Selasa, 14 Januari 2014

PEMERINTAH DAERAH HARUS RESPONS: Dewan Kesenian Masih Diperlukan




OLEH  Nasrul Azwar

Sekjen Aliansi Komunitas Seni Indonesia (AKSI)


Lembaga kesenian formal—sebutlah ia bernama dewan kesenian—yang ada di Sumatera Barat, baik tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten, lima tahun terakhir nyaris hilang ditelan waktu. Jika pun terdengar suaranya, taruhlah Dewan Kesenian Tanah Datar dan Kota Bukittinggi, tak lebih sekadar menjalankan program sporadis.
Kita mengetahui, dengan segala kemampuan dan keterbatasannya, tugas dan fungsi dewan kesenian adalah membina, mengembangkan, menghidupkan, dan memajukan kesenian, baik tradisi maupun modern, dan sekaligus membangun peradaban serta kebudayaan. Dewan kesenian yang ada selama ini dikelola masyarakat kesenian di tempat masing-masing.

Legalitas formal dewan kesenian, diatur dengan surat keputusan kepala daerah setelah masyarakat (seniman) mengamanahkan kepada perwakilannya yang duduk di kepengurusan dewan kesenian. Acuan lebih tinggi adalah Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993. Pengurus inilah yang dikukuhkan dengan SK kepala daerah dengan konsekuensi pengalokasian anggarannya di dalam anggaran pendapatan daerah. Pemerintah daerah tak boleh berkelit lagi untuk tidak merespons kebutuhan hadirnya dewan kesenian di wilayah masing-masing.
Kendati mendapatkan alokasi anggaran dalam APBD, bukan berarti dewan kesenian berada di bawah kendali pemerintah daerah bersangkutan. Fungsi utama dewan kesenian adalah memberikan pertimbangan khusus kepada pemerintah terkait dengan kebijakan-kebijakan yang akan diambil menyangkut kesenian dan kebudayaan. Sepintas terlihat, peran ini sangat penting dan strategis. Namun begitu, apakah selama ini, fungsinya berjalan dengan baik? Saya kira, kita pasti akan menjawab: tidak!
Tulisan ini tak menghendaki untuk mencari siapa yang salah dan pihak mana yang pantas disalahkan. Tapi, kita tentu, terutama masyarakat kesenian Sumatera Barat, jelas tak menginginkan “kevakuman” dewan kesenian berlama-lama dan berlarut-larut. Semua pihak diharapkan benar, duduk barapak mencari solusi terbaik agar dewan kesenian bisa mengambil lagi fungsinya.
Dalam catatan saya, selain Provinsi Sumatera Barat, kabupaten dan kota yang telah punya dewan kesenian adalah Kabupaten Limopuluh Koto, Tanah Datar, Agam, Padang Pariaman, Solok, Kota Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Pariaman, dan Solok.
Dalam catatan saya pula, dewan-dewan kesenian itu hanya tinggal nama tanpa ada pengurus, termasuk tentu saja Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB), yang seharusnya kondisinya tak seperti sekarang ini: Ditinggal tanpa pertanggungjawaban resmi dari pengurus lama. Idealnya, bagaimana pun kondisinya, pengurus lama berkewajiban mengantarkan sampai ke pintu hadirnya penggantian pengurus baru.
Kondisi serupa juga dialami dewan-dewan kesenian yang berada di kota dan kabupaten. Meskipun dewan-dewan kesenian menghadapi masalah berbeda-beda, tetapi secara kasat mata, masalah internal (masyarakat kesenian) itu sendiri masih menyimpan banyak soal. Paling tidak, terasa ada ketidakharmonisan sesama seniman sehingga memungkinkan berdampak pula ketidakakuran dengan pemerintah daerah.
Ketidakharmonisan antarmasyarakat seniman, yang bisa menyelesaikannya, tentu seniman itu sendiri. “Ketidakakuran” dengan pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota), biasanya berhubungan dengan kurangnya apresiasi pemerintah terhadap kesenian sehingga tak menggalokasikan anggaran yang memadai untuk dewan kesenian. Tetapi, ini dapat dicarikan jalan keluarnya dengan komunikasi yang intensif ke dua pihak. Yang celaka itu, jika pemerintah daerah (gubernur, bupati, dan walikota) tak membutuhkan lagi keberadaan dewan kesenian itu sendiri. Tentu saja kita tak berharap ini menjadi kenyataan.     
Seniman Butuh Dewan Kesenian
Saya masih meyakini, seniman-seniman Sumatera Barat masih membutuhkan eksistensi dewan-dewan kesenian. Demikian juga sebaliknya, pemerintah tak bisa menafikan keberadaan lembaga yang memang kehadirannya diatur dalam instruksi presiden.  
Untuk mengharmoniskan hubungan itu, perlu dilakukan dialog antara seniman dan pemerintah daerah, tentu saja disertakan dengan langlah-langkah konkret berupa program dan diikuti dengan komitmen pemerintah untuk sungguh memberi perhatian serius terkait anggaran dewan kesenian.
Untuk mencapai hal itu, satu hal yang harus disadari betul, khusus bagi pemerintah daerah, posisi dewan kesenian sebagai mitra. Dan dewan kesenian merupakan yang lembaga kesenian yang otonom dan independen. Jika posisi masing-masing telah berjalan dengan baik, maka tinggal melakukan sinergitas saja.
Langkah-langkah konkret itu, paling tidak untuk saat ini yang mendesak adalah melakukan musyawarah seniman dengan agenda utama memilih pengurus Dewan Kesenian Sumatera Barat yang baru. Sebab, walau bagaimanapun, kehadiran Dewan Kesenian Sumatera Barat secara “psikogis” dan “kultural”, memberi spirit positif bagi dewan-dewan kesenian kabupaten dan kota untuk “bergerak” pula.
Memang, masalah klasik dewan-dewan kesenian di Tanah Air adalah kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga ini. Padahal, lembaga dewan kesenian didirikan berdasarkan Instruksi Mendagri No 5.A tahun 1993 itu, kendati sudah berusia 20 tahun tapi masih berlaku, mengamanahkan agar pemerintah daerah lewat gubernur, bupati, dan walikotanya, mengalokasikan dana yang layak untuk dewan kesenian. Tapi, dari kenyataan yang terpapar, instruksi Mendagri itu sudah  banyak dilupakan kepala daerah, termasuk DPRD. Nyaris semua dewan-dewan  kesenian di Tanah Air tiarap karena tak ada dana yang dialokasikan.
Melepaskan Citra Negatif
Bagi sebagian kalangan menilai, keberadaan dewan-dewan kesenian merupakan perpanjangan tangan birokrasi atau pemerintah. Kerena dewan kesenian lahir dari rahim Orde Baru, maka penilaian demikian, seperti mendapat pembenaran. Tapi, sesungguhnya tak demikian.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sebagai misal, yang merupakan barometer di Tanah Air bagaimana mengelola dewan kesenian tanpa campur tangan birokrat atau pemerintah, tentu bisa dijadikan acuan. Tapi, tak menutup kemungkinan, tak sedikit pula dewan kesenian terang-terangan dijadikan alat capaian politik kekuasaan dan kepentingan pemerintah. Selain itu, dewan kesenian juga dijadikan tempat mangkal “pensiunan” peniliki kebudayaan.
Citra yang terkesan negatif terhadap dewan kesenian itu, hingga kini masih melekat di kalangan seniman dan kreator kita, dan ini tentu tak elok dipertahankan. Kendati menghapuskan stigma itu, tak mudah. Tapi, bukan tak bisa dilakukan.
Jika fungsi dan tujuan dewan kesenian secara konsisten dilaksanakan pada tingkat aplikatif oleh pengurusnya, maka dewan kesenian bisa keluar dari citraan negatif itu. Malah akan muncul sebagai lembaga kesenian yang berwibawa, terhormat, dan dihargai masyarakat.
Konsistensi pada fungsi dan perannya, tentu harus dipahami bersama, dan jadi komitmen penyelenggara dewan kesenian.
Kita pahami bersama, sesungguhnya, arah dan kecenderungan kesenian, bukan ditentukan lembaga yang bernama dewan kesenian itu.  Kesenian, di mana pun ia tumbuh dan berkembang, pada dasarnya memiliki cara maupun kemampuan menyelaraskan konteks dirinya: antara apa, bagaimana, dalam situasi apa, dan kepada siapa kesenian itu diperuntukkan.
Maka, bersetuju dengan Irwansyah Harahap, Etnomusikolog Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, dalam sebuah makalahnya, bahwa arah maupun perkembangan kesenian umumnya bertumpu pada seniman sebagai agen atau kreator, kritikus-pemikir seni sebagai knowledge criticists dan masyarakat sebagai apresiator. Di banyak negara maju, dewan kesenian (art council) lebih berperan sebagai kurator administratif, satu sisi penting lainnya penunjang perkembangan dunia kesenian itu sendiri.
Menurutnya, dunia kesenian juga merupakan sebuah fenomena sosial-kebudayaan di mana berbagai persoalan-persoalan kesenian tidak hanya dapat dipahami semata dengan kacamata artistik, tetapi juga melingkupi wilayah filosofi, etika, nilai, hingga ekonomi. Sebagai contoh, seorang seniman yang hidupnya berada di lingkup kebutuhan komunitas ritual masyarakatnya tidak membutuhkan sebuah pasar (market) untuk hasil karya seninya. Sebaliknya, seniman pop mungkin hidupnya hanya bergantung dari jasa itu.
Maka dari itu, perlu ditegaskan, jika dewan-dewan kesenian yang ada di Sumatera Barat berkeinginan untuk dihidupkan lagi, pengelola atau pengurusnya dituntut lebih berkompetensi, matang, jeli, dan mampu merumuskan agenda apa yang relevan dengan peran dan fungsi dewan kesenian.
“Sebagai perantara, dewan kesenian bukan institusi yang berhak secara prerogatif memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan untuk dunia kesenian. Sebaliknya, ia harus lebih sensitif menafsir apa yang menjadi kebutuhan para seniman sebagai pelaku kesenian,” tulis Irwansyah Harahap.
Tantangan bagi dewan kesenian, memang tak sama dengan masa sepuluh tahun lalu, dan mungkin saat ini, tantangannya lebih berat dan cukup besar, terutama terkait dengan kesenian lokal itu sendiri, termasuk di Sumatera Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...