OLEH Elly Delfia
Pengajar di FIB Unand
“Siak beberapa kali
ke istana pagaruyung hanya demi melengkapkan bahan lukisan rumah gadang. Siak
tidak suka duduk berlama-lama di Istana Paguruyung yang sudah menjadi objek wisata.
Orang-orang berwisata memakai celana pendek ala barat duduk berpasangan berfoto
sambil membicarakan tentang ciuman enak di rumah gadang, menikmati duduk resek
bersama teman wisata. Kini Istana Pagaruyung sudah roboh. Pada malam khairan
petir menyambar gonjong istana. Siak berpedoman ke rumah gadang di Aia Mati.
Rumah gadang itu kini sudah roboh. Sudah lama roboh sebelum lukisan Siak
selesai. Siak berpedoman ke pucuk rumah gadang di kebun binatang Bukitinggti.
Rumah gadang itu hanya tempat rekreasi, tempat orang berfoto...(Tanjung, Haluan Minggu, 20/02/11).
Teks di atas merupakan cuplikan cerpen “Melukis Gonjong” yang ditulis oleh Alizar
Tanjung dan dimuat di Harian Haluan, Minggu
(20/02/2011). Sebuah cerpen
yang sarat pesan sosial mengenai segenggam kekecewaan Siak, sang pelukis
gonjong. Betapa kebesaran gonjong yang melambangkan kebesaran dan kemenangan nenek
moyangnya, orang Minangkabau yang dipikirkan Siak selama ini perlahan mulai
pudar. Kekecewaan Siak dalam melukis gonjong sebenarnya adalah simbol kekecewaan
banyak pihak terhadap aspek kehidupan orang Minangkabau yang kini tengah
mengalami degradasi moral di berbagai lini.
Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi yang cenderung
membawa pengaruh buruk bagi moral generasi muda menjadi momok mengerikan bagi para
orang tua. Gaya hidup bebas dan tak terkendali menjadi musuh nyata bagi
pudarnya adat-istiadat dan norma. Namun orang-orang Minangkabau seperti tak
kuasa menantang zaman, seperti halnya Siak. Siak yang terseret dalam zaman yang
tragis dan sarat amguitas. Zaman yang membingungkan. Zaman yang mempersembahkan
keraguan dan rasa gamang. Zaman yang menggoyahkan keyakinan Siak terhadap
kebesaran dan keagungan identitas ke-Minangkabauan-nya. Disebabkan oleh yang ia
lukis adalah gonjong rumah gadang.
Bagi Siak, gonjong adalah tanda yang sakral, bersejarah,
simbol kemenangan, dan kebesaran nenek moyangnya, orang Minangkabau. Bahkan
Siak juga harus melukis perempuan yang memakai takuluak, dengan kebaya dan kain sampiang yang melatari lukisan gonjong
tersebut dengan perasaan campur aduk. Sosok perempuan yang berusaha dilukis Siak
adalah perempuan dengan performance
ideal dalam pandangan adat-istiadat dan agama yang melahirkan semboyan
kebanggaan adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah. Sementara Siak sendiri menemukan sosok istrinya, Nur
dibalut pakaian ketat ala perempuan
dalam televisi.
“Nur masih berdiri
di pintu dengan baju ketatnya. Nur memakai celana sebetis. Ia berdiri dengan
rambut tergerai. Senyum itu menyungging di bibir Siak. Siak semakin gila...” ( Tanjung, Haluan/20/11/2011).
Keambiguitasan perasaan Siak juga tercermin dalam
seminar-seminar dan diskusi yang berisi tentang kekecewaan terhadap Minangkabau
hari ini. Muhammad Taufik, Dosen Sosiologi IAIN Imam Bonjol dalam artikel yang
berjudul “Bersama-sama Mengubur Minangkabau” menyatakan bahwa telah terjadi turbulensi sosial dalam masyarakat
Minangkabau. Turbulensi sosial
merupakan sebuah gerakan sosial yang tidak beraturan dan acak. Segala
sesuatunya mengalami titik kronis dan berkembang tanpa arah. Akhirnya, yang
terjadi bukan pengukuhan kembali kejayaan Minangkabau, tetapi perilaku yang
menghilangkan pesona Minangkabau. Manusia Minang berhenti berbicara humanisme,
kearifan, keadilan, kebeningan, kita hanya mendengar ledakan-ledakan memekakkan
tanpa pretensi mengkritisi, yang diam dalam penganggukan dan setuju dalam
kejahilan (Taufik, 2006:141-143).
Kemudian sebagai salah satu genre sastra, “Melukis
Gonjong” merupakan cerpen naratif yang tidak mengabaikan unsur-unsur
deskriptif. Penulis mampu mendeskripsikan dengan detail konflik batin tokoh
Siak didukung oleh latar yang kuat. Beberapa daerah yang disebut dalam cerpen
tersebut, yaitu Air Mati di pusat Kota Solok, kebun binatang Bukittinggi, Desa
Karang Sadah di Kecamatan Danau Kembar, Pariangan, dan tidak ketinggalan nama
media massa seperti Padang Ekspress
dan Singgalang yang dijelaskan telah
memberitakan kebakaran yang terjadi di Istana Pagaruyung.
“Kini Istana
Pagaruyung sudah roboh. Pada malam khairan di tengah hujan lebat. Petir
menyambar atap istana pagaruyung. Petir menyambar gonjong istana. Api menjalar.
Istana Pagaruyung hangus. Berita-berita keluar di koran Singgalang dan Padang
Ekspress...”(Tanjung, Haluan, 20/02/11).
Penyebutan latar yang jelas dalam karya sastra adalah
penting untuk memperkuat karya. Hal ini juga yang dilakukan oleh
penulis-penulis sebelumnya, seperti Pramoedya Ananta Toer yang terkenal dengan
novel Bumi Manusia dan Gadis Pantai, A.A Navis dengan cerpen
Robohnya Surau Kami, Ahmad Tohari dengan novel-novel fenomenal, seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kumukus Dini
Hari, Jentara Bianglala, dan Berkisar
Merah, serta karya-karya Hamka dan penulis-penulis Angkatan Balai Pustaka
lainnya.
Latar yang jelas merupakan kekuatan yang membangun karya
sastra. Latar yang jelas dalam novel Siti
Nurbaya karya Marah Roesli misalnya, telah memaksa pemda Kota Padang
menghadirkan tokoh fiktif yang imajinatif tersebut dalam kenyataan. Jembatan
yang terletak di daerah Muaro, dekat pantai Padang dan gunung Padang yang
menjadi latar novel Siti Nurbaya sekarang dinamakan Jembatan Siti Nurbaya. Selain itu, pemda juga membangun makam tokoh
fiktif Siti Nurbaya di kaki gunung Padang. Makam yang ramai dikunjungi oleh
orang-orang dengan berbagai tujuan. Ada yang sekedar ingin tahu saja, ada yang
dengan sungguh-sungguh memaknai bahwa Siti Nurbaya pernah benar-benar ada dan
hidup di dunia fana ini, dan ada juga yang memandang itu sebagai keberhasilan
Marah Roesli, sang pengarang novel.
Namun ada hal yang mengabur dalam cerpen “Melukis
Gonjong”. Pertama, sebenarnya untuk
apa Siak melukis gonjong yang tak sudah-sudah tersebut? Untuk pesanan
seseorangkah? Atau hanya untuk melepaskan rueh-rueh
hati karena melihat carut-marutnya kehidupan di Minangkabau hari ini? Kedua, penyebutan nama dua media, Padang Ekspres dan Singgalang di dalam cerpen “Melukis Gonjong” yang notabene dimuat
di Haluan. Seperti ada yang beraduk
antara yang nyata dan yang laten. Seingat saya, pada masa Istana Pagaruyung
terbakar, semua media massa di Sumatera Barat memberitakan peristiwa tersebut.
Tak ketinggalan Haluan dan Posmetro, dan beberapa media massa yang
terbit mingguan. Terlepas dari kekaburan tersebut, cerpen ini hanyalah cerita
fiksi. Cerita yang diharapkan mampu menjadi cermin bagi pembaca untuk merenungi
hidup dan mengingatkan pada perubahan dan berbagai hal yang ter-alfa-kan.
Pasar
Ambacang, Akhir Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar