Sabtu, 08 Februari 2014

Biaya Sosial Dampak Pencemaran Sungai


OLEH  Azwar Rasyidin
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Andalas
Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia ( MKTI) baru saja melaksanakan kongres ke VII di Universitas Jambi.  Kongres yang dilaksanakan pada tanggal 24-25 November 2010. Semulanya kongres  akan dibuka oleh Menteri Kehutanan dan sekaligus memberikan kuliah umum, tapi berhubung karena suatu hal, kehadiran  Menteri Kehutanan digantikan oleh staf ahlinya.
Jambi dipilih sebagai tuan rumah kongres terasa sangat cocok. Setelah 21 tahun MKTI berdiri, banyak hal mengenai konservasi tanah dan air yang belum tersentuh oleh kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan yang menyangkut dengan pengelolaan sumber daya air dan lahan pada sebuah kawasan aliran.

Secara geografis, Kota Jambi berada di teras tua Batang Hari. Sungai ini berhulu dari Sumatera Barat khususnya Kabupaten Solok, yaitu dari Danau Diatas dan dari Kecamatan Lembah Gumanti. Di samping itu juga dari Kabupaten Solok Selatan  yang merupakan sumber aliran Batang Sangir dan beberapa cabang sungai lain dari Kabupaten Merangin dan Bungo di Provinsi Jambi.
Daerah hilir dari aliran Batang Hari yang berada di Provinsi Jambi adalah dataran gambut, yang mana pada beberapa tempat ditemui kubah gambut yaitu gambut dengan kedalaman > 6 meter. Wilayah kubah gambut ini memiliki fungsi konservasi air yaitu  sebagai daerah sumber air kawasan sekitarnya.
Berbeda
Sungai Batang Hari sekarang berbeda dengan Batang Hari 55 tahun yang lalu. Itulah salah satu pernyataan yang disampaikan oleh Rektor Universitas Jambi  Prof Kemas Arsyad Somad ketika memberikan sambutan pada pembukaan kongres. Secara  visual kualitas air Batang Hari menurun tajam. Dulu air Batang Hari dapat diminum. Artinya ketika mandi disungai  meminum air sungai tidak masalah. Tapi sekarang ketika tangan dicelupkan ke sungai terasa gatal. Air sungai telah bewarna kuning, telah banyak zat terlarut, zat padat tersuspensi, dan juga banyak unsur hara tanaman dari pupuk yang berlebihan telah masuk ke sungai.
Pernyataan yang disampaikan oleh rektor Unja itu bukan hanya menyangkut kasus dari DAS Batang Hari, tapi menyangkut hampir semua sungai yang mengalir di Indonesia. Kebetulan saja ia orang Jambi dan besar di Jambi, maka beliau mencontohkan sungai Batang Hari.
Lihat saja misalnya  Batang Lembang yang mengalir di Kota Solok. Airnya juga berbeda dengan kondisi tahun 60-an. Atau air di dekat Kota Solok jauh lebih kotor bila dibandingkan dengan air di hulu yang mengalir dari outlet Danau Dibaruah.
Perubahan sifat fisik air sungai yang teridentifikasi dengan meningkatnya jumlah partikel tersuspensi, atau dari nilai karbon terlarut. Pencemaran juga teridentifikasi dari perobahan sifat kimia yaitu berubahnya kondisi zat zat terlarut, seperti berubahnya kandungan nitrat, ammoniak dan fosfat, dan beberapa zat yang meracun lainnya seperti merkuri atau air raksa. Di samping itu juga terjadi perubahan secara biologi, yaitu kandungan bakteri pathogen dan non pathogen dalam air.
Kekeruhan air dan kepekatan beberapa zat tertentu yang berbeda dengan kondisi air sungai alamiah, yaitu kondisi ekosistem air tawar sebelum terjadinya pencemaran akan membawa perubahan kepada kehidupan biota sungai, khususnya ikan, udang dan lokan. Justru karena itulah pada saat ini kongres MKTI  ke VII mengangkat tema  Konservasi Tanah dan Air Menjamin Keanekaragaman Hayati dan Kehidupan Masa Depan Bersama.
Sebuah kawasan aliran yang besar seperti sungai Batang Hari tentunya memiliki keragaman yang tinggi di bidang sumber daya alam. Daerah gambut punya spesifikasi  di bidang perikanan dan sumber daya perairan. Kawasan gambut dan kubah gambut yang berada di daerah Kampar, dan Rokan memiliki jenis ikan slais yang  enak. Persoalan akan muncul ketika kubah gambut dikelola menjadi lahan budidaya, maka wilayah cadangan air di dataran alluvial tersebut berkurang, dan terjadi gangguan ekosistem sehingga menggangu habitat ikan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari mulai dari bagian tengah sampai ke hilir telah berkembang menjadi perkebunan sawit, daerah hilir memperlihatkan adanya perkebunan sawit di lahan gambut dan lahan kubah gambut. Kubah gambut mengalami penyusutan atau subsidensi yang sangat hebat, Aswandi peneliti dari Unja melaporkan pada tahun pertama terlihat laju penurunan permukaan tanah 2-3 m per tahun dan setelah saluran drainase berjalan sempurna maka laju subsidensi menurunan menjadi 5-7 cm.
Air Raksa
Meningkatnya jumlah bahan padatan yang tersuspensi di daerah perairan adalah salah satu faktor penyebab tingkat kekeruhan. Air yang keruh juga akan membuat beberapa jenis ikan hilang, kecuali mungkin jenis lele yang menyukai air kotor dan dapat hidup tenang pada lahan berlumpur. Penambangan yang dilakukan sepanjang sungai secara lansung akan menyebabkan tingkat kekeruhan naik. Karena itu maka populasi ikan di kawasan penambangan akan menurun drastis.    
Penambangan emas tidak dapat dipisahkan dari penggunaan logam berat merkuri atau air raksa.  Kandungan air raksa itulah yang mungkin dapat menyebabkan kulit merasa gatal setelah menyentuh air yang berasal dari kegiatan penambangan di hulu. Merkuri  juga  merupakan racun bagi tanaman.
Tailing dari pengolahan butiran pasir emas yang menggunakan air raksa dan kemudian di buang di tanggul sungai  juga berbahaya bagi tumbuhan yang hidup disana. Masyarakat di sekitar Tebo hilir didesa Sungai Bengkal menyatakan bahwa sejak aktifnya penambangan emas di sungai Batang hari, maka banyak dari tanaman duku yang hidup di pinggir sungai atau pada fisografi tanggul sungai mengalami kematian.
DAS Batang Hari terdiri dari beragam satuan fisiografi, maulai dari dataran aluvial di hilir, dataran dan perbukirn di bagian tengah dan pegunungan plato, dan dataran vulkanik dibagian hulu.
Di bagian hulu DAS ini juga memiliki beragam batuan, yaitu batuan volkanik, tufa batu apung, batuan plutonik masam, batuan sedimen dan batuan metamorf.  Karena formasi geologi dan struktur geologi yang kompleks daerah DAS Batang Hari kaya dengan berbagai bahan tambang. Dan berbagai biota sungai.  Di bagian hulu dan tengah DAS Batang Hari terdapat 27 macam jenis ikan, jenis ikan ini semakin kehilir tentu akan berkurang karena meningkatnya kekeruhan air.
Berkurangnya jumlah ikan di sungai dan matinya tanaman di sekitar tanggul sungai adalah biaya yang harus dibayar oleh sebuah kegiatan ekplorasi bahan tambang yang berada di dasar sungai. Bila selama ini ada 10.000 nelayan yang menggantungkan hidupnya terhadap Batang Hari mulai dari Muara sampai ke hulu seperti daerah Tebo Hulu, dengan nilai tangkapan rata rata 5 kg ikan dengan harga Rp20.000/kg, maka biaya sosial akibat berubahnya kualitas air sepanjang aliran di daerah Hilir dan Tengah DAS adalah Rp100 juta/hari, dengan hari kerja 4 hari seminggu, maka setiap bulannya kost sosialnya bernilai  Rp1.6 miliar rupiah.
Pertanyaan sederhana adalah bahwa masihkah kegiatan di sekitar dibiarkan  bila semua kegiatan yang merusak ekosistem sungai  secara tidak lansung  menimbulkan kerugian jutaan rupiah per bulan?
Menurunnya kualitas  air sungai  juga akan merusak ekosistem pesisir dekat muara sungai tersebut. Kondisi demikian juga akan menurunkan tangkapan nelayan di sekitarnya. Hasil penelitian dari Aflizar ( 2009) menemukan  bahwa  berubahnya kualitas air sungai akibat dari pembuangan limbah sawit juga menurunkan tangkapan ikan di Teluk Air Bangis Pasaman Barat.
Ketergantungan penduduk terhadap sungai sebagai sumber air bersih, mandi, dan cuci juga akan terganggu dengan menurunnya kualitas air sungai, maka kehidupan akan semakin mahal karena air sungai tidak lagi dapat digunakan secara langsung. Biaya pengolahan air semakin tinggi, dan untuk air minum penduduk akan lebih percaya untuk meminum air  kemasan walaupun harganya relatif mahal.
Rusaknya ekosistem kawasan menyebabkan fluktuasi air sungai menjadi tidak normal, debit minimum  pada musim kemarau disertai dengan sangat pekatnya zat zat meracun yang berada di sungai, dan banjir pada musim hujan. Setiap banjir tentu akan merusak fasilitas publik yang ada dan juga merusak alat alat elektronik. Banjir juga menghalangi penduduk untuk keluar rumah baik untuk bekerja ataupun untuk belanja. Konsekwensinya pemerintah harus menyiapkan biaya ekstra untuk fasilitas dapur umum dan tim relawan yang beroperasi dengan perahu karet. Bila dalam satu kawasan ada 100 juta orang pengungsi maka, minimal harus disiapkan logistic beras seratus ton/hari .
Pengelolaan daerah aliran sungai, bukan hanya menyangkut pengelolaan lahan dan hutan, tapi juga menyangkut kuantitas dan kualitas air. Rusaknya kualitas air berdampak jelek kepada kehidupan masyarakat perairan dan pesisir. Dalam jangka panjang akan merusak kondisi perekonomian masyarakat dan kawasan tertentu. Rusaknya keanekaragaman hayati di suatu kawasan khusus untuk wilayah perairan adalah hilangnya potensi perairan yang bernilai ekonomis seperti ikan dan udang. Maka untuk masa depan bangsa pengelolaan DAS adalah suatu keharusan.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...