OLEH Yusriwal
Pengajar
Peneliti dan Pengajar Fakultas Sastra Unand
Cerita Malin Kundang adalah sebuah legenda yang
hidup di Minangkabau, wilayah budaya yang luasnya meliputi kurang lebih wilayah
Provinsi Sumatra Barat. Legenda ini merupakan legenda perseorangan, yaitu
mengenai seorang tokoh bernama Malin Kundang, yang dianggap benar-benar terjadi
oleh masyarakat pendudukungnya (Danandjaya, 1992: 73). Sebagai bukti dari
legenda tersebut, sampai saat ini masih dapat ditemui sebuah batu yang
menyerupai kapal pecah, terdampar di muara sungai, di Kelurahan Aia Manih,
Kecamatan Padang Selatan, Padang, yang berada di bagian pantai barat Pulau
Sumatra.
Legenda ini bercerita tentang seorang anak
bernama Malin Kundang setelah berhasil di rantau pulang bersama istrinya.
Mendengar berita si anak pulang, ibunya menjemput ke pelabuhan. Karena tua dan
melarat, Malin Kundang tidak mengakui orangtua itu sebagai ibunya. Karena
kecewa si ibu berdoa kepada Tuhan agar menurunkan kutukan jika Malin Kundang
adalah anaknya. Doa si ibu terkabul. Kapal Malin Kundang beserta awaknya
menjadi batu.
Cerita yang hampir sama dengan legenda Malin
Kundang juga ditemui di beberapa tempat, di Malaysia ditemui cerita Nakhoda
Tenggang. Di Payakumbuh ada cerita Kudo Bincik; dan Sampuraga di Sumatra Utara.
Dalam bentuk lain, cerita ini juga muncul; Usmar Ismail pernah membuat film
dengan judul sama; Goenawan Mohamad dan Umar Junus menjadikannya sebagai judul
kumpulan esai; Arifin C. Noer dan Wisran Hadi menulisnya dalam bentuk naskah
drama; A.A Navis menulis cerpen dengan judul “Malin Kundang: Ibunya Durhaka”;
Hamid Jabbar membuat sinetron berdasarkan kisah ini; dan Yusriwal menulis esai
dengan mengambil latar batu Malin Kundang.
Terlepas dari apakah legenda itu telah diberi
penafsiran baru atau tidak, fenomena ini menunjukan bahwa legenda Malin Kundang
masih eksis dalam masyarakat modern. Hal itu sekaligus menandakan bahwa legenda
Malin Kundang lebih populer dibanding legenda sejenis.
Sebagai
legenda, cerita Malin Kundang terdiri
atas dua ‘subyek’, yaitu teks dan benda yang diacu oleh teks tersebut. Pada legenda
Malin Kundang, benda yang diacu tersebut adalah berupa batu yang sekarang
terletak di Pantai Aia Manih. Antara teks dengan batu Malin Kundang
memperlihatkan hubungan yang erat. Batu Malin Kundang dijadikan ‘bukti’ agar
cerita kelihatan seperti benar-benar terjadi. Jika tidak ada batu tersebut,
cerita Malin Kundang hanya akan menjadi cerita lisan biasa seperti kaba.
Sebaliknya, batu Malin Kundang tidak berarti apa-apa jika tidak ada teks.
Jadi, dalam legenda, antara teks dan benda yang
diacu mempunyai kedudukan yang sama-sama penting. Salah satu tidak dapat
mengabaikan keberadaan yang lainnya. Untuk melihat hubungan tersebut akan
menjadi menarik mendekatinya dengan konsep oral
noetics yang dikemukakan oleh Jeff Opland dalam bukunya Xhosa Oral Poetry: Aspects of a Black South
african Tradition, yang merupakan pengembangan dari konsep Walter J. Ong
(1967, 1971, dan 1977).
Dalam tulisan ini, dengan menggunakan konsep oral noetics mencoba menjawab pertanyaan:
1) Bagaimana bentuk manifestasi sistem matrilineal Minangkabau dalam legenda
Malin Kundang?; 2) Mengapa manifestasi sistem matrilineal tersebut mempunyai
bentuk seperti yang terdapat dalam legenda Malin Kundang?; dan 3) Apa fungsi
dari legenda Malin Kundang bagi masyarakat Minangkabau?
II
Oral neotics menurut Opland
adalah manifestasi pemikiran murni dalam tradisi kelisanan (1983). Bila
pengertian Opland tersebut dihubungkan dengan legenda sebagai perujudan
kebudayaan, ia merupakan manifestasi dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, dan sebagainya. Bagi Opland yang penting adalah bagaimana
pemikiran murni itu—dalam hal ini kebudayaan—muncul dalam tradisi kelisanan.
Dengan demikian akan terlihat bentuk perujudan
kebudayaan tersebut dalam legenda. Karena yang akan dikaji adalah legenda Malin
Kundang, maka yang akan dilihat adalah bentuk manifestasi kompleks ide-ide,
nilai-nilai, norma-norma, dan sebagainya dari kebudayaan Minangkabau dalam
legenda Malin Kundang.
Menurut Ong (dalam Opland, 1983: 183-193) ada
tujuh bentuk manifestasi kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma
tersebut dalam tradisi kelisanan: (1) Stereotype
or formulaic expression, bahwa masyarakat tradisi kelisanan tidak hanya
mengungkapkan diri mereka dalam keformulaan tetapi juga membentuk formula
tersendiri; (2) Standardization of
Themes, tema merupakan sesuatu yang terbatas karena ia berhubungan dengan
pandangan hidup masyarakat pendukung tradisi kelisanan tersebut; (3) Epithetic identification for
“disambiguation” of classes or of individuals, merupakan suatu proses
formulasi agar sesuatu yang ditunjuk tidak ambigu. Misalnya dalam pemberian
sifat, agar ia sekaligus dapat menentukan kelasnya; (4) Generation of “heavy” or ceremonial characters, pengelompokan tokoh
dengan maksud untuk menunjukkan kebaikan dan kejelekan tokoh tersebut; (5) Formulary, ceremonial appropriatian of
history, pemberian nama kepada suatu tempat, orang, atau sesuatu
berdasarkan suatu peristiwa, dengan maksud agar peristiwa dapat diingat dengan
mudah; (6) Culvation of praise and
vituperation, cerita dalam tradisi dipergunakan juga sebagai manifestasi
pujian dan makian; dan (7) Copiusness,
pengulangan yang berlebihan dengan maksud agar apa yang disampaikan tersebut
lebih mudah dimengerti.
Membicarakan legenda Malin Kundang dengan
beberapa konsep Ong di atas, akan memperlihatkan hubungan antara batu Malin
Kundang–yang ada pada awalnya hanyalah sebuah batu karang yang tidak mempunyai
makna—dengan kebudayaan Miangkabau melalui teks. Kajian ini akan memperlihatkan
arti sebuah benda mati dan fungsi teks dalan tradisi kelisanan.
III
Tulisan secara umum, mencoba menggali informasi lebih
dalam dan mendeskripsikan manifestasi sistem matrilineal dalan legenda Malin
Kundang dan hubungannya dengan kebudayaan Minangkabau.
Sementara secara khusus, sesuai dengan tujuan
umum tersebut di atas, tulisan ini mengungkap: (1) Bentuk manifestasi sistem
matrilineal Minangkabau dalam legenda Malin Kundang?; (2) Latar belakang
manifestasi sistem matrilineal yang terdapat dalam legenda Malin Kundang?; dan
(3) Fungsi dari manifestasi sistem matrilineal seperti yang terdapat dalam
legenda Malin Kundang bagi masyarakat Minangkabau.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat
bahwa sastra tidak berdiri sendiri tetapi mempunyai kaitan dengan unsur budaya
lainnya. Sastra akan membentuk suatu nilai bersama dengan unsur budaya lainnya
seperti kepercayaan, adat, nilai-nilai.
Selain itu, tulisan ini hendaknya dapat memberikan pemahaman terhadap
masyarakat Minangkabau, bahwa sebuah legenda dapat ditafsirkan dengan beragam
interpretasi oleh masyarakatnya sendiri, sesuai dengan perkembangan dan
perubahan zaman.
IV
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan studi pustaka dan wawancara di lapangan. Studi pustaka dimaksudkan untuk
mendapatkan data tentang manifestasi kompleks ide-ide, nilai-nilai,
norma-norma, dan sebagainya yang ada legenda Malin Kundang dan tanggapan
masyarakat terhadap legenda tersebut yang berupa tulisan. Wawancara dimaksudkan
untuk mendapat data yang berupa tanggapan dari masyarakat yang mungkin
mempunyai pengetahuan tentang itu, tetapi tidak atau belum pernah menyampaikan
secara tertulis.
Data dalam penelitian ini adalah data utama dan
data penunjang. Data utama adalah seluruh informasi yang berkaitan dengan
manifestasi komplek ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, dan sebagainya yang ada
dalam legenda Malin Kundang. Data penunjang adalah seluruh informasi yang
didapat dari tanggapan melalui tulisan yang telah dipublikasikan maupun hasil
dari wawancara dengan masyarakat berkaitan dengan legenda Malin Kundang.
Penyedia data dalam penelitian ini teks legenda
Malin Kundang, tulisan yang merupakan tanggapan terhadap legenda Malin Kundang,
dan informan. Jumlah informan tidak ditentukan secara proporsional, melainkan
ditentukan berdasarkan kompetensi dan pemahaman masing-masing atas informasi
yang diperlukan sebagai data dalam penelitian ini.
Data yang didapat akan dianalisis melalui
beberapa tahapan. Pertama, klasifikasi,
yaitu pengelompokkan data berdasarkan jenis manifestasinya. Kedua, hasil klasifikasi akan dianalisis
dengan teori oral noetics. Ketiga,
hasil analisis dengan teori oral noetics
tersebut dikaitkan dengan kebudayaan Minangkabau.
Penyajian hasil analisis data dilakukan secara
formal dan informal karena hasil analisis disajikan dalan bentuk skema-skema,
tabel, dan deskripsi-deskripsi kualitatif.
V
1. Analisis Oral Noetics
Pada bagian ini semua kisah tentang Malin
Kundang, baik yang berupa ceita lisan maupun cerita tulis seperti cerpen dan
naskah drama akan dianalisis dengan teori oral
noetics seperti yang dikemukakan oleh Ong (dalam Oplan, 1983). Ong
mengemukakan tujuh kategori yang mungkin terdapat dalam sebuah cerita. Ketujuh
kategori tersebut akan digunakan untuk menganalisis cerita Malin Kundang.
A. Stereotype or formulaic expression
Cerita Malin Kundang merupakan salah satu sastra lisan
yang memiliki formula tersendiri dan formula tersebut sering diinterpretasikan
oleh masyarakat, bahwa cerita tersebut mengisahkan seorang anak yang
mendurhakai ibunya.
USIA
|
INTERPRETASI |
||
ANAK-ANAK
|
REMAJA
|
DEWASA
|
Pendurhakaan seorang anak terhadap orang tua (ibu)
|
Di kampung
|
Di kampung
|
Berhasil di rantau
Pulang bersama istri
Dapat kutukan
|
Kemudian berangkat dari kisah tersebut, para penikmat
sastra membuat formula baru yang tentunya melahirkan interpretasi baru pula
dari karya-karya yang mereka tulis itu. Perbedaan formula antara cerita Malin
Kundang dalam bentuk lisan dengan cerita Malin Kundang dalam bentuk tulisan
dapat dilihat pada analisis berikut ini.
Bertolak dari cerita Malin Kundang, Wisran Hadi
menulis drama “Malin Kundang”. A.A Navis: “Malin Kundang Ibunya Durhaka,
Syarifuddin Arifin: “Malin”, dan Irman Syah: “Negeri Malin Kundang”. Mereka
memperlakukan cerita tersebut berbeda dari apa yang telah mentradisi dalam
kehidupan masyarakat (Minangkabau), yaitu sebagaimana diasumsikan anak yang
telah mendurhakai ibunya.
Dalam drama “Malin Kundang”, Wisran Hadi
bercerita tentang tokoh Malin Kundang hidup dengan ibunya karena ditinggal
ayahnya pergi merantau. Kepergian ayah merantau disebabkan oleh ibu yang
meminjamkan sertifikat kepada saudara laki-lakinya tanpa pengetahuan ayah.
Setelah mulai dewasa, Malin Kundang berangkat
merantau menyusul ayah, tapi sang ayah tidak ditemukan. Kemudian dia bertemu
dengan seorang perempuan yang juga sama kehilangan ayah. Akhirnya mereka menikah
dan pulang ke kampung Malin Kundang.
Sesampai di kampung Malin Kundang, ibu tidak
percaya kalau yang datang tersebut adalah Malin Kundang anaknya. Ibu
beranggapan bahwa Malin Kundang telah dia kutuk menjadi batu. Formula dari
drama tersebut adalah sebagai berikut:
USIA
|
INTERPRETASI |
||
ANAK-ANAK
|
REMAJA
|
DEWASA
|
Kritikan terhadap sistem sosio-budaya masyarakat Minangkabau
|
Di kampung
|
Merantau mencari ayah
|
Ayah tidak ditemukan
Pulang bersama istri
Tidak mendapat kutukan
|
Irman
Syah dalam cerpennya yang berjudul “Negeri Malin Kundang” yang bercerita tentang negeri pesisir yang dilanda
marabahaya, angin badai, kebakaran sehingga kematian tidak dapat dihindari.
Demikianlah dari hari ke hari, negeri pesisir itu ditimpa musibah.
Sebagian masyarakat ada yang berpendapat,
kenyataan alam yang demikian adalah salah satu kutukan balasan Malin Kundang
yang mereka kira arwahnya masih gentayangan di angkasa. Menurut mereka, Malin
Kundang adalah putra negeri ini yang mati berdarah. Jadi arwahnya tidak dapat
diterima bumi dan langit. Walaupun begitu, sebagian masyarakat ada juga yang
menolak. Mereka menyatakan ini adalah takdir yang telah digariskan oleh Tuhan.
Formula dari cerpan karya Irman Syah tersebut tidak
lazim dan sangat jauh bedanya dengan formula yang terdapat dalam cerita Malin
Kundang yang merupakan sastra lisan.
Syarifuddin Arifin dengan judul “Malin”, yang
menceritakan tokoh Malin (diasumsikan
Malin Kundang) digambarkannya sebagai laki-laki “play boy” (laki-laki rambang
mato) yang mencari kesenangan dari pangkuan wanita satu ke wanita lainnya.
Diibaratkan “di mana kapal berlabuh di situlah cintanya mendarat”. Ibu Malin
Kundang diinterpretasikannya sebagai wanita gelandangan, yang hidup dari hasil
mengumpulkan sisa kotoran kapal.
Ketika
Malin kembali ke kampung halamannya, ia sangat berharap ibunya masih hidup
setelah ditinggalkannya beberapa lama. Tapi, sayang ibu tidak dapat
mengenalinya lagi karena menurut ibu anaknya telah mati disebabkan oleh
kemiskinan yang dideritanya. Meskipun demikian Malin masih berharap wanita tua
itu mau mengakuinya sebagai anak karena ia sangat merindukan kasih sayang
seorang ibu, tetapi ibu tetap pada pendiriannya. Walau sebenarnya sang ibu juga
sangat merindukan kehadiran seorang anak. Tetapi kerinduan tersebut tidak dapat
dipertemukan. Dengan berat hati Malin terpaksa meninggalkan wanita (ibu) itu.
Meskipun demikian, Malin masih dapat berbahagia sebab ia tidak menjadi anak
yang durhaka, karena cerita tidak berakhir dengan pengutukan atas dirinya.
Formula dari cerpen karya Syarifuddin Arifin
adalah:
USIA
|
INTERPRETASI |
||
ANAK-ANAK
|
REMAJA
|
DEWASA
|
-
|
-
|
-
|
Berhasil di rantau
Malin ingin bertemu dengan ibu
Ibu tidak mengakui
|
A.A
Navis dalam cerpennya yang berjudul “Malin Kundang Ibunya Durhaka”. Cerpen yang
dimuat di Kompas, Minggu 2 Februari
1986 dan dibukukan pada tahun 1990 dalam kumpulan cerpen Navis yang berjudul Bianglala. Cerpen ini menceritakan
tentang sekelompok remaja yang sedang mencari naskah drama yang akan
dipentaskan. Setelah lama mencari, akhirnya diputuskan untuk mengambil legenda
Malin Kundang dengan akhir cerita ibunya
yang dikutuk.
Dalam
cerita ini Navis, mencoba melihat bahwa setelah kepergian ayah Malin Kundang
ibu merasa kesepian. Oleh sebab itu, ibu mencari pasangan selingkuh guna
menghilangkan kesepian tersebut. Setelah Malin Kundang pulang dan mengetahui
keadaan ibunya, ia marah dan mengutuk dirinya sendiri karena telah terlahir
dari rahim yang salah.
Formulanya
dapat dilihat sebagai berikut:
USIA
|
INTERPRETASI
|
||
ANAK-ANAK
|
REMAJA
|
DEWASA
|
Pendurhakaan ibu terhadap anaknya
|
Di kampung
|
Merantau
|
-Berhasil dirantau
-Pulang bersama istri
-Mengutuki ibu
|
B. Standardization of themes
Jika dilihat dari fungsi cerita Malin Kundang
ini, maka dapat disimpulkan tema dari cerita Malin Kundang tersebut, yaitu
“pendurhakaan seorang anak terhadap ibu” (sastra lisan). Tema ini kemudian
berkembang menjadi tema baru lewat kreativitas pembaca-penikmatnya. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Wisran Hadi dalam dramanya “Malin Kudang” yang bertema
kritik terhadap sistem sosio-budaya yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Salah satunya, yaitu sistem matrilineal yang telah menimbulkan
tragedi terhadap masyarakatnya.
A.A. Navis juga hadir dengan tema yang baru,
yaitu “pendurhakaan seorang ibu terhadap anak”. Dalam cerita ini tersirat bahwa
orangtua (ibu-ayah) tidak selalu berada pada posisi benar dan bahkan bisa
terjadi sebaliknya. Seperti yang dilakukan ibu terhadap Malin Kundang, ia telah
mengkhianati anaknya sendiri dan tidak bisa menjaga marwah dirinya sehingga
Malin Kundang merasa malu dan kecewa memiliki ibu seperti itu. Oleh sebab itu,
ia mengutuki dirinya menjadi batu.
Irman Syah, mengemukakan tema tentang adanya
perpaduan kepercayaan lama dengan agama Islam. Dalam cerpen ini tersirat
bagaimana sulitnya membuang kebiasaan yang telah berakar dalam hati sanubari
seseorang. Syarifuddin Arifin dengan tema cerpennya keteguhan hati seorang
wanita (ibu) dalam menjalani kehidupan. Meskipun ditawari kemewahan harta benda
oleh Malin yang mengaku sebagai anaknya, dia tidak mau menerima.
C. Epithetic identification for
“disambiguation” of classes of individuals.
Berbagai interpretasi yang muncul tentang cerita
Malin Kundang, tentu tidak semua orang dapat memahaminya dengan baik. Sebab
masing-masingnya mempunyai audience
(kelasnya) sendiri, meskipun dalam setiap interpretasi tidak dijelaskan kelas
mana yang dituju. Dengan demikian, untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan kelas
apa yang dituju dari masing-masing interpretasi yang muncul.
Interpretasi yang dikemukan oleh A.A. Navis,
Wisran Hadi, Syarifuddin Arifin, dan Irman Syah dapat dinyatakan bahwa kelas
yang ditujunya adalah masyarakat terpelajar dan memahami sastra. Jika tidak
terpelajar dan memahami sastra, maka masyarakat tersebut menganggap salah atau
keliru bila tidak sesuai dengan apa yang mereka dengar selama ini maka itu akan
dianggap suatu kesalahan.
D. Generation of “heavy” or ceremonial
characters
Mencermati cerita Malin Kundang dalam tradisi
lisan dan tradisi tulis dapat dilihat bahwa hanya tokoh Malin Kundang yang
dalam tradisi lisan yang digambarkan sebagai tokoh jahat. Dalam tradisi tulis
tokoh Malin digambarkan sebagai tokoh baik, malah Navis berani mengemukakan
kalau ibunyalah yang jahat.
E. Formulary, ceremonial appropriation of
history
Pemberian
nama batu Malin Kundang terdapat di Pantai Aia Manih Padang tersebut
mengingatkan kita pada kisah dari asal usul batu yang berbentuk kapal dan tubuh
manusia. Menurut kisah, puing-puing batu yang terdapat di pantai tersebut
berasal dari seorang anak yang mendurhakai ibu. Akibat pendurhakaan itu, ia
mendapatkan kutukan dari Tuhan, sehingga ia dan kapalnya menjadi batu.
F. Cultivation of praise and vitu peration
Malin Kundang dalam cerita lisan dipergunakan
sebagai makian karena ia telah mendurhakai ibunya sendiri dan halnya dengan
Malin Kundang yang terdapat dalam drama Wisran Hadi, A.A. Navis, Syarifuddin
Arifin, dan Irman Syah digunakan sebagai manifestasi pujian karena ia telah
berusaha mencari ayah yang telah lama pergi, meskipun yang dicari tidak pernah
bertemu.
G. Copiusness
Pembicaraan Malin Kundang baik dalam bentuk
drama, cerpen maupun esai, membuat orang semakin mengerti, meskipun karya yang
lahir tersebut telah memiliki interpretasi yang berbeda.
2. Manifestasi
Sistem Matrilineal Minangkabau
A. Sistem Matrilineal Minangkabau
Minangkabau merupakan satu-satunya suku bangsa di Indonesia yang sampai
saat ini masih menerapkan sistem kekerabatan matrilineal, keturunan ditarik
berdasarkan garis ibu. Berdasarkan sistem ini seorang anak termasuk ke dalam
keluarga ibunya, bukan keluarga ayahnya. Seorang suami tidak termasuk keluarga
istrinya atau anaknya.
Sistem ini berimplikasi pula terhadap pewarisan
harta pusaka. Harta pusaka dibagi atas pusako
tinggi dan pusako randah. Pusako tinggi adalah segala yang
diwariskan turun temurun berdasarkan garis matrilineal, yang terbagi pula atas sako, yaitu warisan yang tidak berupa
benda seperti gelar datuak dan pusako yaitu warisan berupa benda
seperti sawah, ladang, dan rumah. Sako
bisanya diwariskan kepada laki-laki dan pusako
diwariskan kepada perempuan. Pusako randah adalah harta dan kekayaan yang
didapat oleh kedua orangtua dalam suatu pernikahan, diwariskan kepada anak dan
tata cara pewarisannya didasarkan atas hukum Islam.
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang
tidak tertutup dalam menerima dan menyikapi perkembangan zaman. Mamangan adat Minangkabau mengatakan sakali aia gadang, sakali tapian baraliah. Maksud dari mamangan tersebut adalah bahwa adat Minangkabau dapat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman.
Akibat dari perubahan dan perkembangan zaman
beberapa hal yang berkaitan dengan sistem matrilineal Minangkabau mulai
bergeser. Mamak yang dulu mengurus
segala keperluan dalam keluarga matrilinealnya, sebagian kini sudah digantikan
oleh seorang bapak atau ayah. Masalah keuangan seorang perempuan, misalnya,
tidak lagi menjadi tanggungan suadara laki-lakinya, tetapi sudah menjadi
tanggungan orangtua laki-laki atau suami jika dia sudah berkeluarga.
Penyebab perubahan tersebut tidak saja karena
pergantian zaman, namun juga dimungkinkan oleh sistem matrilineal tersebut.
Akibat dari perubahan zaman dapat dilihat, misal, pada seorang perempuan yang
disebabkan pekerjaan dia dan suaminya harus tinggal menetap jauh dari kampung.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan diri dan anak-anaknya akan diurusnya
bersama suami dan anak-anaknya. Dalam keluarga seperti ini yang menjadi kepala
keluarga adalah suaminya, bukan mamak
lagi. Hubungan dengan kampung dan mamak
hanya akan terjadi apabila ada upacara adat di kampung seperti acara perkawinan
keluarga dekat atau pada saat lebaran. Fungsi mamak selama tidak berada di kampung digantikan oleh suami atau
ayah.
Sistem matrilineal tersebut juga mempunyai andil
dalam perubahannya. Banyak perempuan di Minangkabau yang tidak mempunyai
saudara laki-laki. Artinya, anak-anak dari perempuan tersebut tidak mempunyai mamak. Dalam situasi seperti itu, fungsi
mamak akan digantikan oleh ayah. Di
lain pihak, banyak laki-laki yang tidak mempunyai saudara perempuan. Artinya,
mereka tidak akan menjadi mamak.
Laki-laki yang tidak menjadi mamak
tersebut akan mengalihkan tanggung jawab dari kamanakan kepada anaknya.
B. Sistem Matrilineal dalam Cerita Malin Kundang
Cerita Malin Kundang yang merupakan sastra lisan
tidak menggambarkan ciri matrilineal. Hal itu dapat dilihat misalnya dengan
tidak berperannya mamak (saudara
laki-laki dari pihak ibu). Dalam cerita tidak disebutkan adanya mamak, sehingga setelah ayah Malin
Kudang meninggal, ia dibesarkan dan diasuh oleh ibunya, sebagai orangtua tunggal
(single parent).
Indikasi lain adalah tidak dijelaskannya dalam cerita
tempat tinggal keluarga Malin Kundang: apakah mereka tinggal dalam keluarga ibu
atau dalam keluarga ayah. Dari cerita hanya diketahui bahwa Malin Kundang
tinggal di rumah yang ditempati oleh ayah dan ibunya. Jika keluarga ini
menganut sistem matrilineal, dalam keluarga tersebut terdapat nenek, saudara
perempuan ibu, atau saudara laki-laki ibu.
Jadi, pada cerita Malin Kundang sastra lisan, tidak
memperlihatkan manifestasi sistem matrilineal Minangkabau secara konkret. Namun,
cerita ini memperlihatkan ciri keminangkabauan. Ciri tersebut dapat dilihat
dari nama tokoh cerita, yaitu Malin Kundang. Malin adalah gelar yang diberikan
kepada laki-laki di Minangkabau, yaitu di daerah Padang dan Pariaman. Hal itu
sesuai dengan latar cerita, yaitu Aia Manis yang termasuk ke dalam wilayah
Kotamadya Padang.
Ciri lain adalah kecenderungan merantau. Laki-laki
jika sudah menginjak masa dewasa “diwajibkan” merantau, seperti dinyatakan
dalam mamangan adat Minangkabau: karatau madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di
rumah baguno balun. Maksud dari mamangan tersebut adalah anjuran kepada setiap
laki-laki Minangkabau yang belum menikah untuk meninggalkan kampung karena
dianggap belum berguna untuk kampungnya, merantau. Memang, kecenderungan
merantau tidak hanya milik masyarakat Minangkabau, namun merantau dalam konsep
Minangkabau berbeda dari merantau dalam konsep etnis lain. Orang Minangkabau
merantau dengan maksud mencari sesuatu yang kemudian digunakan untuk kemajuan
kampungnya, sedangkan masyarakat lain merantau dengan tujuan untuk mencari
tempat tinggal atau tempat menetap yang baru, sehingga tidak ada keharusan
untuk pulang kembali.
Cerita Malin Kundang ini merupakan cerita
simbolis. Ia harus dipahami dengan menafsirkan simbol-simbol yang ada di
dalamnya. Dalam sistem matrilineal
Minangkabau, ibu mempunyai kedudukan yang penting. Ibu merupakan lambang
tertinggi dalam sistem matrilineal tersebut.
Malin Kundang tidak mengakui ibunya. Artinya ia
menggugat keberaadan ibu. Ia menafikan simbol penting dalam sistem matrilineal
Minangkabau. Akibatnya Malin Kundang menjadi batu. Penggugatan Malin Kundang
menjadikan hidupnya tidak selamat. Pesannya adalah: jangan mencoba menggugat
kebaradaan sistem matrilineal jika tidak ingin hidup sengsara.
Cerita Malin Kundang menjadi semacam mitos
pengukuhan dari sistem matrilineal
Minangkabau. Umar Junus, mengemukakan bahwa sastra dapat memberikan pengukuhan
terhadap sesuatu yang disebut dengan mitos pengukuhan atau menolak sesuatu yang
disebut dengan mitos pengingkaran. Cerita Malin Kundang adalah pengukuhan
terhadap sistem matrilineal.
Selain itu, cerita Malin Kundang dapat pula
dipahami dalam konteks Islam. Dalam konsep Islam ada ungkapan ‘sorga itu di
bawah telapak kaki ibu’. Maksudnya adalah ibu menduduki tempat yang penting
dalam keluarga. Hal itu didukung pula sebuah hadis yang menceritakan seorang
yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang siapa yang harus dia muliakan. Tiga
kali orang tersebut bertanya, ketiganya dijawab nabi dengan ‘ibumu’. Pada
pertanyaan keempat berulah nabi menjawab dengan ‘bapakmu’. Hadis tersebut
mempertegas bahwa ibu harus dihormati dan dimuliakan melebihi bapak.
Malin
Kundang juga menolak konsep Islam tersebut dengan tidak mau mengakui ibunya.
Akibatnya, Malin Kundang beserta kapalnya manjadi batu, berkat doa ibu yang
dikabulkan Tuhan. Pesan yang ingin disampaikan adalah: jangan mencoba melawan
kepada ibu karena doa seorang ibu akan dikabulkan oleh Tuhan.
Dari sisi konsep Islam, cerita Malin Kundang
merupakan mitos pengukuhan terhadap
kedudukan seorang ibu.
Wisran Hadi dalam naskah dramanya yang berjudul Malin Kundang, mencoba melihatnya dari
sisi yang berbeda. Sistem matrilineal Minangkabau menimbulkan tragedi dalam
kehidupan masyarakat Minangkabau. Hal itu dapat dilihat pada kepergian ayah
yang disebabkan oleh tindakan ibu yang tanpa persetujuan suaminya meminjamkan
sertifikat rumah kepada saudara laki-lakinya untuk agunan bank. Ibu meminjamkan
sertifikat tersebut karena ia merasa rumah tersebut adalah haknya. Tindakan ibu
tersebut dapat dibenarkan berdasarkan adat (sistem matrilineal), yaitu rumah
adalah milik perempuan. Namun, ibu tidak menyadari bahwa rumah tersebut bukan pusaka
warisan karena yang membangun rumah tersebut adalah dia bersama suaminya.
Konflik bermula dari sini. Karena merasa
tersinggung, ayah meninggalkan keluarganya dan tidak pernah kembali. Tinggal
Malin Kundang dengan ibunya, sedang mamak
yang telah dipinjamkan sertifikat oleh ibu tidak lagi mau tahu dengan kehidupan
saudara dengan kamanakannya.
Semua konflik yang terdapat dalam naskah drama
ini, berawal dari sisi negatif yang terdapat dalam sistem matrilineal
Minangkabau. Malin Kundang dan ibu hidup dalam suasana kekurangan karena
ditinggalkan ayah dan tidak adanya perhatian dari mamak.
Ibu tidak pernah lepas dari penderitaan, pertama karena kehilangan suami, kedua karena Malin Kundang pergi
merantau, dan ketiga karena Malin Kundang pergi dengan istrinya. Seandainya
cerita ini terjadi dalam sistem patrilineal, si ibu tidak semena-mena
meminjamkan sertifikat rumah kepada saudara laki-lakinya dan si ayah tidak akan
meninggalkannya. Dalam sistem patrilineal Malin Kundang akan membawa istrinya
ke rumahnya. Mereka akan tinggal bersama ayah dan ibunya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan
bahwa drama Wisran Hadi tersebut merupakan penolakan terhadap sistem
matrilineal. Jadi, drama “Malin Kundang” dapat dianggap sebagai mitos pengingkaran terhadap sistem
matrilineal.
A. A. Navis dalam cerpennya yang berjudul Malin
Kundang Ibunya Durhaka, mencoba mengisi kekosongan yang ada pada cerita
sebelumnya. Dalam cerita sebelumnya selalu anak yang dipersalahkan, namun
bagaimanapun salahnya seorang anak andil orangtua pasti ada. Anak yang
mempunyai kesalahan boleh dikutuki, tetapi kenapa orangtua yang punya kesalahan
tidak boleh dikutuk?
Navis mencoba membuat sebuah interpretasi dengan
memanfaatkan kesepian seorang ibu yang ditinggal suaminya, dengan menghadirkan
tokoh laki-laki sebagai kekasih gelap ibu. Malin Kundang tidak bisa menerima
kelakuan ibu yang demikian tersebut. Karena itu, Malin kundang mengutuki
ibunya. Dia manganggap bahwa dia telah terlahir dari rahim yang salah. Wanita
yang melahirkannya tersebut bukan seperti ibu yang dinginkannya.
Ditinjau dari konteks masa kini, ibu yang merasa
kesepian tersebut dapat diterima logika. Seorang yang merasa kesepian tentu
membutuhkan teman. Mungkin jika Malin Kundang tidak pergi merantau, kesepian
dapat terobati. Karena tidak sanggup menahan kesepian tersebut, ibu terpaksa
mencari teman untuk menghalau kesepian tersebut.
Jadi Navis dengan cerpen tersebut mencoba
menafsirkan cerita lama dengan konteks masa kini.
Irman Syah dalam cerpennya Negeri Malin Kundang, mencoba menghadirkan realitas imajinatif
dalam dongeng menjadi realitas objektif. Dengan memberi judul Negeri Malin Kundang, Irman Syah
menganggap bahwa Malin Kundang tersebut memang benar-benar ada. Namun, yang
ditentangnya adalah pengkultusan terhadap diri Malin Kundang. Irman Syah
menggugat kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Aie Manih yang dianggapnya
sebagai Negeri Malin Kundang, bahwa arwah Malin Kundang dapat menyebabkan
malapetaka jika tidak mengikuti ajaran Malin Kundang. Bagi Irman Syah tidak mungkin
arwah orang yang sudah meninggal bisa berbuat sesuatu yang tidak dapat
dilakukan manusia hidup. Semua kejadian di alam bisa terjadi hanya atas izin
atau kehendak Allah.
Alasan yang dikemukakan Irman Syah berdasarkan
atas konsepsi Islam, yang tidak boleh tunduk kepada dan siapa pun selain Allah.
Syarifuddin Arifin dalam cerpennya yang bejudul Malin, mencoba menanggapi cerita Malin
Kundang sebelumnya dengan interpretasi masa kini. Cerita Malin Kundang
Syarifuddin Arifin tersebut dapat terjadi di mana saja. Tidak ada lagi
persentuhannya dengan kebudayaan Minangkabau. Kisah tersebut dapat saja terjadi
di Jakarta atau kota besar lainnya dan tidak harus terjadi di Indonesia. Ia
bisa saja terjadi di London atau New York. Kebetulan saja tokoh utamanya
bernama Malin Kundang.
Hal yang dapat menghubungkan pemikiran dengan
legenda Malin Kundang adalah nama tokohnya saja. Oleh sebab itu, persoalan yang
ditawarkan cerpen tersebut tidak lagi menyentuh kebudayaan Minangkabau.
Cerpen Negeri
Malin Kundang (Irman Syah) dan Malin
(Syarifuddin Arifin) tidak lagi mempersoalkan sistem matrilineal. Wisran Hadi
dan A. A. Navis mempertanyakan keberadaan sistem matrilineal tersebut. Apakah
sistem tersebut masih perlu dipertahankan atau akan berubah seiring dengan
tuntutan zaman?
C. Kebudayaan dan Satra
Sastra sebagai produk kebudayaan tidak dapat
berdiri sendiri. Di antara produk budaya tersebut terjadi hubungan yang saling
kait mengait. Bahasa, kesenian, mitos, dan religi tergabung dalam satu ikatan.
Ikatan tersebut bukan berupa ikatan substansial (unculum substantiale) seperti yang pernah digambarkan dan dipahami
oleh pemikiran skolastik, melainkan berupa ikatan fungsional (unculum funtionale). Fungsi dasar dari
bahasa, mitos, kesenian, dan religi tersebut akan bertemu dalam satu persinggungan.
Hal itu dapat dilihat pada analisis di atas, yaitu adanya persinggungan antara
perubahan budaya sistem matrilineal dalam realitas masyarakat Minangkabau
dengan pergeseran tema dari sastra yang ditulis oleh masyarakat Minangkabau itu
sendiri.
Sistem matrilineal di Minangkabau mulai
mengalami pergeseran. Mamak yang
seharusnya mempunyai tanggung jawab terhadap kamanakan mulai melupakan tanggung jawab. Walaupan masih ada, hanya
tinggal tanggung jawab seremonial seperti menandatangi surat pagang-gadai atau menguruskan
surat-surat yang dibutuhkan untuk persyaratan nikah kamanakan.
Sejalan dengan perkembangan dalam masyarakat
tersebut, sastra yang ditulis atau yang diceritakan oleh masyarakat
Minangkabau, memperlihatkan hal yang sama. Dulu dalam cerita Malin Kundang yang
merupakan sastra lisan sistem tersebut dikukuhkan dengan sanksi yang sangat
berat kalau tidak mengindahkan aturan yang telah ditentukan berdasar sistem
matrilineal. Dalam sastra yang lebih kemudian, malah sistem matrilineal
tersebut dikritik dan dipertanyakan. Bahkan ada yang menentang dan tidak
menghirau sama sekali.
Jadi, di sini berlaku apa yang dikemukakan oleh
Ong bahwa sastra adalah manifestasi dari pemikiran masyarakat pendukung sastra
tersebut. Cerita Malin Kundang yang berupa tradisi lisan adalah manifestasi
dari pemikiran masyarakat pada zaman itu, sedangkan cerita Malin Kundang yang
berupa cerpen dan drama merupakan manifestasi dari pemikiran masyarakat pada
zamannya pula.
VII
Dari hasil analisis dengan menggunakan teori oral noetics tersebut dapat disimpulkan:
1.
Dalam cerita Malin Kundang
yang berupa legenda sistem matrilineal Minangkabau dapat dikatakan dikukuhkan,
sedangkan dalam cerita Malin Kundang berupa karya sastra yang ditulis oleh
penulis asal Minangkabau, sistem matrilineal seolah dikritik, dipertanyakan,
malah dinafikan
2.
Perbedaan yang terdapat
pada cerita Malin Kundang legenda dengan cerita Malin Kundang karya sastra
disebabkan oleh waktu, karena masa legenda sudah tidak sama dengan masa karya
sastra. Jadi, perbedaan yang terdapat pada legenda Malin Kundang dengan karya
sastra Malin Kundang sejalan dengan perubahan atau pergeseran sistem
matrilineal dalam masyarakat Minangkabau.
3.
Jadi, berdasarkan kedua
persoalan di atas (a dan b) dapat dikatakan bahwa legenda cerita Malin Kundang
digunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai wahana untuk penyampai ide,
gagasan, dan kritikan terhadap gejala sosial budaya yang tengah berkembang
dalam masyarakat dan kebudayaan mereka.
Berdasarkan kajian oral noetics
terhadap cerita Malin Kundang yang terbatas pada manifestasi kompleks ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, dan norma-norma dalam tradisi kelisanan, belum mampu
mengungkap: mengapa terjadi banyak variasi, mengapa cerita lisan Malin Kundang
dapat menjadi sumber dari beberapa sastra tulis. Kedua masalah tersebut tidak
terjangkau oleh penelitian ini. Oleh sebab ıtu, disarankan untuk meneliti kedua hal tersebut dengan teori dan sudut
pandang yang berbeda. *
Referensi
Arifin C. Noer. 1986.
“Sandek Atawa Di Bawah Bayangan Tuhan” Majalah Sastra Horison.
Arifin, Syarifuddin.
“Malin”. Majalah Sastra Horison, no 7
th. XXVII, Juli 1992, hal. 232-234.
Cassirer, Ernst.
1990. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esai
tentang Manusia (terj. Alois A. Nugroho). Jakarta: PT Gramdia.
Dananjaya, James.
1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng, dan Lain-lain (cet. III). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Irman Syah. “Negeri
Malin Kundang”. Singgalang Minggu ,18
Maret 1994.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar
Harapan.
----------------.
1985. Resepsi Sastra. Jakarta:
Gramedia.
Navis, A. A.. “Malin
Kundang Ibunya Durhaka, Kompas Minggu,
2 Februari 1986.
---------------.
1990. “Malin Kundang Ibunya Durhaka”, dalam Kumpulan Cerpen Bianglala. Jakarta:
Gramedia.
Goenawan Mohammad. 1991.
Penyair Indonesia Sebagai Malin Kundang.
Jakarta: Sinar Harapan
Hadi, Wisran. 1978.
“Malin Kundang” Naskah Drama Pemenang Lomba Penulisan Naskah Drama Dewan
Kesenian Jakarta.
Hamid Jabar, “Malin
Kundang”, Sinetron 1995.
Ong, Walter J.. 1967.
The Presence of the Word: Some
Prolegomena for Cultural an Religious and History. (reprinted 1970). New
York: Simon & Schuster.
-----------------.
1971. Rhetoric, Romance, and Technology:
Studies in the Interaction of Expression and Cultural. Ithaca, New York:
Cornel University Press.
-----------------. 1977. Interfaces of the Word: Studies in the Evolution os Conciusness and
Culture. Ithaca, New York: Cornel University Press.
-----------------.
1982. Orality and Literacy: The
Technoligizing of the Word. New York: Methue & Co.
Oplan, Jeff. 1983. Xhosa Oral Poetry: Aspects of a Black South
African Tradition. Cembrıdge University Press.
Pelly, Usman. 1994. Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya
Minangkabau dan Mandailing. Jakarta: LP3ES.
Yusriwal. “Sensasi
Malin Kundang, Tabloid Genta Andalas,
Edisi No. 05, Juni-Juli 1995.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar