Rabu, 15 Januari 2014

Cermin Halte dan Pemko Padang

OLEH Nasrul Azwar

Halte untuk penumpang Trans Padang tanpa tempat duduk
Tak jelasnya konsep, arah, realisasi pembangunan dan penataan Kota Padang 10 tahun terakhir, bukan saja direpresentasikan atau diwakili semrawutnya Pasar Raya Padang, tetapi dapat dilihat dari cara Pemerintah Kota Padang membangun halte dengan melakukan bongkar pasang berulang-ulang. Realitas ini adalah gambaran nyata buruknya tata kelola Pemerintah Kota Padang yang dipimpin Fauzi Bahar selama dua periode dengan dua wakilnya: Yusman Kasim (2004-2009) dan Mahyeldi Ansharullah (2009-2014). 


Pembangunan pada tahap pertama, dipengujung tahun 2012, didirikan beberapa halte di Jalan Adinegoro. Pada 2013, dilanjutkan ke Jalan Hamka, Jalan Khatib Sulaiman, Jalan Rasuna Said, Jalan Sudirman, dan Jalan Bagindo Aziz Chan. Rencananya ada 66 buah halte yang dibangun buat turun-naiknya penumpang bus Trans Padang yang akan beroperasi tahun ini. Tapi, menilik dari kinerja Pemko Padang, saya pesimis itu bisa terealisasi.

Pembangunan halte tahap pertama di sepanjang Jalan Adinegoro-Hamka, bentuknya seragam. Posisinya satu-dua meter dari rel kereta api. Halte yang pondasinya tak menggunakan kerangka besi ini, empat kali sehari bergetar kuat diguncang kereta api. Bisa diprediksi, berapa lama usia halte itu bisa bertahan dari oyakan Mak Itam itu?

Galibnya wujud sebuah halte, tentu dilengkapi dengan bangku. Tapi halte di Padang memang beda dengan di kota lainnya di Indonesia: Tak ada bangku. Bersiaplah berdiri selama Anda menunggu bus datang. Dan tentu saja akan diiringi dengan umpatan kesal karena kaki penat. Sarana publik malah membuat warganya menderita.  

Halte tahap pertama ini, sebelumnya diberi dinding kaca tembus pandang. Tapi dua minggu terakhir dinding kaca itu dibongkar. Kini terlihat polos tanpa dinding kaca lagi. Sebelumnya tak diberi pagar besi, sekarang sudah sudah ada pagar besinya. Konon, Walikota Padang tak menyukai desain bangunan halte sebelumnya yang terkesan tertutup itu. Padahal, halte itu tak demikian tertutup. Kerja tambal sulam pun tak terhindari.

Saya membayangkan, bagaimana amburadulnya sistem dan koordinasi kerja di lingkungan Pemko Padang sehingga hanya untuk membangun halte saja, entah berapa kali bongkar pasang dan itu jelas membuang dana dengan sia-sia. Ini cermin yang sangat transparan.  

Setelah halte tahap pertama dibangun, puluhan halte tahap kedua menyusul pula. Bentuknya tak sama dengan halte tahap pertama. Modelnya agak lucu, unik, dan masing-masing bentuk fisiknya pun berlainan. Ada pula beberapa halte berupa onggokan besi di pinggir jalan. Tak pakai atap. Jika ada yang berniat untuk dijadikan besi kiloan, tampaknya tak begitu sulit memindahkannya ke atas pick up. Halte ini memang sangat tidak manusiawi sekali. Pemko Padang seperti bagarah-garah se.

Di kota-kota yang penataan infrastruktur terukur dan terencana baik, halte yang nyaman merupakan salah satu tolak ukur dan simbolisasi keberhasilan pemerintahannya. Jika sebaliknya, tentu dapat dikatakan, pemerintahannya telah gagal memberi rasa nyaman pada warganya. Dan Kota Padang masuk dalam klasifikasi yang haltenya tak bisa diapresiasi positif.

Kota Padang termasuk kota yang terlambat menyediakan angkutan massal atau publik. Kota-kota lainnya seperti Pekanbaru, Palembang, Solo, dan Yogyakarta telah lama mengoperasikan sarana transportasi massal, yang namanya diikuti nama kota bersangkutan: Trans Pekanbaru, Trans Solo, Trans Yogyakarta, dan seterusnya.

Di kota-kota itu, tempat turun naik penumpang angkutan publik ini cukup representatif, nyaman, dan tertata dengan baik, serta mengesankan berkelas. Ada rasa bangga ketika berdiri di halte itu. Seharusnya, Kota Padang punya halte dengan rancangan dan desain yang lebih kreatif, khas, dan terkesan modern karena Padang bisa meniru yang terbaik dari bangunan halte yang telah ada di kota-kota itu. Tapi tampaknya itu tak dilakukan Pemko Padang. Jujur saja, jika halte yang disiapkan seperti sekarang ini, maka Kota Padang termasuk kota yang sarana publiknya paling jelek dan parah dibanding kota-kota yang disebut di atas tadi.

Selain soal halte, tentu saja menarik soal jurusan yang akan dilewati Trans Padang ini. Menilik dari halte-halte yang didirikan saat ini sebenarnya sudah menjelaskan bahwa rute/jurusan Trans Padang ini hanya meneruskan trayek bus kota yang sudah ada sebelumnya, yaitu Jalan Adinegoro-Jalan Hamka, Jalan Khatib Sulaiman, Jalan Rasuna Said, Jalan Sudirman, dan Jalan Bagindo Aziz Chan, dan sebaliknya. Ini artinya tak ada penambahan atau perluasan jalur baru untuk Trans Padang ini.

Pada era medio 80-an hingga 90-an—sedikit bernostalgia—bus kota mengitari hampir setengah luas Kota Padang. Dari Jalan Bagindo Aziz Chan diteruskan ke Jalan Nias-Kampung Pondok-lanjut ke Jalan Diponegoro dan melewati Jalan M Yamin, dan sebaliknya. Selain di jalur ini, bus kota jurusan Pasar Raya-Indarung juga tersedia. Malah ada bus kota yang melintasi Jalan Raden Saleh. Selepas penutupan terminal Huan Goat dan Terminal Andalas, jalur bus kota diputus hingga Kantor Telkom di Jalan Bagindo Aziz Chan saja. Sejak itulah Kota Bingkuang ini selaksa mati, sesak, dan amburadul.  

Maka dari itu, jika Kota Padang ingin jadi kota yang hidup dan dinamis, serta terasa seperti sebuah kota ideal dengan sarana moda angkutan publik yang berkualitas, bus Trans Padang harus memperluas jangkauan dan jalur tempuhnya, dan menata halte yang standar. Jika hanya meneruskan jalur bus kota saat ini, sama artinya mempercepat bus-bus bantuan Kementerian Perhubungan itu menjadi besi rongsokan dan bersilewaran di jalan tanpa ada penumpang.

Mengapa tidak? Rute yang ditempuh bus kota saat ini bukan jalur gemuk lagi. Penumpangnya sudah stagnan. Potensi penambahan penumpang sangat terbatas. Penumpang yang dibawa pun itu ke itu saja. Selain itu, perkembangan dan tingkat mobilitas warga yang semakin tinggi, menuntut perluasan dan pembukaan jalur angkutan publik yang baru. Pemko Padang, khusus Dinas Perhubungan harus mempertimbangkan perluasan jalur tempuh Trans Padang yang tak berakhir di Jalan Bagindo Aziz Chan tapi diteruskan ke Kinol-Jembatan Siti Nurbaya dan terus ke Jalan Samudera. Dengan demikian, destinasi wisata pantai Kota Padang ini terlayani dengan baik. Aktivitas di sekitar Kampung Pondok dan jaluar yang dilewati pun bergairah lagi.

Saya sendiri pun sebenarnya tidak yakin benar Trans Padang bisa beroperasi tahun ini. Saya memperkirakan ini akan jadi pekerjaan pertama Walikota Padang yang terpilih nanti. Dan itu, tentu saja itu bisa dilakukan pemimpin yang visioner dan mampu membawa perubahan bagi Kota Padang, bukan pemimpin yang sudah terlihat gagal menata Kota Padang, termasuk wakilnya sekarang ini.***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...