OLEH Esha Tegar Putra
Pementasan Teater Cabang di Minangkabau Arts Festival |
“Sejak penemuan baju kulit sebagai penghangat tubuh masyarat Homo
Neanderthal. Pakaian telah jauh berubah fungsi sampai sekarang. Dari sitem
pengamanan tubuh, sampai menjadi simbol, gengsi, dan ideologi….”
Pada hari terakhir A
Tribute to Wisran Hadi, Rabu (16/11) sorenya di Teater Utama Taman Budaya
Sumatera Barat tampil Komunitas Seni Hitam
Putih Padang Panjang memanggungkan naskah Sebatas Kata dengan sutradara Kurniasih Zaitun. Pada malamnya, di tempat yang sama tampil Teater Noktah Padang
membawa Wanita Terarkhir sutradara
Syuhendri.
Pementasan Sebatas Kata ini merupakan tafsir bebas sutradara
Kurniasih Zaitun atas naskah Wisran Hadi berjudul “Of the Record”.
Galibnya sebuah tafsir
terhadap teks naskah—konsekuensi yang paling dirasakan penonton adalah kesan
dari “teks” dan simbolisasi di atas panggung. Sutradara punya otoritas terhadap
tafsir teks. Panggung sebagai wilayah yang akan diisi dengan tafsir itu.
Kemunculan simbol, tokoh yang tak memerlukan dialog, properti yang sangat
fungsional, tubuh sebagai representasi konflik, busana sebagai identitas
kultural, dan sebagainya, sepanjang 70 menit, Komunitas Seni Hitam Putih memberi makna dan roh
pada pentas, yang selama 3 hari diisi dengan hal-hal yang monoton.
Sutradara merambah pada wilayah
teks budaya Minang, sebagaimana datuk adalah “kekuasaan” tertinggi dalam
pesukuan di Minangkabau, meleleh dan cair ketika pada awalnya ia tanpa pakaian,
lalu merampok pakaian kebesaran dan atribut datuk, dan mengenakannya. Tapi pakaian datuk itu menyiksanya sehingga
ia lepas lagi. Pesan ini membuka kemungkinan multitafsir bagi penonton yang
paham tentang simbolisasi adat Minang.
Awalnya, Kurniasih
Zaitun membuka panggung dengan mengahadirkan kursi kayu dan meja rotan di sudut
kiri (depan). Sepetak ruang ganti, berisi tiga kamar kecil, dengan penutup kain
putih, di bagian kanan (belakang) panggung. Ini mengingatkan saya kamar ganti
di mal-mal. Melalui properti kursi, meja, dan ruang ganti inilah, para aktor
melakukan aksi panggung yang diolah tanpa dialog ini.
Penanda dipapar
bervariasi di atas panggung. Gerak dan simbol-simbol yang diciptakan atau
tercipta sendiri, komunikatif. Aktor-aktor tak memerankan dirinya saja. Ia
menjadi multifungsi dan memberi efek pada aktor-aktor lainnya. Gerak dan
ketelanjangannya memberi dan menguatkan simbol lainya.
Seorang aktor hadir
melalui gerakan dramatik di atas kursi kayu dengan lembaran-lembaran koran yang
dibuka dengan cepat sebagai tanda kebosanannya. Ia muntah setiap halaman koran
yang dibuka. Dalam wacana media massa, si aktor seakan menerima efek efektif
(berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude [sikap]). Efek yang dalam
pandangan Mc. Luhan, seorang pakar ‘efek komunikasi massa’, di mana seseorang
(aktor-red) cenderung merima informasi dari apa yang dilaporkan media massa,
efek dari sajian adegan kekerasan yang menimbulkan semacam kemuakan dan
menganggap dunia ini sekan mengerikan.
Efek media massa ini
terlihat sebentar pada pementasan. Berlanjut pada permainan beberapa orang
aktor di bagian kamar ganti. Di sini terlihat penggambaran kritik atas
kebebasan seksual yang diumbar-umbar. Berahi yang tak jelas juntrungannya
dihadirkan melalui aksi dari dua orang aktor laki-laki yang (sepertinya) sedang
melakukan hubungan intim di dalam sebuah ruangan, yang bisa jadi ruang ganti,
atau kamar mandi.
Penggambaran wacana
(homo) seksual tersebut terlihat hanya sebatas kaki aktor yang melakukan
gerakan dari belakang kain tabir ruangan. Tapi, bisa jadi, penonton telah bisa
menafirkan melalui kaki aktor yang tampak dan gerakan-gerakan dari balik
belakang kain tabir.
Kehadiran ‘pakaian’
merupakan bagian yang paling inti dari pementasan ini. Pakaian sebagai titik
mula dari wacana ‘pencitraan’. Pada salah satu bagian muncul seorang perempuan
yang membawa berbagai pakaian memalui sebuah gerobak, lantas pakaian tersebut
digantung di tiga ruangan kamar ganti.
Pakaian tersebut terdiri
dari pakaian kebesaran datuk, baju haji, seragam polisi, seragam tentara,
pakaian wisuda (toga), dan pakaian prakter dokter. Pada bagian ini pementasan
hadir melalui tari, di mana salah seorang aktor keluar dari dalam gerobak,
lantas bergerak ke arah ruang ganti pakaian.
Saat si penari membuka
tabir kain ruang ganti, terlihat para aktor dengan pakaian-pakaian tadi.
Hadirlah seorang datuk, seorang pak haji, seorang polisi, seorang tentara, seorang
dokter, dan seorang sarjana. Tapi orang-orang di balik pakaian tersebut hadir
seperti sebuah manekin, bisa jadi robot, yang hanya kaku dan tidak melalukan
gerakan.
Pertunjukan yang
diperkaya dengan koreagrafi Ali Sukri ini memberi dampak yang kuat pada
jalannya pementasan. Naskah Wisran Hadi yang selalu dipentaskan dengan sangat
nyinyir oleh kelompok-kelompok teater sebelumnya, di tangan Tintun—begitu ia
akrab dipanggil—dihantamnya. Tanpa kata sekalipun, apa yang ingin dicapai
naskah Wisra Hadi, tercapai.
Sekelompok penari menanggalkan
pakaiannya sampai yang tersisa hanya pakaian dalamnya. Saat bersamaan, muncul
tokoh datuk dengan segenap atribut kebesarannya. Penari pun terkesima dan
dengan gerakan yang sangat komunikatif, ia mempreteli pakaian sang datuk tanpa
perlawanan. Datuk itu pun diganti pakaiannya dengan baju dan kopiah putih
seorang haji.
Lantas si penari mulai
melakukan gerakan-gerakan tarian yang seolah-oelah menggugat kekuasaan datuk
yang seolah hadir hanya melalui pakaian besarnya. Gugatan-gugatan ini
ditonjolkan si penari seketika ia memakai pakaian kebesaran datuk. Tafisr datuk
seakan hanya seorang yang dihadiahi pakaian, lantas punya kuasa atas keputusan
terhadap kemenakannya, punya kuasa atas hak putus tanah ulayat, atau pemberian
gelar pada seseorang. Dan sang penari terlihat gerah ketika memakai pakaian datuk
tersebut, ia tanggalkan satu persatu, ia buang di atas panggung.Hal yang sama
juga dilakukan dengan simbol kuasa lainnya, seperti polisi dan tentara, haji,
serta pakaian wisuda sarjana.
Kaum Nudism
Konsep pakaian sebagai
penanda dan identitas dihadirkan melalui pemberontakan atas ‘pakaian’ sebagai
harkat, martabat, status sosial. Penolakan-penolakan ini menggambarkan
kesepakatan kaum nudism. Kaum yang
mengganggap pakaian telah mencipatakan komunikasi personal seseorang menjadi
terhambat, kaum yang menganggap pakaian telah meninggalkan pemaknaan hakiki
dari kebudayaan manusia itu sendiri, kaum yang menganggap ’ketelanjangan’ kembali
ke hal yang harfiah dari manusia. Dalam pandangan nudism, ketika melepaskan
baju, manusia menciptakan pembenaran sendiri yang mengaitkan seksualitas,
pronografi.
Minimalis Kata
Wacana-wacana di atas
panggung selama pertunjukan memang hadir dengan dialog yang minim. Meski pada
suatu bagian ada suara terdengar mengucapkan huruf vokal “a-i-u-e-o” dan
“kabau”. Musik pun mengiringi lajunya pertunjukan dan menghadirkan degradasi
pada suasana. Musik seolah menghidupkan setiap tafsir yang dibangung di atas
panggung.
Kurniasih Zaitun
mengatakan, pementasan tersebut merupakan tafsirnya utuhnya terhadap karya
Wisran Hadi. “Naskah berjudul Of the
Record, dalam tanda kurung Sebatas
Kita. Dan saya membaliknya menjadi Sebatas
Kita tapi dalam kurung Of the Record,”
katanya.
Ia menjelaskan bahwa
memang dalam teks naskah Wisran Hadi tersebut memang hanya ada peristiwa
tematik tanpa dialog. “Di dalam naskah ada beberapa tematik tentang kebudayaan,
kekuasaan, hukum, tradisi, keadilan. Dan dengan naskah yang tanpa dialog ini,
saya leluasa dengan konsep teater tubuh yang saya dalami sejauh ini,” tambahnya.
Ia pun mengungkapkan,
dirinya secara penuh bersetia pada tematik yang dihadirkan dalam naskah Wisran
Hadi. “Akan tetapi dalam konsep pemanggungan, suasananya jauh dari naskah
tersebut, dengan penghadiran pakaian yang berbeda,” jelas Tintun lagi.
Dan dalam anggapannya,
tafsir ‘ke-kini-an’ terhadap naskah Wisran Hadi melalui pementasan “Sebatas
Kita” menandakan naskah tersebut relevan dengan wacana kekinian yang hadir
dalam persoalan masyarakat. “Dalam naskah tidak disebutkan jelas tentang
perselingkuhan, homo seksual, dan lainnya. Tapi hal tersebut ada, dan saya
mengkaji ulangnya,” kata Tintun.
Tubuh yang Menguat
Satu gerak dalam
panggung teater merepresentasikan sekian makna. Gerak dan laku diperhitungkan
efektifitasnya. Sutradara Sebatas Kita
tampaknya memperhitungkan ini.
Jika diurut ke belakang,
selama ini, Komunitas Seni Hitam Putih yang didirikan pada 1996 selalu
ketat dengan konsep eksploratif dan semiotif visual siapa pun sutradaranya. Jika mau dibandingkan, garapan terakhir Yusril
Katil, pendiri Komunitas Seni Hitam
Putih ini, yaitu Orang-orang Bawah Tanah,
sepertinya itu bukan identitas kelompok ini sesungguhnya.
Sore itu panggung Sebatas Kita memang memberi pembedaan
tegas terhadap tujuh pertunjukan dalam rangka Parade Naskah Wisran Hadi yang
telah digelar sejak 12 November.
Jika tujuh kelompok
sebelumnya sore dan malam panggung dipenuhi dengan kata-kata, gerak-gerak yang
tak bermakna, miskin simbol, dan sangat melelahkan mendengar dialog aktor yang
belepotan dengan intonasi yang datar dan merata.
Sore itu, semua
terbalik. Tak ada lagi kita mendengar orang-orang marah di atas panggung. Tubuh
melahirkan dialog. Gerak memunculkan simbol dan komunikasi yang nyaris sangat
“nyambung” dengan penonton. Mengintegrasikan koreografi memperkuat semiotif
visualnya. Kendati, beberapa gerakan dibuat berlama-lama, padahal pesan yang
disampaikan telah dipahami. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar