OLEH Nasrul
Azwar
Pekan Budaya Sumbar (Foto Antara) |
Pekan Budaya Provinsi Sumatera Barat resmi
dibuka kemarin di halaman Kantor Gubernur. Iven tahunan ini berlangsung sejak
4 sampai dengan 10 November 2013. Dari
informasi yang diperoleh, pelaksanaan seremoni dan kegiatan digelar di beberapa
lokasi: Gubernuran, Taman Budaya dan Museum Nagari, serta Kantor Dinas Budpar.
Ini beda dengan tahun lalu yang terpusat. Tema yang diangkat , saya kira cukup
“seksi”, yakni Gelar Kreasi Budaya Menuju Ekonomi Kreatif.
Tahun lalu, iven serupa dilaksanakan di
Kabupaten Solok, sebelumnya di Kota Payakumbuh.
Ada upaya, memang, alek pemprov ini digilir di kota dan kabupaten setiap tahun,
tapi kayanya kegiatan ini tak menarik bagi kepala-kepala daerah. Contoh yang
terdekat, seyogyanya Pemerintah Kota Padang menjadikan dirinya sebagai tuan
rumah dalam gelaran Pekan Budaya ini jika Pemprov Sumbar mau berkomunikasi,
namun itu tak terjadi. Bukankah Kota Padang sesungguhnya “sipangka” dalam acara
ini? Dibawanya kembali gelaran Pekan
Budaya ke Padang, memunculkan pertanyaan besar: SKPD Dinas Budaya dan
Pariwisata Sumbar, serta UPT –nya telah gagal meyakinkan pemerintah kota dan
kabupaten di Sumbar bahwa iven ini penting.
Pekan Budaya telah belasan tahun digelar,
malah dua puluhan. Ia sudah jadi perhelatan reguler setiap tahun. Biasanya,
perencanaan dan pelaksanaannya dieksekusi UPT Dinas Budaya dan Pariwisata
Sumbar, yaitu Taman Budaya dan Museum Nagari Provinsi Sumatera Barat, di bawah
koordinasi Disbudpar, tentunya. Dana yang digelontorkan untuk rata-rata per tahun di atas 1 miliaran rupiah.
Pertengahan tahun lalu, beberapa fraksi
di DPRD Sumbar sempat mempertanyakan kemanfaatan dan sejauh mana keterlibatan
budayawan dan seniman dalam pelaksanaan program ini. Kendati pertanyaan fraksi itu terkesan normatif, saya kira budayawan dan
seniman perlu menjelaskan posisi mereka setiap iven Pekan Budaya ini?
Kritikan terhadap Pekan Budaya bukan tak
ada. Nyaris setiap tahun muncul kecaman dari budayawan dan seniman karena
pelaksanaan yang mereka rasakan tak lagi bisa ditolerir.
Beberapa hal yang selalu menjadi
persoalan besar adalah soal konten atau materi kegiatan yang terkesan hanya
untuk memenuhi dan mengisi jadwal belaka. Selain itu, tak adanya keterlibatan
langsung budayawan, seniman, akademisi, pelaku, dan pengamat seni dalam
menyusun dan merencanakan Pekan Budaya ini. Maka, masuk akal sekali, setiap
Pekan Budaya digelar, ia berubah menjadi
pasar malam dan jadi ajang berdagang kaki lima.
Bagi kita, tentu Pekan Budaya itu
dimaknai sebagai perayaan penampilan karya-karya puncak dari seniman dan pegiat
seni di Sumatera Barat. Pekan Budaya dikesankan sebagai sebuah peristiwa budaya
yang diisi dengan hadirnya maestro-maestro seni tradisi Minangkabau, kuliner
Minang, dan lain sebagainya. Capaian demikian itu, jelas menuntut kerja keras
bagi kurator atau tim seleksi yang diberi amanah untuk bekerja profesional
dengan kriteria dan standar yang jelas, bukan seperti sekarang: ditunjuk tanpa
proses dan penilaian yang jelas pula.
Terkait dengan tema yang diangkat pun
bagi saya sangat menggelitik dan lucu. Paling tidak, tentu saja, jika
dihubungkan dengan kegiatan yang disusun pada Pekan Budaya ini. Saya menduga,
tema Gelar Kreasi Budaya Menuju Ekonomi Kreatif,
sekadar disematkan saja tanpa memahami secara mendasar makna dan tujuan ekonomi
dan industri kreatif itu.
Jika
pemahaman ekonomi dan industri kreatif itu benar, maka keluaran dari program
dan iven yang disusun bukan seperti Pekan Budaya sekarang ini. Masih minimnya
pengetahuan tentang ekonomi kreatif itu, dan belum satu persepsinya SKPD terkait
dengan kementerian di Pusat yang membidangi ini, menjadikan progran industri
dan ekonomi kreatif di daerah semakin jauh dari sasaran yang ditargetkan.
Artinya, SKPD seperti Dinas Budaya dan Pariwisata serta Dinas Perdagangan dan
Industri yang terkait langsung dengan program ini, masih terlihat bingung. Dan begitu juga dengan
pelaksanaan Aktivasi yang dilakukan Taman Budaya Sumbar, juga menunjukkan
minimnya pemahaman tentang ekonomi kreatif itu.
Hal demikian
itu terjadi karena mereka, (SKPD) dan UPT, memililih posisinya secara langsung
sebagai eksekutor dalam pelaksanaan program. Seharusnya mereka mengajak dan
mengsinergikan program ini dengan pihak lain. Capaiannya, bisa dilihat
bagaimana program Aktivasi yang dilakukan berbulan-bulan itu hanya dihadiri
peserta plus orang lewat. Dan saya meyakini, kegiatan Pekan Budaya juga serupa
dengan sebelumnya.
Untuk itu,
jika masih seperti ini juga, saya berharap agar anggota Dewan menghapus saja
anggaran untuk Aktivasi dan Pekan Budaya ini. Penggunaan uang rakyat bukan untuk
dihamburkan seperti ini. Itu saja!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar