OLEH Nasrul Azwar
Sekjen
Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)
Lembaga kesenian
formal—sebutlah ia bernama dewan kesenian—yang ada di Sumatera Barat, baik
tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten, lima tahun terakhir nyaris hilang
ditelan waktu. Jika pun terdengar suaranya, taruhlah Dewan Kesenian Tanah Datar
dan Kota Bukittinggi, tak lebih sekadar menjalankan program sporadis.
Kita mengetahui, dengan
segala kemampuan dan keterbatasannya, tugas dan fungsi dewan kesenian adalah
membina, mengembangkan, menghidupkan, dan memajukan kesenian, baik tradisi
maupun modern, dan sekaligus membangun peradaban serta kebudayaan. Dewan
kesenian yang ada selama ini dikelola masyarakat kesenian di
tempat masing-masing.
Legalitas formal dewan
kesenian, diatur dengan surat keputusan kepala daerah setelah masyarakat
(seniman) mengamanahkan kepada perwakilannya yang duduk di kepengurusan dewan
kesenian. Acuan lebih tinggi adalah Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993. Pengurus
inilah yang dikukuhkan dengan SK kepala daerah dengan konsekuensi pengalokasian
anggarannya di dalam anggaran pendapatan daerah. Pemerintah daerah tak boleh
berkelit lagi untuk tidak merespons kebutuhan hadirnya dewan kesenian di
wilayah masing-masing.
Kendati mendapatkan alokasi
anggaran dalam APBD, bukan berarti dewan kesenian berada di bawah kendali
pemerintah daerah bersangkutan. Fungsi utama dewan kesenian adalah memberikan
pertimbangan khusus kepada pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan yang
akan diambil menyangkut kesenian dan kebudayaan. Sepintas terlihat, peran ini
sangat penting dan strategis. Namun begitu, apakah selama ini, fungsinya
berjalan dengan baik? Saya kira, kita pasti akan menjawab: tidak!
Tulisan ini tak menghendaki
untuk mencari siapa yang salah dan pihak mana yang pantas disalahkan. Tapi,
kita tentu, terutama masyarakat kesenian Sumatera Barat, jelas tak menginginkan
“kevakuman” dewan kesenian berlama-lama dan berlarut-larut. Semua pihak
diharapkan benar, duduk barapak mencari solusi terbaik agar dewan kesenian bisa
mengambil lagi fungsinya.
Dalam catatan saya, selain
Provinsi Sumatera Barat, kabupaten dan kota yang telah punya dewan kesenian
adalah Kabupaten Limopuluh Koto, Tanah Datar, Agam, Padang Pariaman, Solok,
Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Pariaman, dan Solok.
Dalam catatan saya pula,
dewan-dewan kesenian itu hanya tinggal nama tanpa ada pengurus, termasuk tentu saja
Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), yang seharusnya kondisinya tak seperti
sekarang ini: Ditinggal tanpa pertanggungjawaban resmi dari pengurus lama.
Idealnya, bagaimana pun kondisinya, pengurus lama berkewajiban mengantarkan
sampai ke pintu hadirnya penggantian pengurus baru.
Kondisi serupa juga dialami
dewan-dewan kesenian yang berada di kota dan kabupaten. Meskipun dewan-dewan
kesenian menghadapi masalah berbeda-beda, tetapi secara kasat mata, masalah
internal
(masyarakat kesenian) itu sendiri masih menyimpan banyak soal. Paling tidak,
terasa ada ketidakharmonisan sesama seniman sehingga memungkinkan berdampak
pula ketidakakuran dengan pemerintah daerah.
Ketidakharmonisan antarmasyarakat
seniman, yang bisa menyelesaikannya, tentu seniman itu sendiri. “Ketidakakuran”
dengan pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota), biasanya berhubungan
dengan kurangnya apresiasi pemerintah terhadap kesenian sehingga tak
menggalokasikan anggaran yang memadai untuk dewan kesenian. Tetapi, ini dapat
dicarikan jalan keluarnya dengan komunikasi yang intensif ke dua pihak. Yang
celaka itu, jika pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota) tak
membutuhkan lagi keberadaan dewan kesenian itu sendiri. Tentu saja kita tak
berharap ini menjadi kenyataan.
Seniman
Butuh Dewan Kesenian
Saya masih meyakini,
seniman-seniman Sumatera Barat masih membutuhkan eksistensi dewan-dewan
kesenian. Demikian juga sebaliknya, pemerintah tak bisa menafikan keberadaan
lembaga yang memang kehadirannya diatur dalam instruksi presiden.
Untuk mengharmoniskan hubungan
itu, perlu dilakukan dialog antara seniman dan pemerintah daerah, tentu saja
disertakan dengan langlah-langkah konkret berupa program dan diikuti dengan
komitmen pemerintah untuk sungguh memberi perhatian serius terkait anggaran
dewan kesenian.
Untuk mencapai hal itu, satu
hal yang harus disadari betul, khusus bagi pemerintah daerah, posisi dewan
kesenian sebagai mitra. Dan dewan kesenian merupakan yang lembaga kesenian yang
otonom
dan independen. Jika posisi masing-masing telah berjalan dengan baik, maka
tinggal melakukan sinergitas saja.
Langkah-langkah konkret itu,
paling tidak untuk saat ini yang mendesak adalah melakukan musyawarah seniman
dengan agenda utama memilih pengurus Dewan Kesenian Sumatera Barat yang baru. Sebab,
walau bagaimanapun, kehadiran Dewan Kesenian Sumatera Barat secara “psikogis”
dan “kultural”, memberi spirit positif bagi dewan-dewan kesenian kabupaten dan
kota untuk “bergerak” pula.
Memang, masalah klasik
dewan-dewan kesenian di Tanah Air adalah kurangnya perhatian pemerintah
terhadap lembaga ini. Padahal, lembaga dewan kesenian didirikan berdasarkan
Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993 itu, kendati sudah berusia 20 tahun tapi
masih berlaku, mengamanahkan agar pemerintah daerah lewat gubernur, bupati, dan
walikotanya, mengalokasikan dana yang layak untuk dewan kesenian. Tapi, dari
kenyataan yang terpapar, instruksi Mendagri itu sudah banyak dilupakan kepala daerah, termasuk
DPRD. Nyaris semua dewan-dewan kesenian
di Tanah Air tiarap karena tak ada dana yang dialokasikan.
Melepaskan
Citra Negatif
Bagi sebagian kalangan menilai,
keberadaan dewan-dewan kesenian merupakan perpanjangan tangan birokrasi atau
pemerintah. Kerena dewan kesenian lahir dari rahim Orde Baru, maka penilaian
demikian, seperti mendapat pembenaran. Tapi, sesungguhnya tak demikian.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)
sebagai misal, yang merupakan barometer di Tanah Air bagaimana mengelola dewan
kesenian tanpa campur tangan birokrat atau pemerintah, tentu bisa dijadikan
acuan. Tapi, tak menutup kemungkinan, tak sedikit pula dewan kesenian
terang-terangan dijadikan alat capaian politik kekuasaan dan kepentingan
pemerintah. Selain itu, dewan kesenian juga dijadikan tempat mangkal
“pensiunan” peniliki kebudayaan.
Citra yang terkesan negatif
terhadap dewan kesenian itu, hingga kini masih melekat di kalangan seniman dan
kreator kita, dan ini tentu tak elok dipertahankan. Kendati menghapuskan stigma
itu, tak mudah. Tapi, bukan tak bisa dilakukan.
Jika fungsi dan tujuan dewan
kesenian secara konsisten dilaksanakan pada tingkat aplikatif oleh pengurusnya,
maka dewan kesenian bisa keluar dari citraan negatif itu. Malah akan muncul
sebagai lembaga kesenian yang berwibawa, terhormat, dan dihargai masyarakat.
Konsistensi pada fungsi dan
perannya, tentu harus dipahami bersama, dan jadi komitmen penyelenggara dewan
kesenian.
Kita pahami bersama,
sesungguhnya, arah dan kecenderungan kesenian, bukan ditentukan lembaga yang
bernama dewan kesenian itu. Kesenian, di
mana pun ia tumbuh dan berkembang, pada dasarnya memiliki cara maupun kemampuan
menyelaraskan konteks dirinya: antara apa, bagaimana, dalam situasi apa, dan
kepada siapa kesenian itu diperuntukkan.
Maka, bersetuju dengan
Irwansyah Harahap, Etnomusikolog Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, dalam
sebuah makalahnya, bahwa arah maupun perkembangan kesenian umumnya bertumpu
pada seniman sebagai agen atau kreator, kritikus-pemikir seni sebagai knowledge criticists dan masyarakat
sebagai apresiator. Di banyak negara maju, dewan kesenian (art council) lebih berperan sebagai kurator administratif, satu
sisi penting lainnya penunjang perkembangan dunia kesenian itu sendiri.
Menurutnya, dunia kesenian juga
merupakan sebuah fenomena sosial-kebudayaan di mana berbagai persoalan-persoalan
kesenian tidak hanya dapat dipahami semata dengan kacamata artistik, tetapi
juga melingkupi wilayah filosofi, etika, nilai, hingga ekonomi. Sebagai contoh,
seorang seniman yang hidupnya berada di lingkup kebutuhan komunitas ritual
masyarakatnya tidak membutuhkan sebuah pasar (market) untuk hasil karya
seninya. Sebaliknya, seniman pop mungkin hidupnya hanya bergantung dari jasa
itu.
Maka dari itu, perlu
ditegaskan, jika dewan-dewan kesenian yang ada di Sumatera Barat berkeinginan
untuk dihidupkan lagi, pengelola atau pengurusnya dituntut lebih berkompetensi,
matang, jeli, dan mampu merumuskan agenda apa yang relevan dengan peran dan
fungsi dewan kesenian.
“Sebagai perantara, dewan
kesenian bukan institusi yang berhak secara prerogatif memutuskan apa yang
sebaiknya dilakukan untuk dunia kesenian. Sebaliknya, ia harus lebih sensitif
menafsir apa yang menjadi kebutuhan para seniman sebagai pelaku kesenian,”
tulis Irwansyah Harahap.
Tantangan bagi dewan kesenian,
memang tak sama dengan masa sepuluh tahun lalu, dan mungkin saat ini,
tantangannya lebih berat dan cukup besar, terutama terkait dengan kesenian
lokal itu sendiri, termasuk di Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar