing
pembangunan keperiadian anak – kamanakan ini dilakukan orang tua dan ninik
mamak, sejalan dengan petiti: anak dipangku/ kamanakan dibimbing.
Sekarang kekompakan orang tua dengan ninik
mamak sudah berkurang. Ayah/ sumando di kampungnya menjadi mamak dihargai kamanakan,
tetapi sebagai ayah di rumah anaknya melecehkan ninik mamak anaknya, lantaran tak
bersayap (tak punya). Karenanya kata orang Minang orang sumando (sumenda/
suami dari adik atau suami dari kakak perempuan atau suami dari semua perempuan
pada kaum suku seseorang) yang kaya dan terhormat (berkedudukan tinggi) tetapi
tidak mengerti adat, berpotensi akan merusak adat. Ia seperti tidak mebutuhkan
mamak anak bininya. Semua ia bisa dan mampu, kekayaan dan kekuasaan ada. Buat
apa mamak yang tak punya (harata dan kekuasaan). Sang ayah/ sumando seperti
ini, tidak sadar, bagaimana pula ia diperlakukan sumandonya dan kepenakannya di
kaumnya sendiri. Ini yang terjadi, fenomena ayah/ sumando seperti ini tidak
bisa mendidikan anak dengan karakter adat berkepribadian sopan – santun dan
budi baik – baso indah. Karena ayahnya/ sumando sendiri tidak sopan kepada
mamaknya dan mengajar anaknya tidak sopan kepadan mamak, karena tak ada yang
bisa diharapkan dari ninik mamak yang tak punya.
Tersebab anak kamanakan akhlak dan
keberadatannya kurang baik, akan berdampak pula pada merosotnya wibawa
orang tua dan mamak. Bahkan penurunan wibawa orang tua dan mamak. Di samping itu
juga dipicu sikap mamak sendiri, karena mereka tidak bapadang lapang, baalam
leba (berpadang lapang, beralam lebar) akan memberi peluang timbulnya
kenakalan anak kamanakan atau kekerasan/ tindak kriminal dalam adat yakni mandago
dagi bahkan menyebabkan terjadi tikam bunuh (tindak kriminal) bak mamang
adat: mamak badaging taba, kamanakan bapisau tajam (mamak berdaging
tebal, kamanakan punya pisau tajam). Orang tua yang tidak arif dan tidak cerdas
mendidik anak, terjadi kekerasan di rumah tangga. Suami (ayah) melakukan tindak
kekerasan terhadap isteri (ibu) di samping juga terjadi kepada anak dan ada
yang berujung ke pengadilan. Fenomena itu tidak boleh terjadi dalam keluarga
Minang. Kalau sempat saja kasus rumah tangga sampai beracara di pengadilan,
dipastikan itu tidak orang Minang lagi, karena sudah menyalahi agama, sedangkan
adat melaksanakan agama. Tidak adat Minang namanya kalau menyalahi agama.
Ke-Minangkabau-an itu bisa tercerabut dari
akarnya, bila di rumah secara informal dan di surau secara formal/ nonformal
sekarang, anak kamanakan kurang mendapat pendidikan akhlak mulia (sopan –
santun dan budi baik – baso indah). Demikian pula pada pendidikan formal
sekarang (SD, SMP dan SMA dan sederajat) lebih dari 50 tahun (sejak 1960 sampai
sekarang ini), murid tidak mendapat pendidikan budi pekerti khusus akhlak
mulia, selain agama dan BAM (Budaya Alam Minangkabau yang diajarkan guru tak
paham banyak tentang adat dan terjebak pula dalam ranah kognitif, diajarkan
sama dengan ilmu sosial lainnya, habis belajar dievaluasi dan dinilai hnaya
ujian tulis, pembiasaan tidak ada). Artinya, situasi ini membahayakan
pembangunan kepribadian anak, hampir setengah abad terjadi lost generation,
tanpa pewarisan local knowledge (pengetahuan lokal), local genius
(kecerdasan lokal), adat (sopan – santun serta budi baik – baso indah) dan
akhlak (budi pekerti, etika, moral) meski ada pendidikan moral Pancasila dan
kewarganegaraan, namun sekarang pendidikan moral Pancasila itu sudah tidak
sekuat selama orde baru dulu dan itu pun juga terjebak dalam ranah kognitif,
tidak menunjukan pendidikan dengan kompetensi membentuk karakter/ kepribadian
dengan ranah terpadu (kognitif, afektif dan psikomotorik).
Karenanya tidak ada contoh dan dinilai pembiasaan
kepribadian yang sehat, tidak mustahil pula akhlak, etika dan moral anak
dikhawatiri akan menggerogoti citra Minang bahkan bangsa dan negara. Tak tumbuh
kembang sikap sopan santun, raso pareso, kurang berhati lembut, kurang ramah,
tidak punya kasih sayang, kurang sabar, cepat marah, memaksakan kehendak, demo
dengan yel-yel kotor bahkan kontra produktif, berkelahi saling bunuh, tak ada
lagi kesantunan nebaruh hiba kepada orang yang lemah dsb. Artinya koondisi anak
termasuk di daerah, tidak memiliki karakter adatnya lagi: sopan – santun dan
budi baik – baso yang indah, entah tercecer di mana.
Sekolah
Berbasis Surau
Fenomena prilaku miring pada anak,
lantaran anak kamanakan kurang mendapat pembiasaan berprilaku sesuai norm
syara’ (agama) dan nilai adat. Filosofi ABS – SBK dilaksanakan SM – AM dan ATJG
kurang tersosialisasi di dalam kehidupan anak Minangkabau. Mereka tak mampu
memahami adat istiadatnya sendiri. Dampaknya mereka kehilangan kearifan dan
jati diri ke-Minangan-nya kabur.
Ada upaya dengan kurikulum muatan lokal
pembelajaran BAM dan yang diajarkan pun melebar pula pada adat nan sabatang
panjang. Tak pokus, dan tak tersentuh ragam adat nan salingka nagari.
Karenanya pembelajaran BAM di sekolah itu tak mampu merubah budaya (prilaku)
keberadatan siswa secara signifikan. Buktinya masih terdapat suara miring
menyebut ”anak-anak belum beradat”. Diperparah pula, ada beberapa kasus guru
BAM, ada guru yang tidak di bidangnya, dan tak memahami adat secara dalam. Anjuran
yang patut diperhatikan, jembatani ninik mamak ke sekolah membantu menjelaskan adat
pada pembelajaran BAM dan membiasakan adat dalam pelaksanaan ekskul yang
bernuansa surau.
Dalam pembelajaran BAM guru di sekolah
bisa sharing dengan ninik mamak masuk ke sekolah, sharing membiasakan
kepribadian beradat pada hidden kurikulum/ kegiatan ekskul bernuansa
surau di sekolah. Di Sumatera Barat, sduah menjadi kebijakan menambah jam
pelajaran agama yang terbatas dan pembelajaran BAM yang tak sampai,
melaksanakan hidden kurikulum kegiatan ekskul bernuansa surau,
menciptakan suasana kampus dengan menerapkan suasana Islami dan beradat, mengajarakan al-Qur’an, membebaskan buta
huruf arab melayu/ al-Qur’an dan membiasakan adat, namun itu semua masih dalam
tahap uji coba.
Di sisi lain didukung kuat pembiasaan
nilai adat dan agama di rumah tangga, orang tua memberi contoh dan tuntunan
terhadap anaknya agar berkepribadian sopan – santun dan berbudi baik – babaso
indah. Dalam masyarakat Minang sebenarnya, rumah tangga sebagai lembaga pendidikan
informal pertama membangun kepribadian anak. Orang tua (ayah dan ibu) orang
pertama sebagai pendidik melakukan pendidikan berkarakter. Belajar dari
pengalaman Bundo Kandung, sesibuk apapun ia sebagai ibu dan Raja Pagaruyung, ia
tidak lengah, setiap saat mendidik anaknya Sutan Rumandung (Dang Tuangku) dan anak
pengasuhnya si Kambang Bandahari yakni Cindua Mato. Motivasi mendidik anak
disadari atau tidak tergantung juga “nilai anak di mata orang tua“. Bundo
Kandung memandang anaknya punya nilai “aset pemimpin masa depan“, karenanya Bundo/
Mandeh mendidik keduanya menjadi pemimpin Minangkabau.
Sedang enak tidur anak, Bundo Kandung/ Mandeh
membangunkannya. Begitu terdengar suara Mandeh, langsung Dang Tuanku dan Cindua
Mato bangun. Duduk basamo mandeh, siap menyimak pengajaran Mandeh. Mandeh
bertitah karena anak bertambah gadang juga. Mandeh mencuraipaparkan adat
limbago nagari, tambo adat dan tambo alam, serta wilayah Minangkabau mulai dari
luak nan-3 yang berpenghulu dan rantau nan barajo, juga menceritakan sifat dan
pantangan penghulu dan raja. Titah Bundo Kandung itu dapat dilihat dalam Kaba
Cindua Mato kepada anaknya yang dibekali menjadi raja , kemudian terjadi dialog
seimbang antara Mandeh dan anak sbb.:
”Bukan murah jadi rajo, pandai mahukum
adia-adia, lagi cadiak bijaksano, arif budiman anak pakai, penyayang kepada
hamba rakyat, panyantun ka urang dagang, tahu dikieh dengan bandiang, tahu di
ujung kato sampai.
Danga bana dek anak kandung, adat limbago
jadi rajo, barani bakato bana, takuik karano salah, lapang dado bakato-kato,
cadiak usah mambuang kawan, gapuak usah mambuang lamak. Jiko kito manjadi rajo,
di lahia urang manyamba, di batin awak manyambah.”.
”Sanan manjawab Dang Tuanku, kalau buliah
denai batanyo, apo guno pangulu, apo karajo baliau nantun?”.
”Mandanga kato anak kanduang, galak tasanyum
Bundo Kanduang, lalu batitah maso nantun. Lorong kapado pangulu, itulah urang
baanak buah, manyusun maatua anak kamanakan, ka pai tampek batanyo, ka pulang
tampek babrito. Lorong kapado hamba rakyat, inyo barajo jo mamak, mamak barajo
jo pangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat di Balai Panjang, karapatan
pengulu basa batuah, putuih mufakat dalam balai, di antakan ka basa ampek balai”.
Dari pengalaman dan ungkapan Bundo Kandung
mengajar anaknya. Dari kecil Mandeh sudah mulai membiasakan sikap sopan –
santun kepada orang tua. Sekali Mandeh menghimbau, cepat direspon sang anak,
pertanda anak sopan dan santun kepoada orang tua, tidak basipakak, membuat hiba
hati orang tua.
Bundo Kandung membiasakan, ibu sebagai
sumber, tempat bertanya dan curhat. Membiasakan berdialog yang seimbang dan
terbuka. Ibu bertutur dengan santun kepada anaknya, anak bertanya dengan sopan,
menjaga hati ibunya tidak hiba, menjaga pembicaraannya tidak menjatuhkan
kemuliaan ibunya sepertinya telah mengamalkan perinsip al-Qur’an pada karakter kata
”...qul qaulan karimaa / kamu katakanlah perkataan mulia”.
Dari paparan 9 tulisan tentang fungsi nilai
adat dan pembangunan kepribadian anak dapat disimpulkan. Pertama nilai adat
budaya lokal secara substantif dapat membentuk kepribadian sopan – santun
dan berbudi baik – babaso indah, selaras dengan sumber perinsip syara’ (agama/
Islam) adalah akhlaq mahmudah (akhlak terpuji) menjadi prioritas pembentukan
karakter/ kepribadian. Kondisi objektif, anak sewaktu kecil sudah dibiasakan kepribadian
Minang dan Islami oleh orang tua, tetapi pengaruh lingkungan/ pengaruh global
terlalu kuat, karakter itu berubah sewaktu sudah memasuki pendidikan dasar dan
menengah. Namun yang jelas karakter
adat, budaya dan agama dapat dibiasakan dalam membangun kepribadian anak.
Kedua, membangun kepribadian anak dengan
nilai adat budaya dan agama, belum ditemukan metodologi yang kuat selain
”pembiasaan”. Pembiasaan pertama dimulai di lembaga keluarga sebagai lembaga
pendidikan informal pertama dan dibiasakan oleh pendidik pertama ialah orang
tua (ibu dan ayah). Pembiasaan berikutnya dalam lingkungan masyarakat sebagai
pendidikan nonformal, bila anak memperlihatkan kepribadian tak sopan – tak
santun, tak berbudi baik dan tak babasi yang indah, tokoh masyarakat adat dan
agama semestinya berani memberikan teguran sebagai kontrol sosial masyarakat.
Pembiasaan ketiga di sekolah, BAM tidak diajarkan dan dievaluasi dalam ranah
kognitif saja tetapi harus terpadu tiga ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Anak tidak dilihat dari pemahaman adat saja lalu diuji tertulis,
tanpa ada pembiasaan dan penilai terhadap kebiasaan prilaku yang beradat dan
beragama yang mengakar pada kebudayaan lokalnya. Guru yang mengajarkan BAM bila
tidak memahami materinya, jembatani melalui pembelajaran BAM ini ninik mamak
masuk sekolah, beri kesempatan ninik sharing dalam membelajarkan adat sebagai
mata pelajaran muatan lokal yang dapat membentuk karakter dan kepribadian
anak.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar