OLEH Azwar Rasyidin
Guru
Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Masyarakat
Konservasi Tanah dan Air Indonesia ( MKTI) baru saja melaksanakan kongres ke
VII di Universitas
Jambi. Kongres yang dilaksanakan pada
tanggal 24-25 November 2010. Semulanya kongres
akan dibuka oleh Menteri Kehutanan dan sekaligus
memberikan kuliah umum, tapi berhubung karena suatu hal, kehadiran Menteri Kehutanan digantikan
oleh staf ahlinya.
Jambi dipilih
sebagai tuan rumah kongres terasa sangat cocok. Setelah
21 tahun MKTI berdiri, banyak hal mengenai konservasi tanah dan air yang belum
tersentuh oleh kebijakan pemerintah, khususnya
kebijakan yang menyangkut dengan pengelolaan sumber daya air dan lahan pada
sebuah kawasan aliran.
Secara geografis, Kota
Jambi berada di teras tua Batang Hari.
Sungai ini berhulu dari Sumatera Barat khususnya Kabupaten
Solok,
yaitu dari Danau Diatas dan dari Kecamatan
Lembah
Gumanti. Di
samping itu juga dari Kabupaten Solok Selatan yang merupakan sumber aliran Batang Sangir dan
beberapa cabang sungai lain dari Kabupaten
Merangin
dan Bungo
di Provinsi Jambi.
Daerah hilir dari
aliran Batang Hari
yang
berada di Provinsi Jambi adalah dataran gambut, yang mana pada beberapa
tempat ditemui kubah gambut yaitu gambut dengan kedalaman > 6 meter. Wilayah
kubah gambut ini memiliki fungsi konservasi air yaitu sebagai daerah sumber air kawasan sekitarnya.
Berbeda
Sungai Batang Hari
sekarang berbeda dengan Batang Hari 55 tahun yang lalu. Itulah salah satu
pernyataan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Jambi Prof Kemas Arsyad Somad ketika
memberikan sambutan pada pembukaan kongres. Secara visual kualitas air Batang Hari
menurun tajam. Dulu
air Batang Hari dapat diminum. Artinya ketika mandi
disungai meminum air sungai tidak
masalah. Tapi sekarang ketika tangan dicelupkan ke sungai
terasa gatal. Air sungai telah bewarna kuning, telah banyak zat terlarut, zat
padat tersuspensi, dan juga banyak unsur hara tanaman dari pupuk yang
berlebihan telah masuk ke sungai.
Pernyataan yang
disampaikan oleh rektor Unja itu bukan hanya menyangkut kasus dari DAS Batang
Hari, tapi menyangkut hampir semua sungai yang mengalir di Indonesia. Kebetulan
saja ia
orang Jambi dan besar di Jambi, maka beliau mencontohkan sungai Batang
Hari.
Lihat saja
misalnya Batang
Lembang yang mengalir di Kota Solok. Airnya
juga berbeda dengan kondisi tahun 60-an. Atau air di dekat Kota
Solok jauh lebih kotor bila dibandingkan dengan air di hulu
yang mengalir dari outlet Danau
Dibaruah.
Perubahan
sifat fisik air sungai yang teridentifikasi dengan meningkatnya jumlah partikel
tersuspensi, atau dari nilai karbon terlarut. Pencemaran juga teridentifikasi
dari perobahan sifat kimia yaitu berubahnya kondisi zat zat terlarut, seperti
berubahnya
kandungan nitrat, ammoniak dan fosfat, dan beberapa zat yang meracun lainnya
seperti merkuri atau air raksa. Di samping itu juga terjadi
perubahan secara biologi, yaitu kandungan bakteri pathogen dan non pathogen
dalam air.
Kekeruhan air dan
kepekatan beberapa zat tertentu yang berbeda dengan kondisi air sungai alamiah,
yaitu kondisi ekosistem air tawar sebelum terjadinya pencemaran akan membawa
perubahan kepada kehidupan biota sungai, khususnya ikan, udang dan lokan.
Justru karena itulah pada saat ini kongres MKTI
ke VII mengangkat tema “Konservasi
Tanah dan Air Menjamin Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masa Depan Bersama”.
Sebuah kawasan
aliran yang besar seperti sungai Batang Hari tentunya memiliki keragaman yang
tinggi di bidang sumber daya alam. Daerah gambut punya spesifikasi di bidang perikanan dan sumber
daya perairan. Kawasan gambut dan kubah gambut yang berada di daerah Kampar,
dan Rokan memiliki jenis ikan slais yang
enak. Persoalan akan muncul ketika kubah gambut dikelola menjadi lahan
budidaya, maka wilayah cadangan air di dataran alluvial
tersebut berkurang, dan terjadi gangguan ekosistem sehingga menggangu habitat
ikan
Daerah Aliran Sungai
(DAS) Batang
Hari mulai dari bagian tengah sampai ke hilir telah berkembang menjadi
perkebunan sawit, daerah hilir memperlihatkan adanya
perkebunan sawit di lahan gambut dan lahan kubah gambut. Kubah gambut mengalami
penyusutan atau subsidensi yang sangat hebat, Aswandi peneliti
dari Unja melaporkan pada tahun pertama terlihat laju penurunan permukaan tanah
2-3 m
per tahun
dan setelah saluran drainase berjalan sempurna maka laju subsidensi menurunan
menjadi 5-7 cm.
Air
Raksa
Meningkatnya jumlah
bahan padatan yang tersuspensi di daerah perairan adalah salah satu faktor
penyebab tingkat kekeruhan. Air yang keruh juga akan membuat beberapa jenis
ikan hilang, kecuali mungkin jenis lele yang menyukai air kotor dan dapat hidup
tenang pada lahan berlumpur. Penambangan yang dilakukan sepanjang sungai secara
lansung akan menyebabkan tingkat kekeruhan naik. Karena itu maka populasi ikan
di kawasan penambangan akan menurun drastis.
Penambangan emas
tidak dapat dipisahkan dari penggunaan logam berat merkuri atau air raksa. Kandungan air raksa itulah yang mungkin dapat
menyebabkan kulit merasa gatal setelah menyentuh air yang berasal dari kegiatan
penambangan di hulu. Merkuri juga merupakan racun bagi tanaman.
Tailing dari
pengolahan butiran pasir emas yang menggunakan air raksa dan kemudian di buang
di tanggul sungai juga berbahaya bagi
tumbuhan yang hidup disana. Masyarakat di sekitar Tebo hilir didesa Sungai Bengkal
menyatakan bahwa sejak aktifnya penambangan emas di sungai Batang hari, maka
banyak dari tanaman duku yang hidup di pinggir sungai atau pada fisografi
tanggul sungai mengalami kematian.
DAS Batang Hari
terdiri dari beragam satuan fisiografi, maulai
dari dataran aluvial di hilir, dataran dan perbukirn di bagian tengah dan
pegunungan plato, dan dataran vulkanik dibagian hulu.
Di bagian hulu DAS
ini juga memiliki beragam batuan, yaitu
batuan volkanik, tufa batu apung, batuan plutonik masam, batuan sedimen dan
batuan metamorf. Karena formasi geologi
dan struktur geologi yang kompleks daerah DAS Batang Hari kaya dengan berbagai
bahan tambang. Dan berbagai biota sungai.
Di bagian hulu dan tengah DAS Batang Hari terdapat 27 macam jenis ikan,
jenis ikan ini semakin kehilir tentu akan berkurang karena meningkatnya
kekeruhan air.
Berkurangnya jumlah
ikan di sungai dan matinya tanaman di sekitar tanggul sungai
adalah biaya yang harus dibayar oleh sebuah kegiatan ekplorasi
bahan tambang yang berada di dasar sungai. Bila selama ini ada 10.000
nelayan yang menggantungkan hidupnya terhadap Batang Hari
mulai dari Muara sampai ke hulu seperti daerah Tebo Hulu,
dengan nilai tangkapan rata rata 5 kg ikan dengan harga Rp20.000/kg,
maka biaya sosial
akibat berubahnya kualitas air sepanjang aliran di daerah Hilir
dan Tengah DAS adalah Rp100 juta/hari, dengan hari kerja 4 hari seminggu,
maka setiap bulannya kost sosialnya bernilai Rp1.6 miliar
rupiah.
Pertanyaan sederhana
adalah bahwa masihkah kegiatan di sekitar dibiarkan bila semua kegiatan yang merusak ekosistem
sungai secara tidak lansung menimbulkan kerugian jutaan rupiah per bulan?
Menurunnya
kualitas air sungai juga akan merusak ekosistem pesisir dekat
muara sungai tersebut. Kondisi demikian juga akan menurunkan tangkapan nelayan
di sekitarnya. Hasil penelitian dari Aflizar ( 2009)
menemukan bahwa berubahnya kualitas air sungai akibat dari
pembuangan limbah sawit juga menurunkan tangkapan ikan di Teluk Air Bangis
Pasaman Barat.
Ketergantungan
penduduk terhadap sungai sebagai sumber air bersih, mandi, dan cuci juga akan
terganggu dengan menurunnya kualitas air sungai, maka kehidupan akan semakin
mahal karena air sungai tidak lagi dapat digunakan secara langsung.
Biaya pengolahan air semakin tinggi, dan untuk air minum penduduk akan lebih
percaya untuk meminum air kemasan
walaupun harganya relatif mahal.
Rusaknya ekosistem
kawasan menyebabkan fluktuasi air sungai menjadi tidak normal, debit
minimum pada musim kemarau disertai
dengan sangat pekatnya zat zat meracun yang berada di sungai, dan banjir pada
musim hujan. Setiap banjir tentu akan merusak fasilitas publik
yang ada dan juga merusak alat alat elektronik. Banjir juga menghalangi
penduduk untuk keluar rumah baik untuk bekerja ataupun untuk belanja. Konsekwensinya
pemerintah harus menyiapkan biaya ekstra untuk fasilitas dapur umum dan tim
relawan yang beroperasi dengan perahu karet. Bila dalam satu kawasan ada 100
juta orang pengungsi maka, minimal harus disiapkan
logistic beras seratus ton/hari .
Pengelolaan daerah
aliran sungai, bukan hanya menyangkut pengelolaan lahan dan hutan, tapi juga
menyangkut kuantitas dan kualitas air. Rusaknya kualitas air berdampak jelek
kepada kehidupan masyarakat perairan dan pesisir. Dalam jangka panjang akan
merusak kondisi perekonomian masyarakat dan kawasan tertentu. Rusaknya
keanekaragaman hayati di suatu kawasan khusus untuk wilayah perairan adalah
hilangnya potensi perairan yang bernilai ekonomis seperti ikan dan udang. Maka
untuk masa depan bangsa pengelolaan DAS adalah suatu keharusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar