OLEH Nasrul Azwar
Membaca
Minangkabau dalam perspektif keberagaman (plural) budaya pada saat kini
dipandang sangat penting. Masyarakat Minangkabau dalam perspektif kultural dan
historistiknya dengan pelbagai elemen dan institusi sosial yang dimilikinya, telah
mampu menyelaraskan sekaligus mengembangkan prinsip demokrasi budaya. Kultur
Minangkabau dan masyarakat pendukungnya yang terbuka menerima keberagaman,
berkontribusi besar pada perjalanan bangsa ini. Tapi itu dulu.
Kini, meruyak dan menyubur gagasan dan wacana di tengah masyarakat Minang yang justru kontraproduktif dengan semangat prinsip demokrasi budaya dan penghormatan pada keberagaman. Barangkali kasus paling update adalah tentang penolakan berbagai organisasi masyarakat dan individu terhadap rencana pembangunan Superblok Lippo Grup di Kota Padang. Namun, tak sedikit pula yang mendukung pembangunannya.
Kini, meruyak dan menyubur gagasan dan wacana di tengah masyarakat Minang yang justru kontraproduktif dengan semangat prinsip demokrasi budaya dan penghormatan pada keberagaman. Barangkali kasus paling update adalah tentang penolakan berbagai organisasi masyarakat dan individu terhadap rencana pembangunan Superblok Lippo Grup di Kota Padang. Namun, tak sedikit pula yang mendukung pembangunannya.
Selain itu,
beberapa tahun lalu sebuah alek berupa kongres—Kongres Kebudayaan Minangkabau
(KKM)—batal digelar di Sumatera Barat karena elemen masyarakat menolaknya. Saat
itu, pihak yang “berseteru”, terutama yang menolak KKM, enggan membuka lebih
luas ruang dialog, sehingga penolakan KKM merupakan harga mati. Pihak
penyelenggara akhirnya pun menukarnya menjadi Seminar Kebudayaan Minangkabau
(SKM).
Desakan
agar pembangunan Superblok Lippo Grup dan KKM dibatalkan, contoh konkret dan
mutakhir itu, tentu bukan saja mengangkangi keberlanjutan pembangunan ekonomi
dan kultural masyarakat, tetapi telah memporakporandakan prinsip hakiki
masyarakat Minang yang sangat respek pada perbedaan dan selalu berpikir
dialektis, seperti ditunjukkan Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan
Sabatang.
Jauh sebelumnya,
ketika pembahasan RUU Desa disosialisakan, bentuk pemerintahan desa yang telah
membuat traumatik masyalarakat Minang, menuai hujatan dan kritikan tajam. Tim
Pansus DPR bergeming. Kini UU Desa itu sudah disahkan. Alamat akan panjang
urusannya. Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Saya kira upaya ini perlu didukung bersama.
Kendati begitu, toh pemerintahan nagari yang
menggantikan desa sekarang ini seperti menukar baruak jo cigak. Dalam
operasionalnya, tak ada perbedaan yang substantif dengan desa yang pernah
bercokol hampir 20 tahun di Sumbar.
Kembali ke nagari
yang awalnya begitu heboh, menyita banyak energi, dana, dan waktu, hanya memperlihatkan
romantisisme orang Minang akan masa lalu. Seakan-akan dengan kembali ke nagari
“kita” merasa menang dalam percaturan politik bernegara, dan bahagia
mengalahkan Orde Baru.
Kita
tak dapat memungkiri pasca-Orde Baru tumbang, Minangkabau kembali menampilkan pemikiran yang
penuh warna-warni. Dan pola ini banyak persamaan dengan periode 1950-an.
Tampaknya ada semangat demokrasi liberal yang kuat. Ada kebebasan (yang sebebas-bebasnya)
untuk mengemukakan pendapat. Namun, belum tentu semua dinamika pemikiran ini
berkontribusi terhadap kemajuan peradaban di Minangkabau. Malah membuat
Minangkabau kian terpuruk dan menyeramkan.
Selain itu, romantisisme
lain dari era pasca-Orde Baru ini adalah keinginan melahirkan perda syariat.
Terlihat dengan cukup nyata, pemikiran tersebut seakan-akan meyakini bahwa
aturan agama yang diformalkan bisa menghilangkan penyakit masyarakat. Sebagian
beranggapan, aturan duniawi formal yang dibuat negara dianggap gagal selama ini.
Kasus penolakan pembangunan Superblok Lippo di Padang adalah salah satu
misal. Dalam perspektif kebebasan
mengeluarkan pendapat dan pikiran—hikmah dari demokrasi liberal—tentu reaksi
demikian tak jadi soal benar. Dalam nada yang sama, juga tak bisa dihindari,
sebagian masyarakat juga menerima pembangunan Superblok Lippo itu.
Dalam tatanan kultural Minangkabau, ada yang disebut duduak barapak. Duduak barapak dalam kehidupan sosial Minangkabau merupakan
salah satu pola dalam pengambilan keputusan dengan cara lamak di awak katuju di urang. Dalam duduak barapak ini, semua
pihak dihadirkan dalam posisi setara.
Tradisi yang terkesan sudah ditinggalkan ini, sesungguhnya elemen dan nilai
dasar demokrasi di Minangkabau. Dialektika perkembangn dinamis dalam duduak
barapak ini: duduak samo randah, tagak
samo tinggi. Tak ada kusut yang tak selesai.
Pada kasus pembangunan Superblok Lippo ini, duduak barapak inilah yang
belum dilakukan secara maksimal. Pihak yang menentang berteriak lantang menolak
dengan harga mati. Ruang dialog dikunci rapat. Tak ada kompromi. Sementara, pihak yang mendukung, juga
bersiteguh dengan alasannya. Jadi tak bertemu rueh dan buku. Maka, solusi yang paling tepat untuk
menuntaskan masalah pembangunan Superblok Lippo ini, yaitu duduak barapak semua pihak. Pertemuan sebaiknya memang diprakarsai
dengan pemerintah dengan melibatkan pastisipasi semua pihak, terutama perguruan
tinggi.
Yang jelas, keberagaman
itu tidak dapat ditolak karena itu suatu keniscayaan. Plural adalah keniscayaan.
Tentu saja, ini harus jadi catatan penting untuk menyelesaikan polemik
pro-kontra pembangunan Superblok Lippo.
Terlepas
dari itu pula, saat ini paradigma pola kepemimpinan di Minangkabau seiring
dengan perkembangan zaman mengalami perubahan mendasar. Perubahan ini terjadi
disebabkan oleh perubahan sikap masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap
pimpinan. Masalah ini dimulai ketika bangsa kolonial Belanda mulai mencampuri
masalah adat. Penjajah Belanda memanfaatkan para penghulu memungut belasting atau pajak terhadap rakyat
(kaum).
Koorporasi
pangulu kepada Belanda menimbulkan antipati masyarakat terhadap pimpinannya.
Harapan terhadap pimpinan yang akan membela kaum tidak lagi didapatkan. Di
samping itu, moral para pimpinan kaum juga mengalami degradasi. Penghulu yang
selama ini mengayomi kaumnya berubah menjadi menyengsarakan kaum. Para penghulu
mulai menjadi “raja-raja kecil” di dalam kaumnya dan bersikap feodalistis.
Kebijakan menjadi retorika dan berganti dengan arogansi kekuasaan. Para datuk ini
kemudian menjadi haus kekuasaan dan uang. Pajak kebun atau bangunan tidak lagi
hanya disetor ke Belanda, tapi juga sebagian masuk saku penghulu tentunya.
Problem Minangkabau saat ini memang seperti mencari ketiak ular dan orang
di dalamnya pun bakisa di kain sarung salai. Tak salah almarhum Gus Dur pernah
berkesimpulan: Orang Minang sudah tersingkir dalam kancah kecendekiawanan dan
kepemimpinan bangsa ini.
Saya bersetuju dengan Gus Dur: Peran orang Minang terhadap jalannya bangsa
ini sudah “tutup buku” sesaat bangsa ini menyatakan kemerdekaannya. Minangkabau
sudah dilipat dua. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar