Senin, 30 Desember 2013

TRADISI SANTET SEBAGAI PRANATA BUDAYA LOKAL: Kajian Kelisanan Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using, Banyuwangi

OLEH Heru S.P. Saputra
Fakultas Sastra Universitas Jember

Pendahuluan
Sudah menjadi realitas empiris bahwa sastra, baik lisan maupun tulis, merupakan salah satu bentuk ekspresi estetis yang sarat dengan muatan budaya. Di dalam kedua bentuk karya tersebut terjadi dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kajian-kajian sastra tulis (khususnya sastra Indonesia modern), dari segi kuantitas, lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra lisan cenderung sebagai “anak tiri” yang dinomorduakan (Suryadi, 1993: 8-9). Ketimpangan semacam itu menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi awal yang dilontarkan Teeuw (1988:304-305) bahwa sastra, baik dari segi sejarah maupun tipologi, tidak baik apabila diadakan pemisahan antara sastra lisan dan sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan, yakni tidak dipecah-belah berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki. Selain itu, perlu dihindari adanya pertentangan dalam penilaian, seolah-olah hanya sastra tulis saja yang mempunyai nilai (tinggi).
Fenomena “penganaktirian” sastra lisan tidak sejalan dengan realitas empiris yang menunjukkan bahwa sastra lisan dan sastra tulis tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi keduanya  mempunyai  keterpaduan  atau  keterjalinan antara yang satu dengan yang lain (Teeuw, 1988:280). Keterpaduan atau keterjalinan tersebut tidak hanya terbatas pada persoalan yang menyangkut medianya, yakni tulisan dan lisan (Teeuw, 1988:281), tetapi juga menyangkut persoalan konvensi atau struktur, baik pada genre puisi maupun prosa. Menurut Damono (1999:5), puisi Indonesia modern, yang nota bene adalah sastra tulis, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konvensi kelisanan. Bahkan, menurutnya, piranti puitik yang kini lekat menjadi idiomatik dalam puisi Indonesia modern, seperti rima, irama, metrum, aliterasi, asonansi, repetisi, paralelisme, onomatope, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bunyi, terinspirasi oleh tradisi sastra  lisan
Kajian terhadap sastra lisan tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan atau masyarakat (kelompok etnik) pemiliknya. Sebagaimana diketahui, banyak kelompok etnik di Nusantara yang masing-masing mempunyai kebudayaan dan tradisi sendiri-sendiri, terlepas dari klasifikasinya sebagai tradisi besar atau tradisi kecil. Tradisi besar adalah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat kompleks dan merefleksikan keterpelajaran, sedangkan tradisi kecil adalah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat sederhana dan merefleksikan keawaman (Redfield, 1985:57-58). Baik dalam tradisi besar maupun tradisi kecil, biasanya, terdapat unsur tradisi lisan, yakni sebuah produk budaya masyarakat tertentu yang penyebarluasannya didominasi oleh unsur kelisanan.
Tradisi lisan memiliki keterkaitan yang erat dengan folklore (folklor), khususnya folklor lisan (verbal folklore).[1] Folklor adalah sebagian kebudayaan (lor) suatu kolektif (folk) yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1984:2). Eksistensi tradisi lisan dalam masyarakat tertentu senantiasa menimbulkan pandangan yang pro dan kontra, yakni pandangan yang ingin melestarikan (bersifat positif) dan pandangan yang ingin meninggalkannya (bersifat negatif). Tradisi lisan dapat dipilah menjadi beberapa bagian atau klasifikasi, salah satu di antaranya adalah sastra lisan (Hutomo, 1991:11). Demikian juga dengan folklor, khususnya folklor lisan. Folklor lisan meliputi beberapa bagian, salah satu di antaranya adalah sastra lisan. Dengan demikian, sastra lisan merupakan salah satu bagian tradisi lisan dan folklor.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur keindahan (estetis), tetapi juga mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai kebudayaan folk yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data budaya, sastra lisan dapat diperlakukan sebagai “pintu masuk” untuk memahami salah satu atau keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan (Ahimsa-Putra, 1999a:2).
Sebagaimana telah disinggung bahwa kajian terhadap sastra lisan tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan atau masyarakat pemiliknya Dalam wilayah kebudayaan Jawa Timur, secara empiris, pemetaan kebudayaan dapat dipilah menjadi enam[2] variasi regional kebudayaan, salah satu di antaranya adalah kebudayaan Using. Dalam konteks kebudayaan Using, sastra lisan Using dapat dipilah menjadi cerita rakyat (prosa lisan) dan puisi rakyat (puisi lisan). Prosa lisan Using dapat dipilah menjadi tiga klasifikasi, yakni mite, legenda, dan dongeng, sedangkan puisi lisan Using dapat dipilah menjadi enam klasifikasi, yakni basanan, wangsalan, sanepan, batekan, syair, dan mantra (Ali, 1994:241; Basri, 2000:6-9).
Dari beberapa klasifikasi prosa lisan dan puisi lisan Using tersebut, salah satu yang memiliki sifat paling sakral adalah puisi lisan Using jenis mantra (selanjutnya disebut mantra Using). Mantra Using merupakan doa sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan gaib yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk membantu mempermudah dalam meraih sesuatu dengan cara jalan pintas. Oleh karena itu, mantra Using menarik sekaligus menantang untuk diteliti, khususnya dalam konteks budaya lokal.
Kemenarikan tersebut, selain karena mantra Using mempunyai keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok etnik lainnya, yakni adanya empat macam magi yang terkandung dalam tiga jenis mantra,[3] juga karena mantra tersebut tetap survival dan sekaligus dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Using di Banyuwangi hingga kini. Adapun tantangannya terletak pada proses eksplorasi data, yang tidak hanya membutuhkan waktu yang cukup, tetapi juga membutuhkan persiapan psikologis yang mantap, lantaran adanya semacam trauma sosial pada masyarakat Using akibat tragedi pembantaian dukun 1998.[4]
Dari keempat macam magi yang terdapat pada mantra Using (magi hitam, merah, kuning, dan putih), yang menarik untuk dijadikan populasi adalah mantra yang bermagi merah dan kuning (tergolong jenis santet atau pengasihan).[5] Hal itu sedikitnya dilandasi oleh tiga hal. Pertama, mantra bermagi kuning dan merah tidak hanya dimiliki atau digunakan oleh dukun, tetapi dapat digunakan oleh masyarakat Using pada umumnya sehingga bersifat populis. Kedua, mantra bermagi kuning dan merah dapat digunakan untuk memanipulasi kesadaran seseorang tanpa menggunakan cara-cara yang destruktif, khususnya sebagai media pengasihan (mencari jodoh). Ketiga, mantra bermagi kuning dan merah sangat populer di kalangan masyarakat Using sehingga ia menjadi salah satu identitas budaya Using.
Dari populasi mantra bermagi kuning dan merah tersebut, sampel kajian difokuskan pada mantra Sabuk Mangir (SM) yang mewakili magi kuning dan mantra Jaran Goyang (JG) yang mewakili magi merah. Pemilihan kedua mantra beserta varian-variannya tersebut dilandasi oleh tingkat popularitasnya di dalam masyarakat yang begitu tinggi, yang melebihi popularitas mantra-mantra lainnya. Popularitas kedua mantra beserta variannya tersebut merambah hingga ke berbagai kalangan masyarakat sehingga hampir semua orang Using mengenalnya.
Bertolak dari latar belakang tersebut, tulisan berikut mencoba memaparkan konvensi struktural, aspek kelisanan, dan fungsi mantra SM dan JG (jenis santet) dalam konteks budaya Using.
Adapun data yang menjadi objek kajian diperoleh melalui wawancara dengan beberapa dukun di Desa Kemiren, Olehsari, dan Mangir, Banyuwangi. Data tersebut meliputi tiga varian mantra SM dan tiga varian mantra JG (selanjutnya disebut SM1, SM2, SM3, JG1, JG2, dan JG3). Dengan demikian, terdapat tiga mantra SM dan tiga mantra JG yang berbeda. Perbedaan mantra-mantra tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan asal wilayah, tetapi dipengaruhi oleh perbedaan pemerolehan ngelmu dukun yang menjadi nara sumber. 
Karakteristik Budaya Using
Kajian terhadap mantra SM dan JG dapat dilakukan secara holistik apabila menempatkan mantra tersebut dalam konteks budaya Using. Secara makro, karakteristik bahasa dan budaya Using –dalam batas tertentu-- dapat dikatakan mempunyai persamaan dengan bahasa dan budaya Jawa pada umumnya. Bahasa yang selama ini digunakan sebagai alat komunikasi orang Using adalah bahasa yang oleh banyak pakar linguistik dikategorikan sebagai bahasa Jawa dialek Banyuwangi (Ali, 1994:225). Sementara itu, budaya Using yang berakar pada nilai dasar agraris tradisional dengan slametan sebagai proyeksi dari nilai rukun (yang sekaligus bentuk ekspresi dari harmonisasi hubungan dunia mikrokosmos dan makrokosmos) tersebut juga mencerminkan karakteristik budaya Jawa pada umumnya. Namun, khususnya yang berkaitan dengan bahasa, orang Using tidak mengakui bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Jawa, melainkan bahasa Using (Ali, 1991; Herusantosa, 1987). Argumentasi tentang bahasa Using itu diperkuat oleh kenyataan di lapangan bahwa bahasa Using (terutama yang masih relatif asli) tidak memiliki unggah-ungguh atau basa krama (orang Using menyebutnya besiki), baik dalam penggunaan bahasa yang menyangkut domain strata sosial maupun strata kekerabatan, kecuali menyangkut dua kata, yakni ndika dan rika (keduanya berarti ‘kamu’) yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang dihormati.[6] Dengan demikian, paralel dengan struktur sosial masyarakat Using, bahasa Using bersifat egaliter, yakni bahasa yang dipergunakan dengan pengandaian bahwa semua pemakai bahasa tersebut memiliki kedudukan yang setara. 
Pandangan-dunia orang Using merupakan refleksi dari nilai dasar pola kehidupan ritual yang bermuara pada berbagai aktivitas seremonial yang berupa slametan. Slametan tidak hanya merupakan ungkapan ritual dalam rangka ritus peralihan kehidupan individual, tetapi juga merupakan ungkapan yang berdimensi sosial. Slametan juga menjadi pola hubungan yang bersifat vertikal dan sekaligus horizontal. Pola upacara ritual slametan juga mendasari terbentuknya konvensi dalam masyarakat Using untuk senantiasa menjaga keseimbangan atau keharmonisan antara jagad cilik (mikrokosmos) dengan jagad gedhe (makrokosmos). Munculnya musibah yang disebabkan oleh adanya bencana alam atau adanya konflik sosial, menurut pandangan orang Using, merupakan tanda adanya suasana ketidakharmonisan atau ketidakseimbangan antara mikrokosmos dengan makrokosmos.        
Ciri khas karakteristik budaya Using yang menonjol adalah sinkretis, yakni dapat menerima dan menyerap budaya masyarakat lain untuk diproduksi kembali menjadi budaya Using (Singodimayan, 1999). Selain itu, budaya Using juga akomodatif terhadap kekuatan supranatural, gaib, dan magis. Sinkretisme agama Islam dengan kepercayaan animisme-dinamisme, yang terakumulasi dalam keyakinan terhadap dhanyang, tampak dalam upacara-upacara ritual seperti Seblang, Barong, Kebo-keboan, sedangkan sinkretisme dalam dimensi kesenian tampak dalam seni Praburoro dan Hadrah Kuntulan. Seblang, Barong, dan Kebo-keboan, merupakan ekspresi religius dalam bentuk seremonial upacara ritual yang dimaksudkan sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta atas ketentraman hidup mereka. Dalam upacara ritual bersih desa, yang biasanya dipimpin seorang dukun, diperlukan perlengkapan sesaji sebagai persembahan kepada para dhanyang yang mbahureksa wilayah desa yang bersangkutan; upacara ritual Seblang dilakukan di Desa Olehsari dan Bakungan, Barong di Desa Kemiren, dan Kebo-keboan di Desa Alasmalang. Sementara itu, Praburoro dan Hadrah Kuntulan merupakan seni drama tari dan seni tari yang erat implikasinya dengan penyebaran Islam di Banyuwangi. Namun, kedua seni Islami tersebut mengalami transformasi dengan mengakomodasi nilai-nilai tradisional Using, termasuk munculnya penari perempuan pada Hadrah Kuntulan yang semula dianggap tabu.
Sikap akomodatif terhadap kekuatan supranatural atau kekuatan gaib yang bersifat magis juga merupakan dimensi dari sifat sinkretis budaya Using. Sebagaimana diketahui, Banyuwangi merupakan salah satu wilayah yang penduduk aslinya berbasis kekuatan supranatural dengan ditopang tradisi bermantra. Oleh karena itu, budaya santet dan sihir yang marak di kalangan masyarakat Using tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang “menghebohkan,” tetapi justru merupakan bagian integral dari khazanah budaya tradisional mereka (Saputra, 1999). Tradisi semacam itu tidak menghilang begitu saja ketika pesantren-pesantren marak balakangan ini sebab ada titik persinggungan antara tradisi kekuatan magis dengan pemanfaatan (atau penyalahgunaan) ayat-ayat Al Quran. 
Dalam hal kepribadian, karakteristik orang Using berbeda dari orang Jawa. Menurut Singodimayan (Wirata, 1995:3-4) kepribadian orang Using tidak bersifat halus atau toleran seperti orang Jawa,[7] melainkan bersifat aclak, ladak, dan bingkak. Aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain, dan tidak takut merepoti diri sendiri, walaupun tidak sanggup melakukannya, atau sering juga disebut sebagai “maunya diri”,[8] sedangkan ladak berarti sombong. Adapun  bingkak berarti acuh tak acuh, tak mau tahu urusan orang lain. Di antara ketiga sifat tersebut, aclak merupakan sifat yang paling dominan. Dalam perkembangannya, aclak tidak saja menyangkut sifat, tetapi juga sikap orang Using. Dengan sikap aclak yang “kebablasan” menjadikan perilaku orang Using lebih mendekati kategori fitnah. Sebenarnya orang Using menyadari bahwa perbuatan atau omongannya seringkali mendekati fitnah yang berarti juga menyakiti orang lain. Namun, karena di sisi lain mereka memiliki sifat bingkak, perbuatan yang mendekati fitnah tersebut tidak begitu dihiraukannya. 
Perlu dijelaskan bahwa dalam budaya Using tidak dikenal adanya pembunuhan terhadap dukun dengan cara pembantaian, tetapi ada sebuah mekanisme budaya untuk menghukum dukun, yakni dengan mekanisme sumpah pocong. Bagi masyarakat Using, mekanisme sumpah pocong yang dipimpin seorang kiai yang dilakukan di bawah Al Quran di dalam sebuah masjid/langgar telah menjadi semacam institusi untuk melegitimasi kesucian/kejujuran seseorang yang tertuduh sebagai dukun (terutama dukun sihir).[9] Mekanisme budaya seperti itu merupakan salah satu model penyelesaian kekerasan dan sekaligus merupakan refleksi bahwa budaya Using tidak menyukai kekerasan, setidak-tidaknya kekerasan secara terbuka (Saputra, 2001a:8).
Dalam konteks budaya Using, sebagaimana telah disingung, mantra Using dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mantra jenis sihir (untuk sarana pembunuhan), santet (sarana pengasihan), dan penyembuhan (sarana pengobatan). Berdasarkan jenis maginya, mantra Using dapat dipilah menjadi empat macam tipologi, yaitu magi hitam (tergolong sihir), merah, dan kuning (keduanya tergolong santet), serta putih (tergolong penyembuhan). Perbedaan magi merah dan kuning terletak pada  “misi” yang menjiwainya; magi merah didasari rasa dendam/nafsu, sedangkan magi kuning didasari ketulusan hati (Kusnadi, 1993). Empat macam jenis magi tesebut, tampaknya, berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap filosofi isi tubuh manusia yang terdiri atas sedulur papat, lima badan.[10] Sedulur papat merupakan refleksi empat saudara spiritual yang melingkupi tubuh manusia, yakni nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah.[11] Nafsu aluamah merupakan refleksi dari tanah atau bumi, yang dapat dimaknai sebagai pemilikan dan berorientasi pada sikap serakah (ditandai dengan warna hitam). Nafsu amarah merupakan refleksi dari api, yang dapat dimaknai sebagai penguasaan[12] dan berorientasi pada sikap temperamen tinggi (ditandai dengan warna merah). Nafsu supiyah merupakan refleksi dari angin yang dapat dimaknai sebagai keindahan dan berorientasi pada pola hedonisme (ditandai dengan warna kuning). Nafsu mutmainah merupakan refleksi dari air, yang dapat dimaknai sebagai pengetahuan dan berorientasi pada religiusitas (ditandai dengan warna putih). Sementara itu, lima badan merupakan unsur kelima dari konfigurasi numerologis papat-lima  yang terefleksi pada “diri/badan/tubuh/pancer” yang menjadi pusat kosmis dari keempat unsur lainnya (yang ditandai dengan percampuran keempat warna tersebut) (Saputra, 2002:200-203).
Sementara itu, berdasarkan kekuatan maginya, mantra Using dapat dimanfaatkan dengan cara (1) homeopathic magic (magi homeopatik) yang disebut juga imitative magic (magi meniru), dan (2) contagions magic (magi yang menular) yang disebut juga magic of touch (magi sentuhan).[13] Cara yang pertama dilandasi oleh pengandaian bahwa segala sesuatu yang memiliki kemiripan dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan kekuatan magis, sedangkan yang kedua dilandasi pengandaian bahwa segala sesuatu yang pernah bersentuhan tetap memiliki hubungan magis. Efektivitas kekuatan magi tersebut, setidak-tidaknya, memerlukan tiga unsur, yakni subjek, objek, dan bidang gravitasi (lihat, Levi-Strauss, 1997). Subjek diwakili oleh dukun, objek diwakili oleh orang yang menjadi sasaran (objek penderita), dan bidang gravitasi atau perantara dapat berupa sarana yang digunakan atau situasi kelompok masyarakat yang  kondusif.
Adapun laku mistik dapat dilakukan dengan berbagai mekanisme. Namun, orang Using sering melakukan simplifikasi ketika mengungkapkan mekanisme laku mistik yang sebenarnya cenderung kompleks tersebut, yakni bahwa meknisme laku mistik berinti pada upaya untuk melakukan sat-tus. Terminologi sat-tus mengacu pada frase disat dan ditus (keduanya berarti ‘dikuras’); disat terkait dengan isi perut, sedangkan ditus terkait dengan mata. Jadi, inti laku mistik adalah wetenge disat matane ditus (‘perut dan mata dikuras’); perut dikuras dengan cara pasa (‘berpuasa’), mata dikuras dengan cara lek-lekan (‘selalu jaga / tidak tidur’) (Saputra, 2003a:234-235).
Dengan mengacu pada konsep analogi,[14] seorang budayawan Using, Hasnan Singodimayan,[15] menjelaskan kekuatan gaib tubuh manusia yang terefleksi pada mantra dengan memberikan analogi tenaga listrik. Menurutnya, tubuh manusia dapat dianalogikan dengan tenaga listrik, karena keduanya sama-sama mengandung tiga partikel massif yang bersifat nonmateri, yakni elektron, proton, dan neutron. Demikian juga, kekuatan tubuh manusia yang berupa kekuatan gaib. Kekuatan gaib tubuh manusia bersifat nonmateri, yakni berupa bioelektron yang diperkuat dengan bioplasma. Bioelektron merupakan kekuatan pancaran tubuh manusia, sedangkan bioplasma merupakan kekuatan pancaran aura atau lingkaran dari tubuh manusia. Lebih lanjut, Singodimayan menjelaskah bahwa laku mistik tersebut sebenarnya hanya sebagai perantara untuk mencapai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi, yang kemudian menghasilkan tenaga psikokinetis. Tenaga psikokinetis adalah tenaga pikiran manusia yang dihasilkan atas dasar konsentrasi. Dengan demikian, inti kekuatan gaib terletak pada kekuatan bioelektron, bioplasma, dan tenaga psikokinetis manusia.
Mantra sebagai Puisi Lisan
Menurut Lord (1981:47), ciri utama puisi lisan adalah adanya formula dan ekspresi formulaik. Bahkan, ditegaskannya bahwa tidak ada puisi lisan yang tidak formulaik. Selain formula, Lord (1981) juga menekankan aspek kelisanan puisi lisan berupa komposisi, performance, dan transmisi. Namun, ia tidak memberi deskripsi yang eksplisit tentang ketiga konsep tersebut. Justru Finnegan (1992), dengan berpijak pada  paparan Lord, mendeskripsikan secara eksplisit ketiga konsep tersebut, sebagaimana diuraikan berikut.
Menurut Finnegan (1992:117-121), komposisi dimaksudkan sebagai cara atau proses penciptaan sastra lisan atau cara satra lisan disusun dan dihidupkan. Konsep komposisi tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan pertunjukkan (performance), keterkaitannya dengan memorisasi, atau keterkaitannya dengan teks-pasti (fixed text) dan teks-bebas (free text).
Menurut Finnegan (1992:91-94), performance adalah suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat dipahami. Performance dapat dibedakan menjadi dua model, yakni model performance yang ditampilkan di hadapan audiens dan model performance yang ditampilkan tidak di hadapan audiens (dengan waktu dan tempat yang dikondisikan). Model yang pertama dimanfaatkan untuk tujuan hiburan (estetis), sedangkan model yang kedua untuk tujuan sakral (Suryadi, 1993:18-19).
Transmisi dimaksudkan sebagai penyebaran atau penurunan sastra lisan. Menurut Finnegan (1992:114-115), konsep transmisi tidak dapat dilepaskan dari konsep memori; dari memori berkembang menjadi transmisi. Model awal memori sering bersifat pasif sehingga memori seseorang dalam keadaan atau kondisi masyarakat “tribal” harus secara alami lebih baik daripada masyarakat “keberaksaraan.” Model berikutnya cenderung bersifat aktif, yakni berkembang dari gagasan mengenai penyimpanan memori secara kata per kata menjadi rekonstruksi dan reorganisasi dari pengetahuan sebelumnya.
Sebelum dibahas formulanya, mantra SM dan JG terlebih dahulu dibahas komposisi, performance, dan transmisinya.
Sebagaimana mantra pada umumnya, mantra SM dan JG sulit untuk ditelusuri secara pasti siapa penciptanya, di mana diciptakan, dan kapan diciptakan. Namun, berdasarkan pengetahuan umum (informal) para nara sumber, dapat diketahui bahwa mantra SM dan JG diciptakan (komposisi)  secara lisan (mengutamakan memorisasi) oleh dukun (individual) yang memiliki ngelmu yang cukup tinggi (mampu melakukan manunggaling kawula-Gusti).[16] Mantra-mantra tersebut diciptakan pada masa pascaperang Puputan Bayu (1771-1772) dengan tujuan utama sebagai sarana untuk membantu mempermudah perjodohan di antara orang-orang Using sendiri (yang saat itu cerai-berai). Adapun tempat diciptakannya mantra-mantra tersebut diperkirakan di wilayah Alas Purwo, yakni sebuah wilayah di Banyuwangi bagian selatan yang terdiri atas hamparan hutan yang angker. Sampai saat ini, wilayah Alas Purwo[17] dikenal oleh masyarakat Using sebagai wilayah yang paling angker dan masih digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan laku mistik.[18]
Sementara itu, performance yang berupa prosesi ritual matek aji dilakukan secara lisan oleh dukun dan pelaksanaannya cenderung berbeda antara dukun yang satu dengan dukun yang lain. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan sarana verbal (mantra SM atau JG), sarana nonverbal (pastfoto, garam, gula pasir), tempat (di dalam rumah, di halaman, di sawah, di tempuran, di kuburan) dan perlengkapan busana (busana lengkap, telanjang dada, telanjang bulat). Adapun tentang waktu dilangsungkannya prosesi ritual matek aji, antara dukun yang satu dengan dukun lain cenderung sama, yakni waktu tengah malam atau setelah tengah malam sampai menjelang adzan Subuh. Selain itu, perbedaan juga terjadi pada keterlibatan pemesan dalam prosesi ritual matek aji. Keterlibatan pemesan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yakni (1) pemesan tidak mau terlibat langsung (menyerahkan seluruh prosesi ritual kepada dukun), (2) pemesan hanya terlibat dalam sebagian prosesi ritual, dan (3) pemesan terlibat dalam seluruh prosesi ritual. Dari ketiga kategori tersebut, yang paling manjur dan efektif  kekuatan gaib dari proses ritual matek aji-nya adalah kategori yang ketiga.
Adapun proses transmisi mantra SM dan JG dilakukan secara lisan dengan cara transmisi pasif, yakni transmisi yang lebih mementingkan isi memori daripada proses memori, dengan cara menghafal kata demi kata. Hal tersebut terkait dengan sifat sakral mantra yang menuntut adanya teks-pasti, yakni teks yang tidak pernah berubah, meskipun ditransmisikan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Setelah aspek komposisi, performance, dan transmisi, mantra SM dan JG dapat dideskripsikan dari segi strukturnya. Secara struktural, masing-masing data mantra SM dan JG (setelah ditranskripsi) tidak berbait (atau hanya satu bait). Dikatakan tidak berbait karena ucapan dukun terhadap larik-larik mantra tidak menunjukkan adanya jeda yang berbeda. Oleh karena itu, pentranskripsian terhadap larik-larik mantra yang diucapkan dukun --yang penulis rekam dengan tape recorder-- tersebut juga dilakukan dengan jeda yang sama, yang berarti pula satu mantra disusun dalam satu struktur bait.[19] Masing-masing mantra tersusun atas larik-larik dengan jumlah yang berbeda-beda. Mantra SM1, SM2, dan SM3 terdiri atas 18 larik, 16 larik, dan 13 larik, sedangkan mantra JG1, JG2, dan JG3 terdiri atas 15 larik, 17 larik, dan 17 larik.
Sementara itu, masing-masing mantra tersusun atas unsur-unsur yang membentuk struktur yang utuh, atau yang oleh Piaget (1995:4-10) disebut sebagai the idea of wholeness (gagasan keutuhan atau totalitas). Gagasan keutuhan berarti bahwa struktur memiliki koherensi intrinsik, merupakan kesatuan yang bulat, dan bagian-bagian yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur tersebut.
Secara garis besar, struktur mantra SM dan JG memiliki persamaan, yakni terdiri atas enam unsur atau bagian. Keenam unsur tersebut meliputi: unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul mantra biasanya terdiri atas kelompok kata yang diasumsikan dapat mencerminkan tujuan atau menjadi ciri khas mantra yang bersangkutan. Sementara itu, unsur pembuka pada mantra SM dan JG memiliki persamaan, yakni diambil dari bahasa Arab dan merupakan bagian dari doa yang digunakan oleh umat Islam. Unsur pembuka tersebut berbunyi Bismillāhir rahmānir rahīm. Ucapan tersebut sebenarnya tidak hanya digunakan sebagai unsur pembuka pada mantra SM dan JG, tetapi juga digunakan sebagai unsur pembuka pada semua mantra Using (cenderung bersifat umum atau seragam).
Unsur ketiga dikatakan sebagai unsur niat karena bagian tersebut menggunakan kata kunci niat. Kata niat ini juga dapat dikaitkan dengan ungkapan yang menyebutkan bahwa “segala sesuatu bergantung pada niatnya”. Selain kata niat, pada unsur niat ini juga terdapat frase yang menunjukkan judul mantra yang bersangkutan. Ada sebagian masyarakat Using yang mengaitkan unsur niat dengan mantra itu sendiri secara keseluruhan  atau pun hanya lafalnya.
Unsur sugesti adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang oleh dukun dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu membangkitkan potensi kekuatan magis atau kekuatan gaib pada mantra. Artinya, sebelum sampai kepada inti mantra, ada bagian yang berisi sugesti atau analogi yang berbeda-beda antara satu mantra dengan mantra lainnya.
Unsur tujuan adalah muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam penggunaan mantra. Ia juga merupakan semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Tujuan yang terkandung dalam mantra SM berbeda dari mantra JG. Tujuan dalam penggunaan mantra SM berorientasi pada persoalan pengasihan  yang dilakukan dengan landasan ketulusan hati, sedangkan tujuan penggunaan mantra JG berorientasi pada persoalan pengasihan yang dilandasi oleh rasa balas dendam atau hawa nafsu semata.
Sebagaimana pada unsur pembuka, unsur penutup mantra bersifat seragam atau umum. Artinya, semua mantra Using menggunakan unsur penutup yang sama, yakni berbunyi Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh.
Uraian struktur mantra SM dan JG tersebut dapat disusun ke dalam bentuk tabel, seperti berikut.  

Tabel 1

Struktur Mantra Sabuk Mangir

STRUKTUR MANTRA SABUK MANGIR

Unsur Judul
Sabuk Mangir 1  
Sabuk Mangir 2  
Sabuk Mangir 3  
Unsur Pembuka
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
(1)Bismillāhir rahmānir rahīm   
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
Unsur Niat
(2) Niat isun matek aji Sabuk Mangir
(2) Niat isun matek aji Sabuk Mangir
(2) Niat isun matek aji Sabuk         Mangir
Unsur Sugesti
(3) Lungguh isun lungguhe Nabi Adam
(4) Hang sapa ningali lungguh isun iki
(5) Ya isun iki lungguhe Nabi Adam
(6) Badan isun badane Nabi Muhammad
(7) Hang sapa ningali badan isun iki
(8) Ya isun iki badane Nabi Muhammad
(9) Cahyanisun cahyane Nabi Yusuf
(10) Hang sapa ningali cahyanisun iki
(11) Ya isun iki cahyane Nabi Yusuf
(12) Suaranisun suarane Nabi Daud
(13) Hang sapa krungu suaranisun iki
(14) Ya isun iki suarane Nabi Daud
(3) Isun nyalami sedulur papat lima badan
(4) Isun njaluk tulung sira
(5) Isun kongkon mlebu atine hang sun tuju
(6) Ketok turu sira tangekna
(7) Ketok tangi sira lungguhna   
(8) Ketok lungguh sira degna 
(9) Ketok ngadeg sira lakokna
(10) Ketok mlaku sira playokna 
(11) Aja tapi mandheg
(12) Kadhung durung turu bantal tangan isun 

(3) Kuma poteh asale bapak ira
(4) Kuma bang asale emak ira
(5) Raganira raganisun
(6) Sukmanira sukmanisun
(7) Cahyanira cahyanisun
(8) Wahyunira wahyunisun
(9) Welas asih ira welas asih isun

Unsur Tujuan
(15) Teka welas teka asih jebeng beyine…
(16) Asiha marang jabang bayinisun
(17) Sih-asih kersane Gusti Allah
(13) Teka welas teka asih jebeng beyine… 
(14) Asiha marang jabang bayinisun
(15) Sih-asih kersane Gusti Allah
(10)Teka welas teka asih jebeng beyine …
(11) Asiha marang jabang bayinisun
(12) Sih-asih kersane Gusti Allah  
Unsur Penutup
(18)  Lā ilāha illallāh

        Muhammadur rasūlullāh

(16)  Lā ilāha illallāh
        Muhammadur rasūlullāh
(13) Lā ilāha illallāh
        Muhammadur rasūlullāh

 

Tabel 2

Struktur Mantra Jaran Goyang


STRUKTUR MANTRA JARAN GOYANG


Unsur Judul
Jaran Goyang 1 
Jaran Goyang 2 
Jaran Goyang 3 
Unsur Pembuka
(1)  Bismillāhir rahmānir rahīm   
(1)  Bismillāhir rahmānir rahīm   
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
Unsur Niat
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
Unsur Sugesti
(3) Sun goyang ring tengah latar
(4) Sun sabetake gunung gugur
(5) Sun sabetake lemah bangka
(6) Sun sabetake segara asat
(7) Sun sabetake ombak sirep

(3) Sun goyang ring tengah latar
(4) Sun wolak-walik jantung atine
(5) Sun remet-remet limpane
(6) Sun kerik-kerik sikile 
(7) Kecaruk turu sun tangekna  
(8) Kecaruk tangi sun lungguhna 
(9) Kecaruk lungguh sun degna
(10) Kecaruk ngadeg sun lakokna 
(11) Kecaruk mlaku sun playokna 

(3) Sun goyang ring tengah latar
(4) Sedulur papat lima badan
(5) Kaki dhanyang nini dhanyang
(6) Bapa dhanyang ibu dhanyang 
(7) Kuma poteh asale bapak ira
(8) Kuma bang asale emak ira
(9) Roh ira mandi roh isun mandi
(10) Sukmanira mandi sukmanisun madi
(11) Ciptanira mandi ciptanisun mandi
Unsur Tujuan
(8) Sun sabetake atine jebeng beyine …
(9) Kadhung edan sing edan
(10) Kadhung gendheng sing gendheng
(11) Kadhung bunyeng sing bunyeng
(12) Aja  mari-mari 
(13) Kadhung sing isun hang nambani 
(14) Sih-asih kersane Gusti Allah
(12) Sun kenengna jebeng beyine …
(13) Kadhung edan sing edan
(14) Aja mari-mari
(15) Kadhung sing isun hang nambani
(16) Sih-asih kersane Gusti Allah 


(12) Sun tamanna jebeng beyine …
(13) Kadhung edan sida edan
(14) Aja mari-mari
(15) Kadhung sing isun hang nambani 
(16) Sih-asih kersane Gusti Allah

Unsur Penutup
(15) Lā ilāha illallāh
        Muhammadur rasūlullāh
(17) Lā ilāha illallāh
        Muhammadur rasūlullāh
(17) Lā ilāha illallāh
        Muhammadur rasūlullāh

Formula Mantra Sabuk Mangir 
Teori formula dipopulerkan oleh Parry dan Lord, yang kemudian dikenal sebagai teori formula Parry-Lord. Dalam teori formula, menurut Lord (1981:5), konsep kelisanan tidak hanya dimaknai sebagai presentasi lisan, tetapi juga dimaknai sebagai komposisi selama terjadinya penampilan secara lisan. Menurut Lord (1981:30), formula adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Dengan demikian, formula merupakan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas.
 Sementara itu, ekspresi formulaik adalah larik atau paruh larik yang disusun atas dasar pola formula (Lord, 1981:4). Menurut Ong (1989:35), penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat, serta menjadi ungkapan  tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan.
Menurut Lord (1981:65), “tata bahasa puitik” dari puisi lisan merupakan “tata bahasa parataksis” (grammar of  parataxis), yakni konstruksi kalimat, klausa, atau frase koordinatif yang tidak menggunakan kata penghubung. Analisis tekstual, khususnya analisis formula, menururt Lord (1981:45), harus dimulai dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan. Hal tersebut dilakukan untuk menemukan formula dengan berbagai variasi polanya. Lebih lanjut, Lord (1981:47) menunjukkan benang merah analisis formula tersebut, yakni tidak ada larik atau paruh larik yang tidak membentuk pola formulaik. Larik dan paruh larik yang disebut formulaik tersebut tidak hanya mengilustrasikan pola-polanya sendiri, tetapi juga menunjukkan contoh sistem puisi lisan. Oleh karena itu, Lord (1981:47) menggarisbawahi bahwa tidak ada puisi lisan yang tidak formulaik.
Prinsip kelisanan berorientasi pada proses pembelajaran sehingga tidak hanya terbatas pada presentasi lisan. Dengan prinsip tersebut, menurut Lord (1981:280), teks-teks yang dianggap sakral dan harus ditransmisikan kata demi kata (teks-pasti) tidak dapat dikatakan memiliki prinsip kalisanan, kecuali dalam pengertian teknis (harfiah).
Dengan mengacu pada konsep tersebut, mantra SM dan JG --yang nota bene merupakan teks sakral-- yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini, termasuk sebagai puisi lisan yang hanya memiliki aspek kelisanan sebatas dalam arti teknis. Meskipun demikian, mantra tersebut memiliki bentuk atau pola formula yang cukup dominan sehingga layak untuk dikaji formula dan ekspresi formulaiknya.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa berdasarkan hasil temuan di lapangan terdapat tiga varian mantra SM, yakni mantra SM1, SM2, dan SM3. Ketiga varian mantra SM tersebut memiliki tingkat orisinalitas yang sama karena mantra yang satu tidak diturunkan atau merupakan versi mantra yang lain. Hal itu didasari oleh argumentasi bahwa mantra merupakan bentuk teks-pasti sehingga proses transmisinya dilakukan secara pasif dengan cara menghafal kata demi kata. Pembahasan formula mantra SM dilakukan secara “berlapis”, dimulai dengan pembahasan perbandingan antarvarian teks mantra. Pembahasan terhadap formula antarvarian teks mantra tersebut bertujuan untuk membandingkan formula yang terdapat pada varian mantra yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, diupayakan untuk mencari persamaan-persamaan formula antarvarian teks mantra.[20] Untuk mempermudah hal tersebut, berikut ini dikutip teks mantra  SM1, SM2, dan SM3 secara berjajar dalam bentuk tabel.

Formula Mantra Sabuk Mangir

 

FORMULA MANTRA SABUK MANGIR



Sabuk Mangir 1 
___________
------------------

(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
     ___________________    
     ------------------------------

(2) Niat isun matek aji Sabuk Mangir
     ________________________
     ---------------------------------------

(3) Lungguh isun lungguhe Nabi Adam
                  ___             _________
     ----------------------------------------

(4) Hang sapa ningali lungguh isun iki
      ____________            ______    
      --------------------------------------

(5) Ya isun iki lungguhe Nabi Adam
      ________             ________
      ------------------------------------

(6) Badan isun badane Nabi Muhammad
               ___            ____________  
      -----------------------------------------

(7) Hang sapa ningali badan isun iki
      ____________          _____
      ------------------------------------

(8) Ya isun iki badane Nabi Muhammad
      ________           ____________
      -----------------------------------------

(9) Cahyanisun cahyane Nabi Yusuf
               ___             ________
      -----------------------------------

(10) Hang sapa ningali cahyanisun iki
       ____________            _____
       -------------------------------------

(11) Ya isun iki cahyane Nabi Yusuf
       ________             ________
       ------------------------------------

(12) Suaranisun suarane Nabi Daud
               ____            ________
       -----------------------------------

(13) Hang sapa krungu suaranisun iki
       _____________          _____
       -------------------------------------




(14) Ya isun iki suarane Nabi Daud
       ________            ________  
       -----------------------------------

(15) Teka welas teka asih jebeng beyine…
        _________________________
        ----------------------------------------

(16) Asiha marang jabang bayinisun
       ______________________
       -----------------------------------

(17) Sih-asih kersane Gusti Allah
       ____________________
       --------------------------------

(18) Lā ilāha illallāh
       ___________      
       ------------------

            Muhammadur rasūlullāh
            _________________
            ---------------------------


Sabuk Mangir 2 
____________
--------------------

(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
     ___________________
     -------------------------------

(2) Niat isun matek aji Sabuk Mangir
     ________________________
     ---------------------------------------

(3) Isun nyalami sedulur papat lima badan
     _________
     ------------------------------------------

(4) Isun njaluk tulung sira
      ________
      ---------------------------

(5) Isun kongkon mlebu atine hang sun tuju
     _________
     -----------------------------------------

(6) Ketok turu sira tangekna
      _______   ________
      --------------------------

(7) Ketok tangi sira lungguhna   
      _______   _________
      ----------------------------

(8) Ketok lungguh sira degna 
      _________   ______
      ---------------------------

(9) Ketok ngadeg sira lakokna
      ________   ________
      ----------------------------

(10) Ketok mlaku sira playokna 
       _________   ________ 
       ------------------------------

(11) Aja tapi mandheg

       --------------------


(12) Kadhung durung turu bantal tangan isun 

      ----------------------------------------











(13) Teka welas teka asih jebeng beyine… 
       _________________________
       ----------------------------------------

(14) Asiha marang jabang bayinisun
       ______________________
       -----------------------------------

(15) Sih-asih kersane Gusti Allah
       ____________________
       --------------------------------

(16) Lā ilāha illallāh
       ___________
       ------------------
  
            Muhammadur rasūlullāh
            _________________
            ---------------------------

Sabuk Mangir 3 
____________
--------------------

(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
     ___________________
     -------------------------------

(2) Niat isun matek aji Sabuk Mangir
     ________________________
     ---------------------------------------

(3) Kuma poteh asale bapak ira
      _______    __________
      -------------------------------

(4) Kuma abang asale emak ira
      _______    __________
      ------------------------------

(5) Raganira raganisun
      _____    ______
      ---------------------

(6) Sukmanira sukmanisun
      _______   ________
      ---------------------------

(7) Cahyanira cahyanisun
      ______   _______  
      ------------------------

(8) Wahyunira wahyunisun
      _______   ________
      ---------------------------

(9) Welas asih ira welas asih isun
      _________   _________
      -------------------------------
























(10)Teka welas teka asih jebeng beyine …
       _________________________
       ----------------------------------------

(11) Asiha marang jabang bayinisun
       ______________________      
       -----------------------------------

(12) Sih-asih kersane Gusti Allah  
       ____________________
       --------------------------------

(13) Lā ilāha illallāh
       ___________     
       ------------------

            Muhammadur rasūlullāh
            _________________
            ---------------------------
Keterangan :
_______       : formula (dengan berbagai variasinya)
------------      : ekspresi formulaik
Kutipan pada tabel tersebut menunjukkan adanya persamaan formula dalam perbandingan antarvarian teks mantra. Hal itu dapat dilihat pada masing-masing varian mantra SM, khususnya pada larik-larik yang ditandai dengan garis utuh sepanjang satu larik. Persamaan formula dalam perbandingan mantra SM1, SM2, dan SM3 tersebut dapat dipilah menjadi tiga pola, yakni formula sintaktis, formula repetisi yang bervariasi, dan formula repetisi tautotes. Ketiga pola formula tersebut dibahas sebagai berikut. Formula sintaktis adalah formula yang berupa perulangan kalimat. Formula sintaktis terdapat pada unsur judul,[21] unsur pembuka, unsur niat, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul, unsur pembuka, dan unsur niat masing-masing mantra terdapat pada larik yang sama, yakni larik paling atas, larik (1), dan larik (2). Pola formula dalam unsur tersebut berbunyi Sabuk Mangir (unsur judul), Bismillāhir rahmānir rahīm (unsur pembuka), Niat isun matek aji Sabuk Mangir (unsur niat). Sementara itu, unsur tujuan pada masing-masing mantra terdapat pada urutan larik yang berbeda. Unsur tujuan dalam mantra SM1 terdapat pada larik (15)-(17), sedangkan dalam mantra SM2 terdapat pada larik (13)-(15). Adapun unsur tujuan dalam mantra SM3 terdapat pada larik (10)-(12). Pola formula dalam unsur tersebut berbunyi Teka welas teka asih jebeng beyine… / Asiha marang jabang bayinisun / Sih-asih kersane Gusti Allah. Sementara itu, unsur penutup pada ketiga varian mantra  terdapat pada larik terakhir setiap teks mantra, yang berbunyi Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh. Dengan demikian, semua unsur yang terdapat pada mantra SM1, SM2, dan SM3 memiliki persamaan formula, kecuali pada unsur sugesti.
Adapun formula repetisi yang bervariasi terdapat pada unsur tujuan dalam masing-masing varian mantra, yakni pada larik (15)-(17) mantra SM1, larik (13)-(15) mantra SM2, dan larik (10)-(12) mantra SM3. Ketiga larik yang memuat kata welas-asih,  asiha, dan sih-asih itu merupakan formula pembentuk larik yang berisi pola repetisi yang variatif. Ketiga kata itu memiliki esensi yang sama, tetapi disampaikan dalam bentuk yang berbeda sehingga ia membentuk formula dengan pola repetisi yang variatif. Adapun formula repetisi tautotes terdapat pada larik pertama unsur tujuan dalam masing-masing varian mantra, yakni pada larik (15) mantra SM1, larik (13) mantra SM2, dan larik (10) mantra SM3. Formula repetisi tautotes tersebut berupa perulangan kata teka dalam satu konstruksi larik.
Bentuk-bentuk formula tersebut dimanfaatkan untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Artinya, bentuk formula dalam perbandingan antarvarian mantra SM dimanfaatkan untuk menegaskan adanya satu ide pokok. Ide tersebut sesuai dengan arti atau makna bentuk formulanya. Dalam formula sintaktis, ide hakiki yang diungkapkan adalah makna kalimat itu sendiri, karena formula tersebut merupakan bentuk perulangan kalimat secara utuh. Ide hakiki formula sintaktis pada unsur judul menunjukkan adanya sebuah identitas salah satu mantra pengasihan Using yang bernama Sabuk Mangir. Identitas tersebut berguna untuk membedakannya dengan mantra-mantra lain dalam lingkup komunitas Using. Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur pembuka adalah adanya penghargaan atau penghormatan terhadap Sang Pencipta dengan cara menyebut nama Allah. Penyebutan tersebut mengindikasikan atau mengandaikan bahwa kekuatan-kekuatan magis tidak akan efektif khasiatnya apabila tidak mendapat izin Sang Pencipta. Hal yang hampir sama juga terjadi pada ide hakiki dalam unsur penutup mantra. Bahkan, tidak hanya Tuhan yang disebut dalam unsur penutup mantra, tetapi juga Muhammad. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa mantra Using tidak semata-mata merupakan tradisi lokal Using, tetapi ia telah mendapat pengaruh unsur-unsur budaya luar, khususnya Islam.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur niat adalah matek aji. Frase matek aji tidak hanya sekadar berarti ‘menggunakan kesaktian’, tetapi lebih dari itu, yakni bagaimana kesaktian itu digunakan dengan penjiwaan yang khidmat. Artinya, keyakinan yang tulus dan rasa empati yang mendalam (barangkali dapat diidentikan dengan idiom khusyuk dalam Islam) merupakan modal dasar dalam matek aji. Oleh karena itu, seorang dukun selalu menanyakan keyakinan “pasien”-nya terhadap ngelmu magic dan mantra yang digunakan, sebab apabila tidak yakin, dukun tidak akan bersedia untuk “membantu” permintaan “pasien” tersebut. Adapun ide hakiki formula sintaktis pada unsur tujuan adalah asih atau rasa belas kasih. Rasa tersebut tidak hanya datang dari si objek yang menjadi sasaran mantra (jebeng beyine…) dan si subjek yang memantrai (jabang bayinisun), tetapi juga datang dari kehendak Sang Pencipta. Dengan demikian, pemanfaatan mantra tidak hanya terbatas pada relasi sosial (hubungan horizontal), tetapi juga menyangkut relasi transendental (hubungan vertikal).
Sementara itu, ide hakiki bentuk formula repetisi yang bervariasi  adalah asih. Bentuk formula tersebut memiliki makna bahwa mantra SM mengandung “roh” yang berupa rasa belas kasih yang tulus atau mendalam. Hal itu terbukti dengan perulangan kata asih (dalam bentuk variatif) sampai tiga kali, yang berarti penegasan atau “penyangatan”.[22] Makna tersebut sesuai dengan magi yang terkandung di dalam mantra SM, yakni magi kuning. Magi kuning memiliki sifat ketulusan yang hampir sama atau mendekati dengan ketulusan alami.[23] Oleh karena itu, orang yang terkena kekuatan magi mantra SM akan merasakan suatu perasaan senang (pengasihan) sebagaimana ia merasakan perasaan itu secara alami. Dengan demikian, ia tidak menyadari bahwa dirinya terkena pengaruh kekuatan gaib. Adapun ide hakiki bentuk formula repetisi tautotes adalah memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata teka dalam satu konstruksi larik pada mantra SM1 larik (15), SM2 larik (13), dan SM3 larik (10) menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut. Ia memberi penekanan sugesti atas datangnya rasa belas kasih.
Selain formula, dalam perbandingan antarvarian teks mantra SM juga terdapat ekspresi formulaik. Unsur-unsur yang memiliki persamaan formula antarvarian teks merupakan ekspresi formulaik, karena tersusun atas dasar pola formula. Pola formula merupakan pola yang secara teratur memanfaatkan kata atau frase dalam kondisi matra yang sama. Pola dalam formula sintaktis pada  unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur tujuan, dan unsur penutup tersusun atas perulangan kalimat secara utuh. Sementara itu, pola dalam formula repetisi yang bervariasi dan formula repetisi tautotes tersusun atas perulangan kata atau frase welas-asih, asiha, sih-asih, dan teka.
Bentuk formula tidak hanya terdapat pada perbandingan antarvarian teks, tetapi juga terdapat pada masing-masing varian teks mantra, khususnya pada bagian unsur sugesti. Berikut ini dibahas formula masing-masing varian teks mantra (SM1, SM2, dan SM3) yang terdapat pada unsur sugesti. Dari kutipan dalam Tabel 3 dapat dijelaskan adanya formula pada masing-masing varian teks mantra SM, khususnya yang berpola paralelisme dan repetisi. Formula yang berpola paralelisme dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik.[24] Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM1. Kedua, formula paralelisme sintaktis. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2 dan SM3. Di dalam formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi tautotes, repetisi anafora, dan formula konkatenasi. Ketiga, formula paralelisme yang membentuk larik. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2. Berikut ini penjelasan ketiga macam formula tersebut.
Formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM1, yakni pada larik (3)-(14). Keduabelas larik tersebut, sebenarnya, merupakan formula dalam pola paralelisme sintaktis, yakni pola kesejajaran kalimat. Akan tetapi, formula tersebut dapat dipilah menjadi empat bagian yang membentuk formula baru. Empat bagian yang masing-masing terdiri atas tiga larik itu adalah bagian pertama terdapat pada larik (3)-(5), bagian kedua terdapat pada larik (6)-(8), bagian ketiga terdapat pada larik (9)-(11), dan bagian keempat terdapat pada larik (12)-(14). Keempat bagian tersebut membentuk formula yang berupa kerangka komposisi skematik, yakni pola skematik yang dapat diisi oleh kata atau frase lain yang bervariasi. Dengan demikian, unsur sugesti dalam mantra SM1 merupakan formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik. Hal itu dapat dilihat pada kutipan bahwa bagian pertama  merupakan kerangka komposisi skematik, sedangkan bagian kedua, ketiga, dan keempat  merupakan bentuk perulangan pola kerangka sebelumnya dengan isi yang berbeda atau bervariasi. Dengan kata lain, pola formula keempat bagian tersebut merupakan pengungkapan kembali bagian pertama ke dalam bagian kedua, ketiga, dan keempat dengan pola matra yang sama, tetapi dengan isi yang berbeda atau bervariasi.
Pada bagian pertama, isi yang berbeda tersebut terdapat pada kata lungguh yang dirangkai dengan frase Nabi Adam, sedangkan pada bagian kedua terdapat pada kata badan yang dirangkai dengan frase Nabi Muhammad. Adapun pada bagian ketiga dan keempat, isi yang berbeda terdapat pada kata cahya yang dirangkai dengan frase Nabi Yusuf dan kata suara yang dirangkai dengan frase Nabi Daud. Sementara itu, pada bagian keempat terdapat sedikit variasi kerangka komposisi skematik. Hal itu terlihat pada kata krungu (‘mendengar’) [larik (13)], yang pada bagian-bagian lain berisi kata ningali (‘melihat’). Munculnya bentuk variasi tersebut merupakan penyesuaian terhadap konteks sintaktisnya. Kata ningali dalam konteks tersebut dimanfaatkan karena objeknya adalah benda atau sesuatu yang dapat dilihat (seseorang yang sedang lungguh, badan, dan cahya) sedangkan kata krungu digunakan karena objeknya berupa suara. Suara hanya dapat didengar dan tidak mungkin dapat dilihat.
Sementara itu, formula paralelisme sintaktis terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2 dan SM3. Formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM2 terdapat pada larik (6)-(10), sedangkan dalam mantra SM3 terdapat pada larik (3)-(4) dan (5)-(9). Formula tersebut membentuk kerangka larik dengan isi yang bervariasi. Dalam mantra SM2, kerangka larik dibentuk oleh perulangan kata yang sama, yakni kata ketok dan sira, sedangkan variasi isi terdapat pada kata turu-tangekna, tangi-lungguhna, lungguh-degna, ngadeg-lakokna, dan mlaku-playokna. Adapun dalam mantra SM3, pada larik (3)-(4), perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kuma, asale, dan ira dengan variasi isi berupa kata poteh-abang dan bapak-emak. Sementara itu, pada larik (5)-(9) dalam mantra yang sama, perulangan yang membentuk kerangka larik terdapat pada kata sira dan isun, sedangkan variasi isi terdapat pada perulangan kata raga, sukma, cahya, dan welas asih.
Di dalam formula paralelisme sintaktis mantra SM2 dan SM3 tersebut juga terdapat formula berpola repetisi. Pada larik (6)-(10) mantra SM2 terdapat formula repetisi anafora dan formula konkatenasi. Formula repetisi anafora adalah pola repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase pertama pada sebuah larik ke dalam posisi yang sama pada larik-larik berikutnya, sedangkan formula konkatenasi adalah perulangan kata /frase yang terdapat pada akhir kalimat pertama ke dalam awal kalimat berikutnya, atau pola repetisi kata terakhir suatu larik ke dalam kata awal atau tengah pada larik berikutnya. Formula repetisi anafora dalam mantra SM2 berupa perulangan kata ketok dalam setiap awal larik, sedangkan formula konkatenasi dalam mantra tersebut mengalami variasi atau perubahan. Artinya, kata terakhir suatu larik yang diulang menjadi kata di tengah pada larik berikutnya mengalami variasi atau perubahan, yakni perubahan dari kata bentukan ke kata dasar. Pada larik (6) mantra SM2, kata tangekna mengalami perulangan atau konkatenasi menjadi kata tangi pada larik (7). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam proses konkatenasi terjadi perubahan dari kata bentukan menjadi kata dasar. Demikian juga dengan larik (7)-(10). Konkatenasi dari larik (7) ke larik (8) adalah kata lungguhna ke kata lungguh, sedangkan konkatenasi dari larik (8) ke larik (9) adalah kata degna ke kata ngadeg. Adapun konkatenasi dari larik (9) ke larik (10) adalah kata lakokna ke kata mlaku. Sementara itu, pada larik (3)-(4) mantra SM3 terdapat formula repetisi anafora, sedangkan pada larik (5)-(9) mantra tersebut terdapat formula repetisi tautotes. Formula repetisi tautotes adalah pola repetisi kata atau frase dalam sebuah konstruksi larik. Formula repetisi anafora dalam mantra SM3 berupa perulangan kata kuma dalam setiap awal larik, sedangkan formula repetisi tautotes dalam mantra tersebut berisi perulangan kata dan frase dalam satu konstruksi larik, yakni kata raga, sukma, cahya, wahyu, dan frase welas asih.
Sementara itu, formula paralelisme yang membentuk larik (dengan isi yang bervariasi) terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2, yakni pada larik (3)-(5). Formula paralelisme tersebut berupa frase, yakni gabungan kata isun  dengan kata nyalami, njaluk tulung,[25] dan kongkon dalam kondisi matra yang sama. Kata nyalami, njaluk tulung, dan kongkon merupakan bentuk variasi yang memiliki makna sama (atau hampir sama), yakni permintaan tolong.
Adapun larik-larik yang secara langsung tidak menunjukkan adanya kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama adalah larik (11)-(12) mantra SM2.[26] Meskipun demikian, kedua larik tersebut  termasuk sebagai bentuk formula. Sebab, larik-larik tersebut merupakan semacam kesimpulan dari larik-larik sebelumnya. Larik-larik semacam itu sering disebut sebagai unperiodic enjambement,[27] yakni pikiran yang sudah lengkap dalam sebuah larik, tetapi kalimatnya masih diteruskan. Artinya, larik-larik sebelumnya, khususnya larik (6)-(10), memuat gagasan yang sudah lengkap, tetapi masih diteruskan atau disimpulkan dalam larik (11)-(12) tersebut.  
Bentuk-bentuk formula tersebut diungkapkan dalam rangka untuk menyampaikan ide hakiki. Berikut ini dibahas ide hakiki yang disampaikan dalam bentuk formula, baik yang berpola paralelisme maupun repetisi. Formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik dalam mantra SM1 dimanfaatkan untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Ide hakiki tersebut terdapat pada variasi isi dari pola kerangka komposisi skematik. Pada bagian pertama [larik (3)-(5)], ide hakiki yang diungkapkan adalah kata lungguh yang dipasangkan dengan Nabi Adam, sedangkan pada bagian kedua [larik (6)-(8)] adalah kata badan yang dipasangkan dengan Nabi Muhammad. Sementara itu, pada bagian ketiga dan keempat, ide hakiki yang diungkapkan adalah kata cahya yang dipasangkan dengan Nabi Yusuf  dan kata suara yang dipasangkan dengan Nabi Daud. Makna ide hakiki yang terdapat dalam formula tersebut adalah sebuah pengandaian terhadap menyatunya empat keistimewaan yang dimiliki para Nabi ke dalam diri isun (‘saya’). Dengan keistimewaan tersebut,  dirinya akan “digandrungi” oleh orang yang menjadi sasaran mantra (si objek).
Sebagaimana diketahui, keempat Nabi tersebut memiliki keistimewaan yang khas. Dalam kisah-kisah para Nabi yang telah populer dalam masyarakat Muslim diceritakan bahwa keistimewaan Nabi Yusuf (dalam kaitannya dengan kata cahya) terletak pada ketampanannya, sedangkan keistimewaan Nabi Daud (dalam kaitannya dengan kata suara) terletak pada suaranya. Ketampanan Nabi Yusuf tidak ada bandingannya sehingga ketika seorang perempuan yang sedang mengupas buah memandangi Sang Nabi, ia tidak merasakan bahwa tangannya telah teriris. Hal itu semata-mata karena rasa sakit akibat teriris itu dikalahkan oleh rasa kekagumannya atas ketampanan Sang Nabi yang tiada bandingannya. Sementara itu, keindahan suara Nabi Daud juga tidak ada duanya sehingga dalam sebuah kisah diceritakan bahwa daun yang hendak jatuh pun akan berhenti ketika mendengar suara Nabi Daud. Adapun kisah keistimewaan Nabi Adam dan Nabi Muhammad (khususnya dalam kaitannya dengan kata lungguh dan badan) kurang begitu populer, setidak-tidaknya, apabila dibandingkan dengan kisah kedua Nabi yang telah dibahas sebelumnya. Namun, dapat disebutkan bahwa Nabi Adam memiliki ketinggian tubuh yang berada di atas rata-rata  ketinggian manusia lainnya sehingga ketika dalam posisi duduk pun tubuhnya masih tetap relatif tinggi. Sementara itu, Nabi Muhammad memiliki postur tubuh yang ideal, yang tidak ada bandingannya dengan keidealan tubuh siapa pun. Oleh karena itu,  keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki keempat Nabi tersebut digunakan oleh isun atau orang yang memantrai (menggunakan mantra SM1) sebagai media untuk membangun sugesti bahwa dirinya memiliki keistimewaan sebagaimana yang dimiliki oleh keempat Nabi tersebut. Dengan demikian, keyakinannya dalam menggunakan mantra (SM1) akan semakin mantap, dan keyakinan tersebut sangat berarti terhadap tingkat kemujaraban dalam matek aji terhadap mantra yang bersangkutan.
Sementara itu, formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM2 dan SM3 memiliki ide hakiki sebagai berikut. Ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM2 adalah perintah untuk melakukan aktivitas secara berkelanjutan. Hal itu tercermin dari rentetan kata terakhir pada masing-masing larik [larik (6)-(10)], yakni tangekna, lungguhna, degna, lakokna, dan playokna. Perintah tersebut disampaikan oleh isun kepada sira agar sira melakukannya terhadap si objek. Artinya, ketika si objek sedang tidur (turu), sira harus membangunkan (tangekna), dan ketika si objek sudah bangun (tangi), sira harus “mendudukkan” (lungguhna). Begitu seterusnya, hingga ketika si objek sedang berjalan (mlaku) pun sira harus membuatnya berlari (playokna). Hal tersebut mengandung makna bahwa si objek tidak boleh dalam keadaan diam (turu), tetapi harus selalu beraktivitas yang berujung pada mendekatnya si objek kepada si subjek (pemantra). Dalam mendekat pun tidak dilakukan dengan cara berjalan (mlaku), tetapi dengan cara berlari (playokna), dengan harapan agar tujuan si subjek dalam memikat si objek dapat lebih cepat tercapai. Hal itu diperkuat oleh pernyataan pada larik (11) dan (12) bahwa upaya tersebut jangan sampai berhenti sebelum si objek turu bantal tangan isun (‘tidur berbantal lengan saya/si subjek’). “Tidur berbantal lengan” dapat diartikan sebagai tidur di atas lengan, tetapi juga dapat dimaknai sebagai tidur bersama (suami-istri).
Sementara itu, formula repetisi anafora dan formula konkatenasi dalam mantra SM2 tersebut memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata ketok dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata bentukan menjadi kata dasar (tangekna-tangi, lungguhna-lungguh, degna-ngadeg, dan lakokna-mlaku) menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM3 dapat dibagi menjadi dua bagian, karena bentuk formula dalam mantra tersebut dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama [larik (3)-(4)], ide hakikinya  adalah kuma dengan variasi poteh dan abang. Kuma poteh adalah cairan putih yang berasal dari bapak, yakni berupa sperma, sedangkan kuma abang  adalah cairan merah yang berasal dari ibu, yakni berupa darah keperawanan (ovarium). Menyatunya kedua cairan itu melambangkan embrio kehidupan yang didasarkan oleh cinta kasih. Hal itu erat kaitannya dengan konsep isi dan wadhah yang banyak dianut oleh orang-orang yang memiliki orientasi mistik. Isi adalah benih yang selalu dibawa oleh laki-laki (simbol kelamin laki-laki), sedangkan wadhah adalah tempat yang selalu dibawa oleh perempuan (simbol kelamin perempuan). Terciptanya kehidupan manusia berasal dari pertemuan antara isi dan wadhah, yakni melalui mekanisme memasukkan isi ke dalam wadhah (hubungan seksual). Oleh karena itu, makna  kuma poteh dan kuma abang dalam kaitannya dengan isi dan wadhah adalah bahwa embrio kehidupan berasal dari cinta kasih dan cinta kasih akan bermuara pada menyatunya sperma ke dalam ovarium.
Bagian kedua [larik (5)-(9)], ide hakikinya adalah kepemilikan bersama. Artinya, sesuatu yang menjadi milik ira adalah milik isun atau dapat dikatakan bahwa milikmu adalah milikku. Hal tersebut dilandasi oleh sebuah pengandaian bahwa sesuatu yang dimiliki oleh ira adalah sesuatu yang ideal, termasuk hal-hal yang mengandung unsur kekuatan gaib. Dengan pengandaian semacam itu, isun menginginkan bahwa dirinya “menyerupai” diri ira sehingga semua yang ada di dalam diri ira diakui sebagai miliknya. Makna hal tersebut adalah bahwa semua kekuatan gaib milik ira “diserap” dan dimiliki oleh isun. Dengan demikian, isun memiliki kekuatan gaib yang dapat diandalkan. Sementara itu, formula repetisi anafora dan repetisi tautotes dalam mantra SM3 tersebut, sebagaimana yang terjadi pada mantra SM2, juga memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata kuma dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata raga, sukma, cahya, wahyu, serta frase welas asih dalam satu konstruksi larik menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut. 
Sementara itu, formula paralelisme yang membentuk larik dalam mantra SM2 [larik (3)-(5)] memiliki ide hakiki njaluk tulung.[28] Permintaan tolong tersebut disampaikan oleh isun kepada sira. Dalam konteks ini, yang dimaksud sira adalah sedulur papat lima badan [lihat larik (3)]. Sira dalam mantra SM2 tidak hanya terdapat dalam satu larik, tetapi terdapat dalam sebagian besar unsur sugesti. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua kata sira dalam mantra tersebut mengacu kepada sedulur papat lima badan (konfigurasi papat-lima).[29] Sedulur papat merupakan empat unsur “saudara spiritual”, yakni berupa nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah. Nafsu aluamah adalah nafsu tamak atau serakah, sedangkan nafsu amarah adalah nafsu murka. Sementara itu, nafsu supiyah dan mutmainah adalah nafsu asmara (hedonis) dan religius. Adapun lima badan merupakan unsur kelima yang mengendalikan keempat unsur lainnya atau merupakan unsur yang menjadi pusat kosmis. Unsur kelima itu berupa badan yang berarti diri atau jiwa. Dengan demikian, permintaan tolong isun kepada sira bermakna permintaan tolong kepada seluruh unsur kekuatan spiritual yang ada dalam tubuh, dengan seizin Sang Pencipta.
Selain formula, di dalam ketiga varian mantra SM juga terdapat ekspresi formulaik. Semua larik yang membentuk struktur mantra SM merupakan ekspresi formulaik, karena semua larik tersebut tersusun atas dasar pola formula. Pola formula adalah pola yang secara teratur memanfaatkan kata atau frase dalam kondisi matra yang sama. Pola formula pada unsur sugesti tersusun atas larik-larik dalam satu varian teks dengan kondisi matra yang sama, baik menyangkut penggunaan kata maupun frase. Dalam mantra SM1, penggunaan kata dalam pola formula terdapat pada kata isun, lungguhe, badane, cahyane, dan suarane, sedangkan penggunaan frase dalam pola formula terdapat pada frase  Nabi Adam, Nabi Muhammad, Nabi Yusuf, Nabi Daud, hang sapa ningali, hang sapa krungu, ya isun iki, dan isun iki. Sementara itu, dalam mantra SM2, penggunaan kata dalam pola formula terdapat pada kata isun, ketok, dan sira, sedangkan penggunaan frase dalam pola formula terdapat pada frase yang bersifat variatif, yakni frase isun nyalami, isun njaluk tulung, isun kongkon, ketok turu, ketok tangi, ketok lungguh, ketok ngadeg, ketok mlaku, sira tangekna, sira lungguhna, sira degna, sira lakokna, dan sira playokna. Adapun dalam mantra SM3, pola formulanya berupa frase. Frase tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian, yakni frase yang tersusun atas kelompok kata yang bervariasi dan frase yang tesusun atas kata dan bentuk enklitik. Frase bagian pertama meliputi kuma poteh, kuma abang, asale bapak ira, asale emak ira, welas asih ira, dan welas asih isun, sedangkan frase bagian kedua meliputi raganira, sukmanira, cahyanira, wahyunira, raganisun, sukmanisun, cahyanisun, dan wahyunisun.
Perlu ditambahkan bahwa formula dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga ia merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah dan cepat. Formula dalam mantra dapat membantu mempermudah seseorang dalam menghafalkan mantra, baik menyangkut bentuk formula dalam satu varian teks maupun dalam perbandingan antarvarian teks. Sebagaimana diketahui, pada dasarnya, mantra tidak boleh dituliskan sehingga seorang murid harus menghafal mantra dengan cara mendengarkan mantra yang dilafalkan oleh gurunya (dukun). Dengan memperhatikan bentuk-bentuk formula tersebut, seorang murid akan lebih cepat menghafal mantra karena tinggal mengisi variasi-variasi kata atau frase yang paralelistik atau repetitif ke dalam pola formula yang telah ada.
Formula Mantra Jaran Goyang
Sebagaimana mantra SM, bersadarkan hasil temuan di lapangan terdapat tiga varian mantra JG, yakni mantra JG1, JG2, dan JG3. Sebagaimana dalam mantra SM, pembahasan formula mantra JG dilakukan secara “berlapis”, dimulai dengan pembahasan perbandingan antarvarian teks mantra. Untuk mempermudah hal tersebut, berikut ini dikutip teks mantra  JG1, JG2, dan JG3 secara berjajar dalam bentuk tabel.

Tabel 4

Formula Mantra Jaran Goyang


FORMULA MANTRA JARAN GOYANG



Jaran Goyang 1 
__________
----------------


(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
      __________________
      -----------------------------

(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
      _______________________
      -------------------------------------

(3) Sun goyang ring tengah latar
      __________________
      -----------------------------

(4) Sun sabetake gunung gugur
      ________
      -----------------------------

(5) Sun sabetake lemah bangka
      ________
      ------------------------------



(6) Sun sabetake segara asat
      ________
      --------------------------

(7) Sun sabetake ombak sirep
      _________
      -----------------------------

















(8) Sun sabetake atine jebeng beyine …
      _______________________
      ________
      -------------------------------------

(9) Kadhung edan sing edan
      ________________
      _________  ______
      --------------------------

(10) Kadhung gendheng sing gendheng
        ___________   _________
        -----------------------------------

(11) Kadhung bunyeng sing bunyeng
        ___________   ________
        ---------------------------------

(12) Aja  mari-mari 
        __________
        -----------------

(13) Kadhung sing isun hang nambani 
        ______________________
        ------------------------------------

(14) Sih-asih kersane Gusti Allah
        ____________________
        --------------------------------

(15) Lā ilāha illallāh
        ___________
        ------------------

           Muhammadur rasūlullāh
           __________________
           -----------------------------

Jaran Goyang 2 
___________
------------------


(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
      __________________
      -----------------------------

(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang    
      _______________________
      -------------------------------------

(3) Sun goyang ring tengah latar
      __________________
      -----------------------------

(4) Sun wolak-walik jantung atine
      ___________
      ---------------------------------

(5) Sun remet-remet limpane
      __________
      --------------------------



(6) Sun kerik-kerik sikile 
      __________
      ------------------------

(7) Kecaruk turu sun tangekna  
      ________   ________
      -----------------------------

(8) Kecaruk tangi sun lungguhna 
      ________   __________
      -------------------------------

(9) Kecaruk lungguh sun degna
      __________   ______
      -----------------------------

(10) Kecaruk ngadeg sun lakokna 
       __________   ________
       -------------------------------

(11) Kecaruk mlaku sun playokna 
       __________   ________
       --------------------------------

(12) Sun kenengna jebeng beyine …
        ____________________
     
        --------------------------------

(13) Kadhung edan sing edan
        _________________

        ----------------------------









(14) Aja mari-mari
       __________
       -----------------

(15) Kadhung sing isun hang nambani
       ______________________
       ------------------------------------

(16) Sih-asih kersane Gusti Allah 
        ____________________
        --------------------------------

(17)  Lā ilāha illallāh  
         ___________
         ------------------

            Muhammadur rasūlullāh
            __________________
            -----------------------------

Jaran Goyang 3 
___________
------------------


(1) Bismillāhir rahmānir rahīm   
      __________________ 
      -----------------------------

(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
      _______________________
      -------------------------------------

(3) Sun goyang ring tengah latar
      __________________
      -----------------------------

(4) Sedulur papat lima badan

      ---------------------------

(5) Kaki dhanyang nini dhanyang
      _________   _________
      --------------------------------



(6) Bapa dhanyang ibu dhanyang
      _________   _________
      --------------------------------

(7) Kuma poteh asale bapak ira
      _______   __________
      ------------------------------

(8) Kuma abang asale emak ira
      ________   _________     
      ------------------------------

(9) Roh ira mandi roh isun mandi
      __________   __________
      ----------------------------------

(10) Sukmanira mandi sukmanisun madi
       ___________   ___________
       --------------------------------------

(11) Ciptanira mandi ciptanisun mandi
        __________   ___________
        ------------------------------------

(12) Sun tamanna jebeng beyine …
        ____________________

        --------------------------------

(13) Kadhung edan sida edan
        _________________

        ---------------------------









(14) Aja mari-mari
       __________
       -----------------

(15) Kadhung sing isun hang nambani 
        ______________________
        ------------------------------------

(16) Sih-asih kersane Gusti Allah
        ____________________
        --------------------------------

(17) Lā ilāha illallāh
        ___________
        ------------------

            Muhammadur rasūlullāh
            ___________________
            -------------------------------



Kutipan dalam tabel tersebut menunjukkan adanya persamaan formula dalam perbandingan antarvarian teks mantra. Hal itu dapat dilihat pada masing-masing varian mantra JG, khususnya pada larik-larik yang ditandai dengan garis utuh sepanjang satu larik. Persamaan formula dalam perbandingan mantra JG1, JG2, dan JG3 tersebut berupa formula sintaktis dan formula repetisi tautotes. Formula sintaktis adalah formula yang berupa perulangan kalimat, sedangkan formula repetisi tautotes adalah formula perulangan kata dalam sebuah konstruksi larik. Formula sintaktis terdapat pada unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, sebagian kecil unsur sugesti, sebagian besar unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul, unsur pembuka, dan unsur niat masing-masing mantra terdapat pada larik yang sama, yakni larik paling atas, larik (1), dan larik (2). Formula sintaktis dalam unsur tersebut berbunyi Jaran Goyang (unsur judul), Bismillāhir rahmānir rahīm (unsur pembuka), dan Niat isun matek aji Jaran Goyang (unsur niat). Sementara itu, dalam unsur sugesti  terdapat satu larik yang membentuk formula sintaktis, yakni larik (3) yang berbunyi Sun goyang ring tengah latar.
Adapun dalam unsur tujuan terdapat lima larik yang membentuk formula sintaktis, yakni dalam mantra JG1 terdapat pada larik (8)-(9) dan (12)-(14), dalam mantra JG2 terdapat pada larik (12)-(16), sedangkan dalam mantra JG3 terdapat pada larik (11)-(15). Tiga larik terakhir dalam unsur tujuan pada masing-masing varian mantra tersebut merupakan bentuk formula sintaktis dengan perulangan satu larik penuh, yakni aja mari-mari, kadhung sing isun hang nambani, dan sih-asih kersane Gusti Allah. Sementara itu, larik pertama dan kedua dalam unsur tujuan pada masing-masing varian mantra merupakan bentuk formula sintaktis yang mengalami variasi dengan pola matra yang sama. Larik pertama tersebut berbunyi sun sabetake atine jebeng beyine… dengan variasi sun kenengna jebeng beyine… dan sun tamanna jebeng beyine…, sedangkan larik kedua berbunyi kadhung edan sing edan dengan variasi kadhung edan sida edan. Variasi pada larik pertama memiliki arti yang sama (pada kata sabetake, kenengna, dan tamanna), sedangkan pada larik kedua memiliki arti yang berbeda, khususnya pada mantra JG3 (variasi kata sing dan sida). Adapun unsur penutup pada ketiga varian mantra terdapat pada larik terakhir setiap teks mantra, yang berbunyi Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh. Dengan demikian, semua unsur yang membentuk struktur pada mantra JG1, JG2, dan JG3 memiliki persamaan formula, kecuali pada sebagian besar unsur sugesti dan sebagian kecil  unsur tujuan. Adapun formula repetisi tautotes terdapat pada larik (9) mantra JG1, larik (13) mantra JG2, dan larik (13) mantra JG3.
Formula-formula sintaktis tersebut dimanfaatkan untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Artinya, bentuk formula sintaktis yang terdapat pada perbandingan antarvarian mantra JG dimanfaatkan untuk menegaskan adanya satu ide pokok. Ide tersebut sesuai dengan arti atau makna bentuk formulanya. Karena formula sintaktis tersebut merupakan bentuk perulangan kalimat secara utuh, ide hakiki yang diungkapkan adalah makna kalimat itu sendiri. Ide hakiki formula sintaktis pada unsur judul menunjukkan adanya sebuah identitas salah satu mantra pengasihan Using yang bernama Jaran Goyang. Identitas tersebut berguna untuk membedakannya dengan mantra-mantra lain dalam lingkup komunitas Using. Istilah Jaran Goyang mendapat inspirasi dari seni jaranan[30] yang senantiasa bergoyang sehingga diharapkan si objek yang menjadi sasaran akan bergoyang bagai kuda kepang.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur pembuka, sebagaimana yang telah dibahas pada mantra SM, adalah adanya penghargaan atau penghormatan terhadap Sang Pencipta dengan cara menyebut nama Allah. Penyebutan tersebut mengindikasikan atau mengandaikan bahwa kekuatan-kekuatan magis tidak akan efektif khasiatnya apabila tidak mendapat izin Sang Pencipta. Hal yang hampir sama juga terjadi pada ide hakiki dalam unsur penutup mantra.Bahkan, sebagaimana yang telah dibahas dalam mantra SM, tidak hanya Tuhan yang disebut dalam unsur penutup mantra, tetapi juga Muhammad. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa mantra Using tidak semata-mata merupakan tradisi lokal Using, tetapi ia telah mendapat pengaruh unsur-unsur budaya luar, khususnya Islam.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur niat adalah matek aji. Frase matek aji tidak hanya sekadar berarti ‘menggunakan kesaktian’, tetapi lebih dari itu, yakni bagaimana kesaktian itu digunakan dengan penjiwaan yang khidmat. Artinya, keyakinan yang tulus dan rasa empati yang mendalam merupakan modal dasar dalam matek aji. Adapun ide hakiki formula sintaktis pada unsur sugesti adalah goyang. Ide tersebut tidak hanya terkait dengan nama mantra itu sendiri (Jaran Goyang), tetapi juga terkait dengan seni jaranan yang senantiasa dipentaskan di latar (‘halaman’).
Sementara itu, ide hakiki larik pertama pada unsur tujuan adalah kenengna (dengan variasi sabetake dan tamanna), sedangkan pada larik kedua adalah edan sing edan dan edan sida edan. Makna kata kenengna tersebut adalah agar si objek terjerat hatinya dan mencintai si subjek, sedangkan makna edan sing edan dan edan sida edan adalah tergila-gila dan gila. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa orang yang terkena kekuatan gaib mantra JG dapat mengalami kondisi psikologis yang berbeda-beda, yakni dari yang tergila-gila sampai yang gila. Dengan demikian, akibat yang dirasakan atau diderita oleh si objek yang menjadi sasaran kekuatan mantra JG bervariasi. Hal tersebut disebabkan adanya variasi atau perbedaan unsur tujuan dalam masing-masing varian mantra JG.
Berdasarkan data mantra JG yang dapat dijangkau oleh peneliti (yakni JG1, JG2, dan JG3), dapat diketahui bahwa (setidak-tidaknya) terdapat tiga variasi pengaruh mantra JG. Pertama, kondisi tergila-gila dengan intensitas tinggi (tercermin pada mantra JG1). Dalam unsur tujuan pada mantra JG1 terdapat perulangan atau pola repetisi yang diyakini mampu mengintensifkan kekuatan magi, yakni perulangan dengan variasi pada frase edan sing edan  ke dalam frase gendheng sing gendheng, dan bunyeng sing bunyeng. Kedua, kondisi tergila-gila dengan intensitas rendah (tercermin pada mantra JG2). Dikatakan memiliki intensitas rendah karena frase edan sing edan pada mantra JG2 tidak mengalami perulangan dalam larik berikutnya. Ketiga, kondisi gila (tercermin pada mantra JG3). Meskipun frase edan sida edan tidak mengalami perulangan pada larik berikutnya, mantra JG3 memiliki akibat yang paling fatal bila dibandingkan dengan varian mantra JG lainnya, yakni gila (sida edan). Ketiga kondisi psikologis tersebut (yakni sangat tergila-gila, tergila-gila, dan gila) memiliki korelasi dengan ide hakiki formula repetisi tautotes, yakni perulangan kata edan dalam satu konstruksi larik. Adapun ide hakiki tiga larik terakhir pada unsur tujuan  adalah ancaman agar tidak sembuh (aja mari), si subjek yang akan menyembuhkan (isun hang nambani), dan kehendak Allah (kersane Gusti Allah). Pernyataan aja mari dan isun hang nambani tersebut akan terwujud dalam realitas. Artinya, seseorang yang terkena kekuatan gaib mantra JG akan sulit untuk disembuhkan (aja mari). Namun, hal itu menjadi mudah apabila yang menyembuhkan adalah orang yang memantrainya (isun hang nambani). Hal semacam itu banyak ditemukan dalam realitas empiris di lapangan.
Meskipun mantra JG dapat membuat seseorang menjadi gila, yang berarti merugikan orang lain, mantra tersebut termasuk mantra pengasihan. Selain itu, di dalam mantra tersebut disebutkan bahwa apa yang akan terjadi adalah sebuah pengasihan atas kehendak Allah (sih-asih kersane Gusti Allah). Meskipun termasuk mantra pengasihan, mantra JG mengandung unsur belas kasih yang relatif rendah. Hal itu, selain terindikasi dari akibat yang diderita oleh si objek, juga terindikasi dari penyebutan kata sih-asih  yang hanya satu kali (tidak mengalami perulangan sebagaimana dalam mantra SM). Penyebutan frase kersane Gusti Allah menunjukkan bahwa pemanfaatan mantra JG tidak hanya terbatas pada relasi sosial (hubungan horizontal), tetapi juga menyangkut relasi transendental (hubungan vertikal) dengan kualitas yang bervariasi.
Selain formula, dalam perbandingan antarvarian teks mantra JG juga terdapat ekspresi formulaik. Unsur-unsur yang memiliki persamaan formula antarvarian teks merupakan ekspresi formulaik, karena tersusun atas dasar pola formula. Pola formula merupakan pola yang secara teratur memanfaatkan kata atau frase dalam kondisi matra yang sama. Pola dalam formula sintaktis pada unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, sebagian kecil unsur sugesti, sebagian besar unsur tujuan, dan unsur penutup tersusun atas perulangan kalimat secara utuh. Sementara itu, pola dalam formula repetisi tautotes tersusun atas perulangan kata  edan.
Bentuk formula tidak hanya terdapat pada perbandingan antarvarian teks, tetapi juga terdapat pada masing-masing varian teks mantra, khususnya pada bagian unsur sugesti dan unsur tujuan. Berikut ini dibahas formula teks masing-masing varian mantra (JG1, JG2, dan JG3) yang terdapat pada unsur sugesti dan unsur tujuan. Dari kutipan dalam Tabel 4 dapat dijelaskan adanya formula pada masing-masing varian teks mantra JG, khususnya yang berpola paralelisme dan repetisi. Formula yang berpola paralelisme dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, formula paralelisme sintaktis. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra JG1, JG2, dan JG3. Di dalam formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi anafora, repetisi tautotes, dan formula konkatenasi. Kedua, formula paralelisme sinonim. Formula tersebut terdapat pada unsur tujuan dalam mantra JG1. Di dalam formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi anafora dan repetisi tautotes. Ketiga, formula paralelisme yang membentuk larik. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra JG2. Di dalam formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi anafora. Berikut ini penjelasan ketiga macam formula tersebut.
Formula paralelisme sintaktis terdapat pada unsur sugesti dalam mantra JG1, JG2, dan JG3. Formula paralelisme sintaktis dalam mantra JG1 terdapat pada larik (4)-(7) dan (8), sedangkan dalam mantra JG2 terdapat pada larik (7)-(11). Sementara itu, dalam mantra JG3, formula tersebut terdapat pada larik (5)-(6), (7)-(8), dan  (9)-(11). Formula tersebut membentuk kerangka larik dengan isi yang bervariasi. Dalam mantra JG1, kerangka larik dibentuk oleh perulangan frase yang sama, yakni frase sun sabetake, sedangkan variasi isi terdapat pada frase gunung gugur, lemah bangka, segara asat, dan ombak sirep. Pola paralelisme sintaktis dalam unsur tujuan pada larik (4)-(7) tersebut mencapai puncak atau semacam kesimpulan pada unsur tujuan, khususnya larik (8), yakni pada frase atine jebeng beyine…. Dengan demikian, larik (8) mantra JG1 merupakan bentuk formula dalam satu varian teks sekaligus dalam perbandingan antarvarian teks.
Sementara itu,  pada larik (3)-(4) dalam mantra JG2, perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kecaruk dan sun, sedangkan variasi isi terdapat pada kata turu-tangekna, tangi-lungguhna, lungguh-degna, ngadeg-lakokna, dan mlaku-playokna. Adapun perulangan kata yang membentuk larik dalam mantra JG3 dipilah menjadi tiga bagian, yakni bagian pertama pada larik (5)-(6), bagian kedua pada larik (7)-(8), sedangkan bagian ketiga pada larik (9)-(11). Bagian pertama, perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata dhanyang, sedangkan variasi isi meliputi kata kaki-bapa dan nini-ibu. Bagian kedua, perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kuma, asale, dan ira, sedangkan variasi isi meliputi kata poteh-abang dan bapak-emak. Bagian ketiga, perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata ira-mandi dan isun-mandi,[31] sedangkan variasi isi meliputi kata roh, sukma, dan cipta.
Di dalam formula paralelisme sintaktis mantra JG1, JG2, dan JG3 tersebut juga terdapat formula berpola repetisi. Pada larik (4)-(8) mantra JG1 terdapat formula repetisi anafora, sedangkan pada larik (7)-(11) mantra JG2 terdapat formula repetisi anafora dan formula konkatenasi. Sementara itu, pada larik (5)-(6) dan (9)-(11) mantra JG3 terdapat formula repetisi tautotes, sedangkan pada larik (7)-(8) dalam mantra yang sama terdapat formula repetisi anafora. Formula repetisi anafora adalah pola repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase pertama pada sebuah larik ke dalam posisi yang sama pada larik-larik berikutnya, sedangkan formula konkatenasi adalah pola repetisi kata/frase terakhir suatu larik ke dalam kata/frase awal atau tengah pada larik berikutnya. Sementara itu, formula repetisi tautotes adalah pola repetisi kata atau frase dalam sebuah konstruksi larik. Formula repetisi anafora dalam mantra JG1 berupa perulangan frase sun sabetake, sedangkan dalam mantra JG2 berupa perulangan kata kecaruk dalam setiap awal larik.
Dalam mantra JG3, formula repetisi anafora berupa perulangan kata kuma dalam setiap awal larik. Sementara itu, formula konkatenasi dalam mantra JG2 mengalami variasi atau perubahan. Artinya, kata terakhir suatu larik yang diulang menjadi kata di tengah pada larik berikutnya mengalami variasi atau perubahan, yakni perubahan dari kata bentukan ke kata dasar. Hal semacam itu juga terjadi pada mantra SM2, sebagaimana telah dibahas. Pada larik (7) mantra JG2, kata tangekna mengalami perulangan atau konkatenasi menjadi kata tangi pada larik (8). Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam proses konkatenasi terjadi perubahan dari kata bentukan menjadi kata dasar. Demikian juga dengan larik (8)-(11). Konkatenasi dari larik (8) ke larik (9) adalah kata lungguhna ke kata lungguh, sedangkan konkatenasi dari larik (9) ke larik (10) adalah kata degna ke kata ngadeg. Adapun konkatenasi dari larik (10) ke larik (11) adalah kata lakokna ke kata mlaku. Sementara itu, formula repetisi tautotes dalam mantra JG3 pada larik (5)-(6) berupa perulangan kata dhanyang, sedangkan pada larik (9)-(11) berupa perulangan kata roh-mandi, sukma-mandi, cipta-mandi dalam satu konstruksi larik.
Sementara itu, formula paralelisme sinonim terdapat pada larik (9)-(11) mantra JG1. Formula  paralelisme sinonim merupakan kesejajaran yang menggunakan kata berbeda, tetapi memiliki arti sama. Kesejajaran tersebut terlihat pada penggunaan kata kadhung dan sing dalam matra yang sama, sedangkan sinonim terdapat pada kata edan, gendheng, dan bunyeng. Meskipun memiliki nuansa yang agak berbeda, ketiga kata tersebut mengacu pada kondisi psikologis yang sama, yakni gila. Di dalam formula paralelisme sinonim tersebut juga terdapat formula repetisi anafora dan repetisi tautotes. Formula repetisi anafora terdapat pada perulangan kata kadhung dalam setiap awal larik, sedangkan formula repetisi tautotes terdapat pada perulangan kata edan, gendheng, dan bunyeng dalam sebuah konstruksi larik.
Adapun formula paralelisme yang membentuk larik (dengan isi yang bervariasi) terdapat  pada  unsur  sugesti  dalam mantra  JG2, yakni pada  larik (4)-(6). Formula paralelisme tersebut berupa frase, yakni gabungan kata sun  dengan kata ulang wolak-walik, remet-remet, dan kerik-kerik. Ketiga kata ulang tersebut merupakan bentuk variasi yang memiliki makna sama (atau hampir sama), yakni sebuah upaya untuk mengganggu atau menggoda. Di dalam formula paralelisme yang membentuk larik tersebut juga terdapat formula repetisi anafora, yakni berupa perulangan kata sun pada setiap awal larik.
Sebagaimana yang terjadi dalam varian mantra SM, khususnya SM2, dalam varian mantra JG juga terdapat larik yang secara langsung tidak menunjukkan adanya kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama. Larik tersebut adalah larik (4) mantra JG3.[32] Meskipun demikian, larik tersebut  termasuk sebagai bentuk formula. Sebab, ia merupakan larik yang melandasi larik-larik berikutnya atau larik yang diuraikan ke dalam larik-larik berikutnya, terutama larik (5)-(8). Oleh karena itu, larik (4) mantra JG3 tersebut dapat disebut sebagai klausa superimpos (superimposed clause), yakni klausa yang berlapis, sedangkan larik (5)-(8) dapat dikatakan sebagai klausa subordinat (subordinate clause).[33]
Bentuk-bentuk formula tersebut diungkapkan dalam rangka untuk menyampaikan ide hakiki. Berikut ini dibahas ide hakiki yang disampaikan dalam bentuk formula, baik yang berpola paralelisme maupun repetisi. Ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra JG1 adalah sabetake, yakni penggunaan kekuatan dengan cara dicambukkan. Hal tersebut didukung atau dipertegas oleh ide hakiki formula repetisi anafora yang berupa perulangan frase sun sabetake pada setiap awal larik. Kekuatan tersebut dicitrakan sebagai kekuatan yang sangat dahsyat sehingga apa pun yang dicambuk menjadi hancur (gunung menjadi gugur, lemah menjadi bangka, segara menjadi asat dan ombak menjadi sirep). Dengan kekuatan semacam itu maka ketika “dicambukkan” kepada ati seseorang, ia akan “hancur” atau “luluh”. Artinya, orang tersebut akan jatuh cinta secara berlebihan kepada si pemantra. Dengan demikian, makna perulangan kata sabetake yang digabung dengan frase yang variatif pada pola paralelisme sintaktis tersebut adalah untuk membangun sugesti atau image atas kekuatan dahsyat mantra yang bersangkutan.
Sementara itu, ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra JG2 adalah upaya agar si objek senantiasa melakukan aktivitas secara berkelanjutan. Hal itu tercermin dari rentetan kata terakhir pada masing-masing larik [larik (7)-(11)], yakni tangekna, lungguhna, degna, lakokna, dan playokna. Fenomena seperti itu hampir sama dengan yang terjadi atau terdapat pada mantra SM2, sebagaimana telah dibahas. Perbedaannya, dalam mantra SM2, yang melakukan adalah sira atas perintah isun, sedangkan dalam mantra JG2, yang melakukan adalah isun (sun) sendiri. Dengan demikian, dalam mantra JG2, isun selalu berusaha agar si objek senantiasa melakukan aktivitas secara berkelanjutan. Misalnya, ketika si objek sedang tidur (turu), isun  membangunkannya (tangekna), dan ketika si objek sudah bangun (tangi), isun “mendudukkannya” (lungguhna). Begitu seterusnya, hingga ketika si objek sedang berjalan (mlaku) pun isun mempengaruhinya untuk berlari (playokna). Hal tersebut mengandung makna bahwa si objek tidak boleh dalam keadaan diam (turu), tetapi harus selalu beraktivitas yang berujung pada mendekatnya si objek kepada si subjek (pemantra). Dalam mendekat pun tidak dilakukan dengan cara berjalan (mlaku), tetapi dengan cara berlari (playokna), dengan harapan agar tujuan si subjek dalam memikat si objek dapat lebih cepat tercapai.
Sementara itu, formula repetisi anafora dan formula konkatenasi dalam mantra JG2 tersebut memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata kecaruk dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata bentukan menjadi kata dasar (tangekna-tangi, lungguhna-lungguh, degna-ngadeg, dan lakokna-mlaku) menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Sementara itu, ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra JG3 dibagi menjadi tiga bagian, mengingat bentuk formula  dalam mantra tersebut juga dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, memiliki ide hakiki dhanyang. Dhanyang adalah roh leluhur yang tinggal di tempat-tempat tertentu yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai garis keturunan mereka. Istilah kaki-nini yang digabung dengan kata dhanyang diartikan sebagai garis keturunan yang setara dengan kakek dan nenek, sedangkan bapa-ibu setara dengan ayah dan ibu. Penyebutan bapa-ibu tersebut memiliki arti yang berbeda dari penyebutan bapak-emak pada larik berikutnya. Penyebutan yang terakhir tersebut memiliki arti “orang tua biologis”. Adapun penyebutan dhanyang-dhanyang tersebut memiliki makna bahwa mereka diharapkan bersedia membantu kepada pemantra melalui kekuatan gaibnya sehingga akan terhimpun kekuatan gaib yang lebih dahsyat dalam mantra yang bersangkutan. Bagian kedua, memiliki ide hakiki kuma dengan variasi poteh dan abang. Hal tersebut sama dengan fenomena yang terjadi pada mantra SM3. Sebagaimana yang telah dibahas dalam mantra SM3, dalam mantra JG3 ini kuma poteh memiliki arti cairan putih yang berasal dari bapak, yakni berupa sperma, sedangkan kuma abang adalah cairan merah yang berasal dari ibu, yakni berupa darah keperawanan (ovarium). Menyatunya kedua cairan itu melambangkan embrio kehidupan yang didasarkan oleh cinta kasih. Bagian ketiga, memiliki ide hakiki mandi (‘manjur’), khususnya dalam keterkaitannya dengan kepemilikian bersama antara ira dan isun. Mandi adalah suatu kondisi yang menunjukkan adanya efektivitas kekuatan gaib. Kekuatan gaib akan dapat dirasakan oleh seseorang apabila ia memiliki kepercayaan atau keyakinan terhadap hal tersebut. Dengan demikian, peranan sugesti cukup signifikan dalam membentuk prakondisi atau image terhadap suatu kekuatan gaib agar menjadi mandi.
Selain itu, banyak mantra atau ucapan dukun yang mandi karena, setidak-tidaknya, dilandasi oleh tiga hal. Pertama, landasan pemahaman dan penghayatan si subjek (dukun) terhadap rahasia kosmologi melalui simbol-simbol tubuh, baik yang berdimensi verbal maupun nonverbal, sebagai kunci pintu masuk untuk menghayati rahasia hidup atau rahasia alam.[34] Kedua, adanya kesesuaian antara lahir dan batin; menyatunya ucapan/pikiran dan tindakan; begitu niat dinyatakan, ia harus dilaksanakan.[35] Ketiga, kemampuan membangkitkan kekuatan tubuh yang berupa kekuatan bioplasma, bioelektron, dan tenaga psikokinetis melalui mekanisme laku mistik.[36] Dengan demikian, makna mandi dalam kaitannya dengan roh, sukma, dan cipta adalah tercapainya keinginan atau kehendak yang dijalani atas dasar keyakinan dengan mekanisme laku mistik. Selain itu, adanya kekuatan-kekuatan yang dimiliki ira yang dijadikan acuan oleh isun, juga memiliki peran yang signifikan. Fenomena semacam itu juga terjadi pada mantra SM3, sebagaimana yang telah dibahas. Oleh karena itu, semua kekuatan gaib milik ira “diserap” dan dimiliki oleh isun sehingga isun memiliki kekuatan gaib yang dapat diandalkan dan mandi. Selanjutnya, perlu disinggung tentang larik (4) yang berbunyi sedulur papat lima badan. Sebagaimana yang telah dibahas pada mantra SM2, sedulur papat lima badan merupakan konfigurasi papat-lima. Sedulur papat merupakan empat unsur “saudara spiritual”, yakni berupa nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah, sedangkan  lima badan merupakan unsur kelima yang mengendalikan atau yang menjadi pusat kosmis dari keempat unsur lainnya, yakni berupa diri atau jiwa. Sementara itu, formula repetisi anafora dan repetisi tautotes dalam mantra JG3 tersebut, sebagaimana yang terjadi pada mantra JG2, juga memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata kuma dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata dhanyang, roh-mandi, sukma-mandi, dan cipta-mandi dalam satu konstruksi larik menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Sementara itu, ide hakiki pola paralelisme sinonim dalam mantra JG1 adalah edan sing edan dengan berbagai variasinya (gendheng dan bunyeng). Larik-larik yang membentuk pola tersebut mengandung dua harapan yang kontradiktif, yakni di satu sisi adanya harapan agar si objek menjadi gila, sedangkan di sisi lain adanya keinginan yang sebaliknya. Makna hal tersebut adalah agar si objek berada dalam kondisi-antara atau posisi-antara, yakni posisi antara gila dan waras. Dalam realitas empiris, posisi tersebut “diterjemahkan” menjadi  tergila-gila (rasa cinta yang relatif melebihi batas). Tergila-gila dalam konteks mantra JG bukan sekadar bentuk rasa cinta yang mendalam, melainkan cenderung sebagai rasa cinta yang membabi-buta, dan bahkan telah melewati batas etika sosial. Hal tersebut terbukti bahwa banyak korban mantra JG yang berteriak-teriak memanggil orang yang “digandrungi” (si pemantra), sambil menari-nari dengan pakaian yang berantakan. Sementara itu, formula repetisi anafora dan repetisi tautotes dalam mantra JG1 tersebut juga memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata kadhng dalam setiap awal larik dan perulangan kata edan, gendheng, dan bunyeng dalam satu konstruksi larik menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Adapun ide hakiki pola paralelisme yang membentuk larik dalam mantra JG2  adalah wolak-walik. Kata ulang wolak-walik yang dirangkai dengan jantung ati mengalami variasi menjadi remet-remet dan kerik-kerik ketika digabung dengan kata limpa dan sikil. Makna ide hakiki tersebut adalah merupakan upaya untuk membuat si objek menjadi gelisah sehingga relatif mudah untuk diperdaya. Ide hakiki formula repetisi anafora dalam mantra JG2 yang berupa perulangan kata sun dalam setiap awal larik memberi dorongan sugesti atas tercapainya godaan yang dilakukan si pemantra terhadap si objek.
Selain formula, di dalam ketiga varian mantra JG juga terdapat ekspresi formulaik. Semua larik yang membentuk struktur mantra JG merupakan ekspresi formulaik, karena semua larik tersebut tersusun atas dasar pola formula. Pola formula pada unsur sugesti tersusun atas larik-larik dalam satu varian teks dengan kondisi matra yang sama, baik menyangkut penggunaan kata maupun frase. Dalam mantra JG1, penggunaan kata dalam pola formula dapat dipilah menjadi dua macam, yakni frase dengan unsur kata yang sama dan frase dengan unsur kata yang bervariasi. Frase jenis yang pertama terdapat pada sun sabetake, sedangkan frase jenis kedua terdapat pada kadhung edan, kadhung gendheng, kadhung bunyeng, sing edan, sing gedheng, dan sing bunyeng. Sementara itu, dalam mantra JG2, penggunaan kata dalam pola formula terdapat pada frase dengan gabungan kata yang bervariasi. Hal itu terlihat pada frase sun wolak-walik, sun remet-remet, sun kerik-kerik, kecaruk turu, kecaruk tangi, kecaruk lungguh, secaruk ngadeg, kecaruk mlaku, sun tangekna, sun lungguhna, sun degna, sun lakokna, dan sun playokna. Adapun dalam mantra JG3, pola formulanya berupa frase dengan gabungan kata yang bervariasi. Hal itu terlihat pada frase kaki dhanyang, bapa dhanyang, nini dhanyang, ibu dhanyang, kuma poteh, kuma abang, asale bapak ira, asale emak ira, roh ira mandi, sukmanira mandi, ciptanira mandi, roh isun mandi, sukmanisun mandi, dan ciptanisun mandi.
Formula dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga ia merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah dan cepat. Formula dalam mantra dapat membantu mempermudah seseorang dalam menghafalkan mantra, baik menyangkut bentuk formula dalam satu varian teks maupun dalam perbandingan antarvarian teks. Hal tersebut dapat dilakukan pada mantra SM dan JG. Sebagaimana diketahui, pada dasarnya, mantra tidak boleh dituliskan sehingga seorang murid harus menghafal mantra dengan cara mendengarkan mantra yang dilafalkan oleh gurunya (dukun). Dengan memperhatikan bentuk-bentuk formula tersebut, seorang murid akan lebih cepat menghafal mantra karena tinggal mengisi variasi-variasi kata atau frase yang paralelistik atau repetitif ke dalam pola formula yang telah ada.
Tradisi Santet sebagai Pranata Budaya
Salah satu konsep dasar fungsi yang populer adalah konsep fungsi Malinowski. Konsep dasar  fungsi Malinowski (Baal, 1987:51) menekankan bahwa segala aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya dan juga kebudayaan itu sendiri. Menurut Malinowski (Koentjaraningrat, 1987:167), selain untuk kepentingan hidup orang secara individual (fungsi individual), pembicaraan fungsi juga menyangkut kepentingan keseluruhan masyarakat (fungsi sosial). Dalam kaitannya dengan kepentingan keseluruhan masyarakat (sosial), fungsi sosial mantra dapat dipilah menjadi fungsi yang bersifat integratif dan fungsi yang bersifat disintegratif. Sifat fungsi mantra yang kontradiktif tersebut paralel dengan pandangan Kleden (1985:230-232) ketika membicarakan nilai budaya, khususnya nilai budaya Jawa. Menurutnya, nilai budaya yang selama ini dipahami dalam makna yang tunggal sebenarnya mengandung makna yang dualistis; di satu sisi mencerminkan makna yang luhur (positif), tetapi di sisi lain diinterpretasikan berpotensi mengandung makna yang sebaliknya (negatif). Hal itu disebabkan oleh adanya ambivalensi atau bahkan multivalensi setiap nilai budaya.[37] Demikian juga dengan mantra SM dan JG; keduanya memiliki ambivalensi nilai, yakni nilai yang berdimensi positif (baik) dan negatif (jelek), yang kemudian terefleksi dalam fungsi yang bersifat integratif dan disintegratif. Fungsi yang bersifat integratif mengandung nilai budaya yang positif karena dimaksudkan sebagai upaya membangun kebersamaan secara komunal dalam rangka mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang berdimensi sosial, sedangkan fungsi yang bersifat disintegratif mengandung nilai budaya yang negatif karena dapat menciptakan disharmoni antarsesama (atau bahkan dapat pula bersifat destruktif).
Secara historis, mantra SM dan JG yang diklasifikasikan sebagai mantra jenis santet tersebut pada awalnya dimanfaatkan oleh orang tua untuk mencarikan jodoh anaknya (upaya untuk besanan). Dari sini, kemudian muncul pemahaman bahwa mantra jenis santet yang nota bene untuk pengasihan tersebut bukan hanya bermakna mesisan kanthet (‘biar terikut’), melainkan juga sekaligus mesisan benthet (‘biar retak’). Mesisan kanthet dimanfaatkan untuk “menyatukan” si anak dengan calon (jodoh) pilihan orang tua, sedangkan mesisan benthet digunakan untuk “memisahkan” si anak dengan pacarnya (atau, bagi yang belum mempunyai pacar, untuk “menutup” kemungkinan hubungan dengan pihak lain). Perlu dijelaskan juga, bahwa mesisan kanthet sebenarnya tidak cukup untuk diartikan sebagai “menyatukan” dua orang, tetapi secara tidak langsung juga dapat dimaknai sebagai “menyatukan” dua keluarga atau kelompok keluarga; hal senada juga berlaku untuk mesisan benthet. Bertolak dari sini, mesisan kanthet dapat dikatakan sebagai embrio fungsi yang bersifat integratif, sedangkan mesisan benthet merupakan embrio fungsi yang bersifat disintegratif. Dari sifat tulus yang dikandungnya, mantra SM lebih cenderung berorientasi pada mesisan kanthet, sedangkan mantra JG yang mengandung sifat dendam lebih cenderung berorientasi pada mesisan benthet. Namun, hal tersebut tidak berlaku secara mutlak karena adanya unsur ambivalensi nilai budaya pada kedua mantra tersebut.
Tradisi pemanfaatan mantra jenis santet (pengasihan) yang digunakan dalam rangka “mencari” jodoh telah berlangsung secara turun-temurun dan didukung oleh jaringan sosial yang bersifat egaliter sebagai konteksnya. Bertolak dari hal tersebut, dapat diketahui bahwa mantra santet (SM dan JG) memiliki fungsi sosial sebagai alternatif pranata sosial tradisonal atau pranata budaya lokal kelompok etnik Using (Saputra, 2003c). Dalam konteks ini, pranata sosial dimaksudkan sebagai sistem perilaku sosial yang bersifat resmi beserta adat-istiadat dan sistem norma yang mengaturnya, yang bertumpu pada mekanisme tradisional, guna memenuhi berbagai kebutuhan manusia dalam hidupnya (lihat, Hutomo, 1987:10).[38] Mantra jenis santet dikatakan sebagai alternatif pranata sosial atau pranata budaya karena secara historis pemanfaatan mantra tersebut dalam rangka mencari jodoh hanya digunakan ketika pranata-pranata sosial tradisional lainnya tidak mampu lagi menampung aspirasi atau memecahkan problema mereka. Pranata-pranata sosial tradisional tersebut meliputi tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken atau colongan (lihat, Marwoto, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada “masa lampau” (ketika pemanfaatan mantra dan ngelmu gaib tidak dimaksudkan sebagai jalan pintas semata) pranata sosial tradisonal yang dijalani orang Using untuk mencari jodoh adalah melalui tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken. Akan tetapi, ketika pranata-pranata sosial tersebut tidak mampu lagi menampung keinginan mereka (seseorang atau sekelompok orang), alternatif mekanisme terakhir adalah menggunakan mantra jenis santet (kekuatan gaib), termasuk mantra SM dan JG.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang ketiga pranata sosial tradisional yang berupa tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken, berikut diuraikan secara sekilas.[39] Tradisi gredoan merupakan salah satu khazanah budaya Using yang berupa mekanisme proses pencarian jodoh. Kata gredoan itu sendiri berarti ‘godaan,’ atau dalam batas tertentu juga dimaknai sebagai ‘pacaran.’ Dengan demikian, tradisi gredoan dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme budaya lokal dalam proses melakukan godaan kepada lawan jenis, untuk kemudian menuju jenjang pacaran, dan pelaminan. Tradisi gredoan banyak dilakukan di desa-desa Using, seperti Desa Pengantigan, Labanasem, Gintangan, Macanputih, Gombolirang, Mangir, Bunder, dan Pakistaji. Tradisi gredoan dilaksanakan pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Prosesi gredoan berlangsung dalam rangkaian peringatan Maulid Nabi, khususnya pada saat mempersiapkan hidangan yang dilakukan oleh para gadis. Pada saat gadis-gadis sedang memasak, para jejaka menggodanya. Karena dapur yang digunakan untuk memasak terbuat dari gedhek, para jejaka berusaha untuk mencuri pandang dengan cara mengintip gadis-gadis tersebut. Bahkan, tidak jarang tangan-tangan jahil para jejaka berusaha melubangi dinding bambu tersebut untuk dapat mengintip dengan lebih leluasa lagi. Para gadis, yang memang sudah tahu bahwa mereka diintip, tidak jarang yang berusaha bertingkah semenarik mungkin. Dengan demikian, secara tidak langsung, mereka melakukan interaksi sosial dalam rangka menarik simpati lawan jenis. Jejaka yang telah menjatuhkan pilihannya pada seorang gadis kemudian masuk ke rumah tersebut dan mulai berkenalan. Dalam perkenalan itu, mereka berinteraksi tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis. Perasaan, baik secara simpati maupun empati, dicurahkan kepada pilihannya, walaupun seringkali dengan sikap malu-malu. Pada malam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW (yang biasanya dilakukan di masjid-masjid) dan hari-hari berikutnya, mereka telah “resmi” berpacaran. Jenjang berikutnya yang harus dilaluinya adalah jenjang pernikahan.  
Tradisi bathokan juga merupakan salah satu khazanah budaya Using dalam mekanisme pencarian jodoh. Ada dua versi berkenaan dengan istilah bathokan tersebut. Versi pertama, bathokan berasal dari kata dasar bathok yang secara harafiah berarti ‘tempurung kelapa,’ sedangkan versi kedua, menyebutkan bahwa istilah tersebut berasal dari kata bathuk, yang secara harafiah berarti ‘dahi.’ Hingga kini, kedua istilah tersebut masih menjadi bahan perdebatan. Secara historis, tradisi bathokan yang kini lebih dikenal dengan istilah warung bathokan itu merupakan mediasi terutama bagi gadis-gadis yang sudah cukup umur, tetapi belum mendapatkan jodoh. Orang tua yang menginginkan anak gadisnya segera mendapatkan jodoh berusaha untuk membuatkan sebuah warung. Warung tersebut biasanya menjajakan  kopi atau teh, lengkap dengan jajanan atau makanan kecil. Warung yang dijaga seorang (atau beberapa orang) gadis tersebut merupakan mediasi untuk mendatangkan para pemuda. Para pemuda yang datang memang tidak hanya makan-minum, tetapi yang lebih utama adalah dapat berkenalan dengan gadis-gadis penjaganya. Sambil minum kopi atau teh, para pemuda tersebut melantunkan syair-syair atau basanan daerah Using atau Banyuwangen dengan tujuan untuk dapat memikat hati gadis penjaga warung. Tidak jarang para pemuda itu beradu ketrampilan bersyair. Isi syair dapat berupa sanjungan, tetapi dapat juga berupa sindiran. Biasanya, yang paling pandai melantunkan syair akan menarik perhatian si gadis. Para tamu yang datang ke warung tidak duduk di kursi, tetapi di atas tempurung kelapa (bathok). Tempurung kelapa ini diatur melingkari meja berkaki pendek, tempat untuk menaruh kue dan minuman. Karena tempat duduk yang terbuat dari bathok itulah, warung tersebut dinamakan warung bathokan.
Versi lain tentang asal-usul bathokan dikemukakan oleh Supranoto (Anis, 1989). Menurutnya, kalau ada suatu keramaian (misalnya perayaan hari-hari besar atau bersejarah), akan muncul beberapa buah warung kopi di sekitar tempat keramaian tersebut. Warung tersebut menggunakan meja pendek sehingga penjualnya (gadis) duduk berhadap-hadapan dengan para pembeli. Karena berhadap-hadapan, tak jarang dahi penjual “beradu” atau bersentuhan dengan dahi pembeli. Hal itulah yang membuat warung tersebut disebut warung bathokan (berasal dari bathuk ‘dahi’ yang saling berdekatan atau bersentuhan). Dengan demikian, eksistensi warung bathokan sangat dirasakan oleh pemuda-pemudi sebagai mediasi pencarian jodoh.[40]
Tradisi mlayokaken merupakan salah satu mekanisme pencarian jodoh, yang hingga kini masih hidup di desa-desa Using. Tradisi mlayokaken sering juga disebut sebagai mlayokaken lare atau colongan.[41] Secara harafiah, kata mlayokaken berarti ‘melarikan,’ kata mlayokaken lare berarti ‘melarikan anak/seseorang,’ sedangkan kata colongan berarti ‘pencurian.’ Dengan demikian, tradisi mlayokaken, mlayokaken lare, atau colongan dimaknai sebagai tradisi melarikan seorang gadis yang dilakukan oleh seorang jejaka untuk dinikahi.[42] Mekanisme mlayokaken diawali oleh kesadaran antara si gadis dan si jejaka atas saling ketertarikan mereka. Dapat dikatakan bahwa keduanya sudah mulai merasakan kasih sayang, bahkan menginjak ke jenjang pacaran. Langkah berikutnya, pihak si jejaka melakukan negosiasi dengan si gadis, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentang kapan dan di mana proses mlayokaken dilakukan. Proses pelarian ini sama sekali tidak diketahui oleh keluarga si gadis, tetapi diketahui oleh keluarga si jejaka. Selama berada di rumah si jejaka, si gadis tidur secara terpisah hingga hari pernikahan tiba. Si jejaka beserta keluarganya berusaha keras untuk menjaga keselamatan si gadis, termasuk ancaman penyerobotan kembali oleh keluarga si gadis. Sebab tidak menutup kemungkinan terjadinya perkelahian yang seru antarkeluarga untuk memperebutkan si gadis, demi harga diri keluarga (Kusnadi, 1988).
Langkah berikutnya, sehari atau dua hari kemudian pihak si jejaka mengirim utusan yang disebut colok (jaruman). Secara harafiah, colok berarti ‘obor’ atau ‘lampu,’ yang kemudian dapat dimaknai sebagai “juru penerang” atau “mediator untuk berdiplomasi.” Oleh karena itu, utusan tersebut adalah orang “pilihan,” yang mampu menjelaskan kepada  keluarga si gadis bahwa anaknya kini sedang berada di rumah jejaka yang mencurinya untuk dinikahi, dan sekaligus bertugas meyakinkan keluarga tersebut apabila mereka tidak dapat menerima kenyataan tersebut.[43] Selain itu, colok juga bertugas untuk memusyawarahkan tentang hari pernikahan yang dapat disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam tradisi mlayokaken ini, seluruh biaya pernikahan  ditanggung oleh pihak jejaka.
Aktivitas mlayokaken atau colongan terjadi karena adanya tiga alasan, yaitu (1) pihak keluarga si gadis  kurang berkenan terhadap si jejaka, dapat disebabkan status sosial atau eknomi, (2) rencana waktu pelaksanaan perkawinan yang telah disepakati orang tua kedua belah pihak dirasakan oleh si gadis dan si jejaka terlalu lama, dan (3) adanya perjodohan sepihak, yakni si gadis dijodohkan dengan seorang jejaka yang sebelumnya tidak dikenal atau tidak dicintainya (Supijatun, 1990).
Kembali ke persoalan mantra jenis santet sebagai sebuah alternatif pranata sosial tradisional atau pranata budaya lokal. Dengan perubahan sosial yang dinamis dan tuntutan kemajuan zaman yang secara langsung maupun tidak langsung “merongrong” intensitas tradisi lokal, dalam perkembangan selanjutnya, pemanfaatan mantra santet seringkali tidak sesuai lagi dengan mekanisme budaya Using. Artinya, ada pergeseran budaya yang berorientasi pada budaya instan, yang kemudian berpengaruh pada mekanisme pemanfaatan mantra santet, yakni mantra santet dimanfaatkan secara langsung tanpa terlebih dahulu melewati tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “belakangan” ini (ketika perubahan sosial merambah, dan budaya instan mulai berpengaruh terhadap kesadaran orang Using) pemanfaatan mantra santet hanya sebatas sebagai jalan pintas untuk memudahkan (mempercepat) pemenuhan hasrat. Oleh karena itu, fungsi sosialnya tidak lagi sebagai sebuah alternatif pranata sosial tradisional, tetapi sudah meningkat (terlepas dari dimensi positif atau negatifnya) menjadi pranata sosial tradisional atau prnata budaya lokal itu sendiri.
Dari deskripsi tersebut dapat dijelaskan bahwa fungsi sosial yang utama  mantra santet (SM dan JG) adalah sebagai pranata sosial tradisional atau pranata budaya lokal. Hal itu sesuai dengan pendekatan psikologis yang dinyatakan oleh Sutardja (1996:40) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya, yakni berupa mekanisme budaya atau pranata sosial tradisional. Namun, perlu disinggung pula bahwa sifat ambivalensi atau multivalensi sebuah nilai budaya menjadikan mantra SM dan JG juga memiliki fungsi lain, yakni fungsi sebagai penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai dalam masyarakat dan peningkat perasaan solidaritas kelompok. Fungsi sebagai penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai terlihat dari esensi mantra atau kekuatan gaib yang terfokus pada upaya memanipulasi kesadaran seseorang, sedangkan fungsi sebagai peningkat perasaan solidaritas kelompok terlihat dari jaringan sosial yang (secara tidak langsung) dibentuk atas dasar persamaan kepentingan (ngelmu gaib). Selain itu, secara langsung maupun tidak langsung, mantra SM dan JG juga berfungsi sebagai penebal emosi religiositas atau kepercayaan, baik terhadap kekuatan-kekuatan dunia mikrokosmos, makrokosmos, maupun kekuasaan Sang Khalik. Beberapa dimensi fungsi sosial tersebut (disadari atau tidak), pada akhirnya, akan bermuara pada pemeliharaan harmoni atau keselarasan hubungan mikrokosmos dan makrokosmos.     
Sebagai sebuah pranata sosial atau kultural, mekanisme penggunaan mantra SM dan JG (tradisi santet) perlu dipertanyakan dimensi moralitasnya. Sebagaimana ditegaskan oleh Magnis-Suseno (1985:184) bahwa kekuatan batin atau ngelmu gaib (mantra) tidak harus diterima berdasarkan norma-norma moral yang mutlak, tetapi dapat diterima dalam konteks paham etika-yang-relatif-terhadap-tempat pada batas-batas kemungkinannya. Artinya, secara norma-moral-mutlak (agama), tradisi santet termasuk dalam wilayah kejahatan (dosa) karena adanya unsur pemaksaan atau manipulasi kesadaran. Akan tetapi, dari sudut pandang etika-yang-relatif-terhadap-tempat-yang-tepat, tradisi tersebut tidak termasuk dalam wilayah kejahatan. Dengan kata lain, tradisi lokal tersebut selayaknya diposisikan dalam konteks moralitas kultural, bukan moralitas normatif (Saputra, 2001b:265). Hal itu didasari atas konsekuensi bahwa suatu kelakuan yang sesuai dengan kekuatan-kekuatan (tradisi/budaya) setempat atau tenaga-tenaga batin seseorang adalah betul dalam arti moral budaya lokal. Konsekuensi selanjutnya, tidak dapat dinilai bahwa mantra SM dan JG merupakan sesuatu yang jahat. Alasan terakhir inilah yang menjadi landasan pemahaman yang diwarisi orang Using (dari tradisi/budaya Blambangan) hingga kini sehingga Armaya (2001) berani mengambil kesimpulan bahwa mantra jenis santet (SM dan JG) termasuk white magic (bukan black magic). Klasifikasi yang terakhir ini perlu dipertanyakan kembali sebab apabila klasifikasinya didasarkan pada magi yang dikandung oleh mantra, mantra SM tergolong sebagai yellow magic, sedangkan mantra JG tergolong sebagai red magic (dengan asumsi, klasifikasi magic tidak terbatas pada aksioma black magic dan white magic saja).
Penutup
Sebagai puisi lisan, mantra SM dan JG didominasi oleh unsur kelisanan, baik dalam aspek komposisi, performance, maupun transmisinya. Selain itu, mantra jenis santet tersebut juga didominasi oleh pola formula dan ekspresi formulaik, baik dalam perbandingan antarvarian teks maupun dalam masing-masing varian teks. Konvensi struktural mantra tersebut tersusun atas enam unsur yang membentuk keutuhan struktur, yang meliputi unsur judul, pembuka, niat, sugesti, tujuan, dan penutup.
Dalam konteks budaya Using, tradisi santet bukan sekadar berfungsi sebagai sarana yang bersifat integratif dan disintegratif dalam rangka memperlancar perjodohan, melainkan telah menjadi sebuah pranata sosial atau pranata budaya lokal. Hal tersebut berlangsung, terutama, ketika pranata-pranata budaya lainnya, seperti tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken, tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan keseharian kelompok etnik Using.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1999a. “Dari Antropologi Budaya ke Sastra, dan Sebaliknya” (Makalah Seminar Sastra Banding). Fakultas Sastra UGM, 18 November 1999.
-----. 1999b. “Strukturalisme Levi-Strauss untuk Arkeologi Semiotik,” dalam Humaniora. (Jurnal FS UGM). No. 12, September-Desember 1999.
Ali, Hasan. 1991. “Tata Bahasa Using: untuk Pegangan Guru” (belum terbit). Banyuwangi.
-----. 1994. “Bahasa dan Sastra Using di Banyuwangi,” dalam Gema Blambangan, No. 032, Banyuwangi: Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Banyuwangi.
Anderson, Benedict R. O’G. 2000. Mitologi dan Tolesansi Orang Jawa. Diterjemahkan Ruslani. Yogyakarta: Qalam.
Anis. 1989. “Warung Bathokan, Tradisi yang Melenceng,” dalam Surabaya Post, 13 Januari.
Armaya. 2001. “Istilah Santet Perlu Dipertanyakan,” dalam Radar Banyuwangi, 28 September.
Baal, J. van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. (Jilid 2). Jakarta: Gramedia.
Basri, Hasan. 2000. “Sekilas tentang Sastra Using Banyuwangi,” (Makalah pada Sarasehan Pemanfaatan Potensi Kebahasaan dan Kesastraan dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah di Propinsi Jawa Timur). Surabaya: Balai Bahasa Surabaya, 20 Juni.
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Diterjemahkan Akhmad Fedyani Saefuddin. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Kelisanan dalam Keberaksaraan: Kasus Puisi Indonesia Modern,” dalam Kalam (Jurnal Kebudayaan), edisi 13. 
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal arts.  London: Chapman and Hall.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Diterjemahkan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.
Herusantosa, Suparman. 1987. “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi,” (Disertasi S-3). Jakarta: UI.
Hutomo, Suripan Sadi. 1987. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-----. 1991. Mutiara yang Terlupakan.  Surabaya: HISKI Jatim.
Kleden, Ignas. 1985. “Masyarakat dalam Persepsi Kebudayaan,” dalam Alfian (ed.), Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi. (Jilid 1). Jakarta: UI Press.
-----. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kompas. 1998. “Kasus Banyuwangi dan Budaya Using,” dalam Kompas, Jakarta, 19 Oktober.
Koran Tempo. 2001. “Alas Purwo: Angker tapi Aman,” dalam Koran Tempo, Jakarta, 13 Juni.
Kusnadi. 1988. “Mlayokaken sebagai Tradisi Perkawinan dalam Masyarakat Using Banyuwangi: Sebuah Catatan Budaya,” dalam Buletin Sastra, No. 2, Juni, Jember: FS UNEJ.
-----. 1990. “Using: Sosok Budaya Orang Pinggiran,” dalam Buletin Sastra, No.1 (1), Mei, Jember: FS UNEJ.
-----. 1993. “Santet dalam Pandangan Orang Using”, dalam Surya, 11 September.

 

Levi-Strauss, Claude. 1997. Mitos, Dukun, dan Sihir. Diterjemahkan Agus Cremers dan John de Santo. Yogyakarta: Kanisius.

Lord, Albert B. 1981. The Singers of Tales. Cambridge: Harvard University Press.

Magnis-Suseno, Franz. 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Marwoto. 2001. “Mantra Santet: Refleksi Pranata Sosial Tradisional Komunitas Using di Banyuwangi.” (Laporan Penelitian). Jember: Lembaga Penelitian UNEJ.
Ong, Walter J. 1989. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word.  London: Methuen.
Piaget, Jean. 1995. Strukutralisme. Diterjemahkan Hermoyo. Jakarta. YOI.
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Diterjemahkan Daniel Dhakidae. Jakarta: Rajawali.
Saputra, Heru S. P. 1999. “Mantra Using: Suatu Pemahaman Awal” dalam Argapura (Jurnal  UNEJ), Vol. 19. No. 1 dan 2, Tahun 1999, Jember: UNEJ.
-----. 2001a. “Dominasi Kekuasaan dan Pemiskinan Budaya: Kasus Sastra Lisan Using, Banyuwangi,” (Makalah pada Seminar PILDA HISKI Komda Yogyakarta), Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta, 11 September.
-----. 2001b. “Tradisi Mantra Kelompok Etnik Using di Banyuwangi,” dalam Humaniora (Jurnal FIB UGM), Vol. XIII. No. 3/2001. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
-----. 2002. “Sedulur Papat, Lima Badan: Mantra dalam Dimensi Kosmologis Budaya Using,” dalam Agus Sariono dan Titik Maslikatin (Penyt.), Bahasa dan Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Jember: Tapal Kuda.

-----. 2003a. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using di Banyuwangi,” Tesis S-2. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
-----. 2003b. “Simbol, Analogi, dan Alegori” dalam Humaniora (Jurnal FIB UGM), Vol. XV. No. 1/2003. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
-----. 2003c. “Tradisi Mantra sebagai Pranata Budaya Lokal,” (Makalah pada Diskusi KOMsBAT / Komunitas Studi Budaya Etnik). Pusat Studi Kebudayaan UGM, 29 Mei 2003.
Singodimayan, Hasnan. 1999. “Sinkretisme, Ciri Khusus Masyarakat Adat Using,” dalam Banyuwangi Pos, Banyuwangi, 25-31 Juli 1999.
Skorupski, John. 1983. Symbol and Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Supijatun. 1990. “Mengenal Sekilas tentang Adat Perkawinan Mlayokaken pada Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi,” (Laporan Penelitian). Jember: Lembaga Penelitian UNEJ.
Suryadi. 1993. “Ilmu Sastra Lisan di Indonesia: Persoalan Konsep dan Objek Penelitian”, (Makalah pada Seminar Tradisi Lisan Nusantara), Jakarta: FS UI, 9-11 Desember 1993.
Suryadipura, Paryono. 1958. Manusia dengan Atomnya di Dalam Keadaan Sehat dan Sakit: Antropobiologi Berdasarkan Atomfisika. Semarang: Usaha Mahasiswa.
Sutardja. 1996. “Tradisi Lisan dalam Pendekatan Psikolog” dalam Warta ATL: Jurnal Pengetahuan dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi III, November.
Sweeney, Amin. 1980. Authors and Audiences in Traditional Malay Literature. Berkeley: Center for South and Southeast Asia Studies, University of California.
-----. 1999. “Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan Wacana Kebudayaan.”(Makalah pada Seminar Internasional Tradisi Lisan III), Jakarta, 14-16 Oktober 1999.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya-Girimukti Pasaka.
Wirata, Putu. 1995. “Orang Using, Suku Terasing?” dalam Matra, No. 104, Maret. Jakarta.


Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.



* Dipresentasikan pada PILNAS XIII HISKI di Universitas Airlangga, Surabaya, 26-28 Agustus 2003.
[1] Brunvand membagi folklor menjadi tiga tipe, yaitu: (1) verbal folklore (folklor lisan), (2) partly verbal folklore (folklor setengah lisan), dan (3) nonverbal folklore (folklor bukan lisan) (Danandjaja, 1984:21-22).
[2] Keenam variasi regional kebudayaan tersebut adalah: (1) kebudayaan Arek, (2) kebudayaan Tengger, (3) kebudayaan Madura, (4) kebudayaan Mataraman, (5) kebudayaan Pendalungan, dan (6) kebudayaan Using (Hatley dalam Kusnadi, 1990). Pembagian variasi regional kebudayaan Jawa Timur tersebut berbeda dari pembagian yang dilakukan Koentjaraningrat (1994:25-29), yang meliputi: Pesisir Wetan, Mancanegari, Madura, Surabaya, Tanahsabrang Wetan, dan Blambangan.
[3]  Empat macam magi tersebut adalah magi hitam terkandung dalam jenis mantra sihir (untuk membunuh), magi merah dan kuning terkandung dalam jenis mantra santet (untuk pengasihan), sedangkan magi putih terkandung dalam jenis mantra penyembuhan. Selain mantra Using, sepengetahuan penulis, hanya ada dua jenis magi dalam mantra, yakni magi putih dan hitam. Hal ini dapat dilihat pada mantra Jawa (Koentjaraningrat, 1994; Magnis-Suseno, 1985), mantra Sunda (Rusyana, 1970; Sastrawijaya, 1992), mantra Banjar (Ismail,dkk.,1996), mantra Panesak (Subadiyono, 1999), mantra Bali (Atmadja, 1998), sedangkan mantra Tengger justru hanya mengenal magi putih saja, karena mantra Tengger merupakan doa pemujaan (Supardjana, dkk., 1997). 
[4]  Secara sosiologis, komunitas Using khususnya dan masyarakat Banyuwangi umumnya, mengalami semacam trauma akibat adanya isu pembantaian terhadap (menurut dugaan) dukun “santet” (istilah yang lebih tepat adalah sihir), September-Oktober 1998, di Banyuwangi. Padahal, berdasarkan akar budaya dan tradisi peninggalan Blambangan, Using, hingga kini belum  ada peristiwa pembunuhan secara terbuka terhadap dukun sihir. Oleh karena itu, kasus di Banyuwangi tersebut tidak mengakar pada tradisi Using sebagai peninggalan budaya Blambangan, tetapi lebih sebagai rekayasa elite politik kekuasaan (Kompas, 1998). 
[5]  Istilah santet dalam budaya Using dapat diidentikkan dengan istilah pelet dalam budaya Jawa.
[6]  Kata ndika memiliki  tingkat kesopanan yang lebih  tinggi dibandingkan  dengan kata  rika;  keduanya memiliki arti yang sama dengan sira dan ira. Namun, dari tingkat kesopanannya, kata ndika dan rika masih jauh di bawah kata Jawa penjenengan (wawancara dengan Hasan Ali, 68 tahun, 20 Oktober 2001).  
[7] Menurut Anderson (2000:1), pada awalnya, peneliti asing sering mengidentifikasi adanya “sinkretisme Jawa” dan “relativisme Jawa” sebagai konsep dasar watak orang Jawa; tetapi belakangan (terutama semenjak pecahnya revolusi nasional Indonesia), watak orang Jawa lebih populer dengan sebutan “toleransi” yang di dalamnya dilandasi sikap lapang dada.
[8]  Menurut  Hasnan Singodimayan,  maunya diri tidak identik dengan semaunya sendiri; maunya diri lebih bernuansa positif, sedangkan semaunya sendiri lebih bernuansa negatif. Sebagai contoh, sifat maunya diri pada orang Using terlihat, misalnya, pada makanan yang bernama rujak soto. Karena maunya diri mencampurkan antara rujak dengan soto maka jadilah makanan rujak soto, salah satu makanan khas Banyuwangi (wawancara, 17 Oktober 2001).
[9] Ketika yang bersangkutan bersedia menjalani sumpah pocong, mengindikasikan dia “bersih”. Tetapi, ketika yang bersangkutan menolak, secara implisit tuduhan terhadap dia benar adanya. Kalau sudah begitu, dia akan diusir dari komunitasnya (tetapi beberapa waktu kemudian, ketika keadaan sudah reda, dia dapat kembali lagi). Sementara itu, apabila dia “tidak bersih” tetapi tetap bersedia menjalani sumpah pocong, dia akan dilaknat oleh Allah (hal ini sudah menjadi keyakinan kolektif), yakni sakit dan akhirnya meninggal dunia. Selain sumpah pocong, dapat juga dilakukan mekanisme jalan pintas, yakni orang yang merasa dirugikan membalasnya dengan ngelmu sihir juga. Jadi, ada semacam perang sihir. Pihak yang kalah akan meminta bantuan kepada orang yang ngelmu-nya lebih tinggi. Hal semacam itu merupakan fenomena kekerasan tertutup.
[10] Dalam mitologi Jawa Kuno dikenal istilah mancapat dan mancalima, yakni asosiasi warna yang berkaitan dengan arah mata angin dalam pemukiman; warna putih menunjukkan arah timur, merah menunjukkan selatan, kuning menunjukkan barat, hitam menunjukkan utara, sedangkan percampuran warna-warna tersebut (banyak warna) menunjukkan tengah/pusat (Ahimsa-Putra, 1999b:3-5).
[11] Penulisan istilah-istilah tersebut sesuai dengan penuturan nara sumber. Menurut Suryadipura (1958:197-198), istilah-istilah tersebut berasal dari istilah lauwwamah, ammarah, sufiah, dan muthmainnah. Istilah lain dari keempatnya adalah egocentros, polemos, eros, dan religios. Dalam perspektif keislaman, istilah atau frase sedulur papat tersebut dikaitkan dengan empat malaikat, yakni Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil.
[12] Menguasai tidak selalu berarti memiliki (misalnya: orang sewa rumah, berarti menguasai tapi tidak memilikinya).
[13] Tentang homeopathic magic dan contagions magic, lihat Frazer (dalam Skorupski, 1983:126-152).
[14] Analogi adalah semacam “metode” untuk menafsirkan alam kodrat dan eksistensi manusia. Ia dapat dimanfaatkan untuk memandang sesuatu melampaui apa yang diamati secara langsung dengan diwakili tanda-tanda (Saputra, 2003b:116).
[15] Wawancara, 16 Agustus 2000.
[16] Tentang manunggaling kawula-Gusti, lihat Zoetmulder (1990).
[17] Secara administratif, Alas Purwo yang dikenal sebagai Semenanjung Blambangan, terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo. Hutan seluas 43.420 hektare itu ditetapkan sebagai Taman Nasional lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1992.
[18] Alas Purwo menjadi “kiblat” bagi orang-orang yang gemar perklenikan atau hal-hal magis. Kebanyakan orang yang datang ke sana bermaksud untuk semedi di sejumlah tempat, khususnya di dalam gua-gua. Gua-gua yang favorit dikunjungi para pencari wangsit di Alas Purwo, antara lain, Gua Istana, Gua Padepokan, dan Gua Selomangleng. Konon, menurut kisah yang beredar dalam masyarakat, sebelum menjadi Presiden, Bung Karno telah tiga kali mengunjungi Alas Purwo, yakni pada tahun 1918, 1929, dan 1938 (Koran Tempo, 2001).
[19] Berkaitan dengan ucapan beberapa dukun yang kurang seragam dari segi kefasihan, terutama menyangkut kata-kata yang bernuansa Islami atau diambil dari ayat-ayat Al Quran, penulis memutuskan untuk menuliskannya secara seragam dengan berpedoman pada nara sumber yang paling fasih.
[20] Upaya mencari formula dengan model seperti itu dilandasi oleh penelitian Sweeney (1999) terhadap data lisan “Lagu Si Hitam Manis” (Negeri Sembilan Malaysia) dan data elektronik “Joget Hitam Manis” (Best of Mus Mulyadi). Dalam penelitian itu, Sweeney berupaya untuk mencari persamaan formula di antara kedua data tersebut.
[21] Pencantuman angka 1-3 hanya digunakan sebagai identifikasi dan tidak berpengaruh terhadap esensi judul masing-masing mantra. 

[22] Dalam teks mantra JG juga terdapat kata asih, tetapi kata tersebut tidak mengalami perulangan sebagaimana dalam mantra SM. Dengan demikian, tingkat ketulusan kedua mantra tersebut berbeda.
[23] Dalam hal ini, ketulusan harus dipahami dalam konteks budaya lokal, bukan dalam konteks norma teologis. Dalam koteks norma teologis, tidak ada istilah “ketulusan” dalam hal penggunaan mantra atau ngelmu gaib, karena ia merupakan rekayasa atau manipulasi atas kesadaran seseorang. Dalam konteks budaya lokal, meskipun penggunaan mantra SM merupakan sebuah model rekayasa atas kesadaran, tetapi ia dilandasi oleh spirit kebaikan. Kualitas spirit kebaikan tersebut akan menjadi lebih jelas apabila mantra SM dikomparasikan dengan mantra-mantra yang bersifat destruktif (sihir), atau setidak-tidaknya dikomparasikan dengan mantra JG.
[24] Pembahasan komposisi skematik, bandingkan dengan Sweeney (1980:63-74).
[25] Njaluk tulung merupakan bentuk frase, tetapi ia menduduki posisi matra yang sama dengan kata nyalami dan kongkon.
[26] Karena kedua larik tersebut, secara langsung, tidak menunjukkan pola dengan kondisi matra yang sama, keduanya tidak dibubuhi garis lurus.
[27] Pembahasan unperiodic enjambement, lihat Lord (1981:54).
[28] Kata   nyalami   pada  larik  (3)  tidak  sekadar  berarti “memberi salam”, tetapi cenderung memuat maksud tertentu atau memiliki pamrih (‘tujuan sampingan’) tertentu yang bermuara pada upaya permintaan tolong.
[29] Dalam  budaya  Jawa  dikenal  sebagai  sedulur papat lima pancer (memiliki makna yang sama dengan sedulur papat lima badan).
[30] Di wilayah lain, seni jaranan lebih dikenal dengan sebutan seni jaran kepang, kuda lumping, atau jathilan.
[31] Sebagaimana telah dibahas dalam mantra SM3, kata ira dan isun yang digabung dengan kata berakhiran vokal akan membentuk enklitik sehingga menjadi  -nira dan -nisun.
[32] Sebagaimana yang terjadi pada mantra SM2, karena larik (4) mantra JG3, secara langsung, tidak menunjukkan pola dengan kondisi matra yang sama, larik tersebut tidak dibubuhi garis lurus.
[33] Pembahasan superimposed clause dan subordinate clause tersebut, bandingkan dengan Lord (1981:54).
[34] Secara  empiris,  banyak  kalangan  yang  merasa mandi doanya apabila menggunakan sarana media komunikasi lokal (verbal/nonverbal), karena merasa mampu menghayati hingga pada tataran sugestif; hal ini belum tentu didapatkan ketika menggunakan “bahasa lain.”
[35] Lebih lanjut, lihat Beatty (2001:246-247). Dalam perkembangan zaman, banyak orang yang tidak mampu, atau tidak mau, atau tidak mau tahu, untuk menyatukan ucapan/pikiran dan tindakan sehingga integritas kian menjadi barang yang terasa istimewa.
[36] Wawancara dengan Hasnan Singodimayan, (70 tahun), 3 September 1999.
[37] Dengan   sifat   ambivalensi   atau   multivalensi  nilai  budaya,  maka  nilai  budaya  gotong  royong  yang  nota  bene memiliki nilai budaya yang luhur karena mampu menciptakan kebersamaan atau hubungan yang harmonis atarsesama (bersifat positif) berpotensi mengandung nilai budaya yang mampu mendistorsi kemampuan kreatif individual atau bahkan menciptakan sikap ketergantungan kepada bantuan orang lain (bersifat negatif). Hal yang sama juga terjadi pada mekanisme kekeluargaan (bersifat positif) yang dapat menciptakan sikap nepotisme (bersifat negatif); hormat kepada senioritas (bersifat positif) yang dapat menciptakan sikap tanpa inisiatif;  berperilaku sabar (bersifat positif) yang dapat menciptakan sikap pasrah kepada nasib (Kleden, 1985:231).
[38] Sekadar sebagai perbandingan, tidak hanya mantra atau ngelmu gaib yang dapat dijadikan sebagai pranata sosial, tetapi mitos-mitos juga memberikan dasar-dasar bagi pranata-pranata sosial dan rasionalisasi-rasionalisasi hak-hak sosial yang istimewa (lihat, Geertz, 1992:2).
[39] Selain  tradisi  gredoan,  bathokan,  dan  mlayokaken  (colongan), dikenal juga tradisi ngleboni, ngunggah-unggahi dan ngayuh. Ngleboni yang arti harafiahnya ‘memasuki’, yakni si jejaka (sendiri dan tanpa sepengetahuan keluarganya) dengan kesatria memasuki rumah atau keluarga si gadis dan secara langsung meminta/melamar si gadis (yang sebelumnya telah menyetujuinya) untuk dinikahinya. Berkebalikan dengan ngleboni, dalam ngunggah-unggahi si gadis datang ke rumah si jejaka (biasanya sudah melalui proses pendekatan atau pacaran) dan meminta untuk dinikahi. Sementara itu, ngayuh biasanya dilakukan oleh orang tua si gadis yang tertarik kepada seorang jejaka untuk kemudian dijodohkan dengan anak gadisnya. Biasanya, si gadis berasal dari keluarga mampu, tetapi mempunyai cacat fisik sehingga merasa rendah diri atau tidak percaya diri untuk mencari jodoh. 
[40] Dalam transformasinya kini, warung bathokan tidak lagi dimanfaatkan secara kultural sebagai mediasi proses pencarian jodoh, tetapi telah diselewengkan menjadi semacam tempat prostitusi terselubung. Perempuan-perempuan penjaganya bukan lagi gadis, melainkan janda atau ibu rumah tangga yang kehidupan keluarganya tidak lagi harmonis. Pembelinya pun lebih berorientasi ke persoalan pemenuhan nafsu seksual. Warung-warung tersebut memang tetap menjual kopi atau teh beserta makanan kecilnya, tetapi penjaganya adalah perempuan-perempuan bayaran. Perempuan-perempuan tersebut dibayar oleh pemilik warung dengan cara bagi hasil, pemilik warung 80% sedangkan penjaganya 20%. Adapun uang tips yang diberikan oleh para pembeli menjadi hak milik perempuan-perempuan tersebut (Anis, 1989).
[41] Ada  sebagian  masyarakat  Using  yang  menganggap  sama  antara  mlayokaken  dan  colongan,  tetapi  sebagian  lainnya menganggap berbeda. Menurut Fatrah Abal, (70 tahun), dalam mlayokaken, sebelumnya telah terjadi pertunangan antara si gadis dan si jejaka, tetapi salah satu pihak (biasanya si jejaka) merasa tidak sabar. Sementara itu, dalam colongan belum terjadi pertunangan, dan satu hal yang penting bahwa colongan lebih mempunyai nilai prestise yang berupa sikap kesatria atau “jantan” dari si jejaka (Wawancara, 15 Oktober 2001). 
[42] Tradisi serupa  dengan  berbeda  nuansa juga  terdapat pada  kelompok etnik  lainnya,  misalnya di  Batak  dikenal  dengan sebutan mangalna, di Makassar atau Bugis dengan istilah silariang, dan di Bali dengan terminologi mrangkat atau ngrorod.
[43]  Dengan bahasa sandi, colok akan berteriak di depan rumah si gadis: “Awas, ada pencurian anak ayam! Siapa  yang  merasa  kehilangan anak ayam …?!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...