Minggu, 12 Januari 2014

Kumpulan Cerpen Musim yang Menggugurkan Daun: Cerita yang Bermula dari Tumpukan Luka



OLEH Desi Sommalia Gustina
Berbagai hal yang menyangkut perempuan tampaknya selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan ditulis menjadi ide sebuah karya sastra. Misalnya menulis cerita perempuan dengan masa lalu yang kelam, dengan luka-luka yang menganga dan air mata yang tak kunjung mengering, dan sekian hal lain yang bisa dirangkai menjadi cerita. Sejatinya menulis cerita dengan bingkai luka dan air mata—yang diantaranya banyak dialami oleh kaum perempuan, jika diracik dan digarap dengan baik, tanpa menyerahkan penggarapannya ke bawah telapak kaki penindasan pesan, bukan tidak mungkin ia akan menjelma menjadi sebuah cerita yang sangat menarik, yang tidak akan kehilangan kesan bagi pembacanya. Meskipun cerita-cerita tersebut hanyalah sehimpun kisah dengan cita rasa yang suram.
Tetapi, menulis cerita tentu saja bukan sekadar menyulam tumpukan luka, mereka-reka peristiwa, menghadirkan tokoh-tokoh, dan menampilkannya dengan bahasa yang menggugah rasa semata. Menulis cerita ibarat seni dalam menyentuh dan menggetarkan hati dan nalar pembacanya. Mengajak pembacanya menghayati kembali berbagai situasi hidup yang seringkali tidak terselami dan tidak terpahami, yang ditransformasi kepada sinyal-sinyal dan getaran dalam cerita.

Namun, untuk menangkap sinyal-sinyal yang disampaikan sebuah atau sekumpulan cerita, pembaca harus membacanya dengan sabar dan teliti. Sehingga, getaran-getaran yang dihadirkan sebuah atau sekumpulan cerita akan tertangkap sekalipun ia bersembunyi dibalik cerita yang bernostalgia dengan kesedihan dan hati yang tercabik-cabik, seperti yang termaktub dalam buku kumpulan cerpen Musim yang Mengugurkan Daun yang diterbitkan oleh penerbit Andi (Yogyakarta, 2010) ini. 
Dalam buku kumpulan cerpen karya Yetti A. KA ini, kita akan mendapati cerpen-cerpen yang ‘menggoda’ pembacanya dengan setumpuk luka yang mengelilingi perempuan. Secara spesifik, perempuan yang hadir dalam kumpulan ini adalah perempuan yang mengalami konflik batin dan gejolak dalam hidup. Atau dengan kata lain, kumpulan ini merupakan sehimpun kisah mengenai kepiluan yang melingkari kaum perempuan.
“Musim yang Mengugurkan Daun” adalah cerpen pertama dalam kumpulan ini, yang menjadi judul buku, bercerita tentang cinta yang kandas akibat perseteruan yang berasal dari kampung yang sedang bertikai. Pertikaian antara orang-orang kampung dan orang-orang seberang laut. Pertikaian tersebut disulut oleh bibit-bibit kebencian yang telah lama ada. Namun dalam waktu yang lama pula orang-orang yang berasal dari rumpun yang berbeda itu menghembuskan angin kebencian secara diam-diam. Tetapi, kendatipun aroma permusuhan yang mengelilingi mereka hanya berlangsung diam-diam, karena terus dipupuk dan dipelihara ledakan kebencian dan permusuhan itu tinggal menunggu waktu untuk membakar dan menghanguskan orang-orang disekitarnya. Sesungguhnya permusuhan yang terjadi antara orang-orang kampung dan orang-orang seberang laut pemicunya sepele saja: rasa cemburu. Cemburu yang tumbuh ketika mendapati orang lain yang begitu bahagia di depan mata sendiri.
Orang-orang kampung yang telah lama terperangkap rasa cemburu terhadap kebahagiaan yang dinikmati orang-orang seberang laut, membuatnya begitu mudah tersulut hanya karena ketersinggungan kecil dan amat sederhana. Dan kecemburuan itu semakin berkobar ketika mereka menjadi saksi betapa ribuan karet milik orang-orang seberang laut telah menghasilkan getah melimpah, yang dengan waktu tidak terlampau lama mampu menyulap sebuah hutan menjadi pemukiman yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang hidup sejahtera. Masyarakat yang menghuni perkampungan tersebut adalah orang-orang yang datang sejak bertahun-tahun lalu demi mengikuti program pemerintah.
Hingga, disuatu hari yang ngungut, kebencian yang dipupuk oleh orang-orang kampung terhadap orang-orang seberang laut berakhir dengan melahirkan angka-angka; sekian ratus rumah terbakar, sekian puluh orang meninggal dan luka-luka, dan masih menyisakan sekian lagi yang hilang begitu saja dan tidak pernah kembali. Salah satunya seperti yang dialami Rarra, perempuan yang berasal dari ‘golongan’ orang seberang laut, dimana hari itu ia mendapati bapaknya pulang dengan air mata yang mengalir dari lubang kedua matanya yang kosong. Wajah tanpa dua bola mata. Orang-orang kampung telah mencongkel sepasang mata milik bapaknya, yang membuatnya kemudian tak mampu untuk tidak melukis dendam terhadap orang-orang kampung.
Sementara itu, dipihak lain, ia, lelaki yang berasal dari ‘golongan’ orang-orang kampung, yang telah menanam benih cinta sedari kanak pada Rarra, juga mendapati kenyataan yang tak jauh berbeda. Ayahnya yang menurut sang ibu pergi berburu, telah lama sekali tidak pernah kembali. Hal tersebut membuatnya dikepung oleh beragam perasaan: cinta, rindu, marah, dendam, dan seonggok hati yang terluka. Luka yang tidak saja dimiliki oleh si lelaki, tetapi turut pula dirasakan  oleh Rarra, orang-orang kampung, orang-orang seberang laut, dan sederet tokoh lain yang terdapat dalam kumpulan ini. Karena memang, luka yang mengaga yang bertebaran dalam buku ini laksana sebuah ornament yang menghiasi kumpulan ini. Pun apabila diperhatikan, akan terlihat bahwa kesedihan dan kepiluan merupakan benang merah buku setebal 172 halaman ini.
Kesedihan dan kepiluan yang bersitindih dalam kumpulan ini, dengan karakter tokoh yang khas dan ‘kuat’ yang berhasil diciptakan oleh penulisnya, seakan menjadi penanda kematangan Yetti A. KA sebagai tukang cerita. Tukang cerita yang menghasilkan dongeng-dongeng yang digarap dengan sungguh-sungguh. Seperti yang dikatakan Arief Santosa dalam endorsementnya di kaver belakang buku ini: Yetti A. KA menggarap setiap cerpennya dengan serius. Ceritanya berbobot, gaya penceritaannya “dalam” dan diksinya terjaga. Tiga hal tersebut tampaknya telah menjadi ciri khas Yetti A. KA dalam menulis. Ciri khas yang memang perlu dimiliki oleh seorang pengarang tanpa harus latah mengekor pada gaya menulis pengarang lain. Seperti yang dinasehatkan sebuah pepatah: jadilah dirimu sendiri!
Padang, 22 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...