OLEH Desi Sommalia Gustina
Berbagai hal yang
menyangkut perempuan tampaknya selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan ditulis
menjadi ide sebuah karya sastra. Misalnya menulis cerita perempuan dengan masa
lalu yang kelam, dengan luka-luka yang menganga dan air mata yang tak kunjung mengering,
dan sekian hal lain yang bisa dirangkai menjadi cerita. Sejatinya menulis
cerita dengan bingkai luka dan air mata—yang diantaranya banyak dialami oleh
kaum perempuan, jika diracik dan digarap dengan baik, tanpa menyerahkan
penggarapannya ke bawah telapak kaki penindasan pesan, bukan tidak mungkin ia akan
menjelma menjadi sebuah cerita yang sangat menarik, yang tidak akan kehilangan
kesan bagi pembacanya. Meskipun cerita-cerita tersebut hanyalah sehimpun kisah
dengan cita rasa yang suram.
Tetapi, menulis
cerita tentu saja bukan sekadar menyulam tumpukan luka, mereka-reka peristiwa,
menghadirkan tokoh-tokoh, dan menampilkannya dengan bahasa yang menggugah rasa
semata. Menulis cerita ibarat seni dalam menyentuh dan menggetarkan hati dan
nalar pembacanya. Mengajak pembacanya menghayati kembali berbagai situasi hidup
yang seringkali tidak terselami dan tidak terpahami, yang ditransformasi kepada
sinyal-sinyal dan getaran dalam cerita.
Namun, untuk
menangkap sinyal-sinyal yang disampaikan sebuah atau sekumpulan cerita, pembaca
harus membacanya dengan sabar dan teliti. Sehingga, getaran-getaran yang
dihadirkan sebuah atau sekumpulan cerita akan tertangkap sekalipun ia
bersembunyi dibalik cerita yang bernostalgia dengan kesedihan dan hati yang tercabik-cabik,
seperti yang termaktub dalam buku kumpulan cerpen Musim yang Mengugurkan Daun yang diterbitkan oleh penerbit Andi
(Yogyakarta, 2010) ini.
Dalam buku kumpulan
cerpen karya Yetti A. KA ini, kita akan mendapati cerpen-cerpen yang ‘menggoda’
pembacanya dengan setumpuk luka yang mengelilingi perempuan. Secara spesifik,
perempuan yang hadir dalam kumpulan ini adalah perempuan yang mengalami konflik
batin dan gejolak dalam hidup. Atau dengan kata lain, kumpulan ini merupakan
sehimpun kisah mengenai kepiluan yang melingkari kaum perempuan.
“Musim yang
Mengugurkan Daun” adalah cerpen pertama dalam kumpulan ini, yang menjadi judul
buku, bercerita tentang cinta yang kandas akibat perseteruan yang berasal dari
kampung yang sedang bertikai. Pertikaian antara orang-orang kampung dan
orang-orang seberang laut. Pertikaian tersebut disulut oleh bibit-bibit
kebencian yang telah lama ada. Namun dalam waktu yang lama pula orang-orang
yang berasal dari rumpun yang berbeda itu menghembuskan angin kebencian secara
diam-diam. Tetapi, kendatipun aroma permusuhan yang mengelilingi mereka hanya
berlangsung diam-diam, karena terus dipupuk dan dipelihara ledakan kebencian
dan permusuhan itu tinggal menunggu waktu untuk membakar dan menghanguskan
orang-orang disekitarnya. Sesungguhnya permusuhan yang terjadi antara
orang-orang kampung dan orang-orang seberang laut pemicunya sepele saja: rasa
cemburu. Cemburu yang tumbuh ketika mendapati orang lain yang begitu bahagia di
depan mata sendiri.
Orang-orang kampung
yang telah lama terperangkap rasa cemburu terhadap kebahagiaan yang dinikmati
orang-orang seberang laut, membuatnya begitu mudah tersulut hanya karena
ketersinggungan kecil dan amat sederhana. Dan kecemburuan itu semakin berkobar
ketika mereka menjadi saksi betapa ribuan karet milik orang-orang seberang laut
telah menghasilkan getah melimpah, yang dengan waktu tidak terlampau lama mampu
menyulap sebuah hutan menjadi pemukiman yang dihuni oleh sekelompok masyarakat
yang hidup sejahtera. Masyarakat yang menghuni perkampungan tersebut adalah orang-orang
yang datang sejak bertahun-tahun lalu demi mengikuti program pemerintah.
Hingga, disuatu hari
yang ngungut, kebencian yang dipupuk oleh
orang-orang kampung terhadap orang-orang seberang laut berakhir dengan
melahirkan angka-angka; sekian ratus rumah terbakar, sekian puluh orang
meninggal dan luka-luka, dan masih menyisakan sekian lagi yang hilang begitu
saja dan tidak pernah kembali. Salah satunya seperti yang dialami Rarra,
perempuan yang berasal dari ‘golongan’ orang seberang laut, dimana hari itu ia
mendapati bapaknya pulang dengan air mata yang mengalir dari lubang kedua
matanya yang kosong. Wajah tanpa dua bola mata. Orang-orang kampung telah
mencongkel sepasang mata milik bapaknya, yang membuatnya kemudian tak mampu
untuk tidak melukis dendam terhadap orang-orang kampung.
Sementara itu,
dipihak lain, ia, lelaki yang berasal dari ‘golongan’ orang-orang kampung, yang
telah menanam benih cinta sedari kanak pada Rarra, juga mendapati kenyataan
yang tak jauh berbeda. Ayahnya yang menurut sang ibu pergi berburu, telah lama
sekali tidak pernah kembali. Hal tersebut membuatnya dikepung oleh beragam
perasaan: cinta, rindu, marah, dendam, dan seonggok hati yang terluka. Luka
yang tidak saja dimiliki oleh si lelaki, tetapi turut pula dirasakan oleh Rarra, orang-orang kampung, orang-orang
seberang laut, dan sederet tokoh lain yang terdapat dalam kumpulan ini. Karena
memang, luka yang mengaga yang bertebaran dalam buku ini laksana sebuah
ornament yang menghiasi kumpulan ini. Pun apabila diperhatikan, akan terlihat
bahwa kesedihan dan kepiluan merupakan benang merah buku setebal 172 halaman
ini.
Kesedihan dan
kepiluan yang bersitindih dalam kumpulan ini, dengan karakter tokoh yang khas
dan ‘kuat’ yang berhasil diciptakan oleh penulisnya, seakan menjadi penanda
kematangan Yetti A. KA sebagai tukang cerita. Tukang cerita yang menghasilkan
dongeng-dongeng yang digarap dengan sungguh-sungguh. Seperti yang dikatakan
Arief Santosa dalam endorsementnya di
kaver belakang buku ini: Yetti A. KA menggarap setiap cerpennya dengan serius.
Ceritanya berbobot, gaya penceritaannya “dalam” dan diksinya terjaga. Tiga hal
tersebut tampaknya telah menjadi ciri khas Yetti A. KA dalam menulis. Ciri khas
yang memang perlu dimiliki oleh seorang pengarang tanpa harus latah mengekor
pada gaya menulis pengarang lain. Seperti yang dinasehatkan sebuah pepatah:
jadilah dirimu sendiri!
Padang, 22 Februari
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar