OLEH Nasrul Azwar
Halte untuk penumpang Trans Padang tanpa tempat duduk |
Tak jelasnya konsep, arah, realisasi pembangunan dan penataan
Kota Padang 10 tahun terakhir, bukan saja direpresentasikan atau diwakili
semrawutnya Pasar Raya Padang, tetapi dapat dilihat dari cara Pemerintah Kota
Padang membangun halte dengan melakukan bongkar pasang berulang-ulang. Realitas
ini adalah gambaran nyata buruknya tata kelola Pemerintah Kota Padang yang
dipimpin Fauzi Bahar selama dua periode dengan dua wakilnya: Yusman Kasim
(2004-2009) dan Mahyeldi Ansharullah (2009-2014).
Pembangunan pada tahap pertama, dipengujung tahun 2012,
didirikan beberapa halte di Jalan Adinegoro. Pada 2013, dilanjutkan ke Jalan
Hamka, Jalan Khatib Sulaiman, Jalan Rasuna Said, Jalan Sudirman, dan Jalan
Bagindo Aziz Chan. Rencananya ada 66 buah halte yang dibangun buat
turun-naiknya penumpang bus Trans Padang yang akan beroperasi tahun ini. Tapi,
menilik dari kinerja Pemko Padang, saya pesimis itu bisa terealisasi.
Pembangunan halte tahap pertama di sepanjang Jalan
Adinegoro-Hamka, bentuknya seragam. Posisinya satu-dua meter dari rel kereta
api. Halte yang pondasinya tak menggunakan kerangka besi ini, empat kali sehari
bergetar kuat diguncang kereta api. Bisa diprediksi, berapa lama usia halte itu
bisa bertahan dari oyakan Mak Itam itu?
Galibnya wujud sebuah halte, tentu dilengkapi dengan bangku.
Tapi halte di Padang memang beda dengan di kota lainnya di Indonesia: Tak ada
bangku. Bersiaplah berdiri selama Anda menunggu bus datang. Dan tentu saja akan
diiringi dengan umpatan kesal karena kaki penat. Sarana publik malah membuat
warganya menderita.
Halte tahap pertama ini, sebelumnya diberi dinding kaca
tembus pandang. Tapi dua minggu terakhir dinding kaca itu dibongkar. Kini
terlihat polos tanpa dinding kaca lagi. Sebelumnya tak diberi pagar besi,
sekarang sudah sudah ada pagar besinya. Konon, Walikota Padang tak menyukai
desain bangunan halte sebelumnya yang terkesan tertutup itu. Padahal, halte itu
tak demikian tertutup. Kerja tambal sulam pun tak terhindari.
Saya membayangkan, bagaimana amburadulnya sistem dan koordinasi
kerja di lingkungan Pemko Padang sehingga hanya untuk membangun halte saja,
entah berapa kali bongkar pasang dan itu jelas membuang dana dengan sia-sia.
Ini cermin yang sangat transparan.
Setelah halte tahap pertama dibangun, puluhan halte tahap
kedua menyusul pula. Bentuknya tak sama dengan halte tahap pertama. Modelnya agak
lucu, unik, dan masing-masing bentuk fisiknya pun berlainan. Ada pula beberapa
halte berupa onggokan besi di pinggir jalan. Tak pakai atap. Jika ada yang berniat
untuk dijadikan besi kiloan, tampaknya tak begitu sulit memindahkannya ke atas pick up. Halte ini memang sangat tidak
manusiawi sekali. Pemko Padang seperti bagarah-garah
se.
Di kota-kota yang penataan infrastruktur terukur dan
terencana baik, halte yang nyaman merupakan salah satu tolak ukur dan simbolisasi
keberhasilan pemerintahannya. Jika sebaliknya, tentu dapat dikatakan,
pemerintahannya telah gagal memberi rasa nyaman pada warganya. Dan Kota Padang
masuk dalam klasifikasi yang haltenya tak bisa diapresiasi positif.
Kota Padang termasuk kota yang terlambat menyediakan
angkutan massal atau publik. Kota-kota lainnya seperti Pekanbaru, Palembang,
Solo, dan Yogyakarta telah lama mengoperasikan sarana transportasi massal, yang
namanya diikuti nama kota bersangkutan: Trans Pekanbaru, Trans Solo, Trans
Yogyakarta, dan seterusnya.
Di kota-kota itu, tempat turun naik penumpang angkutan
publik ini cukup representatif, nyaman, dan tertata dengan baik, serta
mengesankan berkelas. Ada rasa bangga ketika berdiri di halte itu. Seharusnya,
Kota Padang punya halte dengan rancangan dan desain yang lebih kreatif, khas,
dan terkesan modern karena Padang bisa meniru yang terbaik dari bangunan halte
yang telah ada di kota-kota itu. Tapi tampaknya itu tak dilakukan Pemko Padang.
Jujur saja, jika halte yang disiapkan seperti sekarang ini, maka Kota Padang
termasuk kota yang sarana publiknya paling jelek dan parah dibanding kota-kota
yang disebut di atas tadi.
Selain soal halte, tentu saja menarik soal jurusan yang akan
dilewati Trans Padang ini. Menilik dari halte-halte yang didirikan saat ini
sebenarnya sudah menjelaskan bahwa rute/jurusan Trans Padang ini hanya meneruskan
trayek bus kota yang sudah ada sebelumnya, yaitu Jalan Adinegoro-Jalan Hamka,
Jalan Khatib Sulaiman, Jalan Rasuna Said, Jalan Sudirman, dan Jalan Bagindo
Aziz Chan, dan sebaliknya. Ini artinya tak ada penambahan atau perluasan jalur
baru untuk Trans Padang ini.
Pada era medio 80-an hingga 90-an—sedikit bernostalgia—bus
kota mengitari hampir setengah luas Kota Padang. Dari Jalan Bagindo Aziz Chan diteruskan
ke Jalan Nias-Kampung Pondok-lanjut ke Jalan Diponegoro dan melewati Jalan M
Yamin, dan sebaliknya. Selain di jalur ini, bus kota jurusan Pasar
Raya-Indarung juga tersedia. Malah ada bus kota yang melintasi Jalan Raden
Saleh. Selepas penutupan terminal Huan Goat dan Terminal Andalas, jalur bus
kota diputus hingga Kantor Telkom di Jalan Bagindo Aziz Chan saja. Sejak itulah
Kota Bingkuang ini selaksa mati, sesak, dan amburadul.
Maka dari itu, jika Kota Padang ingin jadi kota yang hidup
dan dinamis, serta terasa seperti sebuah kota ideal dengan sarana moda angkutan
publik yang berkualitas, bus Trans Padang harus memperluas jangkauan dan jalur
tempuhnya, dan menata halte yang standar. Jika hanya meneruskan jalur bus kota
saat ini, sama artinya mempercepat bus-bus bantuan Kementerian Perhubungan itu
menjadi besi rongsokan dan bersilewaran di jalan tanpa ada penumpang.
Mengapa tidak? Rute yang ditempuh bus kota saat ini bukan
jalur gemuk lagi. Penumpangnya sudah stagnan. Potensi penambahan penumpang
sangat terbatas. Penumpang yang dibawa pun itu ke itu saja. Selain itu,
perkembangan dan tingkat mobilitas warga yang semakin tinggi, menuntut
perluasan dan pembukaan jalur angkutan publik yang baru. Pemko Padang, khusus
Dinas Perhubungan harus mempertimbangkan perluasan jalur tempuh Trans Padang
yang tak berakhir di Jalan Bagindo Aziz Chan tapi diteruskan ke Kinol-Jembatan
Siti Nurbaya dan terus ke Jalan Samudera. Dengan demikian, destinasi wisata pantai
Kota Padang ini terlayani dengan baik. Aktivitas di sekitar Kampung Pondok dan
jaluar yang dilewati pun bergairah lagi.
Saya sendiri pun sebenarnya tidak yakin benar Trans Padang
bisa beroperasi tahun ini. Saya memperkirakan ini akan jadi pekerjaan pertama
Walikota Padang yang terpilih nanti. Dan itu, tentu saja itu bisa dilakukan
pemimpin yang visioner dan mampu membawa perubahan bagi Kota Padang, bukan pemimpin
yang sudah terlihat gagal menata Kota Padang, termasuk wakilnya sekarang ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar