OLEH Deddy
Arsya
“Melayu mati karena pangkat—karena
jabatan!” kata Hamka dalam sebuah ceramahnya, mungkin di tahun 1970an, ketika
dia dengan rutin mengisi pengajian di RRI dan TVRI. Saya hanya punya rekaman
audionya, dan tak ada penanda tahun di situ.
Hamka barangkali tidak membaca Orientalism karya Edwar Said yang
terkenal itu. Sebuah telaah kritis terhadap kecendrungan ilmuwan barat dalam
menilai timur; kritik keras atas kerja para orientalis yang melakukan ‘generalisasi’
atas watak kultural masyarakat yang ditelitinya. Menurut Said, upaya ‘pengidentifikasian
tabiat’ dilakukan para ilmuwan Eropa terhadap timur jajahan, yang pada akhirnya
melahirkan generalisasi yang bias atas watak kultur masyarakat itu.
Tetapi, jika pun Hamka telah membaca
Edward Said, dan sekalipun kita juga telah membaca kritik yang sama, kita terkadang
sulit untuk mengelak dari stereotipe di atas. Kita, si pendengar, tetap akan
mengangguk-angguk mendengar cemoohan Hamka, sembari tersenyum kecut mungkin.
Hamka toh tengah mencemooh bangsanya sendiri, sebab tidakkah dia juga seorang Melayu?
Tetapi bukan semata otokritik Hamka itu sebabnya tentu. Kita mengangguk-angguk
dan tersenyum kecut karena apa yang dikatakan Hamka mendapat pembenaran dalam
realitas; kadang-kadang (atau malah seringkali) kita temukan ‘generalisasi
tabiat’ itu terbukti.
Dalam dunia Melayu, pangkat atau jabatan bagai
riwayat yang kekal. Idiom ‘mati karena pangkat’ menegaskan ‘ambisi’ orang Melayu
terhadap jabatan yang besar. Tidak ada orang ingin mati demi sesuatu jika tidak
karena sesuatu itu begitu berharga atau begitu diinginkan. Dalam sejarah Orang Melayu
juga akrab dengan berbagai tipe jabatan. Dalam dunia kesastraan sekalipun,
misalnya, hari ini di dunia Melayu ada jabatan atau pangkat tertentu untuk
sastrawan. Jabatan semacam itu hanya terdapat dalam dunia Melayu. Di kota besar
dunia Melayu, di Pekanbaru, ada pangkat ‘sastrawan pemangku negeri’. Di kawasan
Melayu semenanjung yang kini tengah maju, ada jabatan ‘sastrawan negara’—yang kabarnya
layaknya jabatan resmi lain mendapat gaji tetap dari pemerintah dan berhak menggunakan
fasilitas-fasilitas negara.
Orang-orang yang percaya pada
generalisasi di atas akan berkata bahwa akan banyak contoh lain untuk
membuktikan tabiat orang Melayu bersoal jabatan itu. Di sisi yang satu orang Melayu
terbiasa enggan menonjolkan dirinya. Biografi atau otobiografi rata-rata orang Melayu
biasanya selalu didahului ‘apologia’ pada halaman paling awal; biografi atau
otobiografi itu ditulis atas dasar ‘desakan’ dari pihak di luar diri si tokoh
demi pertimbangan ‘agar kelak dapat menjadi pelajaran bagi generasi mendatang’—telaahan
atas karya biografi atau otobiografi ini diuraikan dengan menarik dalam sebuah
penelitian van Klinken yang terbit beberapa tahun yang lalu. Namun di sisi yang
lain, orang Melayu terlihat begitu gila pangkat; dengan demikian sesungguhnya
juga gila akan ‘pengakuan’—akan ‘keakuan’. Bacalah curiculum vitae kebanyakan orang Melayu, seringkali akan memamerkan
jabatan mereka yang beruntai-untai panjang. Ketika seorang Melayu menjadi
walikota, misalnya, nyaris dia tidak pernah semata menjabat walikota. Di waktu
yang bersamaan dia bisa ‘menjadi yang lain’ sebanyak mungkin, dan itu
seakan-akan sebagai sebuah keharusan: menjadi ketua alumni sekolah ini, sekjen
partai itu, kepala himpunan sana, pimpinan organisasi sini. Seseorang Melayu
seperti ingin mengoleksi jabatan.
Jabatan yang berbagai tentu saja membutuhkan
birokrasi yang kompleks. Semakin banyak jabatan, semakin kompleks birokrasi, semakin
tambun makan dengan demikian birokrasi itu semakin bergerak lamban. Jika
sejarah sekali lagi ditilik, kata si pendukung stereotipe, istana-istana Melayu
masa lalu memang dipenuhi para pejabat—dari yang rendah sampai yang tinggi. Jalan
kekuasaan istana itu lamban dan seringkali ini membikin gerah orang Eropa yang
terbiasa efisien jika berhubungan dengan mereka. Ini memunculkan generalisasi
baru: Melayu tidak efisien!
Di sisi yang sama, istana-istana Melayu
menjadi medan pertarungan memperoleh pangkat. Bacalah Tuhfat an Nafis, penting untuk menilik sejarah Melayu itu, tidak
hanya dihiasi sengketa demi sengketa antar kerajaan Melayu, tetapi juga
sengketa dalam tubuh sebuah kerajaan Melayu itu sendiri dengan motif tiada lain
memperebutkan jabatan. Dengan gampang, Melayu yang elok bahasa bisa menjadi
beringas karena kedudukan. Kenyataan ini, memunculkan stereotipe baru: Melayu
beringas!
Kita kadang tidak bisa menolak untuk
mengangguk-angguk mengiyakan, tetapi di sisi yang bersamaan kita pun sangsi. Apakah
upaya pembenaran atas stereotipe kemelayuan itu bisa dibenarkan? Tidakkah para
kolonialis juga melakukan reduksi fakta-fakta khusus menjadi pola-pola umum
seperti yang dilakukan di atas? Tidakkah upaya itu hanya akan semakin
menegaskan dominasi pikiran kolonial terhadap kita yang telah menjadi
masyarakat postkolonial? Tidakkah itu hanya akan membuat banyak orang gerah atau
mungkin berang di tengah berbagai agenda ‘kebangkitan Melayu’ yang sedang
gencar-gencarnya dilakukan?
Melayu, kata yang mengandung banyak
kebingungan hari ini. Apa menjadi ‘Melayu’ itu sebenarnya? Bagi seorang
Indonesia, kata Goenawan M ohamad dalam sebuah esai pada tahun 1980an, ‘Melayu’
adalah sebuah suku. Bagi orang Singapura dan Malaysia, Melayu berarti sebuah
ras. Bagi sebagian yang lain Melayu adalah semacam cemooh—Melayu malas dan
sebagainya.
Berbagai pihak telah mencoba menjelaskan
identitas Melayu pada berbagai seminar dan pertemuan ilmiah—yang belakangan
semakin rajin diadakan, dan menjadi agenda rutin tampaknya dalam dunia
intelektual dan akademis kita, dan juga agenda rutin pemerintah untuk
menghabiskan jatah anggaran mungkin. Tetapi, sampai hari ini, penyakit bingung
itu masih menampakkan tanda-tanda yang belum sembuh. Bingung bersoal siapa yang
Melayu dan siapa yang bukan; atau siapa yang lebih Melayu dari yang lain
misalnya. Banyak negeri menonjolkan dirinya sebagai paling Melayu—atau sebagai
pusat Melayu? Apa
yang dituliskan Fatris M Faiz baru-baru ini di jejaring sosial mewakili keadaan
itu. “Kata Malaysia, mereka lebih ‘Melayu’, hingga negara mereka dapat
diartikan: negara orang Melayu. Pusat kerajaan Melayu itu di sini, di Palembang,
bukan di mana pun—kata Orang Palembang. Orang Riau, sibuk menulis sejarah,
novel, puisi seakan berkata: kamilah yang lebih Melayu dari Melayu-Melayu mana
pun. Orang Minang bilang: Melayu itu akarnya dari sini tau! Orang Jambi berkata kalau mereka-lah orang Melayu yang asli, ‘lihat,
kami punya candi!’ ....”
Tetapi kita hampir saja lupa, bahwa kata
‘Melayu’ pada awalnya sesungguhnya hanyalah penunjuk untuk sebuah elit/kelas dalam
istana; kata ‘Melayu’ merujuk pada bangsawan kerajaan. Tetapi kemudian, Melayu
diperluas tidak hanya sebuah kelas dalam strata sosial istana, Melayu juga
berarti seluruh rakyat atau kawula yang dipimpin oleh bangsawan-bangsawan istana
itu. Lalu Melayu dibekukan dalam teritori sejak kedatangan penjajah barat. Sebagai
mana banyak suku bangsa lain di Indonesia, Melayu tidak sepenuhnya lahir begitu
saja, tetapi lebih sering dilahirkan. Melayu sebagai identitas adalah juga
‘ciptaan’. Istilah ‘Melayu’ sebagai sebuah identitas mengalami pembekuan dalam
konteks politik teritorial kolonial.
Kekuasaan Belanda secara tegas membekukan
identitas Melayu, sebagaimana Batak maupun Dayak, atau Minangkabau mungkin,
yang sebelumnya cair dan lokal, dan kemudian menteritorialkannya di sebuah
peta—kekuasan penakluk bagaimana pun sangat membutuhkan peta-peta semacam itu. Gagasan
ini, kata Klinken, dalam sebuah artikel yang baru-baru ini diterbitkan, kemudian
permanen setelah penjajahan berakhir. Identitas yang kita sandang sekarang,
dengan begitu, adalah identitas warisan, hasil konsepsi kolonial? Tetapi kenapa
pula kita harus cemas akan hal itu? Tidakkah zaman sudah berubah, identitas
dimaknai sudah tidak setegas di masa lampau di mana batas-batas suku bangsa dan
etnisitas menjadi penting? Tidakkah sudah sejak lama juga ‘batas-batas’ itu
hanya tinggal ‘garis putus-putus’?
Identitas etnis merupakan sesuatu yang
sudah ‘kuno’ memang, namun dewasa ini, van Klinken sekali lagi boleh dikutip,
bahwa banyak yang kembali percaya bahwa etnisitas secara kontinu harus diperundingkan
kembali—dalam konteks yang berganti ke arah politis. Bukankah orang-orang hanya
sadar atau semakin sadar mereka memiliki identitas ketika mereka berinteraksi
dengan orang luar? “Identitas etnis berkembang melalui persaingan, bukan
melalui isolasi (keterasingan),” kata seorang sosiolog, J. M. Yinger, pada
tahun 1985. Mungkin sebab itulah kini pembicaraan mengenai identitas semakin
ramai.
Di Malaysia dan Singapura, di mana
‘Melayu’ mengalami ‘persaingan’ dengan China dan Keling, barangkali wajar jika
kemelayuan mereka hendak dipertegas. Di Riau maupun di Kepri, atau di
Minangkabau sendiri yang lebih homogen, untuk apa harus ikut bersibuk-sibuk
dengan kemelayuan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar