OLEH M Yusuf
Staf Pengajar Fakultas
Sastra Unand
Istana Pagaruyung setelag terbakar |
Pendahuluan
Di
dalam makalahnya Periodisasi Sejarah
Minangkabau yang disampaikan pada Seminar Sejarah dan Kebudayaan
Minangkabau pada bulan Agustus 1970, Amrin Imran mengemukakan bahwa keadaan
sesungguhnya mengenai Kerajaan Minangkabau atau Pagaruyung masih tetap
merupakan tabir yang tak dapat ditembus. Hal ini, menurut Imran, disebabkan
bahan-bahan mengenai sejarah Minangkabau masih jauh dari lengkap.
Pada
tahun 2002, makalah Amrin tersebut, bersama sebelas kertas kerja lainnya untuk
seminar yang sama, dengan diberi kata pengantar oleh H. Kamardi Rais Dt. P.
Simulie dan catatan pengantar oleh Dr. Mestika Zed, M.A., kemudian diterbitkan
dalam bentuk bunga rampai dengan judul Menelusuri
Sejarah Minangkabau oleh Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumatra
Barat.
Berhubungan
erat dengan bahan (sumber) tentang sejarah Minangkabau sebagai yang dimaksudkan
oleh Amrin Imran, agaknya catatan pengantar Mestika Zed untuk buku itu patut
disimak. Dalam catatan tersebut, Mestika Zed bahkan mengemukakan sejak kapan
orang Minangkabau menulis sejarah mereka, tidak tersedia jawaban. Salah satu
alasan, seperti yang juga sering dikemukakan oleh banyak orang, tulis Mestika,
orang Minangkabau tidak mempunyai aksara tersendiri. Baru setelah Islam masuk
ke Minangkabau pada abad ke-16 lah orang Minangkabau menuliskan kabar dalam
aksara Jawi, atau aksara Arab Melayu, yaitu aksara asal Persia yang digunakan
untuk menuliskan bahasa Melayu dan atau bahasa Minangkabau.
Tentang
masa mulainya aksara Jawi digunakan orang di Minangkabau ini pun tampaknya
masih dapat diperdebatkan. Sebab, sejauh yang dapat diketahui, naskah-naskah
kuno (manuskrip) Minangkabau tertua, belum ada yang lebih awal dari awal abad
ke-19 (Yusuf, 1994), yaitu setelah kertas Eropa, Belanda khususnya, digunakan
orang di Minangkabau.
Tidak
adanya sumber tertulis yang dibuat oleh orang Minangkabau, bukan berarti bahwa
orang Minangkabau tidak merekam sejarah mereka. Sebab, seperti yang juga
ditulis oleh Yusuf (1994), dan Mestika Zed (2002), teks-teks kuno yang hingga
saat ini masih dapat ditemukan di dalam masyarakat Minangkabau, terutamanya
adalah teks lisan, yaitu teks yang aslinya misalnya masih ada pada Tukang Kaba,
Tukang Selawat, Tukang Hikayat, Tukang Dendang, dan para pemangku adat dalam
bentuk ingatan.
Kalaupun
kemudian aksara Jawi sudah digunakan, keremangan sejarah Minangkabau, termasuk
sejarah Kerajaan Pagaruyung, tidaklah langsung berubah menjadi terang, bahkan
mungkin bertambah suram. Ini terjadi karena manuskrip-manuskrip yang (dianggap
dan diharapkan) berisi teks “sejarah” , seperti tambo dan Hikayat Tuanku nan
Muda Pagaruyung ternyata penuh dengan penuh dengan cerita atau mitos (Cf.
Mestika Zed 2002). Akan tetapi, walaupun
dari sudut pandang filologi dan kesusastraan tambo dan kaba yang penuh
dengan mitos dipandang sebagai salah satu genre susastra tradisional, dalam
sudut kajian historiografi kedua genre
susastra tersebut tetap dapat dipandang sebagai penulisan sejarah yang awal.
Hal ini tidak saja berlaku di dalam tradisi Nusantara, tetapi juga, seperti
yang juga dikemukakan oleh Mestika Zed,
di mana pun di penjuru dunia ini, termasuk di dunia Barat, semua
penulisan sejarah yang paling awal disampaikan dalam bentuk literer (sastra).
Persoalan
yang muncul adalah mungkinkah mitos atau cerita mengandung peristiwa-peristiwa
yang faktual? Karena mitos adalah produk budaya masyarakat tertentu, dan kalau
pun diciptakan oleh seseorang yang anonim, dan pencipta tersebut adalah anggota
suatu masyarakat, maka menurut teori susastra, pastilah cerita berangkat dari
fakta-fakta sosial. Ringkasnya, sebuah cerita sangat mungkin berisi sejarah
sosial masyarakat pendukungnya. Akan tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah
bagaimana fakta historis itu dapat ditemukan kembali.
Jika
studi sejarah (yang ilmiah dan kritis) dengan disertai bantuan arkeologi,
epigrafi dan paleografi dapat memberikan penjelasan yang memuaskan banyak orang
tentang sejarah kerajaan Pagaruyung, agaknya mempersoalkan apalagi mencari
jawaban untuk persoalan di atas merupakan pekerjaan yang sia-sia. Akan tetapi,
nyata sekali banyak tulisan tentyang kerajaan di Minangkabau pada masa lalu
itu, termasuk yang mengutamakan pendekatan arkeologis sekalipun, justru
menyertakan tinjauan mitologis sebagai alat bantu. Barangkali cara ini ditempuh
karena selain teks, tidak ada lagi sumber sejrah dan kebudayaan yang paling
handal dalam mentransmisikan peristiwa dari masa lalu sampai pada saat yang
akan datang.
Seperti
sebuah lingkaran syetan, jebakan tautologis langsung menghadang ketika prasasti
yang berisi epigraf sebagai situs ternyata mengandung banyak hal yang
mitologis, atau sekurang-kurangnya fiktif dalam pengertian literer.
Salah
satu contoh yang menarik dan langsung berkenaan dengan kerajaan Pagaruyung
adalah “ Perpindahan Pusat Kerajaan Melayu ke Pedalaman Sumatra Barat”, kertas
kerja yang ditulis oleh Bambang Budi Utomo dari Pusat Penelitian Arkeologi.
Dalam kertas kerja yang disampaikan pada ceramah Arkeologi di museum
Adityawarman pada bulan Maret yang lalu. Selain menggunakan sumber-sumber yang
“dapat dipercaya” seperti situs, arsip dan dokumen-dokumen lain, tulisan ini
juga menggunakan penulisan sejarah yang literer, yaitu Kitab Nagarakretagama,
dan Kitab Pararaton atau yang semi literer seperti Catatan I-tsing dari tahun
672 Masehi, serta Kitab Sejarah Dinasti Tang (abad 7-10 Masehi) (Budi Utomo,
2002).
Dalam
Kitab Sejarah Dinasti Tang dan Catatan I-tsing itu misalnya, kutip Budi Utomo,
orang Cina menyebut Melayu dengan Mo-Lo-Yeu. Dari segi linguistik, hal ini
sangat mungkin. Namun, mungkinkah Sriwijaya disebut dengan Shih-li-fo-shih dan
San-fo-tsi? Pakar linguistik barangkali dapat memberi jawaban.
Bukan
hanya Kitab Nagarakretagama dan Pararaton,
karya-karya literer di Nusantara yang sering dijadikan bahan rujukan
atau setidaknya pembanding untuk studi sejarah. Karya-karya lain yang dapat
disebut sebagai contoh di sini adalah Babad Tanah Jawi, Hikayat Banjar, Hikayat
Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Tuhfat Al-Nafis, dan tentu saja Kaba
Cindua Mato (Lihat Timothy P. Barnard, 1994 : 7-41).
Berdasarkan
studinya terhadap prasasti, situs di daerah sepanjang aliran Batanghari,
dokumen-dokumen serta tulisan lain, termasuk kedua kitab sastra yang telah
disebut di atas, dan dengan didukung oleh ulasan mengenai keadaan geografi
sebagai pendukung sumber ekonomi sebuah kerajaan, Bambang Budi Utamo berkesimpulan bahwa Pagaruyung
merupakan kelanjutan kerajaan Melayu Jambi. Menurutnya, kerajaan Melayu
sekurang-kurangnya telah tiga kali memindahkan pusat kerajaan. Yang pertama
berpusat di sekitar kota Jambi sekarang, kemudian ke Padangroco, Sawah Lunto,
dan terakhir di daerah Pagaruyung di Batusangkar, Sumatra Barat.
Kesimpulan
itu agaknya menyebabkan tabir Pagaruyung semakin gelap. Sebab, pertama, kata
Pagaruyung di Batusangkar mengacu ke sebuah istana yang dibangun oleh Pemda
Sumatra Barat pada pertengah tahun tujuh puluhan. Kedua, di dalam Kitab
Nagarakretagama yang juga dirujuk oleh Budi Utomo, terungkap bahwa Kerajaan
Minangkabau, yang selalu disamakan dengan kerajaan Pagaruyung, sebenarnya
merupakan kerajaan yang berbeda dengan kerajaan Melayu.
Sebagai
yang dikutip oleh Budi Utomo (2002), di dalam Nagarakretagama, pupuh XII:1 dan 2 tertulis:
- Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Malayu: Jambi dan Palembang, Karitan, Teba, dan Dharmasraya pun juga ikut disebut, Kandis, Kahwas, Manangkabwa, Siyak, Rkan, Kampar dan Pane, Kampe, Harw, dan Mandahiling juga Tumihang, Parlak dan Barat.
- Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampung dan Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.
Dengan
demikian, perbincangan mengenai sejarah kerajaan Pagaruyung, hingga saat ini
tampaknya masih sangat menarik.
Dengan
judul seperti tertera, dan karena telah banyaknya tulisan sejarah—dengan
berbagai kualitasnya--tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mengimbangi kajian
historiografi, apa lagi penulisan sejarah yang kritis. Dengan menggunakan pendekatan filologi—studi
kebudayaan berdasarkan teks yang terdapat di dalam manuskrip—tulisan ini akan
membentangkan lokasi kerajaan Pagaruyung. Selayaknya dalam pendekatan
filologis, pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini juga didukung oleh
antropologi, sejarah, bahasa, dan kesusastraan, serta secara lebih khusus,
agama.
Dengan
memandang manuskrip Or. 8539 naskah koleksi Perpustakaan Universitas Leiden
merupakan karya sastra, maka tulisan ini lebih dimaksudkan sebagai bahan curah
gagas (brainstorming).
Kaba Cindua Mato (Hikayat Tuanku nan Muda
Pagaruyung)
Di
kalangan masyarakat Miangkabau, cerita yang sampai sekarang masih sering
dikaitkan dengan sejarah kerajaan Pagaruyung adalah Hikayat Tuanku Nan Muda
Pagaruyung atau Sejarah Tuanku Rang Mudo. Dalam versi lisan, cerita ini juga
sangat populer dengan kaba Cindua Mato. Kaba ini, seperti yang pernah
dikemukakan oleh Mansoer (1970)71) juga dikenal dengan dengan Mitos Bundo
Kanduang dan Cindua Mato, atau kaba
Curito Bundo Kanduang jo Cindua Mato.
Kaba—termasuk
yang klasik seperti Cindua Mato—merupakan salah satu genre (ragam) seni susastra tradisional yang hingga pada saat ini
masih populer di kalangan masyarakat Minangkabau. Ragam seni lainnya yang
dimiliki oleh masyarakat ini antara lain adalah tambo dan hikayat (karya berbentuk prosa), pantun, pepatah-petitih, mamangan, bidal,
mantra, dan zikir (mengambil bentuk puisi), selawat
dulang atau selawat talam (dalam
bahasa Minangkabau dikenal dengan salawaik
dulang, salawaik talam, atau batalam).
Secara
etimologis, kaba diduga berasal dari
kata khabar, akhbar, dan khabarun. Namun, perbedaan itu tidak
menggeser pendapat umum yang mempercayai bahwa kaba merupakan kata pinjaman yang berasal daari bahasa Arab.
Agaknya perbedaan itu muncul disebabkan kabar, pesan, berita, atau warta
sebagaimana yang dimaksudkan di dalam bahasa Indonesia, di dalam bahasa Arab
diungkapkan dengan kata al-khabar,
bentuk tunggal, dan akhbarun, dalam
bentuk ajamak (Munawir, 1973; Nuh, 1974:142).
Sebagai
suatu istilah, kaba menunjuk suatu
ragam susastra tradisional lisan Minangkabau yang biasa disampaikan oleh tukang kaba, sijobang (Phillips, 1980, 1981).
Agak berbeda dari pendapat Phillips, Junus (1984:17) berpendapat bahwa
istilah kaba menunjuk suatu ragam
susastra tradisional Minangkabau yang dapat disampaikan oleh tukang kaba. Dengan demikian, secara
umum dan ringkas dapat dikatakan bahwa kaba
adalah cerita, sebuah fiksi.
Sehubungan
dengan posisi yang dimiliki tukang kaba,
setidaknya terdapat dua prinsip utama
yang dipegangnya. Prinsip tersebut, sebagai mana halnya yang berlaku
didalam tradisi lisan, diwarisi oleh tukang
kaba dari para pendahulu mereka. Biasanya prinsip itu dipegang oleh para tukang kaba dalam bentuk pantun seperti
dibawah ini :
Banda
urang kami bandakan
Padi barapak di halaman
Kaba urang kami kabakan
Duto urang kami ‘ndak sanan
(Parit orang kami gunakan
Padi terlihat di halaman
Kabar orang kami kabarkan
Dusta orang kami tidak ikut (dusta))
Variannya:
Banda urang kami bandakan
Padi barapak di pamatang
Disaok daun jerami
Kaba urang kami kabakan
Antah talabiah jo takurang
Hanyo
parintang-rintang hati
(Parit orang kami gunakan
Padi disusun di pematang
Ditutupi (daun) jerami
Kabar orang kami kabarkan
Entah lebih, entah kurang
Hanya (untuk) perintang hati)
Varian
Lain Lagi:
Banda
urang kami bandakan
Padi barapak di pamatang
Disaok daun jerami
Kaba urang kami kabakan
Elok talabiah asa jan tajurang
Taro parintang-rintang hati
(Parit orang kami gunakan
Padi disusun di pematang
Ditutupi (daun) jerami
Kabar orang kami kabarkan
Elok lebih asal jangan kurang
Sementara perintang-rintang hati)
Di
dalam tugasnya sebagai penyampai cerita, tukang
kaba tidak bertanggung jawab atas kebenaran maupun ketidakbenaran yang
terdapat dalam cerita yang disampaikannya. Disamping hal tersebut, seandainya
cerita tersebut mengandung dusta, dalam hal ini dusta itu bukan miliknya;
tukang kaba tidak ikut bertanggungjawab atas dusta yang (mungkin) tersampaikan
lewat kaba itu.
Prinsip
yang kedua tukang kaba, seperti
diwakili oleh pantun kedua, adalah sebagai penghibur. Pada posisi ini, tukang kaba tidak lagi sekedar
menyampaikan cerita orang lain apa adanya, tetapi sekaligus telah menambah dan
(atau) menguranginya. Dapat dikemukakan disini bahwa seorang penyampai cerita
dalam hal ini sekaligus bertindak sebagai seorang pengarang. Mengacu pendapat
Amin Sweeney (1980 : 41-62, 1987 : 106-137), maka seorang tukang kaba berlaku sebagai pengarang (penulis) dan juru cerita
didalam tradisi susastra lisan Melayu.
Di
dalam kaba, kedua unsur yang disebut
diatas selalu hadir bersamaan. Dengan demikian, kaba merupakan ketegangan
antara “milik masyarakat” dan “milik pribadi tukang kaba”.
Pada
teks kaba tertulis yang berupa naskah
prinsip utama yang dipegang tukang kaba tetap dapat ditemukan.
Pagaruyung: Antara Sejarah dan Fiksi
Pembicaraan
dan tulisan tentang kaba Cindua Mato dari sudut pandang sejarah, telah banyak
dilakukan. Salah satu tulisan yang sangat menarik adalah “Some Notes on the
Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Traditional Literature” karya
Taufik Abdullah (1970) yang dimuat di dalam majalah Indonesia, nomor 9. tulisan ini diterjemahakan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Mien Joebhaar menjadi “Beberapa Catatan mengenai Kaba Cindua
Mato, Sebuah Contoh dari Sastra Tradisional Minangkabau”, dan dimuat di dalam Majalah Kebudayaan Minangkabau, nomor
3-4, tahun 1974. Di dalam tulisan yang selalu dirujuk oleh penulis lain yang
berbicara tentang cerita Cindua Mato ini diungkapkan penafsiran penulisnya
mengenai beberapa segi pandangan duniawi masyarakat Minangkabau yaitu suatu
persoalan yang berkenaan dengan falsafah adat Minangkabau.
Juga
diungkapkan di dalam tulisan itu adalah bahwa cerita kaba Cindua Mato memiliki watak mistik. Watak ini memberi tekanan
kepada kelembagaan syarak (hukum agama) dalam susunan politik Minangkabau.
Sebagai mitos utama negara Minangkabau, kaba
Cindua Mato mungkin merupakan transformasi dari suatu karya fiksi menjadi mitos
atau merupakan penjelmaan dari tokoh-tokoh sejarah (Abdullah, 1970 : 22).
Pembicaraan Abdullah ini didasarkan kepada kaba
Cindua Mato atau Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung edisi Van der Toorn
(1891A), edisi Dt. Garang (1904), dan edisi Dt. Sangguno Diradjo (1923).
P.
E. De Josselin de Jong dalam bukunya Minangkabau
and Negri Sembilan Socio-Political Structure (Den Haag: Martinus Nijhoff,
1980) juga menggunakan kaba Cindua
Mato edisi Van der Toorn (1891A) sebagai landasan kajiannya yang berkenaan
dengan masalah organisasi politik serta posisi matrilineal dan patrilineal. Di
dalam konteks masyarakat Minangkabau, menurutnya, di dalam hal itu sering
terjadi inter-relasi satu sama lain (De Jong, 1980 : 97-115).
Di
dalam bukunya Alam Terkembang Jadi Guru,
Adat dan Kebudayaan Minangkabau
(1984) Navis juga menyinggung mitos Cindur Mata dalam pembicaraannya mengenai kaba. Di dalam hal ini, Navis (1984 :
243-252) antara lain mengungkapkan bahwa satu-satuny kaba yang mungkin merupakan epos suatu sejarah ialah kaba Cindua Mato. Navis (1984 : 250) juga menambahkan:
Jikalau
kisah Cindur Mato dapat dikatakan sebagai satu-satunya episode sejarah
Minangkabau yang dikisahkan kaba, maka hal itu harus dilihat pada latar
belakang Cindur Mato sebagai anak inang pengasuh yang ditonjolkan sebagai
pembela Kerajaan
Minangkabau.
Umar
Junus, dalam bukunya Sosiologi Sastera,
Persoalan Teori dan Metode (1986) antara lain mengungkapkan bahwa kaba Cindua Mato, Sejarah Melayu, dan
Hikayat Raja-raja Pasai berlawanan dengan karya-karya susastra Melayu Klasik
lainnya yang memiliki patronage
karena penulis istana dikatakan dibiayai oleh raja. Pada Cindua Mato, Sejarah
Melayu, dan Hikayat Raja-raja Pasai diperlihatkan kemungkinan adanya keadaan
sebaliknya. Ketiga karya ini mencela raja dan bukan mengenai raja yang
memerintah, tetapi raja yang telah lampau. Kaba Cindua Mato tidak lagi sebagai
karya susastra lama yang dianggap sebagai mitos pengukuhan. Paling kurang,
cerita ini pada hakikatnya tidak lagi mengagungkan raja begitu saja (Junus,
1984 : 8-11).
Karya
lain yang menyinggung kaba Cindua
Mato adalah hasil penelitian terhadap kaba di Minangkabau yang dilakukan oleh
Syamsudin Udin dkk. (1986). Di dalam studi deskriptif itu, dengan menggunakan Tjindua Mato karya St. Rajdo Endah
(1961) sebagai obyek penelitian, disimpulkan bahwa tema cerita Cindua Mato
adalah masalah upaya dan prosedur pelaksanaan hukum dan mendapatkan keadilan di
dalam mekanisme pemerintahan Minangkabau (Udin, dkk. 1986 : 217-229).
Penelitian
yang dibukukan dengan judul Identifikasi Tema dan Amanat Kaba Minangkabau itu
kemudian diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud,
pada tahun 1987 dengan judul “Struktur Kaba Minangkabau”. Kecuali bagian yang
memuat pembicaraan tentang gaya bahasa, pada dasarnya di dalam kedua buku itu
dimuat persoalan yang sama.
Di
dalam bukunya Sastra Nusantara, Bakar
Hatta (1982 : 37-44) memasukkan kaba Cindua mato sebagai karya susastra Melayu
yang berbentuk hikayat. Di dalam buku itu juga disebutkan bahwa Hikayat Cindur
Mata merupakan karya sastra sejarah yang mengandung dongeng. Tulisan yang
langsung mengaitkan Cindua Mato dengan kerajaan Pagaruyung adalah tulisan
Asmaniar Idris (2002).
Dari
uraian di atas, barangkali dapat disimpulkan bahwa sebagai fiksi, cerita Cindua
Mato sering pula dinilai sebagai karya sejarah, dan dalam ini adalah sejarah
kerajaan Pagaruyung. Sayang sekali, penelitian-penelitian ini tidak mengupas
unsur-unsur kesejarahan tersebut dengan pendekatan filologi dengan bantuan ilmu
susastra secara baik. Padahal, ulasan terhadap struktur cerita ini paling tidak
dapat menjelaskan informasi sebagai berikut,
Pertama, dari segi latar
Di
dalam banyak manuskrip, cerita Cindua Mato sering dibuka dengan:
Pada
suatu masa, adalah seorang raja perempuan di dalam ulak Tanjuang Bungo, di dalam alam Minangkabau, di dalam koto Pagaruyuang, bernama Parik Koto
Dalam.
Ketika
Dang Tuanku (putra makota Pagaruyung) akan mengadu ayam Kinantan, pegawai
istana kemudian menjemput Juaro Medan Labiah yang bertempat tinggal di Solok,
Kampuang Dalam.
Meskipun
nama Tanjuang Bungo mengacu ke beberapa tempat, berdasarkan arah perjelanan
Cindua Mato ke Sungai Ngiang dan Ranah Sikalawi yang menuju Timur, melalui
Tapuang Kiri dan Tapuang Kanan, (ke arah Timur) ada dua tempat yang ditunjuk
tek situ, yaitu daerah di sekitar Suliki, dan satu lagi di sekitar Kapur
Sembilan, kedua-duanya berada di Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Jika
Tanjung Bungo diarahkan ke Kapur Sembilan, kelemahannya adalah bahwa wilayah
karajaan ini terlalu sempit. Sebab batas alam Minangkabau mencakupi Sialang
Balantak Basi (di Kapur Sembilan). Lagi pula, di sekitar tempat ini, dusun
Solok tidak ada. Yang ada adalah Solok Sibio-Bio.
Kedua, dari Sudut Bahasa
Kosa
kata seperti bantiang (sapi), damar, kemenyan, ambalau (getah untuk mengganjal
hulu pisau), permainan sepak raga, manau (jenis rotan), parik rantang (parit
yang digunakan sebagai bunker), balairung Tanjuang Jati, binuang, padang
nunang, emas, tembakau, alam-alam (untuk panji-panji), adat Limapuluh, adalah
kosa kata yang sangat akrab dengan dialek Payakumbuh. Oleh karenanya, lokasi
kerajaan, meskipun berbeda, tetap tidak bergeser dari daerah sekitar
Payakumbuh.
Jika
hanya satu manuskrip yang memuat kosa kata itu, barangkali hal ini disebabkan
oleh penulis atau penyalinnya memang berasal dari Payakumbuh. Akan tetapi, dari
lebih duaapuluh lima naskah (Lih. Yusuf, 1994) memuat kosa kata itu.
Dari sudut watak mistik
Sejalan
dengan penilaian Taufik Abdullah, cerita Cindua Mato seharusnya memang dipahami
lewat watak mistik Islamnya. Tanpa memahami watak mistik itu, agaknya pemahaman
terhadap Cindua Mato yang melihat dengan jahir, dan Dang Tuanku yang selalu
melihat dengan bathin—dua tokoh yang mempunyai dua tubuh dan satu nyawa
ini—bisa tersesat. Apalagi di dalam teks juga sering disebut bahwa Dang Tuanku
adalah wakil Tuhan di atas dunia (khalifatullah). Soal-soal lain yang pelik
juga dimuat di dalamnya, misalnya tentang sorga yang delapan pangkat, kemudian
melihat sorga di atas dunia (untuk melihat Dang Tuanku dan Cindua mato yang
berpakaian kebesaran mereka).
Sejalan
dengan cerita asal usul orang Minangkabau yang dimuat di dalam tambo alam Minangkabau, raja Minangkabau
dilukiskan dengan:
Raja berdiri sendirinya. Sama terjadi
dengan alam imi. Timbalan Raja Benua Rum, timbalan Raja benua Cina, timbalan
raja di lautan.
Mengapa
mesti benua Rum dan Cina?
Dengan
sangat menarik, dalam dalam tulisannya Jaringan
Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Azyumardi
Azra (1994) menjelaskan bahwa hal itu berkaitan dengan konsepsi penciptaan yang
jelas dipengaruhi oleh teori emanasi dalam filsafat Islam dan Tasawuf. Rum
dalam teks itu tidak mengacu ke Roma tetapi ke Benua Roma (Turki Utsmani) yang
sejak abad ke-13 telah menciptakan momentum hubungan Nusantara dengan Timur
Tengah. Sebagai catatan, jalur internasional yang digunakan pawa waktu itu
adalah Selat Malaka. Suatu jalur yang dengan sangat mudah dapat sampai ke
Payakumbuh dan Suliki melalui beberapa sungai, seperti Siak, Kampar, Tepung,
dan Sungai Rokan.
Menelusuri
jalur penyebaran agama, kemudian mengaitkannya dengan pencerita yang juga guru
agama, serta artepak tarikat Samaniah—dengan ratik Saman-nya—yang masih ada di
sekitar Rao (di sebelah Utara, Suliki). Hingga sekarang, jalur ini secara
tradisional, yaitu dengan kuda beban dan perahu, masih tetap hidup. Orang
misalnya setiap Sabtu turun dari Tombang dan Sopan di Bukit Barisan dalam
wilayah Rao, menuju Kuamang daan Pasar Tapus untuk berbelanja. Dari Tombang,
juga dari Padang Nunang di Rao, jalur tradisional juga masih terbuka menuju
Ujung Batu dan Rokan di Riau sekarang. Turuk dari Tombang, kemudian menelusuri
Muara Sungai Lolo, orang juga bisa sampai ke
Mahat, Suliki, Kapur Sembilan, di kabupaten Limau Puluh Kota, sebuah
sketsa perjalanan biasa yang terdapat di zaman Cindua Mato.
Kembali dari Segi Bahasa
Mengapa
Rao yang lebih dekat dengan Mandahiling menggunakan bahasa Minangkabau, bahkan
mendekati dialek Payakumbuh? Barangkali jalur tradisional dan kedekatan
hubungan mereka—seperti cerita Cindua Mato yang masih hidup di sana—itulah yang
menjadi kunci jawaban. Jika kemudian putri Dang Tuanku (Raja Pagaruyung)
kemudian menjadi raja Rao—menurut cerita tentu saja—barangkali hal ini
digunakan sebagai kedekatan hubungan raja-raja di wilayah Rao dengan kerajaan
Pagaruyung yang tidak jauh dari jalur itu.
Di
dalam dialek Rao pulalah kata ulak
yang berarti di sebelah hilir masih
hidup. Dengan begitu, bisa dipahami bahwa—menurut Tukang Kaba—lokasi kerajaan
Pagaruyung adalah di hilir Tanjuang Bungo, yaitu ke Kampuang Dalam di
Limbanang, atau ke Andiang, dekat dengan Mahat.
Melalui
Surat-surat
Seperti
juga yang tertulis di dalam Kitab Nagara Kretagama, di dalam kaba Cindua Mato,
jelas kerajaan Pagaruyung di dalam alam Minangkabau berbeda dengan kerajaan
Jambi atau, dan kerajaan Jambi. Hal ini dapat dilihat, ketika Dang Tuanku dan
Cindua Mato melangsungkan perkawinan masning-masing dengan Puti Bungdu anak
Tuanku Rajo Mudo di Ranah Sikalawi, dan Puti Lenggo Gini, anak Datuak Bandaro
di Sungai Tarab, Dang Tuanku mengirim surat yang dialamatkan ke::
1.
Negeri
Rao
2.
Pariaman
3.
Kualo
4.
Kualo,
Batanghari
5.
Siak,
Indogiri
6.
Jambi
7.
Sungai
Pagu
8.
Selat
Indopuro
9.
Aceh
Hal
itu dapat diartikan bahwa kerajaan Pagaruyung di Minangkabau bukanlah
kelanjutan kerajaan Adityawarman. Bahkan bisa jadi, kerajaan di Gudam, Balai
Janggo—lokasi istana Pagaruyung sekarang—sebagaimana diseceritakan tukang kaba
adalah wilayah yang diklaim sebagai wilayah kerajaan Alam Minangkabau.
Pendukung Kerajaan
Jika
harus ada sebuah kerajaan, bagaimana mereka mencukupi kebutuhan
ekonominya? Di dalam cerita Cindua Mato,
basis ekonomi sebuah kerajaan juga tidak berbeda dengan pandangan para ahli
sejarah. Tanpa mengabaikan pendapat Bambang Budi Utomo (2002) bahwa Saruaso
sangat layak, wilayah Suliki dan bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan
Rao dan Rokan, juga merupakan daerah, yang hingga saat ini, bahkan dari dahulu,
kaya dengan manau, kemenyan, damar, kayu gaharu, kayu madang, serta lada, nilam
dan emas.
Dari
segi pertahanan, barangkali Kampuang Dalam di Limbonang, Payakumbuh, sangat
mungkin dijadikan lokasi kerajaan Pagaruyung. Hingga sekarang, selain banyak
negeri bernama Kubu, juga ada parit rentang, yang di dalam cerita Cindua Mato
digunakan sebagai bunker pertahanan setelah dipagari dengan kayu, dan bambu
yang diikat dengan manau.
Artefak
bahasa yang lain yang mengacu kepada informasi mengenai wilayah Suliki sangat
mungkin menjadi lokasi kerajaan Pagaruyung pada sekitar abad ke-14-18 adalah
Talago (Telaga, tempat pemandian putri), Pandam Gadang (kuburan masal), tari
elang, serta tempat-tempat terbuka, daan gua yang dijadikan tempat peribatan
(Islam).
Akhirul Kalam
Masih
banyak hal yang dapat didiskusikan. Misalnya, mengapa nama daerah atau desa
Pagaruyung tidak ada?
Seperti
Puak Data (di Suliki) yang bertukar dengan Koto Tinggi, dan Fort de Kock
menjadi Bukittinggi, Fort van der Capellen menjadi Batusangkar, atau Emma Haven menjadi Teluk Bayur,
barangkali waktu juga telah merubah Pagaruyuang menjadi sesuatu yang lain.
Mudah-mudahan negeri itu tidak lenyap karena banjir atau karena buatan tangan
manusia.
Sekali
lagi, tulisan ini merupakan kajian filologis, bukan kajian sejarah. Jadi
menurut Tukang Kaba, Tukang Cerita, agaknya lokasi Pagaruyuang berada di
sekitar Suliki.
Pustaka
Abdullah,
Taufik: 1970 “Some Notes on the Kaba Tjindua Mato: An Example of Minangkabau
Traditional Literature”, dalam Indonesia No.
9. (April). Cornel: Modern Indonesia Project.
1974 “Beberapa
Catatan mengenai Kaba Cindua Mato” (Terjemahan dari “Some Notes on the Kaba
Tjindua Mato: An Example of Minangkabau Traditional Literature”, Indonesia No. 9. April 1970) oleh Mien
Joebhaar dalam Majalah Kebudayaan
Minangkabau No.3-4. Thn. I. Jakarta: Yayasan Kebudayaan Minangkabau.
De Jong, P.
E. De Josselin: 1980 Minangkabau and
Negri Sembilan, Socio-Political Stucture in
Indonesia. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff (Third Impression).
Dt. Garang: 1904 Tjindur
Mata. Malaya: t. p.
Dt. Sangguno
Diradjo, Ibrahim Gelar: 1923 Hikajat Tjindur Mata. Jilid I. Fort de
Kock (Bukittinggi): H. Chalidi Ahmad Thaib.
Hatta, Bakar: 1982 Sastra
Nusantara, Suatu Pengantar Studi Sastra Melayu. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Munawir,
Ahmad Warson: 1973 Al-Munawir Kamus
Arab-Indonesia. Yogyakarta: YAPPI-SINTA Pondok Pesantren Krapyak.
Navis, A. A.:
1984 Alam Takambang Jadi Guru, Adat dan
Kebudayaan Minagkabau. Jakarta: Grafiti Press.
Junus, Umar: 1986
Sosiologi Sastera, Persoalan, Persoalan
Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pelajaran Malaysia.
Barnard,
Tomothty: 1994. Raja Kecil dan Mitos
Pengabsahannya (Terjemahan Aladin dan Al Azhar). Pekanbaru: Pusat Pengajian
Melayu Universitas Islam Riau.
Budi Utomo,
Bambang: 2002. “Perpindahan Pusat
Kerajaan Malayu ke Pedalaman Sumatra Barat” (Makalah yang disampaikan pada
Ceramah Arkeologi di Museum Adityawarman, Padang).
Imran, Amrin:
2002. “Periodisasi Sejarah Minanghkabau”. dalam Kamardi Rais Dt. P. Simulie.
2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau.
Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia dan LKAAM Sumbar.
Mansoer,
Masyarakat D: 1970. Sedjarah Minangkabau. Djakarta: Bhratara.
Mestika Zed: 2002.
“Orang Minang Menulis Sejarah Mereka: Sebuah Catatan Pengantar: dalam Kamardi
Rais Dt. P. Simulie. 2002. Menelusuri
Sejarah Minangkabau. Padang: yayasan Citra Budaya Indonesia Dan LKAAM
Sumbar.
Nuh, Abd.
Bin, dan Oemar Bakry: 1974. Kamus Indonesia-Arab-Inggris. Jakarta:
Mutiara. Cet. Ke-4.
Phillips,
Nigel: 1980 . “The Performance of Sijobang”, Archipel 20.
1981. Sijobang,
Sung Narrative Poetry of West Sumatra. Cambridge: Cambridge University
Press.
St. Radjo
Endah, Sjamsuddin: 1961. Kaba Tjindua
Mato. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Sweeney, Amin:
1980. “Authors and Audience in Traditional Malay Litterature”, dalam Monograph Series. No. 20. Berkeley:
University of California Press.
1987. A Full Hearing, Orality
and Literacy in the Malay World. London: University of California Press,
Ltd.
Toorn, J.L.
van der: 1886. “Tjindoer
Mato, Minangkabausch-Maleisch Legende”, dalam Verhandelingen van Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Deel XLV. Batavia: Albrecht & Rose.
Udin,
Syamsuddin, dkk: 1986. Identifikasi Tema dan Amanat Kaba Minangkabau. Padang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penelitian Sastra Indonesia dan
Daerah Sumatra Baratr.
Yusuf, M: 1994.
“Persoalan Transliterasi dan Edisi Hikayat Tuanku Nan Muda Pagaruyung (Kaba
Cindua Mato)” (Tesis untuk mencapai gelas Master pada Program Studi Ilmu
Susastra, PROGRAM Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar