OLEH Yusriwal
Pengajar dan Peneliti Fakultas Sastra Unand
Naskah-naskah di Surau Bintuangan |
Banyak penulis dan sastrawan Indonesia yang
berasal dari Minangkabau, namun Minangkabau adalah salah satu kebudayaan di Sumatera
yang tidak memiliki aksara. Setidaknya, belum pernah ditemukan manuskrip yang
menggunakan aksara Minangkabau. Bukan berarti di Minangkabau tidak pernah ada
tradisi tulis.
Diperkirakan bahwa tradisi tulis di Minangkabau
dibawa oleh agama Islam. Hal itu dapat dilihat, misalnya pada manuskrip
Minangkabau yang pernah ada, yang ditulis dalam bahasa Arab dan dalam bahasa
Minangkabau atau Melayu, tetapi menggunakan aksara Arab yang dikenal dengan
aksara Arab Melayu atau huruf Jawi.
Jika perkiraan di atas benar, maka surau—salah
satu institusi pendidikan berbasis Islam di Minangkabau—mempunyai peranan
penting. Surau adalah basis pengembangan Islam bagi para ulama. Syekh
Burhanuddin Ulakan, salah seorang pengembang Islam di Minangkabau, selesai
belajar dengan Abdurrauf Singkel di Aceh dan pulang ke Pariaman, yang pertama
dilakukannya adalah mendirikan surau di Tanjung Medan. Begitu juga dengan ulama-ulama yang lain,
masing-masing mereka memiliki sebuah surau dan sekaligus menjadi guru di sana.
Dengan demikian, sebagai basis pengembangan
Islam, sangat kuat kemungkinannya, surau adalah pusat penyalinan dan penulisan
manuskrip atau dengan kata lain dapat disebut sebagai skriptorium Minangkabau.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, kemungkinan
itu ada benarnya. Sampai sekarang, masih banyak surau yang menyimpan manuskrip.
Sebagai contoh, dapat dikemukakan di sini, misalnya Surau Bintungan Tinggi
(Pariaman) , memiliki sekitar 40 buah naskah, Surau Paseban (Padang) memiliki
sekitar 30 buah naskah, Surau Syekh Daud Rasyidi (Balingka, Agam) dan Surau
Tabek Gadang (Payakumbuh) masing-masing memiliki 2 buah naskah, Surau Tuo Taram
(Payakumbuh) memiliki 10 buah naskah, dan Surau Sumani (Solok) memiliki sekitar
15 buah naskah.
Di samping surau, masyarakat pun banyak yang
menyimpan manuskrip sebagai koleksi pribadi, antara lain Yulizal Yunus dan
Jafrizal (keduanya dosen IAIN Imam Bonjol Padang) masing-masing memiliki 1 buah
naskah, Rusydi Ramli dan Yusriwal masing-masing memiliki 2 buah naskah, Dt.
Rajo Malano Nan Gopuang memiliki 3 buah naskah, dan keluarga Rendra (bukan WS
Rendra) memiliki 4 buah naskah.
Kemungkinan, masih banyak surau dan perorangan
yang memiliki koleksi manuskrip, namun banyak kesulitan untuk mengetahuinya secara pasti.
Walaupun tradisi tulis di Minangkabau tersebut
terkait dengan tradisi Islam dan surau, dalam perkembangan selanjutnya,
penulisan di Minangkabau tidak hanya terkait dengan persoalan keislaman,
melainkan juga menyentuh kebudayaan dan kesenian. Aksara Arab Melayu juga
digunakan untuk menyalin atau menulis tambo
(historigrafi Minangkabau), kaba
(cerita rakyat), monografi kerajaan, surat-surat perdagangan. Bahkan di zaman
Belanda, surat pengangkatan penghulu oleh Belanda juga menggunakan aksara Arab
Melayu. Manuskrip tertua yang pernah ditemukan adalah tambo dan kaba, disalin
sekitar tahun 1800-an dan sekarang tersimpan di Belanda.
Diperkirakan, dulunya manuskrip Minangkabau
tersebut terdapat dalam jumlah yang cukup banyak. Selain manuskrip yang masih
tersebar di tengah masyarakat di atas, banyak pula yang sudah menjadi koleksi
negara tertentu. Pada saat ini, Belanda adalah negara yang paling banyak
menyimpan manuskrip Minangkabau: di perpustakaan Universitas Leiden terdapat
400 lebih manuskrip dan di KITLV ada puluhan manuskrip. Selain di Belanda,
manuskrip Minangkabau juga tersimpan di Malaysia, Singapura, Perpustakaan
Nasional Jakarta, dan di SOAS (University of London) Inggris.
Manuskrip yang tersimpan di perpustakaan dan
perorangan berada dalam kondisi yang cukup baik. Namun, yang memprihatinkan
kondisinya adalah manuskrip yang tersimpan di surau-surau. Di Paseban dan
Bintungan Tinggi misalnya, manuskrip tersebut disimpan di lemari kayu dalam
sebuah kamar yang jarang dibuka. Akibatnya, manuskrip menjadi lembab,
mengundang rayap, dan rusak. Banyak dari naskah tersebut bolong-bolong, bahkan
ketika dibuka per halaman, tulisannya
tertinggal di halaman belakangnya.
Kondisi ini sebenarnya tidak bisa dibiarkan.
Namun, kendala utamanya adalah masalah pemiliharaan. Penjaga atau pengurus
surau tidak mempunyai keahlian dalam hal perawatan. Di samping itu, mereka
tidak memiliki cukup dana untuk perawatan. Menurut penjaga Surau Bintungan
Tinggi, yang biasa dipanggil Tuanku Mudo, untuk menjaga naskah-naskah dia hanya
menggunakan kapur ajib. Keempat kaki dari lemari tempat penyimpanan naskah
tersebut dilingkari dengan kapur sehingga rayap atau semut tidak bisa masuk.
Jika rayap atau semut mencoba lewat di atas goresan kapur ajaib tersebut, maka
rayap atau semut tersebut akan mati.
Menurut M. Yusuf, pakar filologi dari
Universitas Andalas, yang dibutuhkan oleh sebuah manuskrip itu adalah
konservasi atau perawatan, tidak hanya sebatas pemeliharaan. Suhu tempat
penyimpanannya harus diatur, yaitu antara 18 sampai 25 derjat celcius. Naskah
harus dibersihkan dari debu dan kalau dapat sesering mungkin dibuka.
Cuma, menurut M. Yusuf selanjutnya, di
Minangkabau tidak ada tradisi membaca naskah kuno seperti jamasan di Jawa dan mabasan
di Bali. “Dengan seringnya manuskrip dibaca tentu akan terhindar dari debu
karena tidak mungkin orang mau membaca naskah yang banyak debu,” kata M Yusuf.
Pemerintah “Curi”
Naskah
Pemerintah pun belum mempunyai perhatian ke arah
itu. Apakah hal itu disebabkan ketidaktahuan mereka, juga kurang jelas.
Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya-Ed) Universitas Andalas
misalnya, pernah merencanakan untuk membuat mikrofilm naskah-naskah tersebut. Tetapi
ketika dikomunikasikan dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, tidak
mendapat tanggapan yang baik. Kasus lain terjadi pencurian naskah oleh oknum
pejabat. Kata salah seorang penjaga surau di Kampuang Dalam (Pariaman) yang
juga banyak menyimpan manuskrip, acap kali manuskrip yang dipinjam pemerintah
untuk keperluan pameran, beberapa di antaranya tidak pernah dikembalikan.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh Kepala Dusun Kampung Dalam.
Hal itu diperparah lagi dengan ketidaktahuan
mereka dengan arti sebuah manuskrip. Bahkan mereka memperlakukan manuskrip
tersebut seperti memperlakukan benda keramat, yang tidak boleh disentuh tanpa
melalui ritual tertentu. Jika ingin membacanya terlebih dahulu harus
mengerjakan salat 40 rakaat. Hal itu terjadi ketika penulis ingin melihat
sebuah manuskrip yang berada di Surau Tuo Taram.
Perlakuan seperti itu tidak membuat kondisi
naskah menjadi lebih baik, malah memperburuh kondisi. Jika ini dibiarkan,
beberapa puluh tahun lagi naskah tersebut akan hilang. Bersamanya, hilang pula
sebuah periode kebudayaan dan sejarah penulisan di Minangkabau.
Peran Surau dan Masjid
Surau dan masjid merupakan tempat ibadah dan
institusi sosial bagi masyarakat Minangkabau yang mengakui bahwa Islam adalah
agama satu-satunya. Oleh sebab itu, ia merupakan bagian inheren dengan
kehidupan adat yang dapat dilihat dalam ungkapan adat basandi syara’, syara’
basandi Kitabullah.
Jumlah surau dan masjid yang ada di Minangkabau sangat banyak dan sebagian besar
memiliki sejarah penting berkaitan dengan perkembangan Islam; jaringan tarekat
dan jaringan ulama. Surau dan masjid dalam sistem sosial Minangkabau merupakan kelengkapan dari sebuah
nagari. Sebuah nagari harus memiliki beberapa surau dan sebuah masjid sebagai
syarat berdirinya sebuah nagari. Selain kegiatan keagamaan, masjid juga
difungsikan sebagai kegiatan-kegiatan sosial yang berskala nagari.
Mengingat posisi penting masjid dan surau dalam
sejarah perkembangan Islam di Minangkabau,
berikut akan dipaparkan beberapa surau dan masjid yang mempunyai peran dan
sejarah penting.
Masjid Raya Limo Kaum
Menurut Tambo
Alam Minangkabau, ada empat (4) nagari yang dikenal sebagai nagari tertua
di Minangkabau, yaitu: Pariangan Padang Panjang, Limo Kaum, Tanjuang Sungayang,
dan Sungai Tarab. Keempat nagari tersebut terletak di Luhak Tanah Data, yang
dianggap luhak tertua di antara luhak nan tigo di Minangkabau.
Daerah Limo Kaum dimaksud adalah 12 Koto dan 9
Koto di Dalam. Daerah ini berada di bawah kekuasaan adat Dt. Bandaro Kuniang
yang menurut sejarahnya merupakan wakil dari Dt. Perpatih Nan Sabatang,
pimpinan adat kebesaran Bodi Caniago. Oleh sebab itu, Dt. Bandaro Kuniang
disebut sebagai Gajah Gadang Patah Gadiang. Dt. Bandaro Kuniang berkedudukan di
Kubu Rajo (Limo Kaum).
Menurut adat, Nagari Limo Kaum terdiri atas lima
kaum yang dipimpin oleh Datuak nan Balimo atau Datuak nan Limo Kaum.
Masing-masing kaum dipimpin pula oleh seorang penghulu pucuk. Kelima kaum
dengan penghulu pucuk tersebut adalah, Kaum Kubu Rajo dengan penghulu pucuk Dt.
Rajo Malano, Kaum Balai Batu penghulu pucuk Dt. Basa, Kaum Koto Gadih dengan
penghulu pucuk Dt Rajo Penghulu, Kaum Piliang penghulu pucuk Dt Tannaro, dan
Kaum Balai Labuah dengan penghulu pucuknya Dt Rajo Nan Khatib.
Kelima penghulu pucuak adat tersebut tergabung
dalam Datuak nan Balimo dan dipimpin oleh Raja Limo Kaum 12 Koto dan 9 Koto di Dalam,
yang bergelar Dt. Bandaro Kuniang. Pemangku terakhir Dt. Bandaro Kuniang,
bernama Sutan Makmur yang dinobatkan pada tahun 1953 dan meninggal pada tahun
1973.
Masjid pertama di Nagari Lima Kaum didirikan di
Balai Batu sekitar 1690, bangunannya: baaleh
batu, badindiang angin, baatok langik. Sesuai dengan ungkapan tersebut, masjid
pertama ini hanya memiliki lantai dari batu, tidak berdinding dan tidak
beratap. Masjid ini dibangun di atas tanah Mak Lawik Dt. Pamuncak, suku
Sumangek Balai Batu. Lokasi tempat bangunan masjid ini disebut Gantiang, dekat
batas desa Balai Batu dengan desa Tigo Tumpuk.
Masjid kedua dibangun kira-kira 25 tahun setelah
masjid pertama, lokasinya di Subarang Tigo Tumpuk. Masjid kedua ini hanya
dipakai kira-kira 35 tahun. Disebabkan kebutuhan akan tempat salat yang lebih
luas, atas kesepakatan penduduk Nagari
Limo Kaum yang dipimpin oleh Bt. Bandaro Kuniang direncanakan untuk membangun
sebuah masjid yang lebih besar.
Setelah sepakat untuk mendirikan masjid yang
lebih besar, kemudian diputuskan pula bahwa masjid tersebut harus terletak di
tengah-tengah Nagari Limo Kaum. Akhirnya, untuk mendirikan bangunan masjid
tersebut, ditetapkan sebuah tempat yang sebelumnya adalah bekas bangunan pagoda
Hindu (pagoda bukan bangunan Hindu, tetapi Budha), di Balai Sarik (sekarang
terletak sekitar 40 meter dari jalan raya Batusangkar-Padang Panjang),
kira-kira pertengahan abad ke-18.
Pembangunan masjid dilakukan dengan cara gotong
royong oleh seluruh warga masyarakat Limo Kaum dan dipelopori oleh beberapa
orang antara lain: Moh. Siam Dt. Basa, dari Balai Batu, yang pada saat itu jadi
Laras Limo Kaum, Dt. Bandaro Kuniang, pimpinan adat daerah Limo Kaum, Epok Dt.
Rajo nan Chatib, kepala Nagari Limo
Kaum, dan Sulaiman Effendi, ulama terkenal yang populer dengan sebutan Tuanku
Majalih atau Tuanku Ambuyuk.
Atas kesepakan bersama, siapa yang tidak ikut
gotong royong pada hari yang telah ditetapkan, dikenakan denda yaitu dengan mengambil
ternaknya, yang digunakan untuk makan bagi para pekerja. Dari situasi inilah
timbulnya suatu istilah yang sampai saat ini menjadi pameo dalam masyarakat
yaitu bak jawi hilang ka sumpu.
Untuk tiang masjid, karena butuh kayu yang
besar-besar harus dicari ke hutan, antara lain di hutan Bukit Singkiang dan
hutan Bukit Sandaran Dadieh di Talago Gunuang. Sebelum kayu tersebut ditebang
terlebih dahulu ditandai saja, setelah kayu yang ditandai dirasa cukup maka
dilakukan penebangan. Penandaan kayu tersebut dipimpin oleh Dt. Rajo Sulaiman
dari Ngungun dan Dt. Marajo dari Panti.
Untuk tiang macu
(mercu) , yaitu tiang yang paling tengah (setinggi 40 meter), kayu yang
digunakan tidak boleh kayu yang ditebang, tetapi pengambilannya dilakukan
dengan menggali sampai ke akar kayu sampai akhirnya tumbang. Untuk mengangkut
kayu-kayu yang sudah ditebang tersebut dari hutan ke tampat pembangunan masjid
dilakukan dengan menariknya beramai-ramai.
Struktur bangunan masjid ini mengandung
simbol-simbol yang memperlihatkan kaitan antara adat dengan agama Islam dan
kuatnya persatuan antarpenduduk. Simbol tersebut dapat dilihat pada:
- Atapnya terdiri atas lima tingkat yang melambangkan jumlah rukun Islam dan jumlah kaum dalam nagari,
- Tonggaknya 121 buah yang melambangkan jumlah ninik mamak dalam nagari.
3. Tonggak macu sebagai soko guru semua tonggak
melambangkan kebesaran adat Dt. Bandaro kuniang.
- Tiang gantungnya 15 buah yang melambangkan jumlah imam, khatib, dan bilal dalam nagari.
- Jendelanya 28 buah yang melambangkan jumlah suku yang ada dalam Nagari Limo Kaum.
Masjid ketiga inilah yang saat ini dikenal
dengan Masjid Raya Limo Kaum. Hamka, pada saat berkunjung ke masjid ini pada
tanggal 26 Januari 1969 berpesan agar bentuk asli masjid Limo Kaum harus
dipertahankan karena mengandung nilai budaya yang cukup tinggi. Sejalan dengan
itu, karena bangunan masjid ini tidak terlepas dari sejarah Nagari Limo Kaum,
masyarakat dan pemuka masyarakat berkeinginan terus melestarikannya untuk
diwariskan kepada anak kamanakan dan
generasi penerus di kemudian hari.
Masjid Raya Bingkudu
Ampek angkek Canduang, selain terkenal dengan
konveksi, juga tercatat dalam sejarah sebagai salah satu pusat pengembangan
Islam di Minangkabau. Di penghujung abad ke-19, Canduang adalah salah satu
pusat pengembangan Islam terbesar di Minangkabau dan memiliki pusat pendidikan
dengan sistem pendidikan modern—setidaknya untuk saat itu. Beberapa ulama besar
Minangkabau pernah mendapat pendidikan di sini.
Namun, yang tidak kalah menarik adalah sebuah masjid
kuno yang berada tidak jauh dari pusat pengembangan Islam Canduang, yaitu Masjid
Raya Bingkudu. Masjid ini berlokasi di Jorong Limo Suku Bawah, Kanagarian Limo
Suku, Kecamatan Ampek Angkek Canduang, Kabupaten Agam.
Selain tua, berdasarkan konstruksi bangunan dan
jenis bangunan yang terdapat di komplek masjid, menggambarkan keterkaitan adat
Minangkabau dengan Islam. Tiang masjid berjumlah 52 buah. Jumlah ini sesuai
dengan jumlah pangulu yang ada di
daerah ini, dakali belum jelas 7 menjadi 49, ditambah Allah, jumlahnya menjadi
50. Ditambah tiang migrab dua buah, menjadi 52 buah. Jumlah ruang secara
vertikal (dilihat dari atas) ada 5, melambangkan rukun Islam, sedangkan jumlah
ruang secara horizontal (dilihat dari sisi) jumlahnya 6, melambangkan rukun
iman. Atap masjid dari ijuk dengan konstruksi bersusun (bertingkat) tiga. Badan
masjid mengecil ke bawah, seperti konstruksi badan rumah gadang (rumah adat
Minangkabau).
Selain masjid, di komplek ini terdapat bangunan
lain, yaitu Surau Pontong dan Surau Bulek (surau bundar). Dinamakan Surau
Pontong karena bangunan ini dulunya adalah sebuah menara yang lebih tinggi
daripada bangunan masjid, berfungsi sebagai tempat azan. Tidak beberapa lama
setelah dibangun, menara ini patah, tidak diperbaiki, melainkan dibagian yang
patah tersebut dibuat kubah kecil. Bangunan ini sekarang digunakan oleh Kadhi
sebagai tempat prosesi pernikahan.
Surau Bulek
adalah sebuah bangunan persegi. Disebut Surau Bulek, karena jika ada
persoalan yang menyangkut adat, para pangulu yang ada di daerah ini, akan membawa
persoalan tersebut ke hadapan sidang pangulu, bertempat di Surau Bulek. Jadi,
walaupun bentuk bangunan ini persegi, namun karena digunakan sebagai tempat
mufakat, membulatkan kata, maka surau tersebut dinamakan Surau Bulek.
Masjid atau surau tua biasanya memiliki
kelengkapan seperti makam Syekh, kulah atau kolam kecil dekat tangga yang
digunakan untuk mencuci kaki sebelum masuk,
dan tidak jauh dari sungai atau sumber air. Masjid Raya Bingkudu juga
memiliki kelengkapan tersebut: kulah di sebelah Timur atau dekat tangga, makam
Syekh di sebelah Utara, dan terletak dalam lembah dengan kolam-kolam ikan di
sebelah Timur, Selatan dan Barat.
Tidak didapat informasi yang pasti tentang tahun
pembangunan Masjid Raya Bingkudu ini, namum pada migrab ditemukan angka tahun
1613 Hijriah. Migrab ini tidak menyatu dengan bangunan masjid, artinya migrab
tersebut dibuat setelah masjid selesai dibangun. Oleh sebab itu, dapat
diperkirakan Masjid Raya Bingkudu dibangun sebelum tahun 1613 atau setidaknya Masjid
Raya Bingkudu selesai dibangun pada tahun 1613.
Menurut cerita masyarakat setempat, pembangunan masjid
dilakukan oleh masyarakat Nagari Limo Suku secara gotong royong. Kayu-kayu,
termasuk tiang, yang digunakan untuk pembangunan masjid, berasal dari Bayua,
hutan yang terdapat di sekitar Gunung Merapi, daerah sebelah atas Nagari Limo
Suku. Tiang macu, yaitu tiang yang
paling besar dan terdapat di tengah masjid, diangkut oleh masyarakat dari Bayua
dengan menggunankan talutuak (pelepah
daun) pisang. Tiang macu ini, dari
bawah sampai ke puncak bangunan terbuat dari sebatang kayu. Artinya, kayu yang
digunakan untuk tiang macu adalah
kayu yang sangat besar. Begitu banyaknya masyarakat yang berpartisipasi dalam
pembangunan masjid ini, hanya dengan masing-masing satu orang memegang salah
satu ujung dari talutuak pisang yang
diletakkan di bawah tiang macu, sehingga tiang macu tersebut dapat diangkat dari Bayua sampai ke lokasi
pembangunan masjid.
Masjid Tuo Kayu Jao
Masjid ini terletak di Jorong Kayu Jao,
Kanagarian Batang Baruih, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok. Masjid ini
dibangun kira-kira di penghujung abad ke-18. Terletak di sebuah lembah,
dikelilingi oleh perkebunan teh yang dikelola PN VI, di pinggirnya terdapat
sungai kecil yang berfungsi sebagai tapian.
Untuk dapat sampai ke masjid ini, harus melaui jalan lingkar tanah berbatu,
menurun. Namun, sangat disayangkan jalan lingkar tersebut saat ini tidak
terawat. Andaikan jalannya dalam kondisi bagus, kendaraan roda empat dapat
sampai ke masjid.
Masjid Kayu Jao terawat dengan baik. Hal itu
dapat dilihat dari segi arsitektur yang masih memperlihatkan keasliannya:
beratap susun tiga dari ijuk, dindingnya dari kayu, tiang-tiang dalamnya mirip
tiang rumah gadang.
Masjid Raya Gantiang
Masjid ini terletak di Gantiang Kota Padang.
Dibangun pada tahun 1885 dan selesai tahun 1819. Tonggak penyangganya berjumlah
25 buah, yang melambangkan jumlah Rasul yang wajib dipercayai oleh umat Islam.
Masjid Raya Gantiang sering juga disebut Masjid
Dagang karena orang-orang yang datang ke Padang jika tidak mempunyai keluarga
boleh menginap di sini, Bahkan, dulunya merupakan tempat transit bagi jemaah
haji dari daerah yang menggunakan kapal laut. Pada tahun 1932 pernah digunakan
sebagai tempat Jambore Hizbul Wathon se-Indonesia dan Presiden Soekarno pernah
salat di masjid ini ketika berkunjung ke Padang. Sampai saat ini Masjid Raya
Gantiang masih mempertahankan bentuk aslinya dan terawat dengan baik.
Surau Gadang
Bintungan Tinggi
Berlokasi di Nagari Bintungan Tinggi, Pauh
Kamba, Kabupaten Pariaman. Surau ini didirikan oleh Syekh Abdurahman Bintungan
Tinggi, yang dianggap sebagai Khalifah IV dari Syekh Burhanuddin Ulakan. Sampai
saat ini, Surau Gadang Bintungan Tinggi masih berfungsi dan dipakai untuk salat
berjemaah serta tempat wanita-wanita mengayam tikar pandan yang dipakai untuk
kegiatan salat di sana.
Penghormatan jemaah terhadap pendiri surau ini,
dapat dilihat dari adanya keinginan untuk memelihara peninggalan Syek
Abdurrahman, seperti manuskrip yang cukup banyak, sorban, dan kopiah.
Surau Lubuak
Bauak
Surau dengan empat gonjong ini, terletak kurang
lebih 5 km dari kota Padang Panjang menuju arah Danau Singkarak. Berdiri di
bagian kanan jalan, surau ini merupakan surau yang khas dan mencuri pandang orang yang lewat
di depannya. Empat gonjong melambangkan bahwa surau ini dibangun oleh
masyarakat empat jurai, yang mendiami daerah tempat surau ini berdiri.
Cerita di atas menggambarkan kerukunan
masyarakat pada masa itu. Sebuah kerja, sebesar apapun dapat diselesaikan
dengan kebersamaan.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar