OLEH Esha Tegar Putra
Pertunjukan Serunai Laut pada Minangkabau Arts Festival |
Banyak kalangan yang menaruh harapan,
pagelaran pertunjukan teater naskah-naskah Wisran Hadi ini yang digelar sejak
12 sampai dengan 16 November, dengan menampilkan sembilan kelompok teater dari
rencana 10, sebagai momentum bergairahnya kembali seni pertunjukan teater di
Sumatera Barat.
Sampai Selasa (15/11) sudah
tujuh kelompok teater yang memanggungkan garapannya, tapi panggung utama Taman Budaya Sumatera
Barat belum terlihat penyajian teater yang sungguh-sungguh itu teater.
Jika
dirujuk empat tahun terakhir, misalnya, tak ada perbedaan
signifikan dengan cara berteater hari ini. Teater Sumatera Barat hanya bermain di situ-situ
saja.
Hari
keempat A Tribute to Wisran Hadi dengan menghadirkan pementasan
naskah-naskahnya, Selasa sore tampil Ranah Teater yang
berbasis di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Kelompok ini membawa
naskah Uji Coba karya Wisran Hadi
dengan sutradara S Metron M.
Uji Coba menggambarkan sebuah
kerajaan di negeri antah barantah yang rajanya terobsesi dengan
teknologi masa depan menghadirkan robot-robot yang mirip manusia.
Robot-robot yang diciptakan seorang profesor itu—seperti layaknya manusia—juga ditanamkan juga emosi ke dalam “jiwa” mereka.
Untuk
mencapai kesempurnaan robot-robot itu, Sang Mulia sudah menginvestasikan triliunan
rupiah dana untuk eksprimen itu, yang ujungnya membuat Sang Mulia kecewa. Robot-robot itu tak
pernah tercipta sesuai dengan kehendak Sang Mulia. Akhirnya kacau dan muncul chaos.
Sesaat
sebelum memasuki gedung pertunjukan Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat,
dari inti cerita Uji Coba yang saya
peroleh, di dalam pikiran saya sudah terbangun setting cerita dengan properti
peralatan teknologi mutakhir di atas panggung. Atau paling tidak, simbol-simbol
yang membawa diri saya berkorelasi dengan “dunia” penciptaan robot yang canggih
dan rumit itu.
Tapi,
kenyataannya bukan demikian. Tak satupun di atas pentas yang dihadirkan Teater
Ranah yang bisa membantu saya bisa berimajinasi dan bercumbu dengan teknologi.
Saya tidak kecewa. Dan mafhum saja. Memang demikianlah kondisi teater Sumatera
Barat hari ini.
Di
atas pentas, terpapar tiga kain warna putih yang difungsikan sebagai siluet. Di
tengahnya, ada tiang yang dapat berputar, yang juga multifungsi yang kadang
sebagai tahta Sang Mulia, kadang juga dimanfaatkan “kandang” robot. Tokoh-tokoh juga dikesankan fungsional,
kadang jadi properti, kadang jadi laku.
Setiap
pertunjukan teater jelas dipahami sebagai proses menuju “sesuatu”. Namun,
kesaksian saya sebagai penonton, malah membuat saya tak mengerti. Bingung.
Mungkin keterbatasan saya memahami dunia teknologi robot, membuat saya terjebak
dalam lingkar yang sulit membuat diri saya nikmat menonton.
Di
atas pentas, tersusun sebuah auditorium kecil yang menghadap ke arah penonton.
Auditorium ditata sedemikian rupa karena yang akan duduk di sana adalah Yang
Mulia dan orang-orang penting lainnya. Mereka akan menonton sebuah pertunjukan
yang akan dilakukan di hadapan mereka.
Pementasan
Uji Coba tersebut, dengan 11 pemain, bercerita tentang lakon Yang Mulia, Yang
Terhormat, dan Yang Kurang Terhormat dan dua orang Emsi.
Dialog
berjalan dengan gaya khas teks-teks yang sering hadir dalam naskah Wisran Hadi.
Yang kebanyakan memperdebatkan soal agama, kuasa atas pemerintahan bobrok, dan
kuasa mitos dewa-dewa atas manusia. “Yang Mulia, Yang Terhormat, Yang Tidak
Terhormat berserya Yang Lain-lain.
Sebentar
lagi akan dipersembahkan sebuah pertunjukan Ujicoba dari utusan kita yang akan
mengikuti Pekan Kemajuan Dunia,” sentilan dialog dalam naskah Wisran Hadi
dibacakan tokoh Emsi.
“Persembahan
ini didukung oleh actor-aktor digital yang lazim disebut robot-robot.
Sebagaimana Yang Mulia perintahkan, aktor-aktor digital yang akan mewakili kita
di dunia internasional tersebut adalah robot-robot generasi baru,” tambah Emsi
tersebut pada penonton.
Kacau Balau Pencahayaan
Laju
pertunjukan berjalan statis dengan gerakan tokoh-tokoh yang telah menjadi robot
mulai dengan menanggalkan salah satu bagian properti pintu yang bisa diputar.
Salah satu pipa dengan panjang satu meter ditanggalkan dari properti tersebut
untuk menjadi bagian dari gerakan aktor. Pada tiap dialog pipa tersebut
dihentak-hentakkan ke lantai panggung. Setiap pergantian dialog robot satu
sampai empat, pipa dihentakkan, mereka berdialog lantas meloncat di atas
panggung.
Dialog-dialog
merupakan fokus dari pertunjukan selain dialog tokoh yang lain dari belakang
siluet. Sebab, robot-robot tersebut menjadi pusat. Mereka bermain di tengah
panggung. Tiap-tiap robot tersebut mengungkapkan persoalan yang terdapat dalam
diri mereka. Semisal kekurangan mereka menjadi robot, dibanding ketioka mereka
menjadi manusia. Salah satu robot pun mengingat kisah cintanya dengan perempuan
bernama Noni. Saat ia mengingat, muncul di siluet bagian tegah tembakan layar
video seorang perempuan belia yang sedang kasmaran dan menjelaskan kisah
cintanya dengan si robot.
Secara
tematik, memang pementasan ini terlihat berbeda dengan pementasan teater
sebelumnya. Misalkan Matri Lini” yang
digarap oleh Teater Sakata dan Teater Kamus serta Old Track Teater, dengan Perantau Pulau Puti. Dr. Anda yang digarap oleh Gaung
Ekspose, dan lain-lain.
Tapi
dalam pola pergerakan permainan. Banyak kekosongan keaktoran yang dirasakan.
Sebab terlihat pemain dengan gerakan yang seakan monoton, meski gerakan
tersebut muncul dari naskah yang mendukungnya. Misalkan, robot-robot di
panggung bisa saja melakukan dialog dengan kalimat yang tidak jelas dengan
alasan robot-robot tersebut sedang kehabisan energi.
Konsep
pemanggungan juga kurang dalam hal tata-cahaya yag merupakan hal yang vital
dalam pertunjukan tersebut. Tata cahaya menjadi inti dari pola pergerakan teaterikal
pemain di atas penggung. Tata-cahaya ini terkadang salah, atau bisa jadi pemain
yang tidak menyadari, ke arah mana ia akan berjalan. Pengaturan cahaya memang
sangat parah. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar