Jumat, 03 Januari 2014

Manuskrip Minangkabau, Berawal dari Surau

OLEH Yusriwal
Pengajar dan Peneliti Fakultas Sastra Unand
 
Naskah-naskah di Surau Bintuangan
Banyak penulis dan sastrawan Indonesia yang berasal dari Minangkabau, namun Minangkabau adalah salah satu kebudayaan di Sumatera yang tidak memiliki aksara. Setidaknya, belum pernah ditemukan manuskrip yang menggunakan aksara Minangkabau. Bukan berarti di Minangkabau tidak pernah ada tradisi tulis.
Diperkirakan bahwa tradisi tulis di Minangkabau dibawa oleh agama Islam. Hal itu dapat dilihat, misalnya pada manuskrip Minangkabau yang pernah ada, yang ditulis dalam bahasa Arab dan dalam bahasa Minangkabau atau Melayu, tetapi menggunakan aksara Arab yang dikenal dengan aksara Arab Melayu atau huruf Jawi.

Jika perkiraan di atas benar, maka surau—salah satu institusi pendidikan berbasis Islam di Minangkabau—mempunyai peranan penting. Surau adalah basis pengembangan Islam bagi para ulama. Syekh Burhanuddin Ulakan, salah seorang pengembang Islam di Minangkabau, selesai belajar dengan Abdurrauf Singkel di Aceh dan pulang ke Pariaman, yang pertama dilakukannya adalah mendirikan surau di Tanjung Medan.  Begitu juga dengan ulama-ulama yang lain, masing-masing mereka memiliki sebuah surau dan sekaligus menjadi guru di sana.
Dengan demikian, sebagai basis pengembangan Islam, sangat kuat kemungkinannya, surau adalah pusat penyalinan dan penulisan manuskrip atau dengan kata lain dapat disebut sebagai skriptorium Minangkabau.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemungkinan itu ada benarnya. Sampai sekarang, masih banyak surau yang menyimpan manuskrip. Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini, misalnya Surau Bintungan Tinggi (Pariaman) , memiliki sekitar 40 buah naskah, Surau Paseban (Padang) memiliki sekitar 30 buah naskah, Surau Syekh Daud Rasyidi (Balingka, Agam) dan Surau Tabek Gadang (Payakumbuh) masing-masing memiliki 2 buah naskah, Surau Tuo Taram (Payakumbuh) memiliki 10 buah naskah, dan Surau Sumani (Solok) memiliki sekitar 15 buah naskah.
Di samping surau, masyarakat pun banyak yang menyimpan manuskrip sebagai koleksi pribadi, antara lain Yulizal Yunus dan Jafrizal (keduanya dosen IAIN Imam Bonjol Padang) masing-masing memiliki 1 buah naskah, Rusydi Ramli dan Yusriwal masing-masing memiliki 2 buah naskah, Dt. Rajo Malano Nan Gopuang memiliki 3 buah naskah, dan keluarga Rendra (bukan WS Rendra) memiliki 4 buah naskah.
Kemungkinan, masih banyak surau dan perorangan yang memiliki koleksi manuskrip, namun banyak kesulitan untuk  mengetahuinya secara pasti.
Walaupun tradisi tulis di Minangkabau tersebut terkait dengan tradisi Islam dan surau, dalam perkembangan selanjutnya, penulisan di Minangkabau tidak hanya terkait dengan persoalan keislaman, melainkan juga menyentuh kebudayaan dan kesenian. Aksara Arab Melayu juga digunakan untuk menyalin atau menulis tambo (historigrafi Minangkabau), kaba (cerita rakyat), monografi kerajaan, surat-surat perdagangan. Bahkan di zaman Belanda, surat pengangkatan penghulu oleh Belanda juga menggunakan aksara Arab Melayu. Manuskrip tertua yang pernah ditemukan adalah tambo dan kaba, disalin sekitar tahun 1800-an dan sekarang tersimpan di Belanda.
Diperkirakan, dulunya manuskrip Minangkabau tersebut terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain manuskrip yang masih tersebar di tengah masyarakat di atas, banyak pula yang sudah menjadi koleksi negara tertentu. Pada saat ini, Belanda adalah negara yang paling banyak menyimpan manuskrip Minangkabau: di perpustakaan Universitas Leiden terdapat 400 lebih manuskrip dan di KITLV ada puluhan manuskrip. Selain di Belanda, manuskrip Minangkabau juga tersimpan di Malaysia, Singapura, Perpustakaan Nasional Jakarta, dan di SOAS (University of London) Inggris.
Manuskrip yang tersimpan di perpustakaan dan perorangan berada dalam kondisi yang cukup baik. Namun, yang memprihatinkan kondisinya adalah manuskrip yang tersimpan di surau-surau. Di Paseban dan Bintungan Tinggi misalnya, manuskrip tersebut disimpan di lemari kayu dalam sebuah kamar yang jarang dibuka. Akibatnya, manuskrip menjadi lembab, mengundang rayap, dan rusak. Banyak dari naskah tersebut bolong-bolong, bahkan ketika dibuka per  halaman, tulisannya tertinggal di halaman belakangnya.
Kondisi ini sebenarnya tidak bisa dibiarkan. Namun, kendala utamanya adalah masalah pemiliharaan. Penjaga atau pengurus surau tidak mempunyai keahlian dalam hal perawatan. Di samping itu, mereka tidak memiliki cukup dana untuk perawatan. Menurut penjaga Surau Bintungan Tinggi, yang biasa dipanggil Tuanku Mudo, untuk menjaga naskah-naskah dia hanya menggunakan kapur ajib. Keempat kaki dari lemari tempat penyimpanan naskah tersebut dilingkari dengan kapur sehingga rayap atau semut tidak bisa masuk. Jika rayap atau semut mencoba lewat di atas goresan kapur ajaib tersebut, maka rayap atau semut tersebut akan mati.
Menurut M. Yusuf, pakar filologi dari Universitas Andalas, yang dibutuhkan oleh sebuah manuskrip itu adalah konservasi atau perawatan, tidak hanya sebatas pemeliharaan. Suhu tempat penyimpanannya harus diatur, yaitu antara 18 sampai 25 derjat celcius. Naskah harus dibersihkan dari debu dan kalau dapat sesering mungkin dibuka.
Cuma, menurut M. Yusuf selanjutnya, di Minangkabau tidak ada tradisi membaca naskah kuno seperti jamasan di Jawa dan mabasan di Bali. “Dengan seringnya manuskrip dibaca tentu akan terhindar dari debu karena tidak mungkin orang mau membaca naskah yang banyak debu,” kata M Yusuf.
Pemerintah “Curi” Naskah
Pemerintah pun belum mempunyai perhatian ke arah itu. Apakah hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka, juga kurang jelas. Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya-Ed) Universitas Andalas misalnya, pernah merencanakan untuk membuat mikrofilm naskah-naskah tersebut. Tetapi ketika dikomunikasikan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, tidak mendapat tanggapan yang baik. Kasus lain terjadi pencurian naskah oleh oknum pejabat. Kata salah seorang penjaga surau di Kampuang Dalam (Pariaman) yang juga banyak menyimpan manuskrip, acap kali manuskrip yang dipinjam pemerintah untuk keperluan pameran, beberapa di antaranya tidak pernah dikembalikan. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Kepala Dusun Kampung Dalam.
Hal itu diperparah lagi dengan ketidaktahuan mereka dengan arti sebuah manuskrip. Bahkan mereka memperlakukan manuskrip tersebut seperti memperlakukan benda keramat, yang tidak boleh disentuh tanpa melalui ritual tertentu. Jika ingin membacanya terlebih dahulu harus mengerjakan salat 40 rakaat. Hal itu terjadi ketika penulis ingin melihat sebuah manuskrip yang berada di Surau Tuo Taram.
Perlakuan seperti itu tidak membuat kondisi naskah menjadi lebih baik, malah memperburuh kondisi. Jika ini dibiarkan, beberapa puluh tahun lagi naskah tersebut akan hilang. Bersamanya, hilang pula sebuah periode kebudayaan dan sejarah penulisan di Minangkabau.

Peran Surau dan Masjid

Surau dan masjid merupakan tempat ibadah dan institusi sosial bagi masyarakat Minangkabau yang mengakui bahwa Islam adalah agama satu-satunya. Oleh sebab itu, ia merupakan bagian inheren dengan kehidupan adat yang dapat dilihat dalam ungkapan adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah.
Jumlah surau dan masjid yang ada di Minangkabau sangat banyak dan sebagian besar memiliki sejarah penting berkaitan dengan perkembangan Islam; jaringan tarekat dan jaringan ulama. Surau dan masjid dalam sistem sosial Minangkabau merupakan kelengkapan dari sebuah nagari. Sebuah nagari harus memiliki beberapa surau dan sebuah masjid sebagai syarat berdirinya sebuah nagari. Selain kegiatan keagamaan, masjid juga difungsikan sebagai kegiatan-kegiatan sosial yang berskala nagari.
Mengingat posisi penting masjid dan surau dalam sejarah perkembangan Islam di Minangkabau, berikut akan dipaparkan beberapa surau dan masjid yang mempunyai peran dan sejarah penting.

Masjid Raya Limo Kaum

Menurut Tambo Alam Minangkabau, ada empat (4) nagari yang dikenal sebagai nagari tertua di Minangkabau, yaitu: Pariangan Padang Panjang, Limo Kaum, Tanjuang Sungayang, dan Sungai Tarab. Keempat nagari tersebut terletak di Luhak Tanah Data, yang dianggap luhak tertua di antara luhak nan tigo di Minangkabau.
Daerah Limo Kaum dimaksud adalah 12 Koto dan 9 Koto di Dalam. Daerah ini berada di bawah kekuasaan adat Dt. Bandaro Kuniang yang menurut sejarahnya merupakan wakil dari Dt. Perpatih Nan Sabatang, pimpinan adat kebesaran Bodi Caniago. Oleh sebab itu, Dt. Bandaro Kuniang disebut sebagai Gajah Gadang Patah Gadiang. Dt. Bandaro Kuniang berkedudukan di Kubu Rajo (Limo Kaum).
Menurut adat, Nagari Limo Kaum terdiri atas lima kaum yang dipimpin oleh Datuak nan Balimo atau Datuak nan Limo Kaum. Masing-masing kaum dipimpin pula oleh seorang penghulu pucuk. Kelima kaum dengan penghulu pucuk tersebut adalah, Kaum Kubu Rajo dengan penghulu pucuk Dt. Rajo Malano, Kaum Balai Batu penghulu pucuk Dt. Basa, Kaum Koto Gadih dengan penghulu pucuk Dt Rajo Penghulu, Kaum Piliang penghulu pucuk Dt Tannaro, dan Kaum Balai Labuah dengan penghulu pucuknya Dt Rajo Nan Khatib.
Kelima penghulu pucuak adat tersebut tergabung dalam Datuak nan Balimo dan dipimpin oleh Raja Limo Kaum 12 Koto dan 9 Koto di Dalam, yang bergelar Dt. Bandaro Kuniang. Pemangku terakhir Dt. Bandaro Kuniang, bernama Sutan Makmur yang dinobatkan pada tahun 1953 dan meninggal pada tahun 1973.
Masjid pertama di Nagari Lima Kaum didirikan di Balai Batu sekitar 1690, bangunannya: baaleh batu, badindiang angin, baatok langik. Sesuai dengan ungkapan tersebut, masjid pertama ini hanya memiliki lantai dari batu, tidak berdinding dan tidak beratap. Masjid ini dibangun di atas tanah Mak Lawik Dt. Pamuncak, suku Sumangek Balai Batu. Lokasi tempat bangunan masjid ini disebut Gantiang, dekat batas desa Balai Batu dengan desa Tigo Tumpuk.
Masjid kedua dibangun kira-kira 25 tahun setelah masjid pertama, lokasinya di Subarang Tigo Tumpuk. Masjid kedua ini hanya dipakai kira-kira 35 tahun. Disebabkan kebutuhan akan tempat salat yang lebih luas, atas kesepakatan penduduk Nagari Limo Kaum yang dipimpin oleh Bt. Bandaro Kuniang direncanakan untuk membangun sebuah masjid yang lebih besar.
Setelah sepakat untuk mendirikan masjid yang lebih besar, kemudian diputuskan pula bahwa masjid tersebut harus terletak di tengah-tengah Nagari Limo Kaum. Akhirnya, untuk mendirikan bangunan masjid tersebut, ditetapkan sebuah tempat yang sebelumnya adalah bekas bangunan pagoda Hindu (pagoda bukan bangunan Hindu, tetapi Budha), di Balai Sarik (sekarang terletak sekitar 40 meter dari jalan raya Batusangkar-Padang Panjang), kira-kira pertengahan abad ke-18.
Pembangunan masjid dilakukan dengan cara gotong royong oleh seluruh warga masyarakat Limo Kaum dan dipelopori oleh beberapa orang antara lain: Moh. Siam Dt. Basa, dari Balai Batu, yang pada saat itu jadi Laras Limo Kaum, Dt. Bandaro Kuniang, pimpinan adat daerah Limo Kaum, Epok Dt. Rajo nan Chatib, kepala Nagari Limo Kaum, dan Sulaiman Effendi, ulama terkenal yang populer dengan sebutan Tuanku Majalih atau Tuanku Ambuyuk.
Atas kesepakan bersama, siapa yang tidak ikut gotong royong pada hari yang telah ditetapkan, dikenakan denda yaitu dengan mengambil ternaknya, yang digunakan untuk makan bagi para pekerja. Dari situasi inilah timbulnya suatu istilah yang sampai saat ini menjadi pameo dalam masyarakat yaitu bak jawi hilang ka sumpu.
Untuk tiang masjid, karena butuh kayu yang besar-besar harus dicari ke hutan, antara lain di hutan Bukit Singkiang dan hutan Bukit Sandaran Dadieh di Talago Gunuang. Sebelum kayu tersebut ditebang terlebih dahulu ditandai saja, setelah kayu yang ditandai dirasa cukup maka dilakukan penebangan. Penandaan kayu tersebut dipimpin oleh Dt. Rajo Sulaiman dari Ngungun dan Dt. Marajo dari Panti.
Untuk tiang macu (mercu) , yaitu tiang yang paling tengah (setinggi 40 meter), kayu yang digunakan tidak boleh kayu yang ditebang, tetapi pengambilannya dilakukan dengan menggali sampai ke akar kayu sampai akhirnya tumbang. Untuk mengangkut kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dari hutan ke tampat pembangunan masjid dilakukan dengan menariknya beramai-ramai.           
Struktur bangunan masjid ini mengandung simbol-simbol yang memperlihatkan kaitan antara adat dengan agama Islam dan kuatnya persatuan antarpenduduk. Simbol tersebut dapat dilihat pada:
  1. Atapnya terdiri atas lima tingkat yang melambangkan jumlah rukun Islam dan jumlah kaum dalam nagari,
  2. Tonggaknya 121 buah yang melambangkan jumlah ninik mamak dalam nagari.
3.      Tonggak macu sebagai soko guru semua tonggak melambangkan kebesaran adat Dt. Bandaro kuniang.
  1. Tiang gantungnya 15 buah yang melambangkan jumlah imam, khatib, dan bilal dalam nagari.
  2. Jendelanya 28 buah yang melambangkan jumlah suku yang ada dalam Nagari Limo Kaum.
Masjid ketiga inilah yang saat ini dikenal dengan Masjid Raya Limo Kaum. Hamka, pada saat berkunjung ke masjid ini pada tanggal 26 Januari 1969 berpesan agar bentuk asli masjid Limo Kaum harus dipertahankan karena mengandung nilai budaya yang cukup tinggi. Sejalan dengan itu, karena bangunan masjid ini tidak terlepas dari sejarah Nagari Limo Kaum, masyarakat dan pemuka masyarakat berkeinginan terus melestarikannya untuk diwariskan kepada anak kamanakan dan generasi penerus di kemudian hari.

Masjid Raya Bingkudu

Ampek angkek Canduang, selain terkenal dengan konveksi, juga tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pusat pengembangan Islam di Minangkabau. Di penghujung abad ke-19, Canduang adalah salah satu pusat pengembangan Islam terbesar di Minangkabau dan memiliki pusat pendidikan dengan sistem pendidikan modern—setidaknya untuk saat itu. Beberapa ulama besar Minangkabau pernah mendapat pendidikan di sini.
Namun, yang tidak kalah menarik adalah sebuah masjid kuno yang berada tidak jauh dari pusat pengembangan Islam Canduang, yaitu Masjid Raya Bingkudu. Masjid ini berlokasi di Jorong Limo Suku Bawah, Kanagarian Limo Suku, Kecamatan Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam.
Selain tua, berdasarkan konstruksi bangunan dan jenis bangunan yang terdapat di komplek masjid, menggambarkan keterkaitan adat Minangkabau dengan Islam. Tiang masjid berjumlah 52 buah. Jumlah ini sesuai dengan jumlah pangulu yang ada di daerah ini, dakali belum jelas 7 menjadi 49, ditambah Allah, jumlahnya menjadi 50. Ditambah tiang migrab dua buah, menjadi 52 buah. Jumlah ruang secara vertikal (dilihat dari atas) ada 5, melambangkan rukun Islam, sedangkan jumlah ruang secara horizontal (dilihat dari sisi) jumlahnya 6, melambangkan rukun iman. Atap masjid dari ijuk dengan konstruksi bersusun (bertingkat) tiga. Badan masjid mengecil ke bawah, seperti konstruksi badan rumah gadang (rumah adat Minangkabau).
Selain masjid, di komplek ini terdapat bangunan lain, yaitu Surau Pontong dan Surau Bulek (surau bundar). Dinamakan Surau Pontong karena bangunan ini dulunya adalah sebuah menara yang lebih tinggi daripada bangunan masjid, berfungsi sebagai tempat azan. Tidak beberapa lama setelah dibangun, menara ini patah, tidak diperbaiki, melainkan dibagian yang patah tersebut dibuat kubah kecil. Bangunan ini sekarang digunakan oleh Kadhi sebagai tempat prosesi pernikahan.
Surau Bulek adalah sebuah bangunan persegi. Disebut Surau Bulek, karena jika ada persoalan yang menyangkut adat, para pangulu yang ada di daerah ini, akan membawa persoalan tersebut ke hadapan sidang pangulu, bertempat di Surau Bulek. Jadi, walaupun bentuk bangunan ini persegi, namun karena digunakan sebagai tempat mufakat, membulatkan kata, maka surau tersebut dinamakan Surau Bulek.
Masjid atau surau tua biasanya memiliki kelengkapan seperti makam Syekh, kulah atau kolam kecil dekat tangga yang digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk,  dan tidak jauh dari sungai atau sumber air. Masjid Raya Bingkudu juga memiliki kelengkapan tersebut: kulah di sebelah Timur atau dekat tangga, makam Syekh di sebelah Utara, dan terletak dalam lembah dengan kolam-kolam ikan di sebelah Timur, Selatan dan Barat.
Tidak didapat informasi yang pasti tentang tahun pembangunan Masjid Raya Bingkudu ini, namum pada migrab ditemukan angka tahun 1613 Hijriah. Migrab ini tidak menyatu dengan bangunan masjid, artinya migrab tersebut dibuat setelah masjid selesai dibangun. Oleh sebab itu, dapat diperkirakan Masjid Raya Bingkudu dibangun sebelum tahun 1613 atau setidaknya Masjid Raya Bingkudu selesai dibangun pada tahun 1613.
Menurut cerita masyarakat setempat, pembangunan masjid dilakukan oleh masyarakat Nagari Limo Suku secara gotong royong. Kayu-kayu, termasuk tiang, yang digunakan untuk pembangunan masjid, berasal dari Bayua, hutan yang terdapat di sekitar Gunung Merapi, daerah sebelah atas Nagari Limo Suku. Tiang macu, yaitu tiang yang paling besar dan terdapat di tengah masjid, diangkut oleh masyarakat dari Bayua dengan menggunankan talutuak (pelepah daun) pisang. Tiang macu ini, dari bawah sampai ke puncak bangunan terbuat dari sebatang kayu. Artinya, kayu yang digunakan untuk tiang macu adalah kayu yang sangat besar. Begitu banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam pembangunan masjid ini, hanya dengan masing-masing satu orang memegang salah satu ujung dari talutuak pisang yang diletakkan di bawah tiang macu, sehingga tiang macu tersebut dapat diangkat dari Bayua sampai ke lokasi pembangunan masjid.

Masjid Tuo Kayu Jao

Masjid ini terletak di Jorong Kayu Jao, Kanagarian Batang Baruih, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Masjid ini dibangun kira-kira di penghujung abad ke-18. Terletak di sebuah lembah, dikelilingi oleh perkebunan teh yang dikelola PN VI, di pinggirnya terdapat sungai kecil yang berfungsi sebagai tapian. Untuk dapat sampai ke masjid ini, harus melaui jalan lingkar tanah berbatu, menurun. Namun, sangat disayangkan jalan lingkar tersebut saat ini tidak terawat. Andaikan jalannya dalam kondisi bagus, kendaraan roda empat dapat sampai ke masjid.
Masjid Kayu Jao terawat dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari segi arsitektur yang masih memperlihatkan keasliannya: beratap susun tiga dari ijuk, dindingnya dari kayu, tiang-tiang dalamnya mirip tiang rumah gadang. 

Masjid Raya Gantiang

Masjid ini terletak di Gantiang Kota Padang. Dibangun pada tahun 1885 dan selesai tahun 1819. Tonggak penyangganya berjumlah 25 buah, yang melambangkan jumlah Rasul yang wajib dipercayai oleh umat Islam.
Masjid Raya Gantiang sering juga disebut Masjid Dagang karena orang-orang yang datang ke Padang jika tidak mempunyai keluarga boleh menginap di sini, Bahkan, dulunya merupakan tempat transit bagi jemaah haji dari daerah yang menggunakan kapal laut. Pada tahun 1932 pernah digunakan sebagai tempat Jambore Hizbul Wathon se-Indonesia dan Presiden Soekarno pernah salat di masjid ini ketika berkunjung ke Padang. Sampai saat ini Masjid Raya Gantiang masih mempertahankan bentuk aslinya dan terawat dengan baik.
Surau Gadang Bintungan Tinggi
Berlokasi di Nagari Bintungan Tinggi, Pauh Kamba, Kabupaten Pariaman. Surau ini didirikan oleh Syekh Abdurahman Bintungan Tinggi, yang dianggap sebagai Khalifah IV dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Sampai saat ini, Surau Gadang Bintungan Tinggi masih berfungsi dan dipakai untuk salat berjemaah serta tempat wanita-wanita mengayam tikar pandan yang dipakai untuk kegiatan salat di sana.
Penghormatan jemaah terhadap pendiri surau ini, dapat dilihat dari adanya keinginan untuk memelihara peninggalan Syek Abdurrahman, seperti manuskrip yang cukup banyak, sorban, dan kopiah.
Surau Lubuak Bauak
Surau dengan empat gonjong ini, terletak kurang lebih 5 km dari kota Padang Panjang menuju arah Danau Singkarak. Berdiri di bagian kanan jalan, surau ini merupakan surau yang khas dan mencuri pandang orang yang lewat di depannya. Empat gonjong melambangkan bahwa surau ini dibangun oleh masyarakat empat jurai, yang mendiami daerah tempat surau ini berdiri.
Cerita di atas menggambarkan kerukunan masyarakat pada masa itu. Sebuah kerja, sebesar apapun dapat diselesaikan dengan kebersamaan.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...