Selasa, 21 Januari 2014

Dalam Kaba, Orang Minang Sukses Merantau



OLEH YUSRIWAL
Peneliti di Fakultas Sastra Unand
Adaptasi kaba Lareh Simawang
Minangkabau banyak memiliki tradisi lisan. Tradisi ini masih hidup dan berkembang sampai sekarang. Untuk beberapa contoh dapat disebutkan, antara lain rabab pasisia, yaitu cerita yang dinyanyikan dengan iringan alat musik rabab, dendang pauah, cerita yang dinyanyikan dengan iringan saluang; basimalin, menyanyikan cerita Malin Deman; basijobang, menyanyikan cerita Anggun nan Tungga Mogek Jobang dengan iringan kecapi atau ketukan kotak korek api yang dipukulkan ke lantai dengan cara tertentu.

Cerita yang dinyanyikan itu biasanya kaba yang diketahui secara luas oleh masyarakat pendukungnya. Di sini kaba menjadi penting artinya: tanpa kaba, dendang pauah, dan lainnya itu tidak akan pernah ada.
Sebagai karya sastra, kaba mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakatnyasastra merupakan refleksi dari masyarakatnya. Kaba sebagai sastra lisan Minangkabau, dengan demikian juga merefleksikan budaya Minangkabau: budaya merantau.
Orang Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya. Sekurangnya sudah terbit dua buah buku dari hasil penelitian tentang budaya merantau orang Minangkabau tersebut: buku pertama ditulis oleh Mochtar Naim yang berjudul Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau diterbitkan oleh UGM University Press 1984 dan buku kedua ditulis oleh Usman Pelly berjudul Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing diterbitkan LP3ES 1994. Kedua buku tersebut merupakan disertasi yang berarti kesahihannya telah teruji.
Tulisan ini akan membicarakan budaya merantau dalam kaba: melihat bagaimana hubungan antara budaya merantau yang  ada dalam kaba dengan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra. Alan Swingewood membagi sosiologi sastra dalam tiga wilayah kajian, yaitu sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Dalam konteks ini penekanan diberikan pada wilayah kedua yang dikemukakan Swingewood di atas, yaitu sosiologi karya. Menurut Umar Junus, sosiologi karya mempunyai cara kerja yang boleh mulai dari mana saja. Ia boleh dimulai dari motif dan kemudian menghubungkannya dengan masyarakat pendukung sastra tersebut. Motif dapat pula berupa tema, tokoh, watak tokoh, atau apa saja yang dapat dianggap sebagai motif.
Anggapan Orang Minangkabau Terhadap Kaba
Untuk melihat bagaimana anggapan orang Minangkabau terhadap kaba dapat dilihat pada bait pantun berikut:
Pilin bapilin rotan sago
Kaik bakaik aka baha
Sajak di langik tabarito
Tibo di bumi jadi kaba

Balaia kapa dari subarang
Banyak mambao suto-suto
Balabuah tantang Pariaman
Baitu kaba kato urang
Duto urang ambo indak sato
Bohong urang ambo tak sinan
Maksud bait pertama pantun di atas adalah bahwa cerita itu datang dari langit. Ceritanya terjadi begitu saja. Ia akan menjadi cerita setelah diceritakan tukang kaba. Bait kedua berarti bahwa tukang kaba hanya menceritakan cerita yang didapatnya dari orang lain. Seandainya cerita itu tidak benar atau bohong, tukang kaba tidak ikut bertanggung jawab.
Bait pertama itu biasanya terdapat pada awal (pembukaan) kaba, sedangkan bait kedua digunakan untuk mengakhiri cerita. Jadi, tukang kaba menggunakan bait-bait itu sebagai alasan untuk melepaskan tanggung jawab terhadap isi cerita.
Hal itu tidak hanya dijumpai pada kaba, karya sastra modern pun juga menggunakan hal yang sama. Seandainya pengarang ingin menghubungkan suatu karya dengan peristiwa yang pernah terjadi, maka pengarang tersebut akan menulis di awal novelnya: “Cerita  dalam novel ini adalah fiktif belaka, kalau ada nama-nama tokoh dan tempat yang sama, hanyalah kebetulan belaka”.
Dengan pernyataan itu, pembaca telah dituntun untuk tidak menghubungkan suatu karya dengan kenyataan yang sebenarnya. Dengan begitu pula, orang-orang yang terkait dan benar-benar mengalami peristiwa tidak berhak menuntut kepada pengarang.
Keadaan itu berlaku pula dalam masyarakat Minangkabau. Mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap tukang kaba yang membawakan kaba, yang tidak sesuai dengan adat dan sistem sosial Minangkabau. Sebagai contoh, mamak mempunyai peranan penting  dalam sistem sosial Minangkabau, tetapi ketika kaba-kaba Minangkabau banyak yang bercerita  tentang mamak yang tidak berperan sebagaimana mestinya, orang Minangkabau tidak mempersoalkannya.
Selain itu, pandangan orang Minangkabau terhadap kesenian secara umum juga mempengaruhi anggapan tersebut. Masyarakat Minangkabau menganggap kesenian sebagai permainan. Barandai, basaluang, dan kesenian lainnya itu mereka namakan dengan permainan anak nagari. Sebagai permainan, mereka boleh saja tidak mematuhi aturan-aturan permainan itu sendiri. Seorang anak randai (pemain randai) boleh saja meninggalkan kelompoknya yang sedang memainkan sebuah cerita, hanya untuk buang air kecil, misalnya. Hal itu sangat berbeda dengan kesenian di Bali umpamanya, mereka (masyarakat Bali) beranggapan bahwa kesenian adalah suatu peristiwa ritual yang tidak boleh melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya.
Orang Minangkabau tidak menganggap kesenian sebagai sesuatu yang sakral. Tidak ada aturan tertentu yang harus ditaati dengan tepat dan ketat dalam menampilkan kesenian. Ia boleh saja dipertunjukan sembarang waktu, dalam berbagai acara, dan dengan berbagai fungsi.
Tradisi Merantau dalam Kaba
Merantau bagi orang Minangkabau telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial maupun pribadi. Merantau telah terhujam jauh ke dalam kebudayaan mereka. Merantau dalam pengertian ini adalah sama dengan yang dikemukan Mochtar Naim (1984: 2-3), yaitu meninggalkan kampung halaman untuk jangka waktu tertentu dan kembali pulang. Secara etimologis, merantau berasal dari kata dasar “rantau” ditambah awalan me. Rantau adalah kata benda, sedangkan merantau adalah kata kerja. Dalam bahasa Minangkabau  “rantau” adalah daerah di luar daerah asal yang disebut luhak (Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto). Merantau berarti pergi dari daerah luhak ke daerah rantau. Pengertian ini akhirnya berubah menjadi “pergi ke daerah lain”. Orang dari Luhak Agam pergi ke Luhak Tanah Data, juga disebut merantau.
Ada beberapa kaba yang bercerita tentang merantau. Kaba- kaba tersebut antara lain: Anggun nan Tungga Magek Jabang, Gadih Ranti, Siti Kalasun, Umbuik Mudo, Manjau Ari, Nilam Cayo, dan Lembak Tuah.
Kaba Anggun nan Tungga Magek Jabang, bercerita tentang anak raja yang pergi mencari mamak-nya yang dikabarkan hilang. Mamak-nya dapat dia temukan, tetapi tunangannya melarikan diri karena Anggun nan Tungga Magek Jabang telah ingkar janji dengan mengawini gadis lain. Dalam perjalanan menyusul tunangannya itu, Anggun menjelma menjadi lumba-lumba putih dan tunangannya menjelma menjadi siamang (sejenis kera yang ekornya panjang) putih.
Kaba Gadih Ranti, menceritakan seorang pemuda bernama Bujang Saman yang telah bertunangan dengan Gadih Ranti. Angku Kapalo (kepala pemerintahan zaman Belanda) juga tertarik untuk mempersunting Gadih Ranti. Untuk dapat mewujudkan keinginannya,  Angku Kapalo menyingkirkan Bujang Saman dengan memerintahkannya ikut kerja rodi. Di tengah berjalan ke tempat rodi, Bujang Saman melarikan diri dan pergi merantau. Gadih Ranti setia menunggu kepulangan Bujang Saman. Setelah kaya Bujang Saman pulang dan kawin dengan Gadih Ranti.
Kaba Siti Kalasun, menceritakan tokoh Sabarudin dan Siti Kalasun. Mereka suami-istri, tetapi karena belum punya pekerjaan tetap, Sabarudin pergi merantau. Lama tidak ada kabar tentang Sabarudin, orang tua Siti Kalasun ingin mengawinkannya dengan orang lain, tetapi Siti Kalasun tidak mau. Setelah berhasil di rantau, Sabarudin pulang menemui Siti Kalasun. Untuk menguji kesetiaan Siti Kalasun, Sabarudin dengan menyamar sebagai orang miskin. Ternyata Siti Kalasun tetap menerima keadaan Sabarudin yang demikian. Akhirnya mereka hidup bahagia.
Kaba Umbuik Mudo, bercerita tentang seorang pemuda bernama Umbuik Mudo yang pergi menuntut ilmu. Pada suatu pesta, ia tertarik dengan seorang gadis yaitu Puti Galang Banyak. Dia meminta pada ibunya untuk melamar Puti Galang Banyak, tetapi lamarannya ditolak. Umbuik Mudo sakit hati dan memantra-mantrai Puti Galang Banyak hingga jatuh sakit. Obat satu-satunya untuk penyakit Puti Galang Banyak adalah Umbuik Mudo. Mereka kemudian bertunangan. Umbuik Mudo pergi lagi memperdalam ilmunya, sementara itu Puti Galang Banyak jatuh sakit dan meninggal. Umbuik Mudo pulang dan pergi ke makam Puti Galang Banyak, dengan ilmunya ia bisa menghidupkan kembali Puti Galang Banyak.
Kaba Manjau Ari, menceritakan seorang pemuda bernama Manjau Ari yang diusir orang tuanya karena hasutan orang lain. Di tempat pembuangannya, ia mendapat banyak ilmu. Kemudian ia kawin dan bahagia bersama istrinya setelah diangkat menjadi raja.
Kaba Puti Nilam Cayo, bercerita tentang seorang anak raja bernama Gombang Alam dan adiknya, yang diusir oleh orang tuanya karena dihasut oleh orang lain. Dalam pembuangan, mereka bertemu dengan seorang tua yang memberikan ilmunya. Mereka ditemukan oleh masyarakat yang sedang mencari pengganti raja mereka. Gombang Alam diangkat menjadi raja, kemudian menikah dengan Puti Nilam Cayo.
Kaba Lembak Tuah, menceritakan seorang pemuda bernama Sutan Lembak Tuah yang telah bertunagan dengan Siti Rabiatun. Tuanku Lareh Panjang Kuku (kepala kelarasan zaman Belanda) ingin pula mempersunting Siti Rabiatun. Untuk menyingkirkan Sutan Lembak Tuah, Tuanku Lareh Panjang Kuku memfitnah Sutan Lembak Tuah telah mencuri dengan menghadirkan saksi palsu. Sutan Lembak Tuah dipenjarakan di Bukittingi, kemudian dipindahkan ke Batavia. Karena baik, Sutan Lembak Tuah mendapat keringanan hukuman. Sekeluar dari penjara, ia diangkat menjadi mantri polisi. Akhirnya, ia diangkat menjadi Tuanku Damang di daerah asalnya dan kawin dengan Siti Rabiatun.
Dari beberapa kaba di atas dapat dilihat bentuk merantau orang Minangkabau. Pertama, untuk mendapatkan kekayaan seperti terlihat dalam Kaba Gadih Ranti dan Kaba Siti Kalasun. Kedua, untuk mendapatkan kekuatan seperti pada Kaba Manjau Ari dan Kaba Puti Nilam Cayo. Kekuatan yang dimaksudkan dapat berarti kesaktian dapat pula berupa kekuasaan atau kekuatan politis. Ketiga, untuk mendapat ilmu (kepandaian), seperti terlihat dalam Kaba Anggun nan Tungga Magek Jabang dan Kaba Umbuik Mudo. 
Di dalam Kaba Anggun nan Tongga Magek Jabang, ditemukan kasus yang agak berbeda dari kaba-kaba lainnya, dimana diceritakan tokoh yang merantau untuk mencari mamaknya yang hilang. Cerita ini merupakan cerita simbolis. Kata kuncinya terletak pada frase mamak yang hilang. Bagi orang Minangkabau, mamak mempunyai arti khusus. Kalau seorang anak Minangkabau  nakal, orang akan menanyakan siapa mamaknya, bukan bapaknya. Hal itu disebabkan oleh ajaran moral, adat, agama, dan pendidikan yang merupakan tanggung jawab mamak untuk mengajarkannya kepada kamanakan. Mamak yang hilang dapat berarti bahwa Anggun belum mendapat ajaran moral, agama, dan adat. Untuk itu, ia harus pergi merantau, mencari mamak yang hilang tersebut.
Dari segi bagaimana orang Minangkabau merantau, dapat pula dilihat dalam beberapa kaba berikut. Karena keinginan sendiri terlihat dalam Kaba Anggun nan Tungga Magek Jabang, Kaba Siti Kalasun, dan Kaba Umbuik Mudo. Merantau karena terpaksa dapat terjadi, seperti pada Kaba Gadih Ranti, Kaba Manjau Ari, Kaba Puti Nilam Cayo, dan Kaba Sutan Lembak Tuah. Satu hal yang jelas adalah bahwa merantau bagi orang Minangkabau  adalah untuk mendapatkan sesuatu, bisa berupa kekayaan, kekuatan, dan ilmu.
Memang tidak semua kaba bercerita tentang tokoh yang merantau. Kaba Rancak di Labuah, Kaba Lareh Simawang, dan Kaba Sutan Jainun tidak bercerita tentang merantau karena mereka (tokoh) telah memilki apa yang harus dicari di rantau. Rancak di Labuah adalah keturunan orang kaya, Lareh Simawang adalah orang yang mempunyai kekuasaan, sedangkan Sutan Jainun adalah orang terpandang dalam masyarakat.
Ketiga kaba tersebut dapat dikatakan sebagai pengukuhan terhadap sebab merantau: merantau hanya dilakukan jika orang tersebut tidak memiliki kekayaan, kekuasaan, atau ilmu. Jika sudah memiliki salah satunya saja, merantau tidak ada lagi gunanya.
Realitas, Kaba, dan Merantau
Pepatah Minangkabau  mengatakan:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau bujang dahulu
Di rumah baguno balun

Arti pepatah di atas adalah bahwa orang yang sudah dewasa seakan ‘diwajibkan’ untuk merantau karena di rumah (lebih luasnya kampung) berbuat sesuatu yang berarti. Ungkapan lain berarti hampir sama adalah: Belum kan dihargai seorang laki-laki, sebelum tangkai sapu terlangkahi.
Frase baguno balun  pada pepatah di atas sangat luas maknanya. Ia dapat berarti bahwa seseorang yang ditunjuk dengan kata itu belum dapat menyumbangkan apa-apa, baik untuk keluarga matrilinealnya, daerah asalnya, ataupun masyarakatnya. Akan tetapi, masyarakat Minangkabau sangat pandai sekali menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuannya. Mamangan Minangkabau  menyatakan hal itu sebagai berikut:
Nan buto paambuih lasuang
Nan pakak palapeh badia
Nan lumpuah pauni rumah
Nan bodoh disuruah-suruah
Nan kuek tampek balinduang
Nan kayo tampek mamintak
Nan cadiak lawan baiyo

Jadi, semua orang di Minangkabau berguna sesuai dengan kemampuannya. Hal ini seakan kontradiktif dengan pendapat pertama, bahwa seseorang harus merantau karena belum berguna. Memang, tanpa merantau pun orang di Minangkabau  tetap berguna, ia akan menempati salah satu dari tujuh kriteria di atas. Akan tetapi, orang Minangkabau yang normal tidak akan mau menempati kriteria empat pertama, mereka akan berusaha merebut kriteria yang tiga terakhir. Salah satu jalan untuk mencapainya adalah dengan merantau.
Dalam realitasnya, alasan orang Minangkabau untuk merantau memang terkait dengan tiga hal terakhir itu. Merantau bagi mereka merupakan usaha untuk merebut kekuasaan agar orang lain (mungkin keluarga, kerabat, atau orang sekampungnya) dapat berlindung, mencari kekayaan untuk dapat membangun kampung halaman (sekurangnya untuk membangun ekonomi keluarga matrilineal) mereka, dan untuk menuntut ilmu agar menjadi orang pandai sebagai tempat bertanya bagi keluarga, kerabat, atau orang kampung mereka. Kaba juga mengungkapkan hal sama, dimana merantau bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan/kekuatan, kekayaan, dan ilmu.
Tidak jauh berbeda dengan hal di atas, Mochtar Naim dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau, menyebutkan empat pokok persoalan yang menyebabkan orang Minangkabau merantau, yaitu persoalan ekonomi, pendidikan, sosial, dan kejiwaan (1984: 249-250). Alasan kejiwaan yang dikemukakan Mochtar Naim itu, sebenarnya dapat diklasifikasikan ke dalam faktor sosial, sebab faktor kejiwaan timbul karena hubungan individu dengan orang lain dan masyarakat.
Dengan demikian pula, mendapatkan kekuatan/kekuasaan penyebab merantau tokoh dalam kaba dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dalam kriteria Naim. Jadi, penyebab merantau tokoh-tokoh dalam kaba—meminjam pendapat Naim—adalah karena persoalan pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Menurut Naim selanjutnya, alasan yang paling kuat bagi orang Minangkabau  pergi merantau adalah persoalan ekonomi. Kenyataan di Minangkabau, memang orang yang paling banyak menyumbang untuk daerahnya lah yang paling dihargai. Walaupun dia seorang konglomerat atau seorang mentri pun, kalau tidak menyumbangkan apa-apa untuk daerahnya, ia tidak akan begitu dihargai.
Kenyataan pada kaba seolah juga mengungkapkan hal yang sama. Hal itu terlihat pada kaba-kaba yang lebih baru. Kaba-kaba baru tersebut menurut Junus (1984: 19) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·                     Bercerita tentang anak muda yang pada mulanya miskin, tetapi karena usahanya dalam perdagangan ia berobah menjadi seorang yang kaya. Ia dapat menyumbangkan kekayaannya bagi kepentingan keluarga matrilinealnya sehingga ia berbeda dari mamaknya.
·                     Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang dekat, akhir abad 19 atau permulaan abad 20. Ia bercerita tentang manusia tanpa kekuatan supranatural.

Umar Junus menyebut kaba dengan ciri di atas sebagai kaba tak klasik, sedangkan pada kaba klasik yang paling menonjol adalah merantau untuk mendapatkan kekuatan dan ilmu. Kaba Anggun nan Tongga Magek Jabang, Manjau Ari, Umbuik Mudo, dan Nilam Cayo adalah kaba klasik, sedangkan Kaba Gadih Ranti, Siti Kalasun, dan Sutan Lembak Tuah, adalah kaba tak klasik.
Ada sebutan lain di Minangkabau  tentang orang yang dihargai, yaitu ‘orang sebenar orang’. lawannya adalah ‘orang-orang’. Sebutan ini dapat diberikan kepada orang kaya yang bisa dijadikan tempat meminta, orang kuat yang dapat melindungi, atau orang pandai yang dapat dijadikan tempat bertanya. Sebutan ‘orang-orang’ dapat diberikan kepada siapa saja.
Hakikat merantau bagi orang Minangkabau adalah untuk menjadi ‘orang yang sebenar orang’ tersebut karena dengan merantau itulah orang Minangkabau  dapat menyempurnakan keminangkabauannya. Mohamad Sobary (Kompas, 19 Mei 1994) mengatakan:
Dalam pandangan orang Minangkabau , merantau adalah memperkuat ke-Minang-an mereka. Perantau yang berhasil harus menyumbang untuk pembangunan kampung halaman. Bagi mereka, sekali Minangkabau tetap Minangkabau. Maka tuntutan mereka sangat keras. Perantau yang tidak berhasil akan dikecam secara struktural.
Pada kaba, perantau yang berhasil akan pulang ke kampungnya dan kemudian memperistri gadis idamannya. Akhir dari cerita kaba seperti itu selalu happy ending. Kaba seolah berpihak kepada tokoh yang berhasil di rantau. *

Sumber: Mingguan Target, Nomor 14 Tahun I 21-27 Mei 2001 dan Nomor 15  Tahun I/28-3 Juni 2001



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...