Apa Kabar?
Sebuah sapaan yang ramah, bersahabat dan umum, “Apa kabar sastra Indonesia?” Pada sisi
lain, seakan sudah lama tidak berjumpa, atau sesaat, satu waktu kita bertemu,
tidak lagi dekat, tidak lagi akrab, sehingga kita ingin tahu kabar beritanya.
Seandainya sastra Indonesia itu adalah orang maka tentu ia akan menjawab; “Baik-baik saja” atau dia menjawab, “Waduh, aku sedang sakit perut”.
Tetapi, tetapi sastra Indonesia itu bukan orang, dia
adalah karya manusia. Dengan demikian hal ini,
tentu, keinginan untuk mengetahui situasi, realitas dan gejala
perkembangan sastra Indonesia hari ini. Kalau kita menanyakan bagaimana masa
depannya, jawabannya; “kita tidak tahu dengan pasti”, (sebagai muslim “wallahu a’lam”. Namun, masa depan hanya
dapat diprediksi (diperkirakan secara pengetahuan) dengan fakta yang ada pada hari ini, dan tentu akan
beragam (probabiltas).
Dari pertanyaan itu, sudah menyiratkan ada fakta di
dalamnya bahwa sastra Indonesia itu berkembang, tumbuh, dan bukanlah benda
mati, yang hanya; “itu ke itu saja dari tahun ke tahun”. Salah satu yang dapat
diperbincangkan, apakah perkembangan, pertumbuhannya pesat, jalan di tempat,
atau malah mundur ke belakang (di masa HB Jassin; diperbincangan sastra
Indonesia dalam krisis, dan pada tahun 90-an sastra Indonesia dikatakan tidak
melahirkan karya besar, maka ketika akhir 90-an, hadir novel Saman, maka disambut dengan begitu
“sangat hebat” oleh sebagian kalangan).
Pada hakekatnya, tidak ada jawaban yang tunggal.
Selayaknya, tidak ada jawaban paling benar, relatif, yang ada hanya
kemungkinan. Pada sisi lain ada kritikus mengatakan bahwa dunia sastra adalah dunia mungkin bukan dunia mutlak. Dunia mungkin merupakan dunia kreatif, sedangkan di dunia mutlak (dunia pasti – ilmu pasti
misalnya, atau dogma agama) bukan dunia kreatif, sudah final, dan kaku seperti
mesin atau robot.
Sesudah “Gempa dan
Tsunami Sastra” Berlalu
Di setiap zaman lahir generasi, setiap generasi membangun
zamannya dengan tangannya sendiri. Begitulah zaman berganti, maka bagaimana
sastra Indonesia hari ini, ditentukan oleh generasi kemaren, sedangkan
bagaimana sastra Indonesia di masa depan ditentukan oleh generasi hari ini. Patah tumbuh hilang berganti, demikian
bunyi pepatah Minang.
Takdir sastra Indonesia berada di tangan para sastrawan
dan pencinta sastra Indonesia. Sebagaimana diketahui (Q.S.13:11), bahwa
sesungguhnya Tuhan sendiri tidak merobah nasib sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan diri mereka sendiri, atau sebab-sebab kemunduran mereka. Akan
mereka bawa ke mana, tentu sesuai dengan ideologi, paham, pengetahuan dan
kehendak masing-masing mereka yang sangat beragam, multikultur dan pluralis.
Apa lagi dalam dunia multikultur dan plural, maka tidak
jujur bila hanya menghadirkan nilai tunggal apalagi berkuasa dan memaksa. Bila
ada sastra tidak diterima oleh satu kalangan karena disebabkan perbedaan nilai
maka adalah sesuatu yang wajar, yang tidak wajar adalah memaksakan nilai kepada
satu kalangan atau semua kalangan.
Sebagaimana dalam satu dekade ini, seperti kasus Sastra Mazhab Selangkang (SMS), pada
awalnya adalah gelombang Ayu Utami pada akhir 90-an, dan kedua awal tahun
2000-an gelombang Djenar Maesa Ayu dan Binhad Nurrohmat, setelah itu ketiga
oleh gelombang Hudan Hidayat dan Mariana Amiruddin, sehingga Taufiq Ismail pun meradang dan menerjang. Taufiq Ismail
sebagai sastrawan tidak berdaya apa-apa begitu juga NH. Dini (yang merasa tidak
sanggup untuk membaca karya-karya itu), demikian pula Budi Darma yang begitu
keheranan.
Banyak orang memperkirakan masa depan sastra Indonesia
berada di tangan ketiga gelombang itu. Namun ada fenomena yang menarik dari
fenomena itu, dapat diperhatikan,
bagaimana ketiga gelombang itu jadi sepi begitu saja oleh hadirnya hiruk pikuk
gelombang Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata dan Es Ito. Hal ini membuktikan tidak ada yang pasti tidak ada fenomena yang
tunggal. Di atas langit ada langit, di balik gunung ada gunung yang tinggi
lagi, banyak hal yang tak terduga di rimba “persilatan”
sastra.
Adapun kondisi sastra Indonesia pada
waktu ini adalah dalam kondisi “gamang” dari benturan lempeng bumi sastra
Indonesia yang menimbulkan “gempa dan tsunami sastra”. Adapun yang dapat
dicatat, bahwa sastra Indonesia yang multi kultur dan plural itu hadir dalam
lapisan-lapisan dan lempeng, semua bergerak, dan tidak dapat dihindari tentu
aka nada pergeseran, benturan, bertemunya tekanan-tekanan. Bukan tidak mungkin
ada lapisan terhimpit, terbenam, ada
yang bergerak ke atas dan ada yang bergerak ke bawah.
Dalam dua gelombang lempeng yang
berbenturan itu, bukan berarti yang ada pada sastra Indonesia hanya itu, cukup
banyak juga karya-karya yang bertumbuhan. Namun bagaimana mutu karya sastra itu? Pertama persoalan ini dijawab
oleh kritikus sastra dalam dekade ini, kedua ditentukan kemampuan karya itu
menembus zaman, yakni dibicarakan atau ditelaah orang di setiap zaman, ketiga karya itu menjadi
inspirasi bagi banyak sastrawan untuk melahirkan karya sastra.
Dalam persoalan mutu atau kualitas
dalam dunia sastra tidaklah tunggal, relatif dan beragam, bahkan aneh sekali
ada penilaian tunggal dan mutlak, bahkan memaksakan penilaian. Di samping itu
mungkin ada karya yang tidak dibicarakan orang, dianggap tidak hebat, setahun
dua tahun bahkan lima tahun, tiba-tiba setelah sepuluh tahun baru orang ramai
membicarakan bahwa karya itu bagus. Adapun salah satu barometer
perkembangan sastra Indonesia hari ini adalah
koran, buku, komunitas dan dunia maya.
Di dunia akademis zaman keemasan teori
sastra struktural sudah mulai berakhir, karena dia merupakan anak dari dunia
ilmiah modern. Dalam sepuluh tahun ini dunia ilmiah modern sudah mulai
digantikan oleh dunia ilmiah pos-modern,
maka teori sastra struktural,
hermeneutik, feminisme sudah mulai digantikan teori-teori pos-struktural seperti dekonstruksi, resepsi
sastra, semiotik, interteks, pos-sosiologi sastra, dan chaos. Di samping dunia teori sastra yang bukan Eropa mulai
menggeliat, hal itu dapat ditemukan adanya teori sastra Afrika, teori sastra
India, dan teori sastra Cina, hal ini dalam semangat teori pos-kolonial.
Teori sastra Eropa pada prinsipnya
telah melakukan kolonisasi teori pada berbagai belahan dunia, termasuk
Indonesia. Akibatnya banyak sastra yang tumbuh di berbagai bangsa bekas koloni
Eropa adalah mimikri dari sastra
Eropa. Seandainya karya sastra Indonesia dialihbahasakan kedalam bahasa
Inggris, dan dibaca oleh orang asing
maka bukan tidak mungkin ia mengatakan
bahwa karya itu adalah karya Eropa. Novel Eropa yang kebetulan berbahasa
Indonesia. Adapun gelombang Sastra Mazhab
Selangkang (SMS), menurut Budi Darma (Tempo,
Edisi. 44/XXXII/29 Desember – 04 Januari 2004) gejala ini terjadi di mana-mana,
dan Indonesia hanyalah sebagian kecil dari “di mana-mana” itu. Di Inggris ada chick literature, di Beijing ada Jiu Dan, di Shanghai ada Wei Hui.
Seperti lagu pop Indonesia jika
dialihbahasakan ke bahasa Inggris maka orang akan mengatakan bahwa itu adalah
lagu Eropa. Mungkin dapat dikatakan lagu pop Indonesia hanyalah lagu Eropa yang
berbahasa Indonesia. Berbeda dengan lagu dangdut, ketika dialihkan ke bahasa
apa pun, maka orang tahu, karena ada sesuatu yang Indonesia di sana. Hal ini
yang menyebabkan ada semangat kembali ke akar
tradisi (kalau saya menyebut; kembali
ke jatidiri, pada sisi lain saya kurang setuju dengan istilah kearifan lokal, sebaiknya diganti dengan
istilah kearifan Indonesia) pada
tahun 70-an. Ketika novel Ronggeng Dukuh
Paruk diterjemahkan ke bahasa apa pun, maka orang pun tahu bahwa “itu
Indonesia”, begitu juga novel Bako, Tarian Bumi, Orang-orang Blanti, Tambo, dll.
Untuk perkembangan sastra generasi
Minangkabau, pernah saya petakan (Padang
Ekspress, 2 Januari 2011, hal 13), dalam hal ini
saya belum sependapat menyebut istilah sastra kampus akan tetapi saya
mengusulkan istilah; sastra yang tumbuh di ranah Minang dan sastra yang tumbuh di ranah rantau. Mereka
yang tumbuh di ranah Minangkabau dalam dasawarsa ini antara lain Sondri BS,
Muhammad Isa Gautama, Iggoy el Fitra, Zelfeni Wimra, Ragdi F. Daye (Perempuan
Bawang dan Lelaki Kayu), Azwar Sutan Malaka, Esha Tegar
Putra, Romi Zarman, Deddy Arsya, Pinto Anugrah, Anda S. C. H. Yurma. Ramoun
Apta, Fariq Alfaruqi, Saiful A. Imam (Bidadari Padri),
Muhammad Sholihin (Api
Paderi), Ahmad Fuadi (Negeri
5 Menara), Roidah (Love
Save Me, Don’t Touch Me!..), Ridjaluddin Shar (Maharaja Diraja Adityawarman Matahari dari Khatulistiwa), Agustar
Idris SE (Cindurmato dari Minangkabau).
Maya Lestari (Kutukan Pitopang), Ka’bati (Padusi), Muhammad
Subhan (Rinai Kabut Singgalang), Sastry Bakri (Kekuatan Cinta, Hatinya Tertinggal Di Gaza), Irzen Hawer (Cinta di Kota Serambi), Elly Delfia (Musim
Manggaro), Mahatma Muhammad dan Yori Kayama (Tempurung Tengkurap), dll..
Kemudian mereka yang di ranah rantau adalah Dewi Sartika,
ES Ito (Negara Kelima,
Rahasia Meede),
Riki Dhamparan Putra, Indrian Koto, Damhuri Muhammad, Raudal Tanjung Banua,
dll. Mereka dari kedua ranah itu dapat dikatakan angkatan “generasi sesudah Gus tf Sakai”.
Ada tiga kota
sastra di Minangkabau pada waktu
terakhir ini, yakni Padang, Payakumbuh
dan Padang Panjang. Padang dengan tokoh “kakek
guru” Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi
(almarhum, doa kita untuk beliau) dan
sastrawan Yusrizal KW. Payakumbuh dengan sastrawan Gus tf, Iyut Fitra,
Adri Sandra. Padang Panjang dengan Taufiq Ismail. Di tiga kota itu hidup
beberapa komunitas seperti komunitas Kandang
Pedati, Ilalang Senja, komunitas Daun, FLP, juga ada komunitas sastra di
Fakultas Sastra Unand, UBH, IAIN, UNP.
Demikianlah, dari fakta tersebut dapat dikatakan
pertumbuhan sastra Indonesia dan pertumbuhan sastrawan dari generasi
Minangkabau sedang bertumbuh dengan baik. Mereka tumbuh dengan swadaya, ibarat
tumbuhan maka ia tumbuh bukan di ladang-ladang bangsawan pemerintah atau
perkebunan keraton negara tetapi di ladang-ladang penduduk yang sunyi. Mereka
tumbuh dengan perjuangan dan segala penderitaan, karena agaknya mungkin mereka
yakin masa depan berada di tangan mereka. Barangkali mereka tahu bahwa mutiara,
berlian atau emas menjadi berharga adalah melalui tempaan yang berat.
Begitulah, semoga akan menjadi masa depan yang cerah, amien.
Bakda Jumat, 19
Ramadhan 1432
*) Makalah diskusi sastra pada Malam Tadarus Puisi 2011, HMJ Sastra Indonesia, Fakultas Sastra,
Universitas Andalas, Limau Manih, 19 Agustus 2011 – 20 Ramadhan 1432.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar