OLEH Andika D Khagen dan Esha Tegar Putra
Pertunjukan Teater Langit dalam Minangkabau Arts Festival |
Teater
Sakata Padang Panjang membuka pementasan teater Parade Naskah Drama Wisran Hadi
Sabtu, (12/10), berjudul Matrilini
yang disutradarai Fani
Dilasari dan Enrico Alamo konsultan artistik.
Iven
ini ditasbihkan sebagai A Tribute to Wisran
Hadi yang digelar Taman Budaya Sumatera Barat selama sepekan sejak tanggal 12
hingga 16 November 2011 menghadirkan sembilan kelompok teater aktif di Sumatera
Barat, yang semuanya membawa naskah karya Wisran Hadi ke atas pentas.
Dramawan
Wisran Hadi meninggal pada Selasa 28 Juni 2011 dalam usia ke-66 tahun di Padang
saat sedang menulis.
Teater
pada intinya adalah cara komunikasi dengan publiknya. Malam itu, Teater Sakata
dengan konsep drama musikal dan kompilasi teater rakyat, mencoba mengajak
penonton untuk tertawa.
Dari
penelusuran yang Haluan lakukan
terhadap pementasan teater yang pernah dilakukan teater yang didirikan tahun
2000 ini, garapan panggung Matrilini
berbeda dari pementasan-pemantasan Teater Sakata sebelumnya.
Malam
itu, penonton di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat memang penuh gelak
tawa. Bentuk parodi dan drama musikal menjadi pilihan utama untuk
memvisualisasikan naskah yang tergolong bermuatan filosofis Minangkabau
tersebut, terkesan cair dan komunikatif.
Panggung
minimalis. Tak banyak properti. Panggung betul-betul dijadikan sebuah wilayah aktor,
pemusik, atau ruang pergantian kostum disatukan dalam frame pentas. Selama ini,
pergantian kostum oleh aktor berada di belakang panggung.
Pun,
tidak ada properti khusus, selain kursi kayu sebanyak 14 buah yang disusun
masing-masing tujuh di sayap panggung. Minimalisasi ini terlihat misalkan
ketika pergantian babakan, pemain tidak perlu jauh-jauh melangkah ke belakang
panggung. Pemain hanya mengganti di
belakang deretan kursi yang disulap untuk beberapa settingan.
Permulaan
babakan, kursi-kursi menjadi ruang yang menggambarkan pesta pernikahan lengkap
dengan pelaminan dan kursi penonton. Di babakan lain, ruang tersebut menjadi
terminal keberangkatan penumpang, rumah, atau ruang publik lain. Cara masuk
pemain ke panggung pun menjadi ketaklaziman. Mereka masuk dari arah tengah
penonton diiringi musik, layaknya sebuah pesta pernikahan.
Enam
orang tokoh kunci cerita Matrilini merupakan keterwakilan dari konsep kebudayaan
Minangkabau. Sebut saja, Lini, Ibu Lini (Rahayu), Datuk, dan tokoh perwakilan
dari sistem pemerintahan seperti Pak Lurah. Juga tokoh yang tidak berada di
dalam panggung tapi ikut mempengaruhi jalannya pertunjukan seperti Merah Silu
dan Merah Sago.
Pola
garapan ini mengingatkan penonton pada seni pertunjukan tradisi randai yang
sudah hidup beratus tahun lalu hingga kini di Minangkabau.
Baik
tokoh, kostum yang dipakai, serta muatan-muatan dialog yang ada di dalam naskah
menjadi kekuatan penting dari pertunjukan tersebut. Selain enam orang pemain,
ada tiga pemusik yang duduk di sayap kanan panggung. Pemusik yang mengiringi
laju permainan selama satu jam tersebut.
Para pemain di atas panggung, juga pemusik, saling merespons aktor yang
sedang berdialog seiring jalannya pertunjukan.
Galibnya
naskah Wisran Hadi, yang kerap menggugat eksistensi tokoh-tokoh adat dan
fungsinya di ranah Minang, yang dalam garapan Sakata malam itu, tak membuat
persoalan menjadi berat-berat amat.
Secara
tematis, Matrilini memang termasuk
naskah yang penuh dengan gugatan, termasuk soal tanah ulayat di Minangkabau,
serta sistem matrilineal yang dianut.
Fani
Dilasari, sutradara pementasan ini mengatakan, pertunjukan ini mengarah pada
mengeksplorasi dari bentuk pertunjukan realisme dengan konsep teater rakyat
yang digarap secara modern.
“Ada
benturan kultural di dalam naskah itu, antara matrilineal, tradisi, dan
modernisasi. Tapi saya mencoba menyajikan secara tragedi-komedian,” kata Fani
Dilasari.
Fani
mengaku merekontruksi kembali naskah itu. Dan membuatnya menjadi dramatik
visualisasi panggung.”
Beberapa
hal yang menjadi catatan adalah kesan adanya kegagapan memahami kultur Minang
secara menyeluruh. Semua naskah Wisran Hadi berangkat dari problem besar adat
dan tradisi Minangkabau. Konflik dijalin dengan sentralnya tali dialog
tokohnya. Kunci cerita ada pada dialog.
Namun,
yang menjadi soal dalam parade naskah Wisran Hadi ini, nyaris semua kelompok
teater yang tampil adalah kelompok yang jarang menyentuh naskah Wisran Hadi
selama ini. Alhasil, gagap di atas pentas, termasuk yang “mentas” malam tadi.
Naskah kuat menjadi lucu dan ironis, malah kadang menyebalkan.
Tentang Teater Sakata
Teater
Sakata merupakan organisasi kreatif nirlaba, beranggotakan para penggiat
teater. Didirikan sebagai wadah bagi penggalian berbagai potensi komunikasi
visual artistik. Usaha tersebut diwujudkan dalam bentuk survai dan
eksperimentasi.
Melalui
pengenalan terhadap berbagai pentas tari, musik, rupa, dan sastra, kelompok ini
berharap menemukan bentuk komunikasi yang efektif. Jika harapan itu terwujud,
berarti Teater Sakata telah menunaikan tugasnya sebagai salah satu sekrup dari
mesin kebudayaan, yang diharapkan bisa membuka ruang seluas-luasnya bagi
pembelajaran dan pengalaman kemanusiaan.
Berdasarkan
pokok pikiran tersebut, Teater Sakata berikrar memfasilitasi penyelenggaraan
workshop serta eksplorasi artistik bagi aktor dan sutradara. Hal itu bisa juga
diwujudkan dalam diskusi, yang pada dasarnya dilakukan sebagai kebutuhan
pengayaan internal. Meski tetap terbuka bagi siapa pun yang ingin
berpartisipasi.
Atas
dasar pikiran itu, dan rasa saling memiliki akibat ‘kemiskinan’ yang sama,
persaudaraan, juga hasrat memajukan kesenian, khususnya teater, di Sumatera
Barat, pada 16 April 2000 sebuah wadah didirikan. Semua sepakat memberi nama
Teater Sakata, yang artinya ‘seiya-sekata’.
Deklarasi
Teater Sakata dilakukan pada malam hari di rumah Enrico Alamo (kemudian jadi
sekretariat), Kelurahan Guguk Malintang, Padangpanjang Timur. Program utamanya:
pementasan, latihan (olah tubuh, olah vokal, olah rasa), dan diskusi bulanan.
Teater
Sakata percaya, teater adalah genre seni dan disiplin ilmu yang tidak bebas
nilai. Karenanya, teater akan selalu bergerak ekuivalen
dengan dinamika masyarakat yang diyakini sebagai pusat pembelajaran paling
efektif dan kaya.
Untuk
itu, perlu dibuka ruang seluas-luasnya bagi penjelajahan artistik dan pilihan
komunikasi. Agar ditemukan pilihan komunikasi pertunjukan yang efektif dan
terukur. Jadi, Teater Sakata merupakan kelompok pembelajaran teater, yang
karenanya tidak berafiliasi dan fanatik terhadap gaya, konvensi ataupun
ideologi artistik mana pun.
Selain
Enrico Alamo sebagai penggerak utama, di Teater Sakata ada Tya Setiawati, yang
memiliki posisi khusus dalam catatan teater Sumatera Barat. Tya adalah alumnus
Jurusan Teater STSI Padangpanjang pertama yang berhasil mendirikan kelompok
teater ekstra-kampus yang konsistens dan militan. Dan, pilihan Tya untuk
menggeluti isu-isu “perempuan” secara konsisten, telah memberinya, tidak saja
‘identitas’ karya, namun juga dialektika berkarya yang konstruktif. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar