OLEH Anas Nafis
PENGANTAR
Enam tahun yang lalu yakni di bulan Juli
tahun 1999 tulisan mengenai Bagindo Aziz Chan ini telah diturunkan Harian
Singgalang, namun karena banyaknya pertanyaan mengenai sepak terjang beliau
yang disampaikan kepada penulis, ada baiknya disampaikan kembali juga melalui
harian yang sama.
Asli tulisan berasal dari majalah resmi
pemerintah “Madjalah Penerangan Sumatera Tengah” No. 112, 15 Djuli 1953, tahun
IV dengan judul tulisan “PAHLAWAN NASIONAL AZIZ CHAN”.
Melihat judul tulisan di atas
serta suara-suara yang berkembang belakangan ini agar beliau diusulkan sebagai
“Pahlawan Nasional”, hemat penulis sebelum permintaan itu disampaikan, ada baik
diteliti terlebih dahulu mengapa sampai ada judul majalah pemerintah tahun 1953
itu seperti demikian.
Selamat
membaca !
Padang Juli
2005
Anas Nafis
<a href="http://962b2kncnry4uua-zn3oysrpuj.hop.clickbank.net/" target="_top">Click Here!</a>
<a href="http://962b2kncnry4uua-zn3oysrpuj.hop.clickbank.net/" target="_top">Click Here!</a>
WALI KOTA PADANG II
Pemerintah Inggris di London mengumumkan akan menarik pasukannya dari seluruh wilayah Indonesia mulai tanggal 30 Nopember 1946.
Sementara itu pihak Belanda atau
yang lebih dikenal dengan sebutan NICA (Netherland
Indies Civil Administration) yang semula membonceng pendaratan pasukan Sekutu
(baca Inggris) ke Indonesia untuk melucuti serdadu Jepang yang kalah perang,
mengambil alih kekuasaan di daerah-daerah yang ditinggalkan pasukan sekutu
(Inggris) tersebut. Di antara yang diambil alih itu ialah Kota Padang.
Di kota yang dipenuhi pasukan
asing (termasuk serdadu Belanda) inilah Bagindo Aziz Chan ditugaskan sebagai
Wali Kota oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Sungguh penempatan yang amat
berani, penuh resiko, bahkan dapat dikatakan tidak masuk akal.
Mengenai dipilihnya Bagindo
Aziz Chan selaku Wali Kota Padang ini, buya Hamka mengatakan:
Setelah Pemerintah Belanda meluaskan kekuasaan di kota
Padang dan sekitarnya, TRI (Tentara Republik Indonesia) mundur ke daerah
“darat” (pedalaman), namun tempat-tempat penting masih dalam kekuasaan
Pemerintah Republik Indonesia.
Ketika dipertimbangkan siapa yang akan diangkat menjadi Wali
Kota Padang, sebab markas tentara dan Pemerintah Republik telah dipindahkan ke
Bukit Tinggi, seorang pun tidak ada yang berani. Akhirnya jatuhlah pilihan
kepada Bagindo Aziz Chan.
Jabatan penting yang berbahaya ini, diterima beliau dengan ucapan
Bismillah.
BERUNDING DENGAN SEKUTU
Baru beberapa hari memangku
jabatan selaku Wali Kota Padang, atas gagasannya diadakan perundingan dengan
pihak sekutu (Inggris). Perundingan
mana berlangsung pada tanggal 15
Agustus 1946. Masalah yang dibicarakan ialah mengenai keamanan kota,
keselamatan warga kota sehubungan keberadaan pasukan asing tersebut.
Pihak Republik diwakili oleh
Gubernur Muda Dr. M. Djamil, Kepala Polisi Sumatera Barat Azhari dan Wali Kota
Padang Bagindo Aziz Chan. Sedangkan pihak Sekutu oleh Brigadir Thomson , Mayor
Fisher dan Kapten Gilman.
Dalam perundingan itu pihak
Sekutu berjanji akan berkerja sama sepenuhnya dengan pihak Indonesia, terutama
dalam menjaga keamanan kota Padang.
Dibicarakan pula hal-hal lain
seperti pos, perkereta-apian, kepolisian dsb.
PENGUNGSIAN BESAR-BESARAN
Sungguhpun telah disepakati,
pelanggaran demi pelanggaran tetap saja terjadi, terutama dari pihak Sekutu.
Rentetan senapan mesin, dentuman mortir, granat tangan serta penangkapan
terhadap yang mereka curigai “ekstremis”, sudah merupakan bagian tidak
terpisahkan dari kejadian sehari-hari yang dialami penduduk kota Padang.
Sebagai misal peristiwa tanggal 27-28 Agustus 1946, terjadi bentrokan senjata
secara sporadis yang nyaris menghanguskan kota Padang. Semenjak itu terjadilah
pengungsian besar-besaran dari kota Padang ke daerah pedalaman.
MULAI DIKUASAI NICA
Walau fakta
menunjukkan kota Padang adalah daerah Republik Indonesia, dibuktikan dengan
duduknya seorang Walikota yang republik pula, namun pihak Sekutu, tetap saja
menyerahkan pemeriksaan atau nasib orang-orang republik yang mereka tangkap
kepada pihak Belanda. Hal mana terbaca dalam surat sbb:
Kepada tuan Aziz Chan.
Beberapa orang Indonesia yang dipenjarakan (Sekutu)
dihadapkan ke depan pengadilan Belanda pekan ini (6-9-46). Apakah tuan
bermaksud akan memberikan mereka hakim pembela?
dto - Cooper.
Walikota Padang membalas surat
tsb sbb:
Tuan Cooper Hq Padang BBE.
Pemerintah Republik saya tidak mengizinkan
pemeriksaan macam manapun
oleh Belanda. Pucuk pimpinan tentara Sukutu sepatutnya menyerahkan perkara itu
kepada Pengadilan Indonesia. Sesungguhnya saya bersama ini memprotes.
Walikota Padang,
(dto. Aziz Chan).
Protes ini tidak digubris pihak
Sekutu. Yang diizinkan hanyalah mengantarkan makanan untuk para tahanan saja.
MENJELANG LINGGARJATI
Semenjak
tanggal 30 Nopember 1946, daerah-daerah yang ditinggalkan (lebih tepat
diserah-terimakan) pihak Sekutu, praktis dikuasai sepenuhnya oleh militer
Belanda (baca Nica).
Sudah barang
tentu dalam mencengkramkan kekuasaan lebih dalam dan
lebih luas lagi, pihak Belanda tidak segan-segan melakukan teror dan
penangkapan-penangkapan terhadap orang-orang yang mereka anggap berseberangan
dengan tuduhan “ekstremis”.
Tanggal 9 Desember 1946 Menteri
Pertahanan Mr. Amir Syarifuddin, Letnan Jendral Urip dan Dr. AK. Gani tiba di
Padang untuk membicarakan garis demarkasi gencatan senjata dll dengan pihak
Belanda, sesuai isi naskah Linggarjati yang telah diparap. Bagindo Aziz Chan
ikut dalam pembicaraan tersebut.
Hasilnya ialah komunike bersama
al sbb:
1. Daerah
primeter sekeliling kota Padang akan dikosongkan seluruhnya oleh TRI dan
Barisan yang bersenjata mulai tanggal 31 Desember 1946 pukul 24.00.
2. Semua
pos tentara Belanda yang ditambah sesudah tanggal 14 Oktober 1946 akan dicabut.
3. Untuk
melaksanakan hal tersebut di atas, TRI (Tentara Republik Indonesia) dan tentara
Belanda memerintahkan penghentian pertempuran dan menghindarkan segala
kemungkinan pertikaian bersenjata.
4. Polisi
NRI (Negara Republik Indonesia) bersenjata secukupnya di dalam kota Padang akan
diperluas kekuasaannya, sehingga dapat menjalankan kewajibannya menjaga
keamanan dengan sebaik-baiknya. Untuk mana akan diadakan perundingan lebih
lanjut.
5. Polisi
NRI berhak mengadakan perondaan di daerah perondaan tentara Belanda.
Opsir penghubung akan diadakan di
pihak tentara Republik Indonesia dan pihak Belanda.
Perundingan selanjutnya diadakan
pada tanggal 17-18 Desember 1946 antara Wali Kota Padang dengan pihak Belanda,
tetapi tidak mencapai hasil yang nyata karena pihak Belanda tidak memberikan
jawaban yang masuk akal terhadap tiga pokok masalah penting yang menyangkut
komunike di atas, yaitu:
1. Soal
tahanan Indonesia yang harus diserahkan kepada pembesar Indonesia.
2. Soal
jumlah anggota polisi NRI di Kota Padang.
3. Soal
persenjataan polisi.
Dalam perundingan itu pihak
Belanda mengatakan, merekalah yang bertanggung-jawab soal keamanan dalam garis
demarkasi. Sedangkan pihak Indonesia mengatakan, soal keamanan warga Indonesia
di dalam garis demarkasi hanya oleh polisi NRI dan tidak oleh pihak Belanda.
Tanggal 30 Desember 1946 diadakan lagi
perundingan tentang “Joint Truce Commission” atau “Komisi Bersama Gencatan
Senjata”. Pihak RI diwakili Wali Kota Padang, Letkol Halim, Iskandar
Tejasukmana, Kepala Polisi Darwin Karim dan dihadiri pula Gubernur Sumatera
Tengah serta beberapa orang lain selaku peninjau. Sedangkan di pihak Belanda De
Boer, Letkol van Erp, Mr. van Straten, Kapten Warnaar serta beberapa opsir
peninjau.
Perundingan ini adalah lanjutan
dari perundingan sebelumnya pada tanggal 11 Desember 1946 antara Menteri
Pertahanan RI dengan pihak Belanda. Namun dalam kurun waktu antara tanggal 11
dan 31 Desember 1946 itu, pihak Belanda selalu memungkiri dan menyabot
pokok-pokok persetujuan yang telah dibuat.
Pada perundingan akhir Desember
1946 tsb, pihak Belanda mengatakan soal garis demarkasi tidak ada sangkut
pautnya dengan soal memperkuat Pemerintah NRI di kota Padang. Sedangkan pihak
Republik menegaskan sebaliknya dengan berbagai bukti. Begitu pula soal
kepolisian, pihak Belanda tetap bersikeras menolaknya, walau pihak RI telah
mengurangi usulnya yang semula seribu orang yang menjadi lima ratus polisi.
Terjadilah dead lock.
Pihak Belanda meng-ultimatum. TRI
dan Barisan Rakyat harus keluar dari dalam garis demarkasi sebelum pukul 24.00
malam itu juga, jika tidak akan digempur. Ultimatum itu ditolak oleh pihak RI
dengan menegas “jika dijual tetap akan dibeli”.
Saat penggantian tahun 1946–1947
kembali berkecamuk pertempuran di sekitar kota Padang. Indarung dan Lubuk Begalung
yang dihujani peluru mortir dan meriam. Dan pada siang hari di bom dan
ditembaki pula dari udara.
Tidak seperti biasanya yakni
dengan kembang dan petasan, pesta tahun baru malam itu dimeriahkan dengan
detuman peluru meriam, mortir, granat, senapan mesin baik dari pihak Belanda
maupun balasan pihak Republik.
Tanggal 8 Januari 1947 pihak
Belanda meminta agar perundingan dibuka kembali. Untuk menunjukkan goodwill
(niat baik), permintaan tersebut diterima pihak Republik.
Perundingan dilangsungkan tanggal
10 Januari 1947. Pihak Indonesia diwakili oleh Bagindo Aziz Chan, St. M.
Djosan, Dr. M. Djamil, Urangkayo Gantosuaro dan Samsu Anwar. Sedangkan pihak
Belanda diwakili De Boer, Van Sraten dan Kapten Warnaar.
Masalah yang dibicarakan ialah
penghentian tembak menembak, garis demarkasi, polisi NRI serta masalah tahanan.
Dalam memaksakan kehendaknya,
pada tanggal 11 Januari 1947 pihak Belanda menekan dengan menjatuhkan bom dan
menembaki Pasar Usang yang letaknya sekitar 30 km dari kota Padang. Namun
delegasi Republik tidak bergeming dengan intimidasi tersebut.
Setelah melalui perdebatan
sengit, pembicaraan berakhir dengan sebuah rencana kesepakatan. Usul jumlah
personil polisi 500 orang diterima pihak Belanda. Tanggal 12 Januari 1947
kesepakatan tsb ditanda tangani, dari pihak RI oleh Bagindo Aziz Chan.
Tanggal 18 Januari 1947 berunding
lagi untuk cara melaksanakan kesepakatan yang telah ditanda-tangani. Karena
masalah yang dibicarakan banyak menyangkut soal kemiliteran, diusulkan untuk
diserahkan kepada Komandan Militer masing-masing. Dari pihak RI oleh Kolonel
Ismael Lengah, sedangkan di pihak Belanda Kolonel Sluyters.
Mengenai masalah sipil seperti
kehakiman, diputuskan kedua belah pihak mengirim utusan ke High Level Joint
Truce Commission di Jakarta.
LINGGARJATI DITANDA-TANGANI
Setelah Naskah Linggarjati
ditanda tangani pada tanggal 25 Maret 1947, boleh dikatakan suasana di kota
Padang lebih lega dari hari-hari biasa.
Lalu pada tanggal 3 April 1947
dirundingkan kembali mengenai penentuan garis demarkasi serta urusan
Pemerintahan Sipil. Perundingan mana dilanjutkan lagi pada tanggal 8 April
1947. Hasilnya ialah Pemerintahan Sumatera Barat sejak dari tanggal tersebut
dipindahkan kembali ke kota Padang. Residen Sumatera Barat buat sementara 3
hari di Padang dan hari-hari berikutnya di Bukittinggi, karena sebagian besar
jawatan keresidenan berada di Bukittinggi.
Pihak Belanda menyetujui polisi
RI bersenjata lengkap masuk dan sekalian tinggal di kota Padang. Selain itu
pihak Belanda menyerahkan kembali sebagian senjata polisi yang dulu dirampas
oleh pihak Sekutu (baca Inggeris).
Sepintas tampaknya perdamaian
benar-benar akan terujud. Akan tetapi tak lama kemudian terjadi pula berbagai
pelanggaran. Kepala Polisi kota Padang Johny Anwar bersama 4 orang stafnya ditangkap
Polisi Militer Belanda. Setelah diprotes Bagindo Aziz Chan, dibebaskan kembali.
Dalam perundingan dengan pihak RI
yang diketuai Residen SM. Rasyid, dibentuklah sebuah Panitia Kerja yang
diketuai oleh Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan.
Semenjak itu mulai kembali
dilakukan pemungutan pajak-pajak penghasilan kota, seperti pajak tontonan, kendaraan dsb.
Selanjutnya pada tanggal 21 April
1947 kereta api masuk kembali ke stasion Padang. Buat sementara sekali dalam
sehari dan akan diatur kembali pada tanggal 1 Mei 1947.
Dalam masalah perkereta-apian ini
Wali Kota Padang mendapat ucapan selamat dari Menteri Penerangan RI Moh. Natsir
yang mengatakan, “hal itu adalah langkah awal dalam melaksanakan Pasal 1 naskah
Linggarjati”.
Tanggal 3 Mei 1947 diadakan lagi
perundingan untuk menetapkan garis demarkasi yang masing-masing pihak diwakili
oleh Kolonel Ismail Lengah dan Kolonel Sluyters serta dihadiri pula oleh Wali
Kota Padang.
Dalam suasana “de facto” itu
kegembiraan masyarakat kota Padang mencapai puncaknya, apalagi saat dikunjungi
oleh rombongan Gubernur Sumatera serta Mayor Jenderal Suharjo.
Ibarat sebuah kapal dengan dua
nahkoda yang saling bermusuhan, pihak Belanda mulai pula mencari gara-gara.
Tak salah peribahasa mengatakan
“habis berhalur maka beralu”, tampaknya pihak Belanda ingin menyelesaikan soal
Indonesia dengan cara kekerasan atau perang. Ini terlihat dengan meningkatnya
kekuatan militer Belanda di seluruh daerah Republik Indonesia, tidak terkecuali
Kota Padang.
Walau suasana muram mulai menyelimuti
seluruh daerah Republik Indonesia termasuk kota Padang, tanggal 9 Juni 1947 masih saja diadakan
perundingan antara Kolonel Ismail Lengah dan Kolonel Sluyters membicarakan
masalah insiden-insiden kecil yang terjadi sekitar garis demarkasi.
PERANG KEMERDEKAAN PERTAMA
Kabinet Syahrir jatuh dan pada
tanggal 3 Juli 1947 terbentuk Kabinet Amir Syarifuddin yang segera dihadapkan
pada tuntutan yang lebih merupakan ultimatum dari pihak Belanda. Mereka
menuntut antara lain mengadakan Gendarmerie (sejumlah pasukan yang bertindak
sebagai polisi militer atau pengawas) bersama dalam menjaga keamanan di
daerah-daerah strategis Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Usul ini
ditolak oleh BP-KNIP (Badan Pekerja – Komite Nasional Indonesia Pusat) dan
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 17 Juli 1947.
Tanggal 17 Juli 1947 Wakil
Presiden Moh. Hatta tiba kembali di Bukittinggi setelah mengadakan kunjungan
rahasia ke India menemui Pandit Nehru dan M. Ali Jinnah.
AZIZ CHAN DIBUNUH
Tanggal
19 Juli 1947 hari kedua puasa, militer Belanda menembak mati Bagindo Aziz Chan
di kawasan Nanggalo.
Hari itu sekitar pukul 5-6 petang
dengan berkendaraan mobil Bagindo Aziz Chan bersama keluarga sedang menuju
Padang Panjang. Di kawasan Purus mereka dihadang militer Belanda yang
dikomandani Letkol Van Erp. Bagindo Aziz Chan diperintahkan naik ke sebuah jeep
dan langsung dibawa ke Nanggalo dalam garis demarkasi Belanda. Menurut
keterangan pihak Belanda di daerah itu
telah terjadi suatu insiden.
Sampai di suatu tempat di kawasan
itu jeep berhenti, Bagindo Aziz Chan turun untuk memeriksa apa yang dikatakan
insiden oleh militer Belanda tsb. Tiba-tiba sebutir peluru menerjang lehernya
dan seketika itu juga beliau tersungkur dan menghembuskan nafas yang
penghabisan. Segera jenazah Aziz Chan dibawa ke rumah sakit Padang.
Mulanya cerita seperti itulah
yang terebar di kalangan masyarakat yang ternyata kemudian tidaklah demikian.
Tidak ada keterangan pihak Belanda dari pihak mana peluru yang menyebabkan
kematian itu berasal. Begitu pula hari itu di kawasan tersebut tidak ada
terjadi kontak senjata.
JENAZAH DIKAWAL KNIL
Kematian Wali Kota Padang
tersebut segera merambah ke daerah pedalaman (daerah Republik Indonesia).
Residen Sumatera Barat St. Muh.
Rasyid, Chatib Suleiman, Marzuki Yatim, Dr. Rahim Usman, Jamalus Yahya, Hamka,
Mayor A. Thalib bersama keluarga almarhum setelah sahur langsung berangkat
menuju kota Padang.
Sekitar pukul 05.30 pagi
sampailah rombongan tsb di setasiun kereta api Tabing. Kepala Polisi T.A. Sani
segera mengadakan kontak dengan pos terdepan militer Belanda di seberang garis
demarkasi Padang. Sementara itu terdengar gemuruh dentuman meriam dan mortir
yang ditembakkan militer Belanda entah dengan maksud apa .
Satu jam kemudian barulah
rombongan tsb diizinkan masuk ke dalam kota Padang dengan syarat tidak membawa
senjata. Karena itu Mayor Thalib tidak ikut, demikian pula Residen Sumatera
Barat Mr. St. M. Rasyid.
Rombongan yang dikawal ini
dihentikan pula sekitar satu jam di depan markas militer Belanda dan barulah
setelah itu diantarkan ke rumah almarhum Bagindo Aziz Chan.
Di rumah duka inilah jenazah
almarhum disemayamkan dan dikawal pula oleh sepasukan KNIL (serdadu Belanda
yang direkrut dari pribumi), tak obahnya seperti pahlawan Belanda yang gugur di
medan laga.
Tampak di belakang telinga
almarhum sebuah lobang bekas terjangan peluru dan kepala beliau pecah seperti
dipukul benda keras.
Selesai mempersiapkan segala
sesuatu, jenazah almarhum dibawa dengan kereta api ke Bukittinggi dan sampai di
kota ini pada malam berikutnya. Pukul
06.00 pagi tanggal 21 Juli 1947 Van Mook mengumumkan “aksi polisionil” terhadap
RI.
Malam itu juga sekitar pukul
21.00, jenazah almarhum diotopsi oleh empat dokter untuk memastikan sebab
kematian beliau. Dari hasil pemeriksaan jenazah disebutkan, bahwa kematian
almarhum disebabkan oleh pukulan benda berat di kepala.
Pukul 2 malam itu juga jenazah
almarhum dikebumikan di Taman Bahagia (Taman Pahlawan) Bukittinggi dengan suatu
upacara besar penuh haru.
SIAPA BAGINDO AZIZ CHAN
Bagindo Aziz Chan adalah salah
seorang murid atau pengikut setia Haji Agus Salim.
Setelah menamatkan AMS-B di
Betawi, Bagindo Aziz Chan memasuki gerakan politik melalui PSII dan dilanjutkan
ke Penyadar bersama Haji Agus Salim.
Untuk biaya hidup sehari-hari
Bagindo Aziz Chan mengajar di beberapa sekolah partikelir. Beliau menikah
dengan seorang gadis teman sekolahnya yang kemudian diboyong ke Sumatera Barat.
Selama di Sumatera Barat ia
pernah mengajar di Islamic College, Normaal Islam Padang, Balai Pendidikan PSII
Batu Hampar dan MIK Bukit Tinggi.
Pada awal pembentukan
Pemerintahan Republik Indonesia di Sumatera Barat, ia aktif pada Komite
Nasional Sumatera Barat. Kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan
Sumatera.
Ketika di Dewan Perwakilan
Sumatera inilah beliau ditunjuk menjadi Wali Kota Padang.
Mengenai almarhum Bagindo Chan ini
Hamka mengatakan lagi:
Beliau adalah seorang Muslim yang taat yang boleh dikatakan dekat kepada
fanafik. Bila berkata-kata, baik dalam berbagai pertemuan atau berpidato di depan
umum, senantiasa keluar dari mulut beliau
“Alhamdullah, Bismillah dan Insyaallah”. Demikian pula dalam
surat-suratnya selaku Wali Kota Padang, selalu dimulai dengan Assalamualaikum.
Agama Islam tidak boleh dilecehkan dihadapannya. Para pemimpin yang
mengaku pemuka Islam, tetapi satu kali kelihatan olehnya tidak jujur
dihantamnya, bahkan dimakinya. Matanya besar menantang tetapi terbayang
kejujuran.
Sebelum syahid ia sempat mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia di
kota Padang dan ia sendiri menjadi ketuanya.
Ia selalu menganjurkan supaya kaum saudagar meramaikan kota Padang dan
memulai perjuangan ekonomi, karena pada akhirnya perlawanan dengan Belanda akan
berhenti dengan penyelesaian juga.
Dalam suatu siaran pers ketika
diangkat sebagai Wali Kota Padang, almarhum Bagindo Aziz Chan mengatakan:
Tanggal 16 menghadap 17 Ramadhan berdekat dengan turunnya Alquranulkarim
sebagai kurnia Allah Subhanahuwata’ala, dalam suatu kerapatan lengkap badan
pemerintahan resmi Sumatera Barat, dengan persetujuan suara bulat dari pada
hadirin, saya telah diangkat memangku jabatan Wali Kota Padang.
Keangkatan ini saya terima dan saya sambut dengan
ucapan hati “Allahu Akbar, fi-Sabilillah” atas kepercayaan pemerintah kita
telah menyerahkan pimpinan kota Padang kepada saya. Hanya Allah yang lebih
mengetahui betapa hebat dan gentingnya keadaan dan saya sungguh banyak-banyak
mengucapkan terima kasih. Tegur sapa, nasehat dan bantuan saudara-saudara
semuanya lahir dan bahtin saya harapkan dengan sangat.
Kepada Allah juga kita mohon taufik hidayat dan kepada Nya juga kita
memulangkan segala jasa dan puji, Insyaallah.
Bukit Tinggi, 15 Agustus 1946 – dto. Bgd. Aziz
Chan.
Dalam suatu wawancara, Bagindo
Aziz Chan mengatakan:
Masalah kota Padang ini harus dihadapi dengan suatu
rencana yang nyata dan perbelanjaan yang cukup. Harus ditambah lagi dengan
pegawai-pegawai yang telah diseleksi, tabah dan patuh setia pada perjuangan
Republik Indonesia.
Semenjak awal bulan Januari 1947, pemerintah telah dapat menjamin
makanan untuk penduduk dan pegawai RI di kota Padang yang berjumlah lebih
kurang sepuluh ribu jiwa. Makanan itu dibagikan dengan cuma-cuma untuk
meringankan kesengsaraanrakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar