OLEH Nasrul Azwar
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan
jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat
kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan
serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan
rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus
dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan
berorientasi ke masa depan.
Kalimat di atas memang cukup ideal dan
tujuannya pun sangat agung. Namun demikian, dalam praktiknya dalam tataran
empirik, boleh jadi kalimat itu hanya sebatas kalimat dan tak ada bedanya
dengan tujuan yang utopis. Terlalu berat malah tugas yang disandangnya. Dan output yang dihasilkan dari sistem
pendidikan dengan tujuan yang maha agung itu, tampak jauh panggang dari api.
Buktinya, tentu dapat dilihat dari persaingan dalam tataran global. Output dari
sistem pendidikan itu keok dalam percaturan pemikiran dan tenaga kerja di
tingkat global.
Kini muncul pelbagai konsep dan sistem
pendidikan di Indonesia: ada namanya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK),
Manajemen Pendidikan, Sekolah Unggul, dan lain sebagainya, yang pada gilirannya
jelas sangat-sangat membingungkan bagi pendidik, dan tentu saja yang kerap
menjadi “kelinci percobaan” adalah murid. Dan semua sistem yang dan konsep yang
dikeluarkan itu tetap saja punya orientasi pada proyek. Maka, muncul di
kota-kota tertentu sebagai tempat “uji coba” KBK, Sekolah Unggul, dan lain
sebagainya. Dan kota itu ditetapkan sebagai proyek percontohan, dan seterusnya
dan seterusnya.
Karena siswa yang menjadi kelinci
percobaan, keluhan dan kelisahan siswa kerap muncul, baik secara langsung
maupun tak langsung. Pada sebuah home page
depdiknas saeorang siswa di salah satu SMU N di Jogjakarta mengeluh dan
merasa bosan dengan beban yang dipikulnya sebagai seorang siswa SMU.
Siswa itu menulis seperti ini: Saya adalah
murid salah satu SMU Negeri di Yogyakarta yang ingin mengatakan, bahwa sistem
pendidikan di Indonesia tidak lebih dari sebuah penjara bagi siswanya. Karena
siswa harus mengikuti beberapa pelajaran yang kurang diinginkan, tetapi sistem
adalah sistem yang sulit untuk diubah. Saya maklumi ini karena sudah berjalan
cukup lama dan sulit sekali untuk diubah. Saya bukannya mau meniru sekolah di
luar negeri, tetapi mengapa tidak dicoba dulu. Seperti saat ini di sekolah saya
ada kelas akselerasi, SMU 2 tahun. Ini hanyalah sebuah percobaan, tetapi tetap
berjalan.
Di sekolah saya saat ini sedang mencoba
penyampaian materi pelajaran dengan menggunakan komputer, walaupun fasilitas
disekolah kami kurang mencukupi, tetapi ada seorang guru yang ingin menerapkan
sistem ini disekolah kami. Walaupun dulu ditentang oleh banyak guru dan bahkan
oleh kepala sekolah sekalipun, tetapi tidak menyurutkan niatnya, dan sekarang
sudah berjalan cukup lancar. Saya tidak ingin menyalahkan siapa yang salah,
tetapi ini membuat siswa merasa jenuh dan bosan. Banyak siswa yang bolos
sekolah karena malas, setiap hari isinya sama saja. Dan siswa sekarang banyak
yang tidak menghormati gurunya, dan saya kira ini dari kesalahan sebuah sistem
yang kacau. Sekolah = penjara = bosan.
Keluhan siswa tersebut bukan sebuah
rekayasa, dan barangkali keluhannya itu merupakan representasi dari jutaan
siswa di negeri ini.Hal demikian juga terjadi pada para pendidik. Banyak
suara-suara yang mengeluhkan berat dan tak jelasnya arah sebuah sistem
pendidikan yang dua tahun terakhir banyak konsep yang ditawarkan.
Ditambahkannya, soal pendidikan adalah
soal sikap dan komitmen terhadap pencerdasan anak didik. Sehebat apapun sebuah
sistem dan kurikulum, jika tidak didukung dengan sikap dan komitmen pendidik
dan birokrat, jelas tak akan ada gunanya.
Memotong Peran
Birokrat
Masalah sistem pendidikan serta dampak
yang dihasilkan dari sistem itu terhadap anak didik memang menjadi problem bak lingkaran setan.
Satu persoalan yang ada berkaitan dengan ke “jaringan” birokrasi lainnya, dan
seterusnya demikian. Satu konsep pendidikan yang ditawarkan, misalnya, hal ini
tentu akan menyentuh dan menguntungkan sekian banyak birokrat. Sistem kebijakan
yang sentralistik dan terpusat dinilai banyak kalangan sebagai penyebab
“membusuk” dan rumitnya problem pendidikan Indonesia. Maka, pemberian
kewenangan yang besar ke daerah serta upaya desentralisasi pendidikan
diharapkan sebagai solusi untuk memecahkan sebagian problem pendidikan yang
demikian belukarnya. Namun, ternyata, otonomi dan kewenangan itu ditafsirkan
melenceng dari sukma otonomi, dan justru memunculkan “raja-raja” kecil di
tingkat lokal.
Menurut Zulfikri Anas, dari Pusat
Kurikulum Balitbang Diknas, campur tangan birokrasi terhadap sistem pendidikan
dan kebijakan pendidikan menjadi titik awal mala petaka hancurnya pendidikan di
Indonesia. Otonomi yang diserahkan ke daerah (lokal) dinilai gagal
dilaksanakan, karena daerah dianggap tidak siap untuk hal itu. Pusat setengah
hati memberikan kewenangan pada untuk kebijakan di tingkat lokal, dan terlihat
ada upaya untuk “menggantung” kewenangan itu.
“Untuk mencari jalan ke luarnya dalam
memecahkan problem pendidikan, maka pemahaman terhadap otonomi mesti
diredefinisi lagi. Bahwa otonomi bagi daerah adalah memberikan keleluasan untuk
mengambil kebijakan teknis bagi daerah untuk menentukan arah pendidikannya. Dan
kewenangan pusat (depdiknas) sebatas kebijakan di tingkat filosofi pendidikan.
Untuk menentukan buku yang digunakan, sistem ajar, dan masalah pola pendidikan
lainnya hendaknya daerah mengambil peran. Dalam hal ini tidak ada pola minta
petunjuk ke pusat,” katanya.
Pemahaman demikian, lanjutnya, yang
semestinya ditekankan di tingkat lokal. Peran birokrasi harus dipotong dan
tidak ada campur tangan birokrat di dalamnya.
“Peran birokrat yang selama ini cukup kuat
yang menjadi penyebab hancurnya sistem pendidikan kita. Maka, hingga ini ke
atas, campur tangan birokrat harus diputus, dan sekolah masing-masing yang
menentukan kebijakan pendidikannya,” jelasnya.
Untuk hal demikian memang dituntut
komitmen dan kekuatan hati nurani. Karena, dengan memutuskan peran birokrasi,
paling tidak itu akan menghilangkan sebagian proyek-proyek di tingkat birokrasi
pusat dan kota/kabupaten. Dan ini jelas bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan.
Ada kemauan keras di dalamnya.
KBK: Konsep
Pendidikan Surau
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
dinilai sebagai salah satu konsep pendidikan yang akan menjawab tantangan dan
memecahkan dari sekian banyak dan rumitnya persoalan pendidikan di Indonesia.
Bagi Zulfikri Anas, yang terlibat secara
langsung dalam menggodok dan mengembangkan serta menyosialisasikan KBK ini
mengatakan bahwa roh dan filosofi dari KBK itu justru berangakat dari sistem
dan konsep pendidikan yang ada di surau dan pendidikan informal lainnya di
Nusantara ini. Jika konsep itu memakai istilah asing, karena dalam sejarahnya
sistem pendidikan tradisi kita itu telah lama diadopsi negara asing, dan kini
bangsa kita mengadosinya kembali untuk pendidikan kita.
Masyarakat
Indonesia – terutama di Minangkabau – telah lama menggunakan KBK ini. Terutama
dalam pendidikan surau. Sementara banyak kalangan pakar pendidikan di Indonesia
justru tidak menyadari hal ini. Pada intinya, KBK lebih menekannya pada nilai
humanistik, dan memanusiakan manusia.
Maka,
kata Zulfikri, antara pengetahuan (knowledge) dengan kompetensi (competency) adalah dua komponen kemampuan manusia yang
menyatu secara kontinum. Namun, dalam
implementasi kurikulum ada penekanan-penekanan sesuai dengan filosofi yang
dianut dan ke arah mana pendidikan diorientasikan. Kurikulum yang berbasiskan pengetahuan
menunjukkan bahwa orientasi pembelajaran adalah untuk tahu (to know).
Pembelajaran dianggap tuntas apabila
semua peserta didik telah diberi
materi yang sama, proses belajar mengajar bersifat informatif dan siswa diposisikan
sebagai wadah untuk diisi. Pola ini sangat rentan dengan “over control” karena ukuran ketuntasan pembelajaran dilihat dari
ketuntasan materi (bahan ajar). Kegiatan
belajar mengajar akan berhenti ketika
bahan ajar telah habis, sebaliknya, guru
seperti berpacu dengan waktu ketika ada sejumlah materi belum tersampaikan secara langsung melalui
tatap muka.
“Karena sasarannya semua
anak harus tahu semua informasi secara bersamaan, maka dalam pemberian
informasi semua anak dianggap sama. Perbedaan di antara anak
ditentukan oleh skor yang mereka
peroleh setelah diberi serangkaian soal-soal pilihan ganda yang sangat
subyektif. Subyektifnya pilihan ganda karena semua rangkaian proses
penyusunan soal, mulai dari pemilihan topik,
pemilihan kata dalam bahasa soal, penentuan alternatif pilihan jawaban,
sepenuhnya otoritas guru/pembuat soal.
Sementara ketika anak telah memberikan jawaban, tidak ada pertimbangan
lain kecuali benar- salah. Menjawab
benar berarti pintar dan menjawab salah berarti bodoh!”
Dalam
konsep KBK, nuansa akdemik lebih diutamakan daripada nuansa birokrasi.
Peraturan diberlakukan untuk memperlancar proses belajar mengajar. Jika terjadi
benturan antara kepentingan akademik
dengan kepentingan birokrasi, maka
peraturan yang harus diubah.
Maka,
sistem pendidikan harus merdeka dan membebaskan dari campur tangan
birokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar