OLEH Anas Nafis
Nagari Sumpur-Antara |
Di awal revolusi tahun 1945, bentuk atau susunan pemerintahan di nagari-nagari
Minangkabau masih seperti di jaman penjajahan Belanda juga, yaitu Kerapatan
Nagari yang anggotanya terdiri dari para Penghulu.
Perubahan baru terjadi sejak Negara Republik Indonesia mulai diatur,
yaitu tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan diumumkan. Bermula dengan
turunnya instruksi Presiden tanggal 22 Agustus 1945 tentang pembentukan Komite
Nasional Indonesia.
Kemudian turun pula dekrit pemerintah tanggal 3 Nopember
1945 yang ditanda-tangani Wakil Presiden tentang mendirikan partai-partai di
negeri ini yang disambut hangat oleh masyarakat.
Bagai jamur yang tumbuh di musim hujan, dalam waktu singkat atau
menjelang akhir tahun 1945 telah berdiri tidak kurang dari delapan partai,
seperti PKI, PSII, PERTI, PNI, MIT, PSI, MASYUMI, bahkan ada pula partai yang
bernama PKI - Lokal Islami.
Sedang sebelum itu di nagari-nagari telah berdiri berbagai organisasi
perjuangan seperti kepemudaan, keputrian dan lain-lain sebagai produk revolusi,
yang semuanya berhimpun ke dalam KNI atau Komite Nasional Indonesia.
Jaman beralih musim berkisar, kata sebuah ungkapan. Perubahan pun
terjadi. Kerapatan Nagari model lama dibubarkan dan diganti dengan yang baru,
yaitu Dewan Perwakilan Nagari (DPN) yang anggotanya dipilih langsung oleh
masyarakat, demikian pula jabatan Wali Nagari dan Dewan Harian Nagari.
Semenjak itu mulailah babak baru bentuk Pemerintahan Nagari di Minangkabau.
Komite Nasional
Indonesia
Seperti dikatakan di atas, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan
diumumkan, di pulau Jawa dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP. Di
daerah ini dinamakan “KNI Sumatera Barat”. Anggotanya ialah bekas Hoko Kai bentukan
Pemerintah Militer Jepang yang kalah perang. Pembentukan KNI di daerah ini sejalan
dengan instruksi Presiden Soekarno pada tanggal 22 Agustus 1945.
Dalam waktu singkat KNI ini sudah bercabang, beranting sampai ke tingkat
kewedanaan bahkan ke setiap nagari Sumatera Barat.
Dengan berdirinya cabang dan ranting KNI, berarti tangan revolusi telah
menjambau ke seluruh pelosok nagari di wilayah ini.
Tangan revolusi yang berbentuk KNI inilah yang merupakan ujung tombak
menggelorakan semangat perjuangan, memberi penerangan sejelas-jelasnya arti kemerdekaan
kepada masyarakat, termasuk menjamin keamanan jalannya roda revolusi.
Dalam menjalankan tugasnya di berbagai wilayah, KNI senantiasa mendapat
sambutan dan dukungan meriah dari masyarakat.
Sedang sebelum itu pada tanggal 27,28 dan 29 Agustus 1945,
bertempat di rumah Abdul Muluk di jalan Alang Laweh Padang, berlangsung rapat
pertama pemimpin terkemuka Sumatera Barat.
Dalam rapat penting tersebut antara lain disepakati:
- Menyiarkan kembali teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 oleh Bung Karno dan Bung Hatta, serta menjunjung keagungan kedua pemimpin Indonesia tersebut.
- Mengeluarkan maklumat pembubaran Seikei Ganshu Hookokai (Badan Kebaktian Rakyat).
- Membentuk suatu Komite Nasional Indonesia daerah Sumatera Barat sejalan dengan instruksi Presiden Soekarno pada tanggal 22 Agustus 1945.
4. Untuk sementara KNI
itu beranggotakan sebanyak 41 orang (daftar nama tidak diperoleh – AN) yang
terdiri dari semua bekas anggota Hookokai Sumatera Barat.
Menganjurkan agar di nagari-nagari dibentuk pula ranting
KNI. Pada tanggal 31 Agustus 1945, juga di rumah Abdul Muluk di Padang,
berlangsung pula pertemuan dengan tujuan meresmikan berdirinya KNI Sumatera
Barat. Dalam pertemuan itu, Mohamad Syafei terpilih menjadi ketuanya.
Seusai pertemuan, semua anggota KNI yang berjumlah 41 orang
tersebut diminta segera bergerak ke sepenjuru Sumatera Barat. Selain membentuk
ranting KNI di nagari-nagari. Mereka juga ditugaskan menggelorakan semangat
rakyat setempat dalam menyambut kemerdekaan yang telah diproklamasikan.
Pada tanggal 29 Agustus 1945 teks Proklamasi disiarkan
kembali, bahkan sampai keluar wilayah Sumatera Barat. Dengan demikian
diharapkan dalam waktu singkat sudah diketahui masyarakat banyak.
Pada tanggal-tanggal tersebut kota Padang dan daerah
sekitarnya benar-benar diliputi suasana meriah. Sang Saka Merah Putih berkibar
di mana-mana.
Bendera Hinomaru yang saat itu berkibar di kantor Balaikota Padang,
diturunkan dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih.
Dewan Perwakilan Nagari
Di awal kemerdekaan itu segera muncul pendapat bahwa pemerintahan model
lama, yaitu Pemerintahan Nagari yang terdiri dari para penghulu yang disusun
Pemerintah Belanda berdasarkan IGOB – 1938, dianggap tidak sesuai
lagi dengan semangat revolusi. Kehendak ini berdengung dalam setiap rapat
KNI Nagari, Kewedanaan, bahkan ke tingkat KNI Sumatera Barat.
Dalam rapat pleno KNI Sumatera Barat pada tanggal 17 dan 19 Maret 1946
di Bukit Tinggi, dengan lantang suara-suara ini diperdengarkan kembali.
Hasilnya ialah, sidang memutuskan, bahwa untuk kesempurnaan demokrasi di
nagari-nagari dan demi kelancaran pemerintahan, perlu diadakan suatu DEWAN
PERWAKILAN NAGARI, DEWAN HARIAN NAGARI dan WALI NAGARI.
Maka dibentuklah suatu KOMISI yang bertugas menyiapkan segala sesuatu
atau rancangan yang diperlukan bagi pembentukan Dewan Perwakilan Nagari dan
Dewan Harian Nagari. Dalam waktu singkat, Komisi tersebut harus menyiapkan suatu
rancangan mengenai hal dimaksud dan menyerahkannya kepada KNI Sumatera Barat pada
tanggal 1 April 1946.
Anggota Komisi itu terdiri dari 7 orang, yaitu Iskandar Tedjasukmana, Basjrah
Lubis, A. Gafar Djambek, M. Djamin Dt. Bagindo, Adinegoro, Bgd. Azischan dan
Anwar Sutan Saidi.
Waktu itu dikatakan bahwa Keputusan Rapat Pleno KNI Sumatera Barat ini
mendapat sambutan luas dan meriah dari seluruh lapisan masyarakat, karena
dengan demikian rakyat di nagari-nagari dapat ikut menyumbangkan tenaga dan
pikiran mereka dalam pemerintahan.
Reaksi Ninik Mamak
Reaksi kalangan ninik mamak yang tergabung dalam Majelis Tinggi
Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) terlihat dalam kongresnya tanggal 15
April 1946 yang membuat pernyataan antara sebagai berikut,
1.
Menolak Keputusan Rapat Pleno Komite Nasional Pusat Sumatera Barat di
Bukittinggi tanggal 18 Maret 1946 yang berhubungan dengan pembentukan susunan Badan
Perwakilan Rakyat di nagari-nagari, karena:
a)
Badan Perwakilan Rakyat yang ada sekarang (Kerapatan Nagari) telah
bersifat kedaulatan rakyat sejati. Penghulu-penghulu dan orang-orang empat
jenis wakil rakyat menurut adat ditanam atau diangkat oleh rakyat laki-laki dan
perempuan, tua dan muda.
b) Untuk memuaskan supaya Badan
Perwakilan Rakyat itu sesuai dengan (situasi) masyarakat sekarang, diputuskan supaya
kerapatan nagari yang lama ditambah dengan wakil-wakil partai yang ada dalam
nagari itu.
Keputusan Kongres di atas disampaikan oleh MTKAAM kepada Pemerintahan
Keresidenan Sumatera Barat.
Oleh pemerintah keputusan kongres MTKAAM tersebut dijawab dalam suratnya
kepada MTKAAM yang menegaskan, bahwa pemerintah tetap menyetujui garis-garis yang
telah ditetapkan oleh KNI Sumatera Barat.
Antara lain ditegaskan bahwa, dengan usul MTKAAM dalam bahagian I (lihat
di atas) belum dirasa cukup tercapainya kedaulatan rakyat yang menjadi dasar
dan tujuan perjuangan kemerdekaan segala lapisan rakyat.
Seterusnya dikemukakan bahwa Dewan Perwakilan Nagari ini tidaklah akan
memasuki lapangan adat, yang akan tetap tinggal dalam lapangan kerapatan adat
atau kerapatan penghulu-penghulu.
Dikatakan pula, sebenarnya tugas komisi yang ditugaskan menyiapkan
rancangan pembentukan Dewan Perwakilan Nagari dalam rapat pleno KNI tanggal
17-19 Maret 1946 dan harus menyerahkan kembali kepada KNI tanggal 1 April 1946 (10
hari) itu, tidaklah begitu berat. Sebab pada sidang pleno itu, sudah disampaikan
suatu rancangan yang disusun oleh Anwar Sutan Saidi yang garis besarnya diterima baik oleh KNI Sumatera
Barat. Untuk penyesuaian lebih jauh menjadi peraturan, itulah tugas Komisi yang
dibentuk itu.
Lalu pada tanggal 21 Mei 1946 oleh Residen Sumatera Barat, Dr. M. Djamil
dikeluarkanlah Maklumat No.20 dan 21 tahun 1946, yaitu peraturan tentang
susunan Pemerintahan Nagari, Rumah Tangga Nagari dan cara memilih anggota Dewan
Perwakilan dan Badan Pemerintahan Nagari.
Dikatakan pula bahwa maklumat tersebut membawa perobahan dalam
nagari-nagari di Minangkabau, yaitu dari system pemerintahan yang telah dipakainya
semenjak beberapa zaman yaitu Demokrasi Minangkabau, untuk memakai suatu sistem
pemerintahan baru yaitu sistem Demokrasi Barat.
Maklumat No
20/46 dan 21/46
Sebelum berakhir tahun 1945, Muhamad Syafei meletakkan
jabatan selaku Residen Sumatera Barat.
Setelah bersidang, KNI Sumatera Barat mengangkat Datuk
Perpatih Baringek selaku Residen Sumatera Barat yang baru.
Terhitung tanggal 14 Maret 1946 Residen Sumatera Barat Muh.
Rusad Dt. Perpatih Baringek diperbantukan pada kantor Gubernur di kota Medan.
Dalam sidang KNI-SB ke V tanggal 18 Maret 1946, ditetapkan
Dr. Muh. Jamil sebagai Residen Sumatera Barat yang baru.
Ketika MAKLUMAT N0. 20/46
dan No. 21 / 46 ditanda-tangani oleh Residen Sumatera Barat Dr. M. Djamil pada
tanggal 21 Mei 1946 menyusul Dekrit Wakil Presiden Moh. Hatta tanggal 3
November 1945 tentang mendirikan partai-partai politik, perhatian masyarakat
Sumatera Barat tidaklah tertuju sepenuhnya kepada susunan Pemerintahan Nagari
yang dikehendaki oleh pasal demi pasal maklumat yang baru dicanangkan itu, akan
tetapi lebih berkonsentrasi pada revolusi dan bahaya yang sedang mengancam,
yakni militer Belanda yang datang menyerang untuk menjajah kembali negeri ini.
Dengan kata lain, di awal kemerdekaan, semangat revolusi yang menggelora
mengatasi segala gejolak social dan politik termasuk kekuasaan para penghulu
Minangkabau. Waktu itu perhatian masyarakat lebih tertuju revolusi dan kepada
bahaya yang sudah berada di depan mata dari pada memikirkan Maklumat No.
20/46 yang intinya jelas memporak-porandakan Pemerintahan Nagari model lama
Minangkabau.
Dengan kata lain sistem Pemerintahan Nagari yang dianut sejak jaman
dahulu telah diganti oleh kekuatan revolusi, yakni dengan dibentuknya Dewan
Perwakilan Nagari, Dewan Harian Nagari dan Wali Nagari.
Maklumat itu sendiri ialah mengenai Pemerintahan Nagari model baru,
seperti cara-cara baru memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari (DPN) serta Wali
Nagari yang di jaman dahulu tidak dikenal dalam Pemerintahan Nagari Minangkabau
yang usali.
Maklumat No. 20 / 46 sama sekali tidak ada menyebut kata penghulu atau ninik
mamak di nagari. Namun dalam Maklumat No. 21 / 46 ada tertulis sebuah peran
kecil wakil penghulu dalam panitia pemilihan DPN, DHN maupun Wali Nagari.
Maklumat No. 20 / 46 Pasal 1 tentang Pimpinan Nagari menyebutkan,
1. Pimpinan
Pemerintahan Nagari terdiri dari:
a. Dewan Perwakilan
Nagari (DPN).
b. Dewan
Harian Nagari (DHN).
c. Wali
Nagari (WN).
2. Wali Nagari
menjadi Ketua Dewan Perwakilan Nagari dan menjadi Ketua Dewan Harian Nagari.
Sedangkan Maklumat No. 21 / 46 Pasal 1 Tentang Peraturan Pemilihan Anggota Anggota Dewan Perwakilan Nagari Dan
Pemilihan Wali Nagari
Komite National ranting dalam tiap-tiap nagari
bersama kerapatan nagari yang sekarang menanam sesuatu panitia pemilihan yang
terdiri dari beberapa orang
penduduk Nagari, banyaknya menurut yang ditimbang perlu, sehingga di dalam itu
Kepala Nagari, WAKIL PENGHULU- PENGHULU,
wakil Alim Ulama dan wakil Cerdik Pandai.
1.
Kepala Nagari menjadi Ketua dan Ketua Komite
Nasional menjadi wakil Ketua Panitia Pemilihan atau sebaliknya.
2.
Panitia Pemilihan memilih di antara anggotanya
satu orang setia usaha dan seorang wakil setia usaha.
Ninik Mamak yang tergabung dalam MTKAAM (Majelis Tinggi Kerapatan Adat
Alam Minangkabau) protes, namun suara mereka dikesampingkan saja, bahkan diundang
untuk merumuskan DPN dan DHN pun tidak.
Posisi golongan yang duduk di Pemerintahan waktu itu amat kuat. Kaum
pergerakan yang di jaman penjajahan Belanda dulu banyak mendapat hambatan atau
rintangan dari Pemerintah Belanda dan juga Ninik Mamak yang menganut paham “co”
(kerja sama dengan Pemerintah Belanda), lalu semenjak Kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan, telah memegang posisi penting dalam berbagai bidang
Pemerintahan Revolusi, jalan terus. Para
Ninik Mamak amat menyadari bahwa Maklumat No. 20/46 itu meluluh-lantakkan sistem Pemerintahan Nagari
yang telah mereka anut sejak lama secara turun temurun.
Kalau sebelumnya seperti di jaman penjajahan Belanda dulu, anggota
Kerapatan Nagari terdiri hanya dari para Penghulu, Orang Tua-Tua dan Cerdik
Pandai, lalu setelah Maklumat itu dicanangkan, susunan anggota Kerapatan Nagari
tidaklah seperti jaman lama itu lagi. Mereka dipilih langsung dari masyarakat
melalui pemilihan. Demikian pula jabatan Kepala Nagari yang dirubah dengan
sebutan Wali Nagari.
Namun suara mereka (para ninik mamak) kalah nyaring dan hilang begitu
saja ditelan hebatnya dentuman meriam revolusi. Perubahan bukan hanya terjadi
dalam bentuk Pemerintahan Nagari saja, tetapi juga merambah ke dalam bentuk
kehidupan masyarakat sejalan dengan irama revolusi yang sedang menggelora.
Selain itu Maklumat No. 20/46 itu sama sekali tidak menyebutkan batasan
siapa saja yang boleh menjadi Wali Nagari maupun anggota Dewan Perwakilan
Nagari. Dengan kata lain, kalau di jaman penjajahan Belanda dahulu anggota
Kerapatan Nagari diisi hanya oleh kaum pria saja, setelah Maklumat No.
20/46 itu dicanangkan, KAUM WANITA BOLEH DUDUK DALAM DEWAN PERWAKILAN NAGARI,
BAHKAN MENJADI WALI NAGARI JIKA TERPILIH.
Dengan turunnya Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20/46 tentang
pembentukan DEWAN PERWAKILAN NAGARI
(DPN), DEWAN HARIAN NAGARI (DHN) dan WALI NAGARI yang dipilih langsung
oleh warga nagari, berarti sistem Pemerintahan Nagari bentukan lama
(sistem IGOB 490/1938) sudah tidak terpakai lagi. Dengan kata lain Kerapatan
Nagari dan Kepala Nagari sistem lama bubar, karena sudah ada penggantinya yang
baru.
Kalau di jaman dahulu keputusan Kerapatan Nagari atas dasar musyawarah –
mufakat, lalu setelah Maklumat 20/46 diberlakukan, keputusan Kerapatan Nagari
yang disebut Dewan Perwakilan Nagari atau DPN diambiil berdasarkan suara
terbanyak. Waktu itu pula sebutan Kepala Nagari berganti nama dengan Wali
Nagari.
Sekali air besar sekali pula tepian berubah, jaman beralih musim
berkisar, kata peribahasa.
Setelah beberapa lama sistem baru atau Maklumat No. 20/46 ini berjalan,
ternyata bahwa nagari yang berpenduduk antara tiga sampai lima ribu jiwa
terasa terlalu kecil daerahnya dan terlalu sedikit pula penduduknya untuk dapat
memerintah sendiri atau berotonomi. Lalu timbul gagasan untuk menggabungkan
empat atau lima nagari menjadi satu Wilayah Otonomi.
Inilah asal muasal terbentuk atau lahirnya pemerintahan wilayah-wilayah
otonomi terendah di Sumatera Barat.
Sebelum agresi militer Belanda yang pertama, oleh suatu badan yang
diberi nama Kompempus
(Komisariat Pemerintah Pusat) dibuat suatu panitia yang bernama Panitia Desentralisasi. Tugasnya ialah
mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan otonomi. Dari laporan atau hasil
penelitian panitia tersebut, lahirlah Peraturan Kompempus No. 81 tahun 1948
yang menegaskan pembentukan Kabupaten-Kabupaten dan Wilayah-Wilayah di Sumatera
Tengah, yaitu Residensi Riau, Jambi dan Sumatera Barat.
Pada mulanya penerapan peraturan ini seluruhnya akan rampung menjelang
tanggal 1 Januari 1949, namun karena terjadi agresi militer Belanda, sebagian
ditunda sampai saat pemulihan kedaulatan RI. Baru kemudian diresmikan
dengan Peraturan Gubernur Sumatera Tengah No. 50 tahun 1950.
Dengan berdirinya wilayah-wilayah
tersebut di sepenjuru Sumatera Tengah, jabatan Kepala Wilayah untuk pertama
kali diangkat oleh Pemerintah, walau dalam rencana semula akan dipilih.
Semenjak itu lahirlah Pemerintahan
Wilayah, Dewan Perwakilan Wilayah berikut dengan Dewan Pemerintahan Wilayah yang menjalankan pemerintahan sebagai
kawasan Otonomi Terendah.
Seterusnya Wali Nagari dijadikan
tepatan Wilayah agar pemerintahan di seluruh Wilayah menjadi lancar.
Kemudian muncul Peraturan Presiden No.1/1954 yang membatalkan
Pemerintahan Wilayah-Wilayah yang telah dibuat secara susah payah tersebut.
Reaksi pun bermunculan. Ini dapat dilihat pada koran-koran dan majalah yang
terbit waktu itu.
Reaksi pertama dimulai oleh Miral Manan dalam diskusi tanggal 6 April
1954. Dalam diskusi tersebut ia menyampaikan baik-buruknya sistem pemerintahan
wilayah ataupun nagari. Diskusi di atas diiringi oleh Zamzami Kimin pada
tanggal 13 April dan 7 Mei 1954, di mana dikatakan bahwa otonomi wilayah adalah
otonomi terendah yang terbaik. Lalu pada awal Juni 1954 disambung pula oleh
Maisir Thaib yang menyarankan kembali kepada peraturan Residen Sumatera Barat
No. 20 tahun 1946, yaitu DPN dan tidak kepada IGOB–1938 yang berarti kembali
kepada sistem lama seperti pada jaman penjajahan Belanda dulu.
Dalam suatu wawancara tanggal 8 Juni 1954 Datuk Majo Basa Nan Kuning
(Ketua MTKAAM) mengatakan, otonomi terendah di Sumatera Barat dibentuk
berdasarkan IGOB-1938. Dikatakan pula pembentukan Pemerintah Nagari berdasarkan
IGOB ini sesuai dengan instruksi Kementerian Dalam Negeri. Keberatan dalam
pelaksanaan model IGOB itu, adalah karena dilakukan secara Hukum Adat seperti
yang pernah dilakukan pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda untuk kepentingan sang penjajah. Datuk NBK mengatakan,
Hukum Adat itu bukanlah hukum yang mati, malah dapat disesuaikan dengan
pertumbuhan masyarakat dan bergantung kepada penduduk nagari itu sendiri.
Campur tangan Gubernur atau Residen dalam Pemerintahan Nagari yang
berdasarkan IGOB-1938, dapat menghalangi kembalinya praktek seperti di jaman
pemerintahan Hindia Belanda. Misalnya Gubernur dapat memberikan petunjuk
mengenai cara penyusunan Dewan Perwakilan Nagari (DPN), seperti pernah
dilakukan Pemerintah Keresidenan Sumatera Barat di awal revolusi tentang
pembentukan DPN. Jadi jelaslah praktek-praktek seperti di jaman Hindia Belanda
dulu, tidak akan diteruskan oleh Gubernur yang sekarang.
Harus diakui bahwa model IGOB-1938 itu tidak akan dipakai terus dan
kelak akan diganti dengan peraturan yang lebih moderen yang sesuai dengan
perkembangan masyarakat kita. Dipakainya sekarang agar jangan terjadi
kekosongan dalam pemerintahan otonomi terendah. Lagi pula otonomi yang
diberikan dalam IGOB tsb cukup luas juga untuk memupuk otoaktivitas di jaman
peralihan seperti sekarang ini. Yang penting dalam pelaksanaan otonomi itu
adalah pimpinan Gubernur, Residen atau Bupati, agar jangan semua persoalan
dipulangkan begitu saja kepada masing-masing nagari sebagaimana dilakukan pada
jaman Hindia Belanda dulu.
Karena pedoman dalam pembentukan Dewan Perwakilan Daerah Otonomi
tersebut sedang disusun oleh propinsi, nagari-nagari boleh membuat peraturan
sementara melalui musyawarah oleh pemangku adat, wakil partai, alim ulama dan
orang-orang yang patut menurut timbangan dan kebiasaan nagari masing-masing.
Selanjutnya DT. NBK akan mengusulkan
kepada Gubernur agar dalam memilih anggota Dewan Perwakilan itu dilaksanakan
sekali 3 a 4 tahun saja. Jadi tidak seperti di jaman Belanda, yaitu selama
gelar masih dijabat.
Sementara itu seseorang terkemuka dalam masyarakat yang tidak mau
disebutkan namanya mengatakan, bahwa sebaiknya peraturan IGOB tersebut dipakai
hanya sebagai rechtgrond (dasar / acuan -
pen) dalam pembentukan otonomi terendah di Sumatera Tengah. Selain itu
dipakai pula peraturan Residen Sumatera Barat No. 20 tahun 1946 yang pernah
dijalankan dalam penyusunan anggota DPN.
Memang dalam pembentukan DPN yang mengacu kepada IGOB tersebut terdapat
berbagai kesulitan, misalnya disebabkan revolusi, maka susunan ke anggotaan DPN
harus disesuaikan atau dilakukan berbagai perubahan. Selanjutnya Dewan
Perwakilan Nagari (DPN) seperti dimaksud di atas telah pula menunjukkan bentuk
yang agak representatip dari yang pernah ada sebelumnya. (Dahulu anggota Kerapatan
Nagari diisi hanya oleh Penghulu Adat saja – AN).
Maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 itu, sebenarnya telah mendekati
seperti yang dikehendaki revolusi, yaitu dalam arti mencapai suatu pemerintahan
yang demokratis, namun sayangnya peraturan tersebut digulung habis oleh
peraturan DPR-ST No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah berotonomi yang
telah dibekukan pula oleh PP No.1 tanggal 15 Januari 1954.
Dikatakan pula, walaupun saat ini oleh kantor Gubernur sedang digarap
suatu konsep tentang hal tersebut, namun sebelum konsep itu disyahkan, ada
baiknya diadakan suatu diskusi dengan mengundang berbagai pihak seperti adat,
alim ulama, cerdik pandai dan partai-partai.
Sirajuddin Abbas dalam rapat umum Perti di Bukittinggi tanggal 13 Juni
1954 mengatakan antara lain, gunakanlah susunan yang baru untuk pembangunan nagari
sebaik-baiknya, sebab kalau nagari kuat, maka Indonesia akan kokoh.
Sebaliknya kalau susunan nagari itu lemah, maka seluruh negara akan
lemah pula.
Sedangkan sebelumnya Mr. St. Muh. Rasyid
ketika telah terbentuknya DPN di Sumatera Barat pada tahun 1947 mengatakan,
Desa atau Nagari yang selama ini terkebelakang dan bersahaja, akan kita angkat
dan bawa ia ke derajat yang sama dengan seluruh kota-kota di Indonesia.
Nagari Habis Terbitlah Desa
Bagai petir menyambar di siang bolong, masyarakat Sumatera Barat
dikejutkan oleh Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Barat
Letjen (purn) TNI-AD Ir. Azwar Anas No. 162/GSB/1983 yang menetapkan berlakunya
sistem Pemerintahan Desa terhitung tanggal 1 Agustus 1983 sepenjuru Sumatera
Barat.
Dengan berlakunya Surat Keputusan tersebut, maka jebollah benteng
terakhir adat Minangkabau yang bernama nagari, berikut sistem
pemerintahannya yang unik yaitu Pemerintahan Nagari yang telah dianut
masyarakatnya sejak lama secara turun-temurun.
Ungkapan yang mengatakan: Urang Minang babenteang adat (Orang
Minangkabau berbenteng adat), sirna sudah. Nagari yang merupakan benteng
terakhir pertahanan adat kebanggaan orang Minangkabau diluluh-lantakkan oleh
Surat Keputusan Gubernur No. 162/GSB/1983 tersebut.
Perombakan nagari-nagari menjadi desa-desa di Sumatera Barat ini,
adalah wujud pelaksanaan Undang-Undang R.I. No. 5 tahun 1979 dengan menjadikan
wilayah jorong dalam Pemerintahan Nagari model lama menjadi
Pemerintahan Desa.
Sedangkan sembilan tahun sebelumnya, bentuk atau susunan Pemerintahan
Nagari telah diatur kembali oleh Gubernur Sumatera Barat Drs. Harun Zain dengan
Surat Keputusan No. 155/GSB/1974, yaitu mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan
Nagari Dalam Daerah Tingkat I Sumatera Barat.
Apa sebenarnya yang mendorong Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Barat
merubah 543 nagari menjadi 3.544 desa tersebut?
Sepintas lalu tampaknya selain penyeragaman pemerintahan terendah di
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, juga keinginan Pemerintah Daerah
Tingkat I Sumatera Barat mendapatkan dana Bantuan Desa atau Bandes dalam jumlah
yang jauh lebih besar. Jika sebelumnya wilayah pemerintahan terendah adalah
Pemerintahan Nagari, berarti Sumatera Barat akan mendapat uang Bandes sebesar
543 nagari kali sekian rupiah. Akan tetapi jika pemerintahan terendah
Sumatera Barat dijadikan desa, berarti
“bantuan desa” atau “bandes” yang diperoleh akan jauh lebih besar, yaitu 3.544
desa kali sekian rupiah. Tak ayal lagi, jumlah uang inilah yang dikejar
Pemerintah Daerah dengan mengorbankan kebanggaan masyarakatnya sendiri, yakni nagari
dan adatnya.
Kemudian ternyata memecah sebuah nagari menjadi beberapa desa
tidak semulus seperti yang diharapkan Gubernur dengan Surat Kepurusannya No.
162/GSB/1983. Dihapusnya nagari-nagari dan dijadikan desa-desa telah
menimbulkan berbagai masalah. Dahulu rata-rata setiap nagari mempunyai sebuah mesjid, sekolah, pasar,
kantor untuk Wali Nagari. Lalu setelah dipecah,
masing-masing desa baru itu berusaha atau menuntut mendapatkan mesjid,
sekolah, pasar dan kantor desa pula seperti ketika masih dalam sebuah nagari.
Harta kaum warga dapat saja bertebaran di beberapa desa, padahal kaum yang
menjadi pemiliknya berdiam di desa lain. Demikian pula urusan “batagak penghulu
nagari”, adat tidak mengenal apa yang dinamakan “batagak penghulu desa”.
Belum lagi mengenai “ulayat nagari atau pun kaum”.
Kerusuhan yang terjadi pada tanggal 20 Mei 1989 antara sesama warga eks nagari
Padang Sibusuak Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung yang menelan korban lima
orang tewas, adalah contoh kesemrautan itu. Pemicunya ialah masalah kepemilikan
kebun karet yang pernah digarap bersama oleh warga eks nagari di tanah
ulayat mereka.
Apakah memang menjadikan nagari-nagari menjadi desa-desa itu
hanyalah untuk keseragaman atau iming-iming uang Bandes yang jauh lebih besar
seperti yang disebutkan di atas?
Awal Lahirnya
Parta-partai
Kalau di jaman pendudukan militer Jepang, boleh dikatakan tidak ada
perubahan berarti dalam bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari. Dengan kata
lain Pemerintah Militer Jepang membiarkan orang Minangkabau dengan susunan
Pemerintahan Nagarinya atau barangkali juga Pemerintah Jepang tidak mau
direpotkan dengan bentuk atau susunan pemerintahan yang ada, karena waktu itu
mereka lebih mengutamakan perang menghadapi sekutu dari pada urusan lainnya.
Pada awal Proklamasi bentuk atau susunan Pemerintahan Nagari
masih seperti sebelumnya juga, yaitu dengan Kepala Nagari dan Kerapatan Nagari
yang terdiri dari Penghulu-Penghulu.
Perubahan baru terjadi sejak Pemerintahan Republik Indonesia mulai
diatur, yakni tidak lama setelah Proklamasi 1945.
Semenjak berdirinya KNI (Komite Nasional Indonesia), semua unsur
perjuangan yang ada di setiap nagari, berhimpun ke dalam KNI di nagari
masing-masing.
Kemudian pada tanggal 3 Nopember 1945 keluar dekrit
pemerintah yang ditanda-tangani Wakil Presiden Moh. Hatta tentang mendirikan
partai-partai yang disambut hangat oleh masyarakat.
Bagai jamur yang tumbuh di musim hujan, dalam waktu singkat
atau menjelang akhir tahun 1945 telah berdiri tidak kurang dari delapan partai,
seperti PKI, PSII,
PERTI, PNI, MIT, PSI, MASYUMI, bahkan ada pula partai yang
bernama PKI - Lokal Islami dsb.
Dengan lahirnya partai-partai tersebut, sebahagian besar
unsur perjuangan yang telah ada segera bergabung dengan partai-partai yang baru
berdiri tersebut.
Demi perjuangan menegakkan NRI, partai-partai tersebut
membentuk pula barisan perjuangan seperti Hizbullah, Sabilillah, Tentara Merah
Indonesia, Tentara Allah, Barisan Jenggot, Barisan Istimewa, Barisan Putri
Kesatria, Barisan Hulubalang dll. Bukan hanya itu, kaum wanita pun tidak mau
ketinggalan, misalnya Masyumi Muslimat mengerahkan Sabil Muslimatnya, sedangkan
Perti bagian wanitanya membentuk Laskar Muslimat pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar