OLEH YUSRIWAL
Peneliti di Fakultas Sastra
Unand
Adaptasi kaba Lareh Simawang |
Cerita yang dinyanyikan itu biasanya kaba yang diketahui secara luas oleh
masyarakat pendukungnya. Di sini kaba menjadi penting artinya: tanpa kaba, dendang
pauah, dan lainnya itu tidak akan pernah ada.
Sebagai karya sastra, kaba mempunyai hubungan
yang erat dengan masyarakatnya—sastra merupakan
refleksi dari masyarakatnya. Kaba sebagai sastra lisan Minangkabau, dengan
demikian juga merefleksikan budaya Minangkabau: budaya merantau.
Orang Minangkabau terkenal dengan budaya merantaunya.
Sekurangnya sudah terbit dua buah buku dari hasil penelitian tentang budaya
merantau orang Minangkabau tersebut: buku pertama ditulis oleh Mochtar Naim
yang berjudul Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau diterbitkan
oleh UGM University Press 1984 dan buku kedua ditulis oleh Usman Pelly berjudul
Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi
Budaya Minangkabau dan Mandailing diterbitkan LP3ES 1994. Kedua buku
tersebut merupakan disertasi yang berarti kesahihannya telah teruji.
Tulisan ini akan membicarakan budaya merantau
dalam kaba: melihat bagaimana
hubungan antara budaya merantau yang ada
dalam kaba dengan masyarakat
Minangkabau itu sendiri. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologi sastra.
Alan Swingewood membagi sosiologi sastra dalam tiga wilayah kajian, yaitu
sosiologi pengarang, sosiologi karya, dan sosiologi pembaca. Dalam konteks ini
penekanan diberikan pada wilayah kedua yang dikemukakan Swingewood di atas,
yaitu sosiologi karya. Menurut Umar
Junus, sosiologi karya mempunyai cara kerja yang boleh mulai dari mana saja. Ia
boleh dimulai dari motif dan kemudian
menghubungkannya dengan masyarakat pendukung sastra tersebut. Motif dapat pula
berupa tema, tokoh, watak tokoh, atau apa saja yang dapat dianggap sebagai
motif.
Anggapan
Orang Minangkabau Terhadap Kaba
Untuk melihat bagaimana anggapan orang
Minangkabau terhadap kaba dapat
dilihat pada bait pantun berikut:
Pilin bapilin
rotan sago
Kaik bakaik
aka baha
Sajak di
langik tabarito
Tibo di bumi
jadi kaba
Balaia kapa
dari subarang
Banyak mambao
suto-suto
Balabuah
tantang Pariaman
Baitu kaba
kato urang
Duto urang
ambo indak sato
Bohong urang
ambo tak sinan
Maksud bait pertama pantun
di atas adalah bahwa cerita itu datang dari langit. Ceritanya terjadi begitu
saja. Ia akan menjadi cerita setelah diceritakan tukang kaba. Bait kedua
berarti bahwa tukang kaba hanya menceritakan cerita yang
didapatnya dari orang lain. Seandainya cerita itu tidak benar atau bohong, tukang kaba tidak ikut bertanggung jawab.
Bait pertama itu biasanya terdapat pada awal
(pembukaan) kaba, sedangkan bait
kedua digunakan untuk mengakhiri cerita. Jadi, tukang kaba menggunakan
bait-bait itu sebagai alasan untuk melepaskan tanggung jawab terhadap isi
cerita.
Hal itu tidak hanya dijumpai pada kaba, karya sastra modern pun juga
menggunakan hal yang sama. Seandainya pengarang ingin menghubungkan suatu karya
dengan peristiwa yang pernah terjadi, maka pengarang tersebut akan menulis di
awal novelnya: “Cerita dalam novel ini
adalah fiktif belaka, kalau ada nama-nama tokoh dan tempat yang sama, hanyalah
kebetulan belaka”.
Dengan pernyataan itu, pembaca telah
dituntun untuk tidak menghubungkan suatu karya dengan kenyataan yang
sebenarnya. Dengan
begitu pula, orang-orang yang terkait dan benar-benar mengalami peristiwa tidak
berhak menuntut kepada pengarang.
Keadaan itu berlaku pula dalam masyarakat
Minangkabau. Mereka tidak melakukan tindakan apa pun terhadap tukang kaba yang membawakan kaba,
yang tidak sesuai dengan adat dan sistem sosial Minangkabau. Sebagai contoh, mamak mempunyai peranan penting dalam sistem sosial Minangkabau, tetapi
ketika kaba-kaba Minangkabau banyak yang bercerita tentang mamak
yang tidak berperan sebagaimana mestinya, orang Minangkabau tidak
mempersoalkannya.
Selain itu, pandangan orang Minangkabau terhadap
kesenian secara umum juga mempengaruhi anggapan tersebut. Masyarakat
Minangkabau menganggap kesenian sebagai permainan. Barandai, basaluang, dan
kesenian lainnya itu mereka namakan dengan permainan
anak nagari. Sebagai permainan, mereka boleh saja tidak mematuhi aturan-aturan
permainan itu sendiri. Seorang anak randai (pemain randai) boleh saja meninggalkan kelompoknya yang sedang memainkan
sebuah cerita, hanya untuk buang air kecil, misalnya. Hal itu sangat berbeda
dengan kesenian di Bali umpamanya, mereka (masyarakat Bali) beranggapan bahwa
kesenian adalah suatu peristiwa ritual yang tidak boleh melakukan kesalahan
dalam pelaksanaannya.
Orang Minangkabau tidak menganggap kesenian
sebagai sesuatu yang sakral. Tidak ada aturan tertentu yang harus ditaati
dengan tepat dan ketat dalam menampilkan kesenian. Ia boleh saja dipertunjukan
sembarang waktu, dalam berbagai acara, dan dengan berbagai fungsi.
Tradisi
Merantau dalam Kaba
Merantau bagi orang Minangkabau telah lama
menjadi bagian dari kehidupan sosial maupun pribadi. Merantau telah terhujam
jauh ke dalam kebudayaan mereka. Merantau dalam pengertian ini adalah sama
dengan yang dikemukan Mochtar Naim
(1984: 2-3), yaitu meninggalkan kampung halaman untuk jangka
waktu tertentu dan kembali pulang. Secara etimologis, merantau berasal dari
kata dasar “rantau” ditambah awalan me.
Rantau adalah kata benda, sedangkan merantau
adalah kata kerja. Dalam bahasa Minangkabau
“rantau” adalah daerah di luar daerah asal yang disebut luhak (Luhak Tanah Data, Luhak Agam,
Luhak Limo Puluah Koto). Merantau
berarti pergi dari daerah luhak ke
daerah rantau. Pengertian ini akhirnya berubah menjadi “pergi ke daerah lain”.
Orang dari Luhak Agam pergi ke Luhak Tanah Data, juga disebut merantau.
Ada beberapa kaba
yang bercerita tentang merantau. Kaba-
kaba tersebut antara lain: Anggun nan Tungga Magek Jabang, Gadih Ranti, Siti Kalasun, Umbuik Mudo, Manjau Ari, Nilam Cayo, dan Lembak Tuah.
Kaba Anggun nan Tungga Magek Jabang,
bercerita tentang anak raja yang pergi mencari mamak-nya yang dikabarkan hilang. Mamak-nya dapat dia temukan, tetapi tunangannya melarikan diri
karena Anggun nan Tungga Magek Jabang telah ingkar janji dengan mengawini gadis
lain. Dalam perjalanan menyusul tunangannya itu, Anggun menjelma menjadi
lumba-lumba putih dan tunangannya menjelma menjadi siamang (sejenis kera yang
ekornya panjang) putih.
Kaba Gadih Ranti, menceritakan seorang pemuda
bernama Bujang Saman yang telah bertunangan dengan Gadih Ranti. Angku Kapalo (kepala pemerintahan zaman
Belanda) juga tertarik untuk mempersunting Gadih Ranti. Untuk dapat mewujudkan
keinginannya, Angku Kapalo menyingkirkan Bujang Saman
dengan memerintahkannya ikut kerja rodi. Di tengah berjalan ke tempat rodi,
Bujang Saman melarikan diri dan pergi merantau. Gadih Ranti setia menunggu
kepulangan Bujang Saman. Setelah kaya Bujang Saman pulang dan kawin dengan
Gadih Ranti.
Kaba Siti Kalasun, menceritakan tokoh
Sabarudin dan Siti Kalasun. Mereka suami-istri, tetapi karena belum punya
pekerjaan tetap, Sabarudin pergi merantau. Lama tidak ada kabar tentang
Sabarudin, orang tua Siti Kalasun ingin mengawinkannya dengan orang lain,
tetapi Siti Kalasun tidak mau. Setelah berhasil di rantau, Sabarudin pulang
menemui Siti Kalasun. Untuk menguji kesetiaan Siti Kalasun, Sabarudin dengan
menyamar sebagai orang miskin. Ternyata Siti Kalasun tetap menerima keadaan
Sabarudin yang demikian. Akhirnya mereka hidup bahagia.
Kaba Umbuik Mudo, bercerita tentang seorang
pemuda bernama Umbuik Mudo yang pergi menuntut ilmu. Pada suatu pesta, ia
tertarik dengan seorang gadis yaitu Puti Galang Banyak. Dia meminta pada ibunya
untuk melamar Puti Galang Banyak, tetapi lamarannya ditolak. Umbuik Mudo sakit
hati dan memantra-mantrai Puti Galang Banyak hingga jatuh sakit. Obat
satu-satunya untuk penyakit Puti Galang Banyak adalah Umbuik Mudo. Mereka
kemudian bertunangan. Umbuik Mudo pergi lagi memperdalam ilmunya, sementara itu
Puti Galang Banyak jatuh sakit dan meninggal. Umbuik Mudo pulang dan pergi ke
makam Puti Galang Banyak, dengan ilmunya ia bisa menghidupkan kembali Puti Galang
Banyak.
Kaba Manjau Ari, menceritakan seorang pemuda
bernama Manjau Ari yang diusir orang tuanya karena hasutan orang lain. Di
tempat pembuangannya, ia mendapat banyak ilmu. Kemudian ia kawin dan bahagia
bersama istrinya setelah diangkat menjadi raja.
Kaba Puti Nilam Cayo, bercerita tentang
seorang anak raja bernama Gombang Alam dan adiknya, yang diusir oleh orang
tuanya karena dihasut oleh orang lain. Dalam pembuangan, mereka bertemu dengan
seorang tua yang memberikan ilmunya. Mereka ditemukan oleh masyarakat yang
sedang mencari pengganti raja mereka. Gombang Alam diangkat menjadi raja,
kemudian menikah dengan Puti Nilam Cayo.
Kaba Lembak Tuah, menceritakan seorang pemuda
bernama Sutan Lembak Tuah yang telah bertunagan dengan Siti Rabiatun. Tuanku Lareh Panjang Kuku (kepala
kelarasan zaman Belanda) ingin pula mempersunting Siti Rabiatun. Untuk
menyingkirkan Sutan Lembak Tuah, Tuanku
Lareh Panjang Kuku memfitnah Sutan Lembak Tuah telah mencuri dengan
menghadirkan saksi palsu. Sutan Lembak Tuah dipenjarakan di Bukittingi,
kemudian dipindahkan ke Batavia. Karena baik, Sutan Lembak Tuah mendapat
keringanan hukuman. Sekeluar dari penjara, ia diangkat menjadi mantri polisi.
Akhirnya, ia diangkat menjadi Tuanku
Damang di daerah asalnya dan kawin dengan Siti Rabiatun.
Dari beberapa kaba di atas dapat dilihat bentuk merantau orang Minangkabau. Pertama, untuk mendapatkan kekayaan
seperti terlihat dalam Kaba Gadih Ranti dan Kaba Siti Kalasun. Kedua, untuk mendapatkan kekuatan
seperti pada Kaba Manjau Ari dan Kaba Puti
Nilam Cayo. Kekuatan yang dimaksudkan dapat berarti kesaktian dapat pula
berupa kekuasaan atau kekuatan politis. Ketiga,
untuk mendapat ilmu (kepandaian), seperti terlihat dalam Kaba Anggun nan Tungga Magek
Jabang dan Kaba Umbuik Mudo.
Di dalam Kaba
Anggun nan Tongga Magek Jabang,
ditemukan kasus yang agak berbeda dari kaba-kaba lainnya, dimana diceritakan
tokoh yang merantau untuk mencari mamaknya
yang hilang. Cerita ini merupakan cerita simbolis. Kata kuncinya terletak pada
frase mamak yang hilang. Bagi orang Minangkabau, mamak mempunyai arti khusus. Kalau seorang anak Minangkabau nakal, orang akan menanyakan siapa mamaknya, bukan bapaknya. Hal itu
disebabkan oleh ajaran moral, adat, agama, dan pendidikan yang merupakan
tanggung jawab mamak untuk mengajarkannya
kepada kamanakan. Mamak yang hilang dapat berarti bahwa Anggun belum mendapat ajaran
moral, agama, dan adat. Untuk itu, ia harus pergi merantau, mencari mamak yang hilang tersebut.
Dari segi bagaimana orang Minangkabau merantau,
dapat pula dilihat dalam beberapa kaba
berikut. Karena keinginan sendiri terlihat dalam Kaba Anggun nan Tungga Magek
Jabang, Kaba Siti Kalasun, dan Kaba Umbuik Mudo. Merantau karena terpaksa
dapat terjadi, seperti pada Kaba Gadih Ranti, Kaba Manjau Ari, Kaba Puti
Nilam Cayo, dan Kaba Sutan Lembak Tuah.
Satu hal yang jelas adalah bahwa merantau bagi orang Minangkabau adalah untuk mendapatkan sesuatu, bisa berupa
kekayaan, kekuatan, dan ilmu.
Memang tidak semua kaba bercerita tentang tokoh yang merantau. Kaba Rancak di Labuah, Kaba Lareh
Simawang, dan Kaba Sutan Jainun tidak bercerita tentang
merantau karena mereka (tokoh) telah memilki apa yang harus dicari di rantau.
Rancak di Labuah adalah keturunan orang kaya, Lareh Simawang adalah orang yang
mempunyai kekuasaan, sedangkan Sutan Jainun adalah orang terpandang dalam
masyarakat.
Ketiga kaba
tersebut dapat dikatakan sebagai pengukuhan terhadap sebab merantau: merantau
hanya dilakukan jika orang tersebut tidak memiliki kekayaan, kekuasaan, atau
ilmu. Jika sudah memiliki salah satunya saja, merantau tidak ada lagi gunanya.
Realitas, Kaba, dan Merantau
Pepatah Minangkabau mengatakan:
Karatau
madang di hulu
Babuah
babungo balun
Marantau
bujang dahulu
Di rumah
baguno balun
Arti pepatah di atas adalah bahwa orang yang
sudah dewasa seakan ‘diwajibkan’ untuk merantau karena di rumah (lebih luasnya
kampung) berbuat sesuatu yang berarti. Ungkapan lain berarti hampir sama
adalah: Belum kan dihargai seorang
laki-laki, sebelum tangkai sapu
terlangkahi.
Frase baguno
balun pada pepatah di atas sangat
luas maknanya. Ia dapat berarti bahwa seseorang yang ditunjuk dengan kata itu
belum dapat menyumbangkan apa-apa, baik untuk keluarga matrilinealnya, daerah
asalnya, ataupun masyarakatnya. Akan tetapi, masyarakat Minangkabau sangat
pandai sekali menempatkan seseorang sesuai dengan kemampuannya. Mamangan
Minangkabau menyatakan hal itu sebagai
berikut:
Nan buto
paambuih lasuang
Nan pakak
palapeh badia
Nan lumpuah
pauni rumah
Nan bodoh
disuruah-suruah
Nan kuek
tampek balinduang
Nan kayo
tampek mamintak
Nan cadiak
lawan baiyo
Jadi, semua orang di
Minangkabau berguna sesuai dengan kemampuannya. Hal ini seakan
kontradiktif dengan pendapat pertama, bahwa seseorang harus merantau karena
belum berguna. Memang, tanpa merantau pun orang di Minangkabau tetap berguna, ia akan menempati salah satu
dari tujuh kriteria di atas. Akan tetapi, orang Minangkabau yang normal tidak
akan mau menempati kriteria empat pertama, mereka akan berusaha merebut
kriteria yang tiga terakhir. Salah satu jalan untuk mencapainya adalah dengan
merantau.
Dalam realitasnya, alasan orang Minangkabau
untuk merantau memang terkait dengan tiga hal terakhir itu. Merantau bagi
mereka merupakan usaha untuk merebut kekuasaan agar orang lain (mungkin
keluarga, kerabat, atau orang sekampungnya) dapat berlindung, mencari kekayaan
untuk dapat membangun kampung halaman (sekurangnya untuk membangun ekonomi
keluarga matrilineal) mereka, dan untuk menuntut ilmu agar menjadi orang pandai
sebagai tempat bertanya bagi keluarga, kerabat, atau orang kampung mereka. Kaba juga mengungkapkan hal sama, dimana
merantau bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan/kekuatan, kekayaan, dan ilmu.
Tidak jauh berbeda dengan hal di atas, Mochtar
Naim dalam bukunya Merantau: Pola Migrasi
Suku Minangkabau, menyebutkan empat pokok persoalan yang menyebabkan orang
Minangkabau merantau, yaitu persoalan ekonomi, pendidikan, sosial, dan kejiwaan
(1984: 249-250). Alasan kejiwaan yang dikemukakan Mochtar Naim itu, sebenarnya
dapat diklasifikasikan ke dalam faktor sosial, sebab faktor kejiwaan timbul
karena hubungan individu dengan orang lain dan masyarakat.
Dengan demikian pula, mendapatkan
kekuatan/kekuasaan penyebab merantau tokoh dalam kaba dapat digolongkan ke dalam faktor sosial dalam kriteria Naim. Jadi,
penyebab merantau tokoh-tokoh dalam kaba—meminjam
pendapat Naim—adalah karena persoalan pendidikan, ekonomi, dan sosial.
Menurut Naim selanjutnya, alasan yang paling
kuat bagi orang Minangkabau pergi
merantau adalah persoalan ekonomi. Kenyataan di Minangkabau, memang orang yang
paling banyak menyumbang untuk daerahnya lah yang paling dihargai. Walaupun dia
seorang konglomerat atau seorang mentri pun, kalau tidak menyumbangkan apa-apa
untuk daerahnya, ia tidak akan begitu dihargai.
Kenyataan pada kaba seolah juga mengungkapkan hal yang sama. Hal itu terlihat pada
kaba-kaba yang lebih baru. Kaba-kaba baru
tersebut menurut Junus (1984: 19) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
·
Bercerita tentang anak muda
yang pada mulanya miskin, tetapi karena usahanya dalam perdagangan ia berobah menjadi
seorang yang kaya. Ia dapat menyumbangkan kekayaannya bagi kepentingan keluarga
matrilinealnya sehingga ia berbeda dari mamaknya.
·
Ceritanya dianggap berlaku pada masa lampau yang
dekat, akhir abad 19 atau permulaan abad 20. Ia bercerita tentang manusia tanpa
kekuatan supranatural.
Umar Junus menyebut kaba dengan ciri di atas sebagai kaba tak klasik,
sedangkan pada kaba klasik yang paling menonjol adalah
merantau untuk mendapatkan kekuatan dan ilmu. Kaba Anggun nan Tongga Magek Jabang, Manjau Ari, Umbuik Mudo, dan Nilam Cayo
adalah kaba klasik, sedangkan Kaba Gadih Ranti, Siti Kalasun, dan Sutan
Lembak Tuah, adalah kaba tak klasik.
Ada sebutan lain di Minangkabau tentang orang yang dihargai, yaitu ‘orang
sebenar orang’. lawannya adalah ‘orang-orang’. Sebutan ini dapat diberikan
kepada orang kaya yang bisa dijadikan tempat meminta, orang kuat yang dapat
melindungi, atau orang pandai yang dapat dijadikan tempat bertanya. Sebutan
‘orang-orang’ dapat diberikan kepada siapa saja.
Hakikat merantau bagi orang Minangkabau adalah
untuk menjadi ‘orang yang sebenar orang’ tersebut karena dengan merantau itulah
orang Minangkabau dapat menyempurnakan
keminangkabauannya. Mohamad Sobary (Kompas, 19 Mei 1994) mengatakan:
Dalam pandangan orang Minangkabau ,
merantau adalah memperkuat ke-Minang-an mereka. Perantau yang berhasil harus
menyumbang untuk pembangunan kampung halaman. Bagi mereka, sekali Minangkabau
tetap Minangkabau. Maka tuntutan mereka sangat keras. Perantau yang tidak
berhasil akan dikecam secara struktural.
Pada kaba,
perantau yang berhasil akan pulang ke kampungnya dan kemudian memperistri gadis
idamannya. Akhir dari cerita kaba
seperti itu selalu happy ending. Kaba seolah berpihak kepada tokoh yang
berhasil di rantau. *
Sumber:
Mingguan Target, Nomor
14 Tahun I 21-27 Mei 2001 dan Nomor
15 Tahun I/28-3
Juni 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar