OLEH YUSRIWAL
Peneliti
Fakultas Sastra Unand
Seni
itu seperti sebuah mata uang legate yang pada satu sisi bersifat universal dan
pada sisi lain bersifat lokal karena dipengaruhi oleh latar belakang penciptanya.
Seorang kreator seni akan dipengaruhi oleh kebudayaan dan keyakinan yang
melatarbelakanginya. Seandainya ia berasal dari Minangkabau yang sudah tentu
beragama Islam, nilai-nilai Islam dan kebudayaan Minangkabau itu akan tercermin
dalam karya yang diciptakannya. Kenyataan memang demikian, sangat banyak kesenian
Minangkabau yang sangat erat kaitannya dengan agama Islam. Salawat dulang,
dikia, indang, dan tabui, adalah beberapa contoh kesenian
Minangkabau yang bernapaskan Islam.
Akan
tetapi, tidak sedikit pula kesenian Minangkabau yang sama sekali tidak bersinggungan
dengan nilai-nilai keislaman. Kenyataan ini terasa agak aneh karena Minangkabau
identik dengan Islam. Bila berbicara tentang Minangkabau—dalam hal apa saja,
seharusnya berhubungan dengan Islam. Sebab adat Minangkabau itu bersendikan
pada Alquran.
Inti
dari kebudayaan Minangkabau memang terletak pada dualisme seperti itu. Dalam
pemerintahan umpamanya dikenal Lareh Koto Piliang yang aristokrat dan Lareh
Bodi Caniago yang demokrat. Pada kesenian, dualisme itu terjadi disebabkan
perbedaan basis tempat kelahirannya, yaitu surau dan sasaran. Dari
surau lahirlah kesenian bernapaskan Islam, seperti salawat dulang, sedangkan
dari sasaran yang fungsi utamanya untuk latihan silat muncul pula
kesenian seperti randai.
Oleh
masyarakat Minangkabau, kedua jenis kesenian tersebut diberi hak yang sama
untuk hidup. Mereka tidak pernah mempertentangkannya dan tidak pula memberikan
penilaian mana yang lebih baik di antara keduanya. Yang ada hanyalah pembedaan
kepentingan. Dalam acara keagamaan, seperti memperingatan maulid nabi, kesenian
yang dipertunjukkan adalah yang bernapaskan Islam, belum dan tidak akan pernah randai
dimainkan di surau atau masjid.
Kembali
kepada kesenian islami dan non-islami, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah
Islam membolehkan penganutnya berkesenian? Di sini terjadi pertentangan
pendapat antara beberapa ulama. Para ulama yang melarang umat Islam
berkesenian, mendasarkan pendapatnya kepada hadis, yang salah satunya
menyatakan bahwa Nabi Muhammad diutus ke bumi adalah untuk memusnahkan gambus
dan berhala. Imam Al-Gazali dan ulama lainnya membolehkan seni juga berdasarkan
kepada beberapa hadis dan melihat kepada sifat agama Islam sendiri yang sesuai
dengan fitrah manusia, yang senang dengan sesuatu yang indah. Selain itu,
nyanyian lebih efektif dalam membantu pencapaian ekstase, melebihi dari apa yang ditimbulkan faktor lain.
Al-Gazali tidak mengingkari adanya pelanggaran terhadap nilai-nilai agama dalam
pertunjukan kesenian. Akan tetapi, hal itu bukan disebabkan oleh seni itu
sendiri, melainkan oleh hal-hal yang mengiringinya. Kata Al-Gazali selanjutnya,
kalau hanya yang mengiringi seni itu saja yang bertentangan dengan Islam,
mengapa keseniannya yang dimusnahkan? Tidak harus membakar rumah, kalau mau
membunuh tikus yang ada di rumah tersebut.
Pertentangan
yang terjadi di antara para ulama ini disebabkan tidak adanya konsepsi kesenian
dalam Islam itu sendiri; yang ada hanyalah kesenian pemeluk Islam. Gambus
misalnya, bukan kesenian Islam, tetapi seni musik Timur Tengah.
Jadi,
yang ada hanyalah kesenian yang bernuansa Islam. Nuansa bukanlah salah satu
unsur dalam karya seni, ia mencakup seluruh unsur dan membentuk sebuah nilai.
Nilai itulah yang disebut nuansa. Jangan hanya karena pemainnya memakai jilbab,
lalu divonis bahwa kesenian yang ditampilkan itu bernuansa Islam. Belum tentu.
la harus terlihat dalam sebuah totalitas. Kecenderungan yang keliru adalah
anggapan bahwa seni bernuansa Islam itu adalah seni yang Arabis.
Kekeliruan yang lain adalah ketidakproporsionalan menempatkan
kesenian. Kecenderungan ini terlihat pada kebanyakan lembaga-lembaga yang
berada di bawah bendera Islam. Semua yang Arabis sangat mereka gandrungi,
walaupun cocok dengan nilai-nilai keislaman, sementara yang non-Arabis selalu
disingkirkan. Pada hal tidak semua kesenian yang non-Arabis itu, tidak sesuai
dengan ajaran Islam, begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang berada di
belakang lembaga inilah yang cenderung jadi fanatik.
Kesenian
Islami dan nonislami dalam masyarakat Minangkabau, ternyata tidak membawa
persoalan. Keduanya tumbuh dan besar bersamaan. Toh, kalau akhir-akhir ini ada
yang hampir punah, bukan disebabkan sifatnya yang non-islami atau islami,
tetapi oleh sebab lain, yang tidak berhubungan dengan persoalan agama.*
Sumber: Harian Singgalang, Senin, 27 Mei 1996/9 Muharram 1417 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar