Selasa, 14 Januari 2014

Pekan Budaya: Habiskan Dana Lagi


OLEH Nasrul Azwar
Pekan Budaya Sumbar (Foto Antara)
Pekan Budaya Provinsi Sumatera Barat resmi dibuka kemarin di halaman Kantor Gubernur. Iven tahunan ini berlangsung sejak 4  sampai dengan 10 November 2013. Dari informasi yang diperoleh, pelaksanaan seremoni dan kegiatan digelar di beberapa lokasi: Gubernuran, Taman Budaya dan Museum Nagari, serta Kantor Dinas Budpar. Ini beda dengan tahun lalu yang terpusat. Tema yang diangkat , saya kira cukup “seksi”, yakni Gelar Kreasi Budaya Menuju Ekonomi Kreatif.  

Tahun lalu, iven serupa dilaksanakan di Kabupaten Solok, sebelumnya di Kota  Payakumbuh. Ada upaya, memang, alek pemprov ini digilir di kota dan kabupaten setiap tahun, tapi kayanya kegiatan ini tak menarik bagi kepala-kepala daerah. Contoh yang terdekat, seyogyanya Pemerintah Kota Padang menjadikan dirinya sebagai tuan rumah dalam gelaran Pekan Budaya ini jika Pemprov Sumbar mau berkomunikasi, namun itu tak terjadi. Bukankah Kota Padang sesungguhnya “sipangka” dalam acara ini? Dibawanya  kembali gelaran Pekan Budaya ke Padang, memunculkan pertanyaan besar: SKPD Dinas Budaya dan Pariwisata Sumbar, serta UPT –nya telah gagal meyakinkan pemerintah kota dan kabupaten di Sumbar bahwa iven ini penting.
Pekan Budaya telah belasan tahun digelar, malah dua puluhan. Ia sudah jadi perhelatan reguler setiap tahun. Biasanya, perencanaan dan pelaksanaannya dieksekusi UPT Dinas Budaya dan Pariwisata Sumbar, yaitu Taman Budaya dan Museum Nagari Provinsi Sumatera Barat, di bawah koordinasi Disbudpar, tentunya. Dana yang digelontorkan untuk rata-rata  per tahun di atas 1 miliaran rupiah.
Pertengahan tahun lalu, beberapa fraksi di DPRD Sumbar sempat mempertanyakan kemanfaatan dan sejauh mana keterlibatan budayawan dan seniman dalam pelaksanaan program ini. Kendati pertanyaan fraksi  itu terkesan normatif, saya kira budayawan dan seniman perlu menjelaskan posisi mereka setiap iven Pekan Budaya ini?
Kritikan terhadap Pekan Budaya bukan tak ada. Nyaris setiap tahun muncul kecaman dari budayawan dan seniman karena pelaksanaan yang mereka rasakan tak lagi bisa ditolerir. 
Beberapa hal yang selalu menjadi persoalan besar adalah soal konten atau materi kegiatan yang terkesan hanya untuk memenuhi dan mengisi jadwal belaka. Selain itu, tak adanya keterlibatan langsung budayawan, seniman, akademisi, pelaku, dan pengamat seni dalam menyusun dan merencanakan Pekan Budaya ini. Maka, masuk akal sekali, setiap Pekan  Budaya digelar, ia berubah menjadi pasar malam dan jadi ajang berdagang kaki lima.
Bagi kita, tentu Pekan Budaya itu dimaknai sebagai perayaan penampilan karya-karya puncak dari seniman dan pegiat seni di Sumatera Barat. Pekan Budaya dikesankan sebagai sebuah peristiwa budaya yang diisi dengan hadirnya maestro-maestro seni tradisi Minangkabau, kuliner Minang, dan lain sebagainya. Capaian demikian itu, jelas menuntut kerja keras bagi kurator atau tim seleksi yang diberi amanah untuk bekerja profesional dengan kriteria dan standar yang jelas, bukan seperti sekarang: ditunjuk tanpa proses dan penilaian yang jelas pula.
Terkait dengan tema yang diangkat pun bagi saya sangat menggelitik dan lucu. Paling tidak, tentu saja, jika dihubungkan dengan kegiatan yang disusun pada Pekan Budaya ini. Saya menduga, tema Gelar Kreasi Budaya Menuju Ekonomi Kreatif, sekadar disematkan saja tanpa memahami secara mendasar makna dan tujuan ekonomi dan industri kreatif itu.
Jika pemahaman ekonomi dan industri kreatif itu benar, maka keluaran dari program dan iven yang disusun bukan seperti Pekan Budaya sekarang ini. Masih minimnya pengetahuan tentang ekonomi kreatif itu, dan belum satu persepsinya SKPD terkait dengan kementerian di Pusat yang membidangi ini, menjadikan progran industri dan ekonomi kreatif di daerah semakin jauh dari sasaran yang ditargetkan. Artinya, SKPD seperti Dinas Budaya dan Pariwisata serta Dinas Perdagangan dan Industri yang terkait langsung dengan program ini, masih  terlihat bingung. Dan begitu juga dengan pelaksanaan Aktivasi yang dilakukan Taman Budaya Sumbar, juga menunjukkan minimnya pemahaman tentang ekonomi kreatif itu.
Hal demikian itu terjadi karena mereka, (SKPD) dan UPT, memililih posisinya secara langsung sebagai eksekutor dalam pelaksanaan program. Seharusnya mereka mengajak dan mengsinergikan program ini dengan pihak lain. Capaiannya, bisa dilihat bagaimana program Aktivasi yang dilakukan berbulan-bulan itu hanya dihadiri peserta plus orang lewat. Dan saya meyakini, kegiatan Pekan Budaya juga serupa dengan sebelumnya.
Untuk itu, jika masih seperti ini juga, saya berharap agar anggota Dewan menghapus saja anggaran untuk Aktivasi dan Pekan Budaya ini. Penggunaan uang rakyat bukan untuk dihamburkan seperti ini. Itu saja!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...