OLEH Heru S.P. Saputra
Fakultas Sastra Universitas Jember
Pendahuluan
Sudah menjadi realitas empiris bahwa
sastra, baik lisan maupun tulis, merupakan salah satu bentuk ekspresi estetis
yang sarat dengan muatan budaya. Di dalam kedua bentuk karya tersebut terjadi
dialektika budaya yang saling mengisi dan melengkapi. Namun, tidak dapat
dipungkiri bahwa kajian-kajian sastra tulis (khususnya sastra Indonesia
modern), dari segi kuantitas, lebih mendominasi, sedangkan kajian-kajian sastra
lisan cenderung sebagai “anak tiri” yang dinomorduakan (Suryadi, 1993: 8-9).
Ketimpangan semacam itu menggelisahkan, terutama apabila mengacu pada konsepsi
awal yang dilontarkan Teeuw (1988:304-305) bahwa sastra, baik dari segi sejarah
maupun tipologi, tidak baik apabila diadakan pemisahan antara sastra lisan dan
sastra tulis. Keduanya harus dipandang sebagai kesatuan dan keseluruhan, yakni
tidak dipecah-belah berdasarkan pertentangan yang tidak hakiki. Selain itu,
perlu dihindari adanya pertentangan dalam penilaian, seolah-olah hanya sastra
tulis saja yang mempunyai nilai (tinggi).
Fenomena “penganaktirian” sastra lisan
tidak sejalan dengan realitas empiris yang menunjukkan bahwa sastra lisan dan
sastra tulis tidak sekadar hidup berdampingan, tetapi keduanya mempunyai
keterpaduan atau keterjalinan antara yang satu dengan yang
lain (Teeuw, 1988:280). Keterpaduan atau keterjalinan tersebut tidak hanya
terbatas pada persoalan yang menyangkut medianya, yakni tulisan dan lisan
(Teeuw, 1988:281), tetapi juga menyangkut persoalan konvensi atau struktur,
baik pada genre puisi maupun prosa. Menurut Damono (1999:5),
puisi Indonesia modern, yang nota bene
adalah sastra tulis, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konvensi
kelisanan. Bahkan, menurutnya, piranti puitik yang kini lekat menjadi idiomatik
dalam puisi Indonesia modern, seperti rima, irama, metrum, aliterasi, asonansi,
repetisi, paralelisme, onomatope, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan bunyi,
terinspirasi oleh tradisi sastra lisan
Kajian terhadap sastra lisan tidak
dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan atau masyarakat (kelompok etnik)
pemiliknya. Sebagaimana diketahui, banyak kelompok etnik di Nusantara yang
masing-masing mempunyai kebudayaan dan tradisi sendiri-sendiri, terlepas dari
klasifikasinya sebagai tradisi besar atau tradisi kecil. Tradisi besar adalah
kebiasaan-kebiasaan yang bersifat kompleks dan merefleksikan keterpelajaran,
sedangkan tradisi kecil adalah kebiasaan-kebiasaan yang bersifat sederhana dan
merefleksikan keawaman (Redfield, 1985:57-58). Baik dalam tradisi besar maupun
tradisi kecil, biasanya, terdapat unsur tradisi lisan, yakni sebuah produk
budaya masyarakat tertentu yang penyebarluasannya didominasi oleh unsur
kelisanan.
Tradisi lisan memiliki keterkaitan yang
erat dengan folklore (folklor),
khususnya folklor lisan (verbal folklore).[1]
Folklor adalah sebagian kebudayaan (lor)
suatu kolektif (folk) yang tersebar
dan diwariskan secara turun-temurun dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk
lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat (mnemonic device)
(Danandjaja, 1984:2). Eksistensi tradisi lisan dalam masyarakat tertentu
senantiasa menimbulkan pandangan yang pro dan kontra, yakni pandangan yang
ingin melestarikan (bersifat positif) dan pandangan yang ingin meninggalkannya
(bersifat negatif). Tradisi lisan dapat dipilah menjadi beberapa bagian atau
klasifikasi, salah satu di antaranya adalah sastra lisan (Hutomo, 1991:11).
Demikian juga dengan folklor, khususnya folklor lisan. Folklor lisan meliputi
beberapa bagian, salah satu di antaranya adalah sastra lisan. Dengan demikian,
sastra lisan merupakan salah satu bagian tradisi lisan dan folklor.
Sebagai salah satu bentuk ekspresi
budaya masyarakat pemiliknya, sastra lisan tidak hanya mengandung unsur-unsur
keindahan (estetis), tetapi juga mengandung berbagai informasi tentang
nilai-nilai kebudayaan folk yang
bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai salah satu data budaya, sastra lisan
dapat diperlakukan sebagai “pintu masuk” untuk memahami salah satu atau
keseluruhan unsur kebudayaan yang bersangkutan (Ahimsa-Putra, 1999a:2).
Sebagaimana telah disinggung bahwa
kajian terhadap sastra lisan tidak dapat dilepaskan dari konteks kebudayaan
atau masyarakat pemiliknya Dalam wilayah kebudayaan Jawa Timur, secara empiris,
pemetaan kebudayaan dapat dipilah menjadi enam[2]
variasi regional kebudayaan, salah satu di antaranya adalah kebudayaan Using.
Dalam konteks kebudayaan Using, sastra lisan Using dapat dipilah menjadi cerita
rakyat (prosa lisan) dan puisi rakyat (puisi lisan). Prosa lisan Using dapat
dipilah menjadi tiga klasifikasi, yakni mite,
legenda, dan dongeng, sedangkan
puisi lisan Using dapat dipilah menjadi enam klasifikasi, yakni basanan, wangsalan, sanepan, batekan, syair,
dan mantra (Ali, 1994:241; Basri,
2000:6-9).
Dari beberapa klasifikasi prosa lisan
dan puisi lisan Using tersebut, salah satu yang memiliki sifat paling sakral
adalah puisi lisan Using jenis mantra (selanjutnya disebut mantra Using).
Mantra Using merupakan doa sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan
gaib yang dimanfaatkan sebagai sarana untuk membantu mempermudah dalam meraih
sesuatu dengan cara jalan pintas. Oleh karena itu, mantra Using menarik
sekaligus menantang untuk diteliti, khususnya dalam konteks budaya lokal.
Kemenarikan tersebut, selain karena
mantra Using mempunyai keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh kelompok
etnik lainnya, yakni adanya empat macam magi yang terkandung dalam tiga jenis
mantra,[3] juga karena mantra
tersebut tetap survival dan sekaligus
dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari oleh orang Using di Banyuwangi hingga
kini. Adapun tantangannya terletak pada proses eksplorasi data, yang tidak
hanya membutuhkan waktu yang cukup, tetapi juga membutuhkan persiapan
psikologis yang mantap, lantaran adanya semacam trauma sosial pada masyarakat
Using akibat tragedi pembantaian dukun 1998.[4]
Dari keempat macam magi yang terdapat
pada mantra Using (magi hitam, merah, kuning, dan putih), yang menarik untuk
dijadikan populasi adalah mantra yang bermagi merah dan kuning (tergolong jenis
santet atau pengasihan).[5]
Hal itu sedikitnya dilandasi oleh tiga hal. Pertama,
mantra bermagi kuning dan merah tidak hanya dimiliki atau digunakan oleh dukun,
tetapi dapat digunakan oleh masyarakat Using pada umumnya sehingga bersifat
populis. Kedua, mantra bermagi kuning
dan merah dapat digunakan untuk memanipulasi kesadaran seseorang tanpa
menggunakan cara-cara yang destruktif, khususnya sebagai media pengasihan
(mencari jodoh). Ketiga, mantra
bermagi kuning dan merah sangat populer di kalangan masyarakat Using sehingga
ia menjadi salah satu identitas budaya Using.
Dari populasi mantra bermagi kuning dan
merah tersebut, sampel kajian difokuskan pada mantra Sabuk Mangir (SM) yang
mewakili magi kuning dan mantra Jaran Goyang (JG) yang mewakili magi merah.
Pemilihan kedua mantra beserta varian-variannya tersebut dilandasi oleh tingkat
popularitasnya di dalam masyarakat yang begitu tinggi, yang melebihi
popularitas mantra-mantra lainnya. Popularitas kedua mantra beserta variannya
tersebut merambah hingga ke berbagai kalangan masyarakat sehingga hampir semua
orang Using mengenalnya.
Bertolak dari latar belakang tersebut,
tulisan berikut mencoba memaparkan konvensi struktural, aspek kelisanan, dan
fungsi mantra SM dan JG (jenis santet)
dalam konteks budaya Using.
Adapun data yang menjadi objek kajian
diperoleh melalui wawancara dengan beberapa dukun di Desa Kemiren, Olehsari,
dan Mangir, Banyuwangi. Data tersebut meliputi tiga varian mantra SM dan tiga
varian mantra JG (selanjutnya disebut SM1, SM2, SM3, JG1, JG2, dan JG3). Dengan
demikian, terdapat tiga mantra SM dan tiga mantra JG yang berbeda. Perbedaan
mantra-mantra tersebut tidak dipengaruhi oleh perbedaan asal wilayah, tetapi
dipengaruhi oleh perbedaan pemerolehan ngelmu
dukun yang menjadi nara sumber.
Karakteristik
Budaya Using
Kajian terhadap mantra SM dan JG dapat
dilakukan secara holistik apabila menempatkan mantra tersebut dalam konteks
budaya Using. Secara makro, karakteristik bahasa dan budaya Using –dalam batas
tertentu-- dapat dikatakan mempunyai persamaan dengan bahasa dan budaya Jawa
pada umumnya. Bahasa yang selama ini digunakan sebagai alat komunikasi orang
Using adalah bahasa yang oleh banyak pakar linguistik dikategorikan sebagai
bahasa Jawa dialek Banyuwangi (Ali, 1994:225). Sementara itu, budaya Using yang
berakar pada nilai dasar agraris tradisional dengan slametan sebagai proyeksi dari nilai rukun (yang sekaligus bentuk ekspresi dari harmonisasi hubungan
dunia mikrokosmos dan makrokosmos) tersebut juga mencerminkan
karakteristik budaya Jawa pada umumnya. Namun, khususnya yang berkaitan dengan
bahasa, orang Using tidak mengakui bahwa bahasa yang mereka gunakan adalah
bahasa Jawa, melainkan bahasa Using (Ali, 1991; Herusantosa, 1987). Argumentasi
tentang bahasa Using itu diperkuat oleh kenyataan di lapangan bahwa bahasa
Using (terutama yang masih relatif asli) tidak memiliki unggah-ungguh atau basa krama
(orang Using menyebutnya besiki),
baik dalam penggunaan bahasa yang menyangkut domain strata sosial maupun strata
kekerabatan, kecuali menyangkut dua kata, yakni ndika dan rika (keduanya
berarti ‘kamu’) yang digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang dihormati.[6]
Dengan demikian, paralel dengan struktur sosial masyarakat Using, bahasa Using
bersifat egaliter, yakni bahasa yang
dipergunakan dengan pengandaian bahwa semua pemakai bahasa tersebut memiliki
kedudukan yang setara.
Pandangan-dunia orang Using merupakan refleksi dari nilai
dasar pola kehidupan ritual yang bermuara pada berbagai aktivitas seremonial
yang berupa slametan. Slametan tidak hanya merupakan ungkapan
ritual dalam rangka ritus peralihan kehidupan individual, tetapi juga merupakan
ungkapan yang berdimensi sosial. Slametan
juga menjadi pola hubungan yang bersifat vertikal dan sekaligus horizontal.
Pola upacara ritual slametan juga
mendasari terbentuknya konvensi dalam masyarakat Using untuk senantiasa menjaga
keseimbangan atau keharmonisan antara jagad
cilik (mikrokosmos) dengan jagad
gedhe (makrokosmos). Munculnya musibah yang disebabkan oleh adanya bencana
alam atau adanya konflik sosial, menurut pandangan orang Using, merupakan tanda
adanya suasana ketidakharmonisan atau ketidakseimbangan antara mikrokosmos
dengan makrokosmos.
Ciri khas karakteristik budaya Using yang menonjol adalah
sinkretis, yakni dapat menerima dan menyerap budaya masyarakat lain untuk
diproduksi kembali menjadi budaya Using (Singodimayan, 1999). Selain itu,
budaya Using juga akomodatif terhadap kekuatan supranatural, gaib, dan magis.
Sinkretisme agama Islam dengan kepercayaan animisme-dinamisme, yang
terakumulasi dalam keyakinan terhadap dhanyang, tampak dalam upacara-upacara ritual
seperti Seblang, Barong, Kebo-keboan,
sedangkan sinkretisme dalam dimensi kesenian tampak dalam seni Praburoro dan Hadrah Kuntulan. Seblang, Barong, dan Kebo-keboan, merupakan ekspresi religius dalam bentuk seremonial
upacara ritual yang dimaksudkan sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta atas
ketentraman hidup mereka. Dalam upacara ritual bersih desa, yang biasanya
dipimpin seorang dukun, diperlukan perlengkapan sesaji sebagai persembahan
kepada para dhanyang yang mbahureksa wilayah desa yang
bersangkutan; upacara ritual Seblang
dilakukan di Desa Olehsari dan Bakungan, Barong di Desa Kemiren, dan Kebo-keboan di Desa Alasmalang.
Sementara itu, Praburoro dan Hadrah Kuntulan merupakan seni drama
tari dan seni tari yang erat implikasinya dengan penyebaran Islam di
Banyuwangi. Namun, kedua seni Islami tersebut mengalami transformasi dengan
mengakomodasi nilai-nilai tradisional Using, termasuk munculnya penari
perempuan pada Hadrah Kuntulan yang
semula dianggap tabu.
Sikap akomodatif terhadap kekuatan supranatural atau
kekuatan gaib yang bersifat magis juga merupakan dimensi dari sifat sinkretis
budaya Using. Sebagaimana diketahui, Banyuwangi merupakan salah satu wilayah yang
penduduk aslinya berbasis kekuatan supranatural dengan ditopang tradisi
bermantra. Oleh karena itu, budaya santet
dan sihir yang marak di kalangan
masyarakat Using tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang “menghebohkan,”
tetapi justru merupakan bagian integral dari khazanah budaya tradisional mereka
(Saputra, 1999). Tradisi semacam itu tidak menghilang begitu saja ketika
pesantren-pesantren marak balakangan ini sebab ada titik persinggungan antara
tradisi kekuatan magis dengan pemanfaatan (atau penyalahgunaan) ayat-ayat Al
Quran.
Dalam hal kepribadian, karakteristik orang Using berbeda
dari orang Jawa. Menurut Singodimayan (Wirata, 1995:3-4) kepribadian orang
Using tidak bersifat halus atau toleran seperti orang Jawa,[7]
melainkan bersifat aclak, ladak, dan bingkak. Aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain, dan
tidak takut merepoti diri sendiri, walaupun tidak sanggup melakukannya, atau
sering juga disebut sebagai “maunya diri”,[8]
sedangkan ladak berarti sombong.
Adapun bingkak berarti acuh tak acuh, tak mau tahu urusan orang lain. Di
antara ketiga sifat tersebut, aclak merupakan
sifat yang paling dominan. Dalam perkembangannya, aclak tidak saja menyangkut sifat, tetapi juga sikap orang Using.
Dengan sikap aclak yang “kebablasan”
menjadikan perilaku orang Using lebih mendekati kategori fitnah. Sebenarnya
orang Using menyadari bahwa perbuatan atau omongannya seringkali mendekati
fitnah yang berarti juga menyakiti orang lain. Namun, karena di sisi lain
mereka memiliki sifat bingkak,
perbuatan yang mendekati fitnah tersebut tidak begitu dihiraukannya.
Perlu dijelaskan bahwa dalam budaya Using tidak dikenal
adanya pembunuhan terhadap dukun dengan cara pembantaian, tetapi ada sebuah
mekanisme budaya untuk menghukum dukun, yakni dengan mekanisme sumpah pocong. Bagi masyarakat Using,
mekanisme sumpah pocong yang dipimpin seorang kiai yang dilakukan di bawah Al Quran
di dalam sebuah masjid/langgar telah menjadi semacam institusi untuk
melegitimasi kesucian/kejujuran seseorang yang tertuduh sebagai dukun (terutama
dukun sihir).[9]
Mekanisme budaya seperti itu merupakan salah satu model penyelesaian kekerasan
dan sekaligus merupakan refleksi bahwa budaya Using tidak menyukai kekerasan,
setidak-tidaknya kekerasan secara terbuka (Saputra, 2001a:8).
Dalam konteks budaya Using, sebagaimana telah disingung,
mantra Using dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu mantra jenis sihir (untuk sarana pembunuhan), santet (sarana pengasihan), dan penyembuhan (sarana pengobatan).
Berdasarkan jenis maginya, mantra Using dapat dipilah menjadi empat macam
tipologi, yaitu magi hitam (tergolong sihir),
merah, dan kuning (keduanya tergolong santet),
serta putih (tergolong penyembuhan). Perbedaan magi merah dan kuning terletak
pada “misi” yang menjiwainya; magi merah
didasari rasa dendam/nafsu, sedangkan magi kuning didasari ketulusan hati
(Kusnadi, 1993). Empat macam jenis magi tesebut, tampaknya, berkaitan dengan
kepercayaan masyarakat terhadap filosofi isi tubuh manusia yang terdiri atas sedulur papat, lima badan.[10]
Sedulur papat merupakan refleksi
empat saudara spiritual yang melingkupi tubuh manusia, yakni nafsu aluamah, amarah, supiyah, dan mutmainah.[11]
Nafsu aluamah merupakan refleksi dari
tanah atau bumi, yang dapat dimaknai sebagai pemilikan dan berorientasi pada
sikap serakah (ditandai dengan warna hitam). Nafsu amarah merupakan refleksi dari api, yang dapat dimaknai sebagai
penguasaan[12]
dan berorientasi pada sikap temperamen tinggi (ditandai dengan warna merah).
Nafsu supiyah merupakan refleksi dari
angin yang dapat dimaknai sebagai keindahan dan berorientasi pada pola
hedonisme (ditandai dengan warna kuning). Nafsu mutmainah merupakan refleksi dari air, yang dapat dimaknai sebagai
pengetahuan dan berorientasi pada religiusitas (ditandai dengan warna putih).
Sementara itu, lima badan merupakan
unsur kelima dari konfigurasi numerologis papat-lima
yang terefleksi pada
“diri/badan/tubuh/pancer” yang
menjadi pusat kosmis dari keempat unsur lainnya (yang ditandai dengan
percampuran keempat warna tersebut) (Saputra, 2002:200-203).
Sementara itu, berdasarkan kekuatan maginya, mantra Using
dapat dimanfaatkan dengan cara (1) homeopathic
magic (magi homeopatik) yang disebut juga imitative magic (magi meniru), dan (2) contagions magic (magi yang menular) yang disebut juga magic of touch (magi sentuhan).[13]
Cara yang pertama dilandasi oleh pengandaian bahwa segala sesuatu yang memiliki
kemiripan dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan kekuatan magis, sedangkan yang
kedua dilandasi pengandaian bahwa segala sesuatu yang pernah bersentuhan tetap
memiliki hubungan magis. Efektivitas kekuatan magi tersebut, setidak-tidaknya,
memerlukan tiga unsur, yakni subjek, objek, dan bidang gravitasi (lihat,
Levi-Strauss, 1997). Subjek diwakili oleh dukun, objek diwakili oleh orang yang
menjadi sasaran (objek penderita), dan bidang gravitasi atau perantara dapat
berupa sarana yang digunakan atau situasi kelompok masyarakat yang kondusif.
Adapun laku mistik dapat dilakukan dengan berbagai
mekanisme. Namun, orang Using sering melakukan simplifikasi ketika
mengungkapkan mekanisme laku mistik yang sebenarnya cenderung kompleks
tersebut, yakni bahwa meknisme laku mistik berinti pada upaya untuk melakukan sat-tus. Terminologi sat-tus mengacu pada frase disat dan ditus (keduanya berarti ‘dikuras’); disat terkait dengan isi perut, sedangkan ditus terkait dengan mata. Jadi, inti laku mistik adalah wetenge disat matane ditus (‘perut dan
mata dikuras’); perut dikuras dengan cara pasa
(‘berpuasa’), mata dikuras dengan cara lek-lekan
(‘selalu jaga / tidak tidur’) (Saputra, 2003a:234-235).
Dengan mengacu pada konsep analogi,[14]
seorang budayawan Using, Hasnan Singodimayan,[15]
menjelaskan kekuatan gaib tubuh manusia yang terefleksi pada mantra dengan
memberikan analogi tenaga listrik. Menurutnya, tubuh manusia dapat dianalogikan
dengan tenaga listrik, karena keduanya sama-sama mengandung tiga partikel
massif yang bersifat nonmateri, yakni elektron, proton, dan neutron. Demikian
juga, kekuatan tubuh manusia yang berupa kekuatan gaib. Kekuatan gaib tubuh
manusia bersifat nonmateri, yakni berupa bioelektron yang diperkuat dengan
bioplasma. Bioelektron merupakan kekuatan pancaran tubuh manusia, sedangkan
bioplasma merupakan kekuatan pancaran aura atau lingkaran dari tubuh manusia.
Lebih lanjut, Singodimayan menjelaskah bahwa laku mistik tersebut sebenarnya
hanya sebagai perantara untuk mencapai tingkat konsentrasi yang cukup tinggi, yang
kemudian menghasilkan tenaga psikokinetis. Tenaga psikokinetis adalah tenaga
pikiran manusia yang dihasilkan atas dasar konsentrasi. Dengan demikian, inti
kekuatan gaib terletak pada kekuatan bioelektron, bioplasma, dan tenaga
psikokinetis manusia.
Mantra sebagai Puisi
Lisan
Menurut Lord (1981:47), ciri utama puisi lisan adalah adanya
formula dan ekspresi formulaik. Bahkan, ditegaskannya bahwa tidak ada puisi
lisan yang tidak formulaik. Selain
formula, Lord (1981) juga menekankan aspek kelisanan puisi lisan berupa
komposisi, performance, dan
transmisi. Namun, ia tidak memberi deskripsi yang eksplisit tentang ketiga
konsep tersebut. Justru Finnegan (1992), dengan berpijak pada paparan Lord, mendeskripsikan secara
eksplisit ketiga konsep tersebut, sebagaimana diuraikan berikut.
Menurut Finnegan
(1992:117-121), komposisi dimaksudkan sebagai cara atau proses penciptaan
sastra lisan atau cara satra lisan disusun dan dihidupkan. Konsep komposisi
tidak dapat dilepaskan dari konteks latar belakang proses penciptaan, seperti
keterkaitannya dengan faktor individu atau kolektif, keterkaitannya dengan
pertunjukkan (performance),
keterkaitannya dengan memorisasi, atau keterkaitannya dengan teks-pasti (fixed text) dan teks-bebas (free text).
Menurut Finnegan
(1992:91-94), performance adalah
suatu tipe peristiwa komunikasi yang memiliki dimensi proses komunikasi yang
bermuatan sosial, budaya, dan estetik. Pertunjukan memiliki mode tindakan
dengan tanda tertentu yang dapat ditafsirkan sehingga tindakan komunikasi dapat
dipahami. Performance dapat dibedakan
menjadi dua model, yakni model performance
yang ditampilkan di hadapan audiens dan model performance yang ditampilkan tidak di hadapan audiens (dengan waktu
dan tempat yang dikondisikan). Model yang pertama dimanfaatkan untuk tujuan
hiburan (estetis), sedangkan model yang kedua untuk tujuan sakral (Suryadi,
1993:18-19).
Transmisi
dimaksudkan sebagai penyebaran atau penurunan sastra lisan. Menurut Finnegan
(1992:114-115), konsep transmisi tidak dapat dilepaskan dari konsep memori;
dari memori berkembang menjadi transmisi. Model awal memori sering bersifat
pasif sehingga memori seseorang dalam keadaan atau kondisi masyarakat “tribal”
harus secara alami lebih baik daripada masyarakat “keberaksaraan.” Model
berikutnya cenderung bersifat aktif, yakni berkembang dari gagasan mengenai
penyimpanan memori secara kata per kata menjadi rekonstruksi dan reorganisasi
dari pengetahuan sebelumnya.
Sebelum dibahas formulanya, mantra SM dan JG terlebih dahulu
dibahas komposisi, performance, dan
transmisinya.
Sebagaimana mantra pada umumnya, mantra SM dan JG sulit
untuk ditelusuri secara pasti siapa penciptanya, di mana diciptakan, dan kapan
diciptakan. Namun, berdasarkan pengetahuan umum (informal) para nara sumber,
dapat diketahui bahwa mantra SM dan JG diciptakan (komposisi) secara lisan (mengutamakan memorisasi) oleh
dukun (individual) yang memiliki ngelmu yang
cukup tinggi (mampu melakukan manunggaling
kawula-Gusti).[16]
Mantra-mantra tersebut diciptakan pada masa pascaperang Puputan Bayu
(1771-1772) dengan tujuan utama sebagai sarana untuk membantu mempermudah
perjodohan di antara orang-orang Using sendiri (yang saat itu cerai-berai).
Adapun tempat diciptakannya mantra-mantra tersebut diperkirakan di wilayah Alas
Purwo, yakni sebuah wilayah di Banyuwangi bagian selatan yang terdiri atas
hamparan hutan yang angker. Sampai saat ini, wilayah Alas Purwo[17]
dikenal oleh masyarakat Using sebagai wilayah yang paling angker dan masih
digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan laku mistik.[18]
Sementara itu, performance
yang berupa prosesi ritual matek aji dilakukan
secara lisan oleh dukun dan pelaksanaannya cenderung berbeda antara dukun yang
satu dengan dukun yang lain. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan sarana
verbal (mantra SM atau JG), sarana nonverbal (pastfoto, garam, gula pasir),
tempat (di dalam rumah, di halaman, di sawah, di tempuran, di kuburan) dan perlengkapan busana (busana lengkap,
telanjang dada, telanjang bulat). Adapun tentang waktu dilangsungkannya prosesi
ritual matek aji, antara dukun yang
satu dengan dukun lain cenderung sama, yakni waktu tengah malam atau setelah
tengah malam sampai menjelang adzan Subuh. Selain itu, perbedaan juga terjadi
pada keterlibatan pemesan dalam prosesi ritual matek aji. Keterlibatan pemesan tersebut dapat dibedakan menjadi
tiga kategori, yakni (1) pemesan tidak mau terlibat langsung (menyerahkan
seluruh prosesi ritual kepada dukun), (2) pemesan hanya terlibat dalam sebagian
prosesi ritual, dan (3) pemesan terlibat dalam seluruh prosesi ritual. Dari
ketiga kategori tersebut, yang paling manjur dan efektif kekuatan gaib dari proses ritual matek aji-nya adalah kategori yang
ketiga.
Adapun proses transmisi mantra SM dan JG dilakukan secara
lisan dengan cara transmisi pasif, yakni transmisi yang lebih mementingkan isi
memori daripada proses memori, dengan cara menghafal kata demi kata. Hal
tersebut terkait dengan sifat sakral mantra yang menuntut adanya teks-pasti,
yakni teks yang tidak pernah berubah, meskipun ditransmisikan secara
turun-temurun dari generasi ke generasi.
Setelah aspek komposisi, performance,
dan transmisi, mantra SM dan JG dapat dideskripsikan dari segi strukturnya.
Secara struktural, masing-masing data mantra SM dan JG (setelah ditranskripsi)
tidak berbait (atau hanya satu bait). Dikatakan tidak berbait karena ucapan
dukun terhadap larik-larik mantra tidak menunjukkan adanya jeda yang berbeda.
Oleh karena itu, pentranskripsian terhadap larik-larik mantra yang diucapkan dukun
--yang penulis rekam dengan tape recorder--
tersebut juga dilakukan dengan jeda yang sama, yang berarti pula satu mantra
disusun dalam satu struktur bait.[19]
Masing-masing mantra tersusun atas larik-larik dengan jumlah yang berbeda-beda.
Mantra SM1, SM2, dan SM3 terdiri atas 18 larik, 16 larik, dan 13 larik,
sedangkan mantra JG1, JG2, dan JG3 terdiri atas 15 larik, 17 larik, dan 17
larik.
Sementara itu, masing-masing mantra tersusun atas
unsur-unsur yang membentuk struktur yang utuh, atau yang oleh Piaget (1995:4-10) disebut sebagai the idea of wholeness (gagasan keutuhan
atau totalitas). Gagasan keutuhan berarti bahwa struktur memiliki koherensi
intrinsik, merupakan kesatuan yang bulat, dan bagian-bagian yang membentuknya
tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur tersebut.
Secara garis besar, struktur mantra SM dan JG memiliki
persamaan, yakni terdiri atas enam unsur atau bagian. Keenam unsur tersebut
meliputi: unsur judul, unsur pembuka,
unsur niat, unsur sugesti, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul
mantra biasanya terdiri atas kelompok kata yang diasumsikan dapat mencerminkan
tujuan atau menjadi ciri khas mantra yang bersangkutan. Sementara itu, unsur pembuka pada mantra SM dan JG
memiliki persamaan, yakni diambil dari bahasa Arab dan merupakan bagian dari
doa yang digunakan oleh umat Islam. Unsur
pembuka tersebut berbunyi Bismillāhir
rahmānir rahīm. Ucapan tersebut sebenarnya tidak hanya digunakan sebagai unsur pembuka pada mantra SM dan JG,
tetapi juga digunakan sebagai unsur
pembuka pada semua mantra Using (cenderung bersifat umum atau seragam).
Unsur ketiga dikatakan sebagai unsur niat karena bagian tersebut menggunakan kata kunci niat. Kata niat ini juga dapat dikaitkan dengan ungkapan yang menyebutkan
bahwa “segala sesuatu bergantung pada niatnya”. Selain kata niat, pada unsur niat ini juga terdapat frase yang menunjukkan judul mantra
yang bersangkutan. Ada sebagian masyarakat Using yang mengaitkan unsur niat dengan mantra itu sendiri
secara keseluruhan atau pun hanya
lafalnya.
Unsur sugesti
adalah unsur yang berisi metafora-metafora atau analogi-analogi yang oleh dukun
dianggap memiliki daya atau kekuatan tertentu dalam rangka membantu
membangkitkan potensi kekuatan magis atau kekuatan gaib pada mantra. Artinya,
sebelum sampai kepada inti mantra, ada bagian yang berisi sugesti atau analogi
yang berbeda-beda antara satu mantra dengan mantra lainnya.
Unsur tujuan
adalah muara atau maksud yang ingin dicapai oleh pemantra dalam penggunaan
mantra. Ia juga merupakan semacam kesimpulan atau intisari dari rangkaian
unsur-unsur yang membentuk struktur mantra. Tujuan yang terkandung dalam mantra
SM berbeda dari mantra JG. Tujuan dalam penggunaan mantra SM berorientasi pada
persoalan pengasihan yang dilakukan
dengan landasan ketulusan hati, sedangkan tujuan penggunaan mantra JG
berorientasi pada persoalan pengasihan yang dilandasi oleh rasa balas dendam
atau hawa nafsu semata.
Sebagaimana pada unsur
pembuka, unsur penutup mantra
bersifat seragam atau umum. Artinya, semua mantra Using menggunakan unsur penutup yang sama, yakni berbunyi Lā ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh.
Uraian struktur mantra SM dan JG tersebut dapat disusun ke dalam bentuk
tabel, seperti berikut.
Tabel 1
Struktur Mantra Sabuk Mangir
STRUKTUR MANTRA SABUK MANGIR |
|||
Unsur Judul
|
Sabuk Mangir 1
|
Sabuk Mangir 2
|
Sabuk Mangir 3
|
Unsur
Pembuka
|
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
|
(1)Bismillāhir
rahmānir rahīm
|
(1) Bismillāhir
rahmānir rahīm
|
Unsur
Niat
|
(2)
Niat isun matek aji Sabuk Mangir
|
(2) Niat
isun matek aji Sabuk Mangir
|
(2) Niat
isun matek aji Sabuk Mangir
|
Unsur
Sugesti
|
(3) Lungguh
isun lungguhe Nabi Adam
(4) Hang
sapa ningali lungguh isun iki
(5) Ya
isun iki lungguhe Nabi Adam
(6) Badan
isun badane Nabi Muhammad
(7) Hang
sapa ningali badan isun iki
(8) Ya
isun iki badane Nabi Muhammad
(9) Cahyanisun
cahyane Nabi Yusuf
(10) Hang
sapa ningali cahyanisun iki
(11) Ya
isun iki cahyane Nabi Yusuf
(12) Suaranisun
suarane Nabi Daud
(13) Hang
sapa krungu suaranisun iki
(14) Ya
isun iki suarane Nabi Daud
|
(3) Isun
nyalami sedulur papat lima badan
(4) Isun
njaluk tulung sira
(5) Isun
kongkon mlebu atine hang sun tuju
(6) Ketok
turu sira tangekna
(7) Ketok
tangi sira lungguhna
(8)
Ketok lungguh sira degna
(9) Ketok
ngadeg sira lakokna
(10) Ketok
mlaku sira playokna
(11) Aja
tapi mandheg
(12) Kadhung
durung turu bantal tangan isun
|
(3) Kuma
poteh asale bapak ira
(4) Kuma
bang asale emak ira
(5) Raganira
raganisun
(6) Sukmanira
sukmanisun
(7) Cahyanira
cahyanisun
(8) Wahyunira
wahyunisun
(9) Welas
asih ira welas asih isun
|
Unsur Tujuan
|
(15) Teka
welas teka asih jebeng beyine…
(16) Asiha
marang jabang bayinisun
(17) Sih-asih
kersane Gusti Allah
|
(13) Teka
welas teka asih jebeng beyine…
(14) Asiha
marang jabang bayinisun
(15) Sih-asih
kersane Gusti Allah
|
(10)Teka
welas teka asih jebeng beyine …
(11) Asiha
marang jabang bayinisun
(12) Sih-asih
kersane Gusti Allah
|
Unsur Penutup
|
(18) Lā ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh |
(16) Lā ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh |
(13) Lā
ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh |
Tabel 2
Struktur Mantra Jaran Goyang
STRUKTUR MANTRA JARAN GOYANG |
|||
Unsur Judul
|
Jaran Goyang 1
|
Jaran Goyang 2
|
Jaran Goyang 3
|
Unsur
Pembuka
|
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
|
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
|
(1) Bismillāhir
rahmānir rahīm
|
Unsur
Niat
|
(2)
Niat isun matek aji Jaran Goyang
|
(2)
Niat isun matek aji Jaran Goyang
|
(2)
Niat isun matek aji Jaran Goyang
|
Unsur
Sugesti
|
(3) Sun
goyang ring tengah latar
(4) Sun
sabetake gunung gugur
(5) Sun
sabetake lemah bangka
(6) Sun
sabetake segara asat
(7) Sun
sabetake ombak sirep
|
(3) Sun
goyang ring tengah latar
(4) Sun
wolak-walik jantung atine
(5) Sun
remet-remet limpane
(6) Sun
kerik-kerik sikile
(7) Kecaruk
turu sun tangekna
(8) Kecaruk
tangi sun lungguhna
(9) Kecaruk
lungguh sun degna
(10) Kecaruk
ngadeg sun lakokna
(11) Kecaruk
mlaku sun playokna
|
(3) Sun goyang ring tengah latar
(4) Sedulur
papat lima badan
(5) Kaki
dhanyang nini dhanyang
(6)
Bapa dhanyang ibu dhanyang
(7) Kuma
poteh asale bapak ira
(8) Kuma
bang asale emak ira
(9) Roh
ira mandi roh isun mandi
(10) Sukmanira
mandi sukmanisun madi
(11) Ciptanira mandi ciptanisun
mandi
|
Unsur
Tujuan
|
(8) Sun
sabetake atine jebeng beyine …
(9) Kadhung
edan sing edan
(10) Kadhung
gendheng sing gendheng
(11) Kadhung
bunyeng sing bunyeng
(12) Aja mari-mari
(13) Kadhung
sing isun hang nambani
(14)
Sih-asih kersane Gusti Allah
|
(12) Sun
kenengna jebeng beyine …
(13)
Kadhung edan sing edan
(14) Aja
mari-mari
(15) Kadhung
sing isun hang nambani
(16)
Sih-asih kersane Gusti Allah
|
(12) Sun
tamanna jebeng beyine …
(13) Kadhung
edan sida edan
(14) Aja
mari-mari
(15) Kadhung
sing isun hang nambani
(16)
Sih-asih kersane Gusti Allah
|
Unsur Penutup
|
(15) Lā
ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh
|
(17) Lā
ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh
|
(17) Lā
ilāha illallāh
Muhammadur rasūlullāh
|
Formula Mantra Sabuk Mangir
Teori formula dipopulerkan oleh Parry dan Lord, yang kemudian dikenal
sebagai teori formula Parry-Lord. Dalam teori formula, menurut Lord (1981:5),
konsep kelisanan tidak hanya dimaknai sebagai presentasi lisan, tetapi juga
dimaknai sebagai komposisi selama terjadinya
penampilan secara lisan. Menurut Lord (1981:30), formula adalah kelompok kata
yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama untuk
mengungkapkan satu ide hakiki (pokok). Dengan demikian, formula merupakan
frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas.
Sementara itu, ekspresi formulaik
adalah larik atau paruh larik yang disusun atas dasar pola formula (Lord,
1981:4). Menurut Ong (1989:35), penggunaan ekspresi formulaik dapat membantu
terbentuknya wacana ritmis sehingga merupakan salah satu alat bantu untuk
mengingat kembali dengan mudah, cepat, dan tepat, serta menjadi ungkapan tetap yang dapat bertahan hidup secara lisan.
Menurut Lord (1981:65), “tata bahasa puitik” dari puisi lisan merupakan
“tata bahasa parataksis” (grammar of parataxis), yakni konstruksi kalimat,
klausa, atau frase koordinatif yang tidak menggunakan kata penghubung. Analisis
tekstual, khususnya analisis formula, menururt Lord (1981:45), harus dimulai
dengan pengamatan yang cermat terhadap frase-frase yang mengalami perulangan.
Hal tersebut dilakukan untuk menemukan formula dengan berbagai variasi polanya.
Lebih lanjut, Lord (1981:47) menunjukkan benang merah analisis formula
tersebut, yakni tidak ada larik atau paruh larik yang tidak membentuk pola
formulaik. Larik dan paruh larik yang disebut formulaik tersebut tidak hanya
mengilustrasikan pola-polanya sendiri, tetapi juga menunjukkan contoh sistem
puisi lisan. Oleh karena itu, Lord (1981:47) menggarisbawahi bahwa tidak ada
puisi lisan yang tidak formulaik.
Prinsip kelisanan berorientasi pada proses pembelajaran
sehingga tidak hanya terbatas pada presentasi lisan. Dengan prinsip tersebut,
menurut Lord (1981:280), teks-teks yang dianggap sakral dan harus
ditransmisikan kata demi kata (teks-pasti) tidak dapat dikatakan memiliki
prinsip kalisanan, kecuali dalam pengertian teknis (harfiah).
Dengan mengacu pada konsep tersebut, mantra SM dan JG --yang nota bene merupakan teks sakral-- yang
menjadi objek kajian dalam tulisan ini, termasuk sebagai puisi lisan yang hanya
memiliki aspek kelisanan sebatas dalam arti teknis. Meskipun demikian, mantra
tersebut memiliki bentuk atau pola formula yang cukup dominan sehingga layak
untuk dikaji formula dan ekspresi formulaiknya.
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa berdasarkan hasil temuan di
lapangan terdapat tiga varian mantra SM, yakni mantra SM1, SM2, dan SM3. Ketiga
varian mantra SM tersebut memiliki tingkat orisinalitas yang sama karena mantra
yang satu tidak diturunkan atau merupakan versi mantra yang lain. Hal itu
didasari oleh argumentasi bahwa mantra merupakan bentuk teks-pasti sehingga
proses transmisinya dilakukan secara pasif dengan cara menghafal kata demi
kata. Pembahasan formula mantra SM dilakukan secara “berlapis”, dimulai dengan
pembahasan perbandingan antarvarian teks mantra. Pembahasan terhadap formula
antarvarian teks mantra tersebut bertujuan untuk membandingkan formula yang
terdapat pada varian mantra yang satu dengan yang lain. Dengan demikian,
diupayakan untuk mencari persamaan-persamaan formula antarvarian teks mantra.[20]
Untuk mempermudah hal tersebut, berikut ini dikutip teks mantra SM1, SM2, dan SM3 secara berjajar dalam
bentuk tabel.
Formula Mantra Sabuk Mangir
FORMULA MANTRA SABUK MANGIR |
||
Sabuk Mangir 1
___________
------------------
(1)
Bismillāhir rahmānir rahīm
___________________
------------------------------
(2)
Niat isun matek aji Sabuk Mangir
________________________
---------------------------------------
(3)
Lungguh isun lungguhe Nabi Adam
___ _________
----------------------------------------
(4)
Hang sapa ningali lungguh isun iki
____________ ______
--------------------------------------
(5)
Ya isun iki lungguhe Nabi Adam
________ ________
------------------------------------
(6)
Badan isun badane Nabi Muhammad
___ ____________
-----------------------------------------
(7)
Hang sapa ningali badan isun iki
____________ _____
------------------------------------
(8)
Ya isun iki badane Nabi Muhammad
________ ____________
-----------------------------------------
(9)
Cahyanisun cahyane Nabi Yusuf
___ ________
-----------------------------------
(10)
Hang sapa ningali cahyanisun iki
____________ _____
-------------------------------------
(11)
Ya isun iki cahyane Nabi Yusuf
________ ________
------------------------------------
(12)
Suaranisun suarane Nabi Daud
____ ________
-----------------------------------
(13)
Hang sapa krungu suaranisun iki
_____________ _____
-------------------------------------
(14)
Ya isun iki suarane Nabi Daud
________ ________
-----------------------------------
(15)
Teka welas teka asih jebeng beyine…
_________________________
----------------------------------------
(16)
Asiha marang jabang bayinisun
______________________
-----------------------------------
(17)
Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(18) Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
_________________
---------------------------
|
Sabuk Mangir 2
____________
--------------------
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
___________________
-------------------------------
(2)
Niat isun matek aji Sabuk Mangir
________________________
---------------------------------------
(3)
Isun nyalami sedulur papat lima badan
_________
------------------------------------------
(4)
Isun njaluk tulung sira
________
---------------------------
(5)
Isun kongkon mlebu atine hang sun tuju
_________
-----------------------------------------
(6)
Ketok turu sira tangekna
_______ ________
--------------------------
(7)
Ketok tangi sira lungguhna
_______ _________
----------------------------
(8) Ketok lungguh sira degna
_________ ______
---------------------------
(9)
Ketok ngadeg sira lakokna
________ ________
----------------------------
(10)
Ketok mlaku sira playokna
_________ ________
------------------------------
(11)
Aja tapi mandheg
--------------------
(12)
Kadhung durung turu bantal tangan
isun
----------------------------------------
(13)
Teka welas teka asih jebeng
beyine…
_________________________
----------------------------------------
(14)
Asiha marang jabang bayinisun
______________________
-----------------------------------
(15)
Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(16) Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
_________________
---------------------------
|
Sabuk Mangir 3
____________
--------------------
(1)
Bismillāhir rahmānir rahīm
___________________
-------------------------------
(2)
Niat isun matek aji Sabuk Mangir
________________________
---------------------------------------
(3)
Kuma poteh asale bapak ira
_______ __________
-------------------------------
(4)
Kuma abang asale emak ira
_______ __________
------------------------------
(5)
Raganira raganisun
_____
______
---------------------
(6)
Sukmanira sukmanisun
_______ ________
---------------------------
(7)
Cahyanira cahyanisun
______
_______
------------------------
(8)
Wahyunira wahyunisun
_______ ________
---------------------------
(9)
Welas asih ira welas asih isun
_________
_________
-------------------------------
(10)Teka welas teka asih jebeng beyine …
_________________________
----------------------------------------
(11)
Asiha marang jabang bayinisun
______________________
-----------------------------------
(12)
Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(13)
Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
_________________
---------------------------
|
Keterangan :
_______ : formula (dengan berbagai variasinya)
------------ : ekspresi formulaik
Kutipan pada tabel tersebut menunjukkan adanya persamaan formula dalam
perbandingan antarvarian teks mantra. Hal itu dapat dilihat pada masing-masing
varian mantra SM, khususnya pada larik-larik yang ditandai dengan garis utuh
sepanjang satu larik. Persamaan formula dalam perbandingan mantra SM1, SM2, dan
SM3 tersebut dapat dipilah menjadi tiga pola, yakni formula sintaktis, formula
repetisi yang bervariasi, dan formula repetisi tautotes. Ketiga pola formula
tersebut dibahas sebagai berikut. Formula sintaktis adalah formula yang berupa
perulangan kalimat. Formula sintaktis terdapat pada unsur judul,[21] unsur pembuka, unsur niat, unsur tujuan, dan unsur penutup. Unsur judul, unsur pembuka, dan
unsur niat masing-masing mantra terdapat pada larik yang sama, yakni larik
paling atas, larik (1), dan larik (2). Pola formula dalam unsur tersebut
berbunyi Sabuk Mangir (unsur judul), Bismillāhir rahmānir rahīm (unsur
pembuka), Niat isun matek aji Sabuk
Mangir (unsur niat). Sementara
itu, unsur tujuan pada masing-masing
mantra terdapat pada urutan larik yang berbeda. Unsur tujuan dalam mantra SM1 terdapat pada larik (15)-(17),
sedangkan dalam mantra SM2 terdapat pada larik (13)-(15). Adapun unsur tujuan dalam mantra SM3 terdapat
pada larik (10)-(12). Pola formula dalam unsur tersebut berbunyi Teka welas teka asih jebeng beyine… / Asiha marang jabang bayinisun / Sih-asih kersane Gusti Allah. Sementara
itu, unsur penutup pada ketiga varian
mantra terdapat pada larik terakhir
setiap teks mantra, yang berbunyi Lā
ilāha illallāh Muhammadur rasūlullāh. Dengan demikian, semua unsur yang terdapat
pada mantra SM1, SM2, dan SM3 memiliki persamaan formula, kecuali pada unsur sugesti.
Adapun formula repetisi yang bervariasi terdapat pada unsur tujuan dalam masing-masing varian mantra, yakni pada larik
(15)-(17) mantra SM1, larik (13)-(15) mantra SM2, dan larik (10)-(12) mantra
SM3. Ketiga larik yang memuat kata welas-asih, asiha, dan sih-asih itu merupakan formula pembentuk larik yang berisi pola
repetisi yang variatif. Ketiga kata itu memiliki esensi yang sama, tetapi
disampaikan dalam bentuk yang berbeda sehingga ia membentuk formula dengan pola
repetisi yang variatif. Adapun formula repetisi tautotes terdapat pada larik
pertama unsur tujuan dalam
masing-masing varian mantra, yakni pada larik (15) mantra SM1, larik (13)
mantra SM2, dan larik (10) mantra SM3. Formula repetisi tautotes tersebut
berupa perulangan kata teka dalam
satu konstruksi larik.
Bentuk-bentuk formula tersebut dimanfaatkan untuk mengungkapkan satu ide
hakiki. Artinya, bentuk formula dalam perbandingan antarvarian mantra SM dimanfaatkan
untuk menegaskan adanya satu ide pokok. Ide tersebut sesuai dengan arti atau
makna bentuk formulanya. Dalam formula sintaktis, ide hakiki yang diungkapkan
adalah makna kalimat itu sendiri, karena formula tersebut merupakan bentuk
perulangan kalimat secara utuh. Ide hakiki formula sintaktis pada unsur judul menunjukkan adanya sebuah
identitas salah satu mantra pengasihan Using yang bernama Sabuk Mangir. Identitas tersebut berguna untuk membedakannya dengan
mantra-mantra lain dalam lingkup komunitas Using. Sementara itu, ide hakiki
formula sintaktis pada unsur pembuka
adalah adanya penghargaan atau penghormatan terhadap Sang Pencipta dengan cara
menyebut nama Allah. Penyebutan tersebut mengindikasikan atau mengandaikan
bahwa kekuatan-kekuatan magis tidak akan efektif khasiatnya apabila tidak
mendapat izin Sang Pencipta. Hal yang hampir sama juga terjadi pada ide hakiki
dalam unsur penutup mantra. Bahkan, tidak hanya Tuhan yang disebut
dalam unsur penutup mantra, tetapi
juga Muhammad. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa mantra Using tidak
semata-mata merupakan tradisi lokal Using, tetapi ia telah mendapat pengaruh
unsur-unsur budaya luar, khususnya Islam.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur niat adalah matek aji.
Frase matek aji tidak hanya sekadar
berarti ‘menggunakan kesaktian’, tetapi lebih dari itu, yakni bagaimana
kesaktian itu digunakan dengan penjiwaan yang khidmat. Artinya, keyakinan yang
tulus dan rasa empati yang mendalam (barangkali dapat diidentikan dengan idiom khusyuk dalam Islam) merupakan modal
dasar dalam matek aji. Oleh karena
itu, seorang dukun selalu menanyakan keyakinan “pasien”-nya terhadap ngelmu magic dan mantra yang digunakan,
sebab apabila tidak yakin, dukun tidak akan bersedia untuk “membantu”
permintaan “pasien” tersebut. Adapun ide hakiki formula sintaktis pada unsur tujuan adalah asih atau rasa belas kasih. Rasa tersebut tidak hanya datang dari
si objek yang menjadi sasaran mantra (jebeng
beyine…) dan si subjek yang memantrai (jabang
bayinisun), tetapi juga datang dari kehendak Sang Pencipta. Dengan
demikian, pemanfaatan mantra tidak hanya terbatas pada relasi sosial (hubungan
horizontal), tetapi juga menyangkut relasi transendental (hubungan vertikal).
Sementara itu, ide hakiki bentuk formula repetisi yang bervariasi adalah asih.
Bentuk formula tersebut memiliki makna bahwa mantra SM mengandung “roh” yang
berupa rasa belas kasih yang tulus atau mendalam. Hal itu terbukti dengan
perulangan kata asih (dalam bentuk
variatif) sampai tiga kali, yang berarti penegasan atau “penyangatan”.[22]
Makna tersebut sesuai dengan magi yang terkandung di dalam mantra SM, yakni
magi kuning. Magi kuning memiliki sifat ketulusan yang hampir sama atau
mendekati dengan ketulusan alami.[23]
Oleh karena itu, orang yang terkena kekuatan magi mantra SM akan merasakan
suatu perasaan senang (pengasihan) sebagaimana ia merasakan perasaan itu secara
alami. Dengan demikian, ia tidak menyadari bahwa dirinya terkena pengaruh
kekuatan gaib. Adapun ide hakiki bentuk formula repetisi tautotes adalah
memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib.
Perulangan kata teka dalam satu
konstruksi larik pada mantra SM1 larik (15), SM2 larik (13), dan SM3 larik (10)
menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut. Ia memberi
penekanan sugesti atas datangnya rasa belas
kasih.
Selain formula, dalam perbandingan antarvarian teks mantra SM juga terdapat
ekspresi formulaik. Unsur-unsur yang memiliki persamaan formula antarvarian
teks merupakan ekspresi formulaik, karena tersusun atas dasar pola formula.
Pola formula merupakan pola yang secara teratur memanfaatkan kata atau frase
dalam kondisi matra yang sama. Pola dalam formula sintaktis pada unsur
judul, unsur pembuka, unsur niat, unsur tujuan, dan unsur penutup tersusun atas perulangan kalimat secara utuh.
Sementara itu, pola dalam formula repetisi yang bervariasi dan formula repetisi
tautotes tersusun atas perulangan kata atau frase welas-asih, asiha, sih-asih, dan
teka.
Bentuk formula tidak hanya terdapat pada perbandingan antarvarian teks,
tetapi juga terdapat pada masing-masing varian teks mantra, khususnya pada
bagian unsur sugesti. Berikut ini
dibahas formula masing-masing varian teks mantra (SM1, SM2, dan SM3) yang
terdapat pada unsur sugesti. Dari
kutipan dalam Tabel 3 dapat dijelaskan adanya formula pada masing-masing varian
teks mantra SM, khususnya yang berpola paralelisme dan repetisi. Formula yang
berpola paralelisme dapat dipilah menjadi tiga bagian. Pertama, formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka
komposisi skematik.[24]
Formula tersebut terdapat pada unsur
sugesti dalam mantra SM1. Kedua,
formula paralelisme sintaktis. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2 dan SM3. Di dalam formula tersebut juga
terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi tautotes,
repetisi anafora, dan formula konkatenasi. Ketiga,
formula paralelisme yang membentuk larik. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2. Berikut
ini penjelasan ketiga macam formula tersebut.
Formula paralelisme sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik
terdapat pada unsur sugesti dalam
mantra SM1, yakni pada larik (3)-(14). Keduabelas larik tersebut, sebenarnya,
merupakan formula dalam pola paralelisme sintaktis, yakni pola kesejajaran
kalimat. Akan tetapi, formula tersebut dapat dipilah menjadi empat bagian yang
membentuk formula baru. Empat bagian yang masing-masing terdiri atas tiga larik
itu adalah bagian pertama terdapat
pada larik (3)-(5), bagian kedua
terdapat pada larik (6)-(8), bagian ketiga
terdapat pada larik (9)-(11), dan bagian keempat
terdapat pada larik (12)-(14). Keempat bagian tersebut membentuk formula yang
berupa kerangka komposisi skematik, yakni pola skematik yang dapat diisi oleh
kata atau frase lain yang bervariasi. Dengan demikian, unsur sugesti dalam mantra SM1 merupakan formula paralelisme
sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik. Hal itu dapat dilihat
pada kutipan bahwa bagian pertama merupakan kerangka komposisi skematik,
sedangkan bagian kedua, ketiga, dan keempat merupakan bentuk perulangan pola kerangka
sebelumnya dengan isi yang berbeda atau bervariasi. Dengan kata lain, pola
formula keempat bagian tersebut merupakan pengungkapan kembali bagian pertama ke dalam bagian kedua, ketiga, dan keempat
dengan pola matra yang sama, tetapi dengan isi yang berbeda atau bervariasi.
Pada bagian pertama, isi yang
berbeda tersebut terdapat pada kata lungguh
yang dirangkai dengan frase Nabi Adam,
sedangkan pada bagian kedua terdapat
pada kata badan yang dirangkai dengan
frase Nabi Muhammad. Adapun pada
bagian ketiga dan keempat, isi yang berbeda terdapat pada
kata cahya yang dirangkai dengan
frase Nabi Yusuf dan kata suara yang dirangkai dengan frase Nabi Daud. Sementara itu, pada bagian keempat terdapat sedikit variasi
kerangka komposisi skematik. Hal itu terlihat pada kata krungu (‘mendengar’) [larik
(13)], yang pada bagian-bagian lain berisi kata ningali (‘melihat’). Munculnya
bentuk variasi tersebut merupakan penyesuaian terhadap konteks sintaktisnya.
Kata ningali dalam konteks tersebut
dimanfaatkan karena objeknya adalah benda atau sesuatu yang dapat dilihat
(seseorang yang sedang lungguh, badan, dan cahya) sedangkan kata krungu digunakan
karena objeknya berupa suara. Suara
hanya dapat didengar dan tidak mungkin dapat dilihat.
Sementara itu, formula paralelisme sintaktis terdapat pada unsur sugesti dalam mantra SM2 dan SM3. Formula paralelisme sintaktis
dalam mantra SM2 terdapat pada larik (6)-(10), sedangkan dalam mantra SM3
terdapat pada larik (3)-(4) dan (5)-(9). Formula tersebut membentuk kerangka
larik dengan isi yang bervariasi. Dalam mantra SM2, kerangka larik dibentuk
oleh perulangan kata yang sama, yakni kata ketok
dan sira, sedangkan variasi isi
terdapat pada kata turu-tangekna,
tangi-lungguhna, lungguh-degna, ngadeg-lakokna, dan mlaku-playokna. Adapun dalam mantra SM3, pada larik (3)-(4),
perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kuma, asale, dan ira dengan variasi isi berupa kata poteh-abang dan bapak-emak.
Sementara itu, pada larik (5)-(9) dalam mantra yang sama, perulangan yang
membentuk kerangka larik terdapat pada kata sira
dan isun, sedangkan variasi isi
terdapat pada perulangan kata raga,
sukma, cahya, dan welas asih.
Di dalam formula paralelisme sintaktis mantra SM2 dan SM3 tersebut juga
terdapat formula berpola repetisi. Pada larik (6)-(10) mantra SM2 terdapat
formula repetisi anafora dan formula konkatenasi. Formula repetisi anafora
adalah pola repetisi yang berwujud perulangan kata atau frase pertama pada
sebuah larik ke dalam posisi yang sama pada larik-larik berikutnya, sedangkan
formula konkatenasi adalah perulangan kata /frase yang terdapat pada akhir
kalimat pertama ke dalam awal kalimat berikutnya, atau pola repetisi kata
terakhir suatu larik ke dalam kata awal atau tengah pada larik berikutnya.
Formula repetisi anafora dalam mantra SM2 berupa perulangan kata ketok dalam setiap awal larik, sedangkan
formula konkatenasi dalam mantra tersebut mengalami variasi atau perubahan.
Artinya, kata terakhir suatu larik yang diulang menjadi kata di tengah pada
larik berikutnya mengalami variasi atau perubahan, yakni perubahan dari kata
bentukan ke kata dasar. Pada larik (6) mantra SM2, kata tangekna mengalami perulangan atau konkatenasi menjadi kata tangi pada larik (7). Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam proses konkatenasi terjadi perubahan dari kata bentukan
menjadi kata dasar. Demikian juga dengan larik (7)-(10). Konkatenasi dari larik
(7) ke larik (8) adalah kata lungguhna
ke kata lungguh, sedangkan
konkatenasi dari larik (8) ke larik (9) adalah kata degna ke kata ngadeg.
Adapun konkatenasi dari larik (9) ke larik (10) adalah kata lakokna ke kata mlaku. Sementara itu, pada larik (3)-(4) mantra SM3 terdapat
formula repetisi anafora, sedangkan pada larik (5)-(9) mantra tersebut terdapat
formula repetisi tautotes. Formula repetisi tautotes adalah pola repetisi kata
atau frase dalam sebuah konstruksi larik. Formula repetisi anafora dalam mantra
SM3 berupa perulangan kata kuma dalam
setiap awal larik, sedangkan formula repetisi tautotes dalam mantra tersebut
berisi perulangan kata dan frase dalam satu konstruksi larik, yakni kata raga, sukma, cahya, wahyu, dan frase welas asih.
Sementara itu, formula paralelisme yang membentuk larik (dengan isi yang
bervariasi) terdapat pada unsur sugesti dalam
mantra SM2, yakni pada larik (3)-(5). Formula paralelisme tersebut berupa
frase, yakni gabungan kata isun dengan kata nyalami, njaluk tulung,[25]
dan kongkon dalam kondisi matra yang
sama. Kata nyalami, njaluk tulung, dan kongkon merupakan bentuk variasi yang
memiliki makna sama (atau hampir sama), yakni permintaan tolong.
Adapun larik-larik yang secara langsung tidak menunjukkan adanya kelompok
kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi matra yang sama adalah
larik (11)-(12) mantra SM2.[26]
Meskipun demikian, kedua larik tersebut
termasuk sebagai bentuk formula. Sebab, larik-larik tersebut merupakan
semacam kesimpulan dari larik-larik sebelumnya. Larik-larik semacam itu sering
disebut sebagai unperiodic enjambement,[27]
yakni pikiran yang sudah lengkap dalam sebuah larik, tetapi kalimatnya masih
diteruskan. Artinya, larik-larik sebelumnya, khususnya larik (6)-(10), memuat
gagasan yang sudah lengkap, tetapi masih diteruskan atau disimpulkan dalam
larik (11)-(12) tersebut.
Bentuk-bentuk formula tersebut diungkapkan dalam rangka untuk menyampaikan
ide hakiki. Berikut ini dibahas ide hakiki yang disampaikan dalam bentuk
formula, baik yang berpola paralelisme maupun repetisi. Formula paralelisme
sintaktis yang membentuk kerangka komposisi skematik dalam mantra SM1
dimanfaatkan untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Ide hakiki tersebut terdapat
pada variasi isi dari pola kerangka komposisi skematik. Pada bagian pertama [larik (3)-(5)], ide hakiki yang
diungkapkan adalah kata lungguh yang
dipasangkan dengan Nabi Adam,
sedangkan pada bagian kedua [larik
(6)-(8)] adalah kata badan yang
dipasangkan dengan Nabi Muhammad.
Sementara itu, pada bagian ketiga dan
keempat, ide hakiki yang diungkapkan
adalah kata cahya yang dipasangkan
dengan Nabi Yusuf dan kata suara
yang dipasangkan dengan Nabi Daud.
Makna ide hakiki yang terdapat dalam formula tersebut adalah sebuah pengandaian
terhadap menyatunya empat keistimewaan yang dimiliki para Nabi ke dalam diri isun (‘saya’). Dengan keistimewaan
tersebut, dirinya akan “digandrungi”
oleh orang yang menjadi sasaran mantra (si objek).
Sebagaimana diketahui, keempat Nabi tersebut memiliki keistimewaan yang
khas. Dalam kisah-kisah para Nabi yang telah populer dalam masyarakat Muslim
diceritakan bahwa keistimewaan Nabi Yusuf (dalam kaitannya dengan kata cahya) terletak pada ketampanannya,
sedangkan keistimewaan Nabi Daud (dalam kaitannya dengan kata suara) terletak pada suaranya. Ketampanan
Nabi Yusuf tidak ada bandingannya sehingga ketika seorang perempuan yang sedang
mengupas buah memandangi Sang Nabi, ia tidak merasakan bahwa tangannya telah
teriris. Hal itu semata-mata karena rasa sakit akibat teriris itu dikalahkan
oleh rasa kekagumannya atas ketampanan Sang Nabi yang tiada bandingannya.
Sementara itu, keindahan suara Nabi Daud juga tidak ada duanya sehingga dalam
sebuah kisah diceritakan bahwa daun yang hendak jatuh pun akan berhenti ketika
mendengar suara Nabi Daud. Adapun kisah keistimewaan Nabi Adam dan Nabi
Muhammad (khususnya dalam kaitannya dengan kata lungguh dan badan) kurang
begitu populer, setidak-tidaknya, apabila dibandingkan dengan kisah kedua Nabi
yang telah dibahas sebelumnya. Namun, dapat disebutkan bahwa Nabi Adam memiliki
ketinggian tubuh yang berada di atas rata-rata
ketinggian manusia lainnya sehingga ketika dalam posisi duduk pun
tubuhnya masih tetap relatif tinggi. Sementara itu, Nabi Muhammad memiliki
postur tubuh yang ideal, yang tidak ada bandingannya dengan keidealan tubuh
siapa pun. Oleh karena itu,
keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki keempat Nabi tersebut digunakan
oleh isun atau orang yang memantrai
(menggunakan mantra SM1) sebagai media untuk membangun sugesti bahwa dirinya
memiliki keistimewaan sebagaimana yang dimiliki oleh keempat Nabi tersebut.
Dengan demikian, keyakinannya dalam menggunakan mantra (SM1) akan semakin
mantap, dan keyakinan tersebut sangat berarti terhadap tingkat kemujaraban
dalam matek aji terhadap mantra yang bersangkutan.
Sementara itu, formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM2 dan SM3
memiliki ide hakiki sebagai berikut. Ide hakiki formula paralelisme sintaktis
dalam mantra SM2 adalah perintah untuk melakukan aktivitas secara
berkelanjutan. Hal itu tercermin dari rentetan kata terakhir pada masing-masing
larik [larik (6)-(10)], yakni tangekna,
lungguhna, degna, lakokna, dan playokna.
Perintah tersebut disampaikan oleh isun kepada
sira agar sira melakukannya terhadap si objek. Artinya, ketika si objek
sedang tidur (turu), sira harus membangunkan (tangekna), dan ketika si objek sudah
bangun (tangi), sira harus “mendudukkan” (lungguhna).
Begitu seterusnya, hingga ketika si objek sedang berjalan (mlaku) pun sira harus
membuatnya berlari (playokna). Hal
tersebut mengandung makna bahwa si objek tidak boleh dalam keadaan diam (turu), tetapi harus selalu beraktivitas
yang berujung pada mendekatnya si objek kepada si subjek (pemantra). Dalam
mendekat pun tidak dilakukan dengan cara berjalan (mlaku), tetapi dengan cara berlari (playokna), dengan harapan agar tujuan si subjek dalam memikat si
objek dapat lebih cepat tercapai. Hal itu diperkuat oleh pernyataan pada larik
(11) dan (12) bahwa upaya tersebut jangan sampai berhenti sebelum si objek turu bantal tangan isun (‘tidur
berbantal lengan saya/si subjek’). “Tidur berbantal lengan” dapat diartikan
sebagai tidur di atas lengan, tetapi juga dapat dimaknai sebagai tidur bersama
(suami-istri).
Sementara itu, formula repetisi anafora dan formula konkatenasi dalam
mantra SM2 tersebut memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap
kekuatan gaib. Perulangan kata ketok
dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata bentukan menjadi kata dasar (tangekna-tangi, lungguhna-lungguh,
degna-ngadeg, dan lakokna-mlaku)
menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Ide hakiki formula paralelisme sintaktis dalam mantra SM3 dapat dibagi
menjadi dua bagian, karena bentuk formula dalam mantra tersebut dibagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama [larik
(3)-(4)], ide hakikinya adalah kuma dengan variasi poteh dan abang. Kuma poteh adalah cairan putih yang
berasal dari bapak, yakni berupa sperma,
sedangkan kuma abang adalah cairan merah yang berasal dari ibu,
yakni berupa darah keperawanan (ovarium).
Menyatunya kedua cairan itu melambangkan embrio kehidupan yang didasarkan oleh
cinta kasih. Hal itu erat kaitannya dengan konsep isi dan wadhah yang
banyak dianut oleh orang-orang yang memiliki orientasi mistik. Isi adalah benih yang selalu dibawa oleh laki-laki (simbol
kelamin laki-laki), sedangkan wadhah adalah
tempat yang selalu dibawa oleh perempuan (simbol kelamin perempuan).
Terciptanya kehidupan manusia berasal dari pertemuan antara isi dan wadhah, yakni melalui mekanisme memasukkan isi ke dalam wadhah (hubungan
seksual). Oleh karena itu, makna kuma poteh dan kuma abang dalam kaitannya dengan isi dan wadhah adalah
bahwa embrio kehidupan berasal dari cinta kasih dan cinta kasih akan bermuara
pada menyatunya sperma ke dalam ovarium.
Bagian kedua [larik (5)-(9)], ide hakikinya adalah kepemilikan
bersama. Artinya, sesuatu yang menjadi milik ira adalah milik isun atau
dapat dikatakan bahwa milikmu adalah milikku. Hal tersebut dilandasi oleh
sebuah pengandaian bahwa sesuatu yang dimiliki oleh ira adalah sesuatu yang ideal, termasuk hal-hal yang mengandung
unsur kekuatan gaib. Dengan pengandaian semacam itu, isun menginginkan bahwa dirinya “menyerupai” diri ira sehingga semua yang ada di dalam
diri ira diakui sebagai miliknya.
Makna hal tersebut adalah bahwa semua kekuatan gaib milik ira “diserap” dan dimiliki oleh isun.
Dengan demikian, isun memiliki
kekuatan gaib yang dapat diandalkan. Sementara itu, formula repetisi anafora
dan repetisi tautotes dalam mantra SM3 tersebut, sebagaimana yang terjadi pada mantra
SM2, juga memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan
gaib. Perulangan kata kuma dalam
posisi matra yang sama dan perulangan kata raga,
sukma, cahya, wahyu, serta frase welas
asih dalam satu konstruksi larik menimbulkan citra penyemangat dalam
mempertegas sugesti tersebut.
Sementara itu, formula paralelisme yang membentuk larik dalam mantra SM2
[larik (3)-(5)] memiliki ide hakiki njaluk
tulung.[28]
Permintaan tolong tersebut disampaikan oleh isun
kepada sira. Dalam konteks ini, yang
dimaksud sira adalah sedulur papat lima badan [lihat larik
(3)]. Sira dalam mantra SM2 tidak
hanya terdapat dalam satu larik, tetapi terdapat dalam sebagian besar unsur sugesti. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa semua kata sira dalam
mantra tersebut mengacu kepada sedulur
papat lima badan (konfigurasi papat-lima).[29]
Sedulur papat merupakan empat unsur
“saudara spiritual”, yakni berupa nafsu aluamah,
amarah, supiyah, dan mutmainah.
Nafsu aluamah adalah nafsu tamak atau
serakah, sedangkan nafsu amarah
adalah nafsu murka. Sementara itu, nafsu supiyah
dan mutmainah adalah nafsu asmara
(hedonis) dan religius. Adapun lima badan
merupakan unsur kelima yang mengendalikan keempat unsur lainnya atau merupakan
unsur yang menjadi pusat kosmis. Unsur kelima itu berupa badan yang berarti diri
atau jiwa. Dengan demikian,
permintaan tolong isun kepada sira bermakna permintaan tolong kepada
seluruh unsur kekuatan spiritual yang ada dalam tubuh, dengan seizin Sang
Pencipta.
Selain formula, di dalam ketiga varian mantra SM juga terdapat ekspresi
formulaik. Semua larik yang membentuk struktur mantra SM merupakan ekspresi
formulaik, karena semua larik tersebut tersusun atas dasar pola formula. Pola
formula adalah pola yang secara teratur memanfaatkan kata atau frase dalam
kondisi matra yang sama. Pola formula pada unsur
sugesti tersusun atas larik-larik dalam satu varian teks dengan kondisi
matra yang sama, baik menyangkut penggunaan kata maupun frase. Dalam mantra
SM1, penggunaan kata dalam pola formula terdapat pada kata isun, lungguhe, badane, cahyane, dan suarane, sedangkan penggunaan frase dalam pola formula terdapat
pada frase Nabi Adam, Nabi Muhammad, Nabi Yusuf, Nabi
Daud, hang sapa ningali, hang sapa krungu, ya isun iki, dan isun iki. Sementara itu, dalam mantra
SM2, penggunaan kata dalam pola formula terdapat pada kata isun, ketok, dan sira, sedangkan
penggunaan frase dalam pola formula terdapat pada frase yang bersifat variatif,
yakni frase isun nyalami, isun njaluk
tulung, isun kongkon, ketok turu, ketok tangi, ketok lungguh, ketok ngadeg,
ketok mlaku, sira tangekna, sira lungguhna, sira degna, sira lakokna, dan sira playokna. Adapun dalam mantra SM3,
pola formulanya berupa frase. Frase tersebut dapat dipilah menjadi dua bagian,
yakni frase yang tersusun atas kelompok kata yang bervariasi dan frase yang
tesusun atas kata dan bentuk enklitik.
Frase bagian pertama meliputi kuma poteh,
kuma abang, asale bapak ira, asale emak ira, welas asih ira, dan welas
asih isun, sedangkan frase bagian kedua meliputi raganira, sukmanira, cahyanira, wahyunira, raganisun, sukmanisun,
cahyanisun, dan wahyunisun.
Perlu ditambahkan bahwa formula dapat membantu terbentuknya
wacana ritmis sehingga ia merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat
kembali dengan mudah dan cepat. Formula dalam mantra dapat membantu mempermudah
seseorang dalam menghafalkan mantra, baik menyangkut bentuk formula dalam satu
varian teks maupun dalam perbandingan antarvarian teks. Sebagaimana diketahui,
pada dasarnya, mantra tidak boleh dituliskan sehingga seorang murid harus
menghafal mantra dengan cara mendengarkan mantra yang dilafalkan oleh gurunya
(dukun). Dengan memperhatikan bentuk-bentuk formula tersebut, seorang murid
akan lebih cepat menghafal mantra karena tinggal mengisi variasi-variasi kata
atau frase yang paralelistik atau repetitif ke dalam pola formula yang telah
ada.
Formula Mantra Jaran
Goyang
Sebagaimana mantra SM, bersadarkan hasil temuan di lapangan terdapat tiga
varian mantra JG, yakni mantra JG1, JG2, dan JG3. Sebagaimana dalam mantra SM,
pembahasan formula mantra JG dilakukan secara “berlapis”, dimulai dengan
pembahasan perbandingan antarvarian teks mantra. Untuk mempermudah hal
tersebut, berikut ini dikutip teks mantra
JG1, JG2, dan JG3 secara berjajar dalam bentuk tabel.
Tabel 4
Formula Mantra Jaran Goyang
FORMULA MANTRA JARAN GOYANG |
||
Jaran Goyang 1
__________
----------------
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
__________________
-----------------------------
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
_______________________
-------------------------------------
(3)
Sun goyang ring tengah latar
__________________
-----------------------------
(4)
Sun sabetake gunung gugur
________
-----------------------------
(5)
Sun sabetake lemah bangka
________
------------------------------
(6)
Sun sabetake segara asat
________
--------------------------
(7)
Sun sabetake ombak sirep
_________
-----------------------------
(8)
Sun sabetake atine jebeng beyine …
_______________________
________
-------------------------------------
(9)
Kadhung edan sing edan
________________
_________ ______
--------------------------
(10)
Kadhung gendheng sing gendheng
___________ _________
-----------------------------------
(11)
Kadhung bunyeng sing bunyeng
___________ ________
---------------------------------
(12)
Aja
mari-mari
__________
-----------------
(13)
Kadhung sing isun hang nambani
______________________
------------------------------------
(14) Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(15)
Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
__________________
-----------------------------
|
Jaran Goyang 2
___________
------------------
(1) Bismillāhir rahmānir rahīm
__________________
-----------------------------
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
_______________________
-------------------------------------
(3)
Sun goyang ring tengah latar
__________________
-----------------------------
(4)
Sun wolak-walik jantung atine
___________
---------------------------------
(5)
Sun remet-remet limpane
__________
--------------------------
(6)
Sun kerik-kerik sikile
__________
------------------------
(7)
Kecaruk turu sun tangekna
________ ________
-----------------------------
(8)
Kecaruk tangi sun lungguhna
________ __________
-------------------------------
(9)
Kecaruk lungguh sun degna
__________ ______
-----------------------------
(10)
Kecaruk ngadeg sun lakokna
__________ ________
-------------------------------
(11)
Kecaruk mlaku sun playokna
__________ ________
--------------------------------
(12)
Sun kenengna jebeng beyine …
____________________
--------------------------------
(13) Kadhung edan sing edan
_________________
----------------------------
(14)
Aja mari-mari
__________
-----------------
(15)
Kadhung sing isun hang nambani
______________________
------------------------------------
(16) Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(17)
Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
__________________
-----------------------------
|
Jaran Goyang 3
___________
------------------
(1)
Bismillāhir rahmānir rahīm
__________________
-----------------------------
(2) Niat isun matek aji Jaran Goyang
_______________________
-------------------------------------
(3) Sun goyang ring tengah latar
__________________
-----------------------------
(4)
Sedulur papat lima badan
---------------------------
(5)
Kaki dhanyang nini dhanyang
_________ _________
--------------------------------
(6) Bapa dhanyang ibu dhanyang
_________ _________
--------------------------------
(7)
Kuma poteh asale bapak ira
_______ __________
------------------------------
(8)
Kuma abang asale emak ira
________ _________
------------------------------
(9)
Roh ira mandi roh isun mandi
__________ __________
----------------------------------
(10)
Sukmanira mandi sukmanisun madi
___________ ___________
--------------------------------------
(11)
Ciptanira mandi ciptanisun mandi
__________ ___________
------------------------------------
(12)
Sun tamanna jebeng beyine …
____________________
--------------------------------
(13)
Kadhung edan sida edan
_________________
---------------------------
(14)
Aja mari-mari
__________
-----------------
(15)
Kadhung sing isun hang nambani
______________________
------------------------------------
(16) Sih-asih kersane Gusti Allah
____________________
--------------------------------
(17)
Lā ilāha illallāh
___________
------------------
Muhammadur rasūlullāh
___________________
-------------------------------
|
Kutipan dalam tabel tersebut menunjukkan adanya persamaan
formula dalam perbandingan antarvarian teks mantra. Hal itu dapat dilihat pada
masing-masing varian mantra JG, khususnya pada larik-larik yang ditandai dengan
garis utuh sepanjang satu larik. Persamaan formula dalam perbandingan mantra
JG1, JG2, dan JG3 tersebut berupa formula sintaktis dan formula repetisi
tautotes. Formula sintaktis adalah formula yang berupa perulangan kalimat,
sedangkan formula repetisi tautotes adalah formula perulangan kata dalam sebuah
konstruksi larik. Formula sintaktis terdapat pada unsur judul, unsur pembuka,
unsur niat, sebagian kecil unsur
sugesti, sebagian besar unsur tujuan,
dan unsur penutup. Unsur judul, unsur
pembuka, dan unsur niat
masing-masing mantra terdapat pada larik yang sama, yakni larik paling atas,
larik (1), dan larik (2). Formula sintaktis dalam unsur tersebut berbunyi Jaran Goyang (unsur judul), Bismillāhir
rahmānir rahīm (unsur pembuka),
dan Niat isun matek aji Jaran Goyang
(unsur niat). Sementara itu, dalam unsur sugesti terdapat satu larik
yang membentuk formula sintaktis, yakni larik (3) yang berbunyi Sun goyang ring tengah latar.
Adapun dalam unsur
tujuan terdapat lima larik yang membentuk formula sintaktis, yakni dalam
mantra JG1 terdapat pada larik (8)-(9) dan (12)-(14), dalam mantra JG2 terdapat
pada larik (12)-(16), sedangkan dalam mantra JG3 terdapat pada larik (11)-(15).
Tiga larik terakhir dalam unsur tujuan
pada masing-masing varian mantra tersebut merupakan bentuk formula sintaktis
dengan perulangan satu larik penuh, yakni aja
mari-mari, kadhung sing isun hang
nambani, dan sih-asih kersane Gusti
Allah. Sementara itu, larik pertama dan kedua dalam unsur tujuan pada masing-masing varian mantra merupakan bentuk
formula sintaktis yang mengalami variasi dengan pola matra yang sama. Larik
pertama tersebut berbunyi sun sabetake
atine jebeng beyine… dengan variasi
sun kenengna jebeng beyine… dan sun
tamanna jebeng beyine…, sedangkan larik kedua berbunyi kadhung edan sing edan dengan variasi kadhung edan sida edan. Variasi pada larik pertama memiliki arti
yang sama (pada kata sabetake, kenengna, dan tamanna), sedangkan pada larik kedua memiliki arti yang berbeda,
khususnya pada mantra JG3 (variasi kata sing
dan sida). Adapun unsur penutup
pada ketiga varian mantra terdapat pada larik terakhir setiap teks mantra, yang
berbunyi Lā ilāha illallāh Muhammadur
rasūlullāh. Dengan demikian, semua unsur yang membentuk struktur pada
mantra JG1, JG2, dan JG3 memiliki persamaan formula, kecuali pada sebagian
besar unsur sugesti dan sebagian
kecil unsur tujuan. Adapun formula repetisi tautotes terdapat pada larik
(9) mantra JG1, larik (13) mantra JG2, dan larik (13) mantra JG3.
Formula-formula sintaktis tersebut dimanfaatkan untuk
mengungkapkan satu ide hakiki. Artinya, bentuk formula sintaktis yang terdapat
pada perbandingan antarvarian mantra JG dimanfaatkan untuk menegaskan adanya
satu ide pokok. Ide tersebut sesuai dengan arti atau makna bentuk formulanya.
Karena formula sintaktis tersebut merupakan bentuk perulangan kalimat secara
utuh, ide hakiki yang diungkapkan adalah makna kalimat itu sendiri. Ide hakiki
formula sintaktis pada unsur judul
menunjukkan adanya sebuah identitas salah satu mantra pengasihan Using yang
bernama Jaran Goyang. Identitas
tersebut berguna untuk membedakannya dengan mantra-mantra lain dalam lingkup
komunitas Using. Istilah Jaran Goyang
mendapat inspirasi dari seni jaranan[30] yang senantiasa bergoyang sehingga
diharapkan si objek yang menjadi sasaran akan bergoyang bagai kuda kepang.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur pembuka, sebagaimana yang telah
dibahas pada mantra SM, adalah adanya penghargaan atau penghormatan terhadap
Sang Pencipta dengan cara menyebut nama Allah. Penyebutan tersebut
mengindikasikan atau mengandaikan bahwa kekuatan-kekuatan magis tidak akan
efektif khasiatnya apabila tidak mendapat izin Sang Pencipta. Hal yang hampir
sama juga terjadi pada ide hakiki dalam unsur
penutup mantra.Bahkan,
sebagaimana yang telah dibahas dalam mantra SM, tidak hanya Tuhan yang disebut
dalam unsur penutup mantra, tetapi
juga Muhammad. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa mantra Using tidak
semata-mata merupakan tradisi lokal Using, tetapi ia telah mendapat pengaruh
unsur-unsur budaya luar, khususnya Islam.
Sementara itu, ide hakiki formula sintaktis pada unsur niat adalah matek aji. Frase matek aji tidak
hanya sekadar berarti ‘menggunakan kesaktian’, tetapi lebih dari itu, yakni
bagaimana kesaktian itu digunakan dengan penjiwaan yang khidmat. Artinya,
keyakinan yang tulus dan rasa empati yang mendalam merupakan modal dasar dalam matek aji. Adapun ide hakiki formula
sintaktis pada unsur sugesti adalah goyang. Ide tersebut tidak hanya terkait
dengan nama mantra itu sendiri (Jaran
Goyang), tetapi juga terkait dengan seni jaranan yang senantiasa dipentaskan di latar (‘halaman’).
Sementara itu, ide hakiki larik pertama pada unsur tujuan adalah kenengna (dengan variasi sabetake
dan tamanna), sedangkan pada larik
kedua adalah edan sing edan dan edan sida edan. Makna kata kenengna
tersebut adalah agar si objek terjerat hatinya dan mencintai si subjek,
sedangkan makna edan sing edan dan edan sida edan adalah tergila-gila dan
gila. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa orang yang terkena kekuatan gaib
mantra JG dapat mengalami kondisi psikologis yang berbeda-beda, yakni dari yang
tergila-gila sampai yang gila. Dengan demikian, akibat yang dirasakan atau
diderita oleh si objek yang menjadi sasaran kekuatan mantra JG bervariasi. Hal
tersebut disebabkan adanya variasi atau perbedaan unsur tujuan dalam
masing-masing varian mantra JG.
Berdasarkan data mantra JG yang dapat dijangkau oleh
peneliti (yakni JG1, JG2, dan JG3), dapat diketahui bahwa (setidak-tidaknya)
terdapat tiga variasi pengaruh mantra JG. Pertama,
kondisi tergila-gila dengan intensitas tinggi (tercermin pada mantra JG1).
Dalam unsur tujuan pada mantra JG1 terdapat perulangan atau pola repetisi yang
diyakini mampu mengintensifkan kekuatan magi, yakni perulangan dengan variasi
pada frase edan sing edan ke dalam frase gendheng sing gendheng, dan
bunyeng sing bunyeng. Kedua,
kondisi tergila-gila dengan intensitas rendah (tercermin pada mantra JG2).
Dikatakan memiliki intensitas rendah karena frase edan sing edan pada mantra JG2 tidak mengalami perulangan dalam
larik berikutnya. Ketiga, kondisi
gila (tercermin pada mantra JG3). Meskipun frase edan sida edan tidak mengalami perulangan pada larik berikutnya,
mantra JG3 memiliki akibat yang paling fatal bila dibandingkan dengan varian
mantra JG lainnya, yakni gila (sida edan).
Ketiga kondisi psikologis tersebut (yakni sangat tergila-gila, tergila-gila,
dan gila) memiliki korelasi dengan ide hakiki formula repetisi tautotes, yakni
perulangan kata edan dalam satu
konstruksi larik. Adapun ide hakiki tiga larik terakhir pada unsur tujuan adalah ancaman agar tidak sembuh (aja mari), si subjek yang akan
menyembuhkan (isun hang nambani), dan
kehendak Allah (kersane Gusti Allah).
Pernyataan aja mari dan isun hang nambani tersebut akan terwujud
dalam realitas. Artinya, seseorang yang terkena kekuatan gaib mantra JG akan
sulit untuk disembuhkan (aja mari).
Namun, hal itu menjadi mudah apabila yang menyembuhkan adalah orang yang
memantrainya (isun hang nambani). Hal
semacam itu banyak ditemukan dalam realitas empiris di lapangan.
Meskipun mantra JG dapat membuat seseorang menjadi gila,
yang berarti merugikan orang lain, mantra tersebut termasuk mantra pengasihan.
Selain itu, di dalam mantra tersebut disebutkan bahwa apa yang akan terjadi
adalah sebuah pengasihan atas kehendak Allah (sih-asih kersane Gusti Allah). Meskipun termasuk mantra pengasihan,
mantra JG mengandung unsur belas kasih
yang relatif rendah. Hal itu, selain terindikasi dari akibat yang diderita oleh
si objek, juga terindikasi dari penyebutan kata sih-asih yang hanya satu
kali (tidak mengalami perulangan sebagaimana dalam mantra SM). Penyebutan frase
kersane Gusti Allah menunjukkan bahwa
pemanfaatan mantra JG tidak hanya terbatas pada relasi sosial (hubungan
horizontal), tetapi juga menyangkut relasi transendental (hubungan vertikal)
dengan kualitas yang bervariasi.
Selain formula, dalam perbandingan antarvarian teks mantra
JG juga terdapat ekspresi formulaik. Unsur-unsur yang memiliki persamaan
formula antarvarian teks merupakan ekspresi formulaik, karena tersusun atas
dasar pola formula. Pola formula merupakan pola yang secara teratur
memanfaatkan kata atau frase dalam kondisi matra yang sama. Pola dalam formula
sintaktis pada unsur judul, unsur pembuka, unsur niat, sebagian
kecil unsur sugesti, sebagian besar unsur tujuan, dan unsur penutup tersusun atas perulangan kalimat secara utuh.
Sementara itu, pola dalam formula repetisi tautotes tersusun atas perulangan
kata edan.
Bentuk formula tidak hanya terdapat pada perbandingan
antarvarian teks, tetapi juga terdapat pada masing-masing varian teks mantra,
khususnya pada bagian unsur sugesti dan
unsur tujuan. Berikut ini dibahas
formula teks masing-masing varian mantra (JG1, JG2, dan JG3) yang terdapat pada
unsur sugesti dan unsur tujuan. Dari kutipan dalam Tabel 4 dapat dijelaskan adanya formula
pada masing-masing varian teks mantra JG, khususnya yang berpola paralelisme
dan repetisi. Formula yang berpola paralelisme dapat dipilah menjadi tiga
bagian. Pertama, formula paralelisme
sintaktis. Formula tersebut terdapat pada unsur
sugesti dalam mantra JG1, JG2, dan JG3. Di dalam formula tersebut juga
terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula repetisi anafora,
repetisi tautotes, dan formula konkatenasi. Kedua,
formula paralelisme sinonim. Formula tersebut terdapat pada unsur tujuan dalam mantra JG1. Di dalam
formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula
repetisi anafora dan repetisi tautotes. Ketiga,
formula paralelisme yang membentuk larik. Formula tersebut terdapat pada unsur sugesti dalam mantra JG2. Di dalam
formula tersebut juga terdapat formula yang berpola repetisi, yakni formula
repetisi anafora. Berikut ini penjelasan ketiga macam formula tersebut.
Formula paralelisme sintaktis terdapat pada unsur sugesti dalam mantra JG1, JG2, dan JG3. Formula paralelisme
sintaktis dalam mantra JG1 terdapat pada larik (4)-(7) dan (8), sedangkan dalam
mantra JG2 terdapat pada larik (7)-(11). Sementara itu, dalam mantra JG3,
formula tersebut terdapat pada larik (5)-(6), (7)-(8), dan (9)-(11). Formula tersebut membentuk kerangka
larik dengan isi yang bervariasi. Dalam mantra JG1, kerangka larik dibentuk
oleh perulangan frase yang sama, yakni frase sun sabetake, sedangkan variasi isi terdapat pada frase gunung gugur, lemah bangka, segara asat,
dan ombak sirep. Pola paralelisme
sintaktis dalam unsur tujuan pada
larik (4)-(7) tersebut mencapai puncak atau semacam kesimpulan pada unsur tujuan, khususnya larik (8), yakni
pada frase atine jebeng beyine….
Dengan demikian, larik (8) mantra JG1 merupakan bentuk formula dalam satu
varian teks sekaligus dalam perbandingan antarvarian teks.
Sementara itu, pada larik (3)-(4) dalam mantra JG2,
perulangan kata yang sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kecaruk dan sun, sedangkan variasi isi terdapat pada kata turu-tangekna, tangi-lungguhna, lungguh-degna, ngadeg-lakokna, dan mlaku-playokna. Adapun perulangan kata
yang membentuk larik dalam mantra JG3 dipilah menjadi tiga bagian, yakni bagian
pertama pada larik (5)-(6), bagian kedua pada larik (7)-(8), sedangkan
bagian ketiga pada larik (9)-(11).
Bagian pertama, perulangan kata yang
sama yang membentuk kerangka larik adalah kata dhanyang, sedangkan variasi isi meliputi kata kaki-bapa dan nini-ibu.
Bagian kedua, perulangan kata yang
sama yang membentuk kerangka larik adalah kata kuma, asale, dan ira,
sedangkan variasi isi meliputi kata poteh-abang
dan bapak-emak. Bagian ketiga, perulangan kata yang sama yang
membentuk kerangka larik adalah kata ira-mandi
dan isun-mandi,[31]
sedangkan variasi isi meliputi kata roh,
sukma, dan cipta.
Di dalam formula paralelisme sintaktis mantra JG1, JG2, dan
JG3 tersebut juga terdapat formula berpola repetisi. Pada larik (4)-(8) mantra
JG1 terdapat formula repetisi anafora, sedangkan pada larik (7)-(11) mantra JG2
terdapat formula repetisi anafora dan formula konkatenasi. Sementara itu, pada
larik (5)-(6) dan (9)-(11) mantra JG3 terdapat formula repetisi tautotes,
sedangkan pada larik (7)-(8) dalam mantra yang sama terdapat formula repetisi anafora.
Formula repetisi anafora adalah pola repetisi yang berwujud perulangan kata
atau frase pertama pada sebuah larik ke dalam posisi yang sama pada larik-larik
berikutnya, sedangkan formula konkatenasi adalah pola repetisi kata/frase
terakhir suatu larik ke dalam kata/frase awal atau tengah pada larik
berikutnya. Sementara itu, formula repetisi tautotes adalah pola repetisi kata
atau frase dalam sebuah konstruksi larik. Formula repetisi anafora dalam mantra
JG1 berupa perulangan frase sun sabetake,
sedangkan dalam mantra JG2 berupa perulangan kata kecaruk dalam setiap awal larik.
Dalam mantra JG3, formula repetisi anafora berupa perulangan
kata kuma dalam setiap awal larik.
Sementara itu, formula konkatenasi dalam mantra JG2 mengalami variasi atau
perubahan. Artinya, kata terakhir suatu larik yang diulang menjadi kata di
tengah pada larik berikutnya mengalami variasi atau perubahan, yakni perubahan
dari kata bentukan ke kata dasar. Hal semacam itu juga terjadi pada mantra SM2,
sebagaimana telah dibahas. Pada larik (7) mantra JG2, kata tangekna mengalami perulangan atau konkatenasi menjadi kata tangi pada larik (8). Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam proses konkatenasi terjadi perubahan dari kata bentukan
menjadi kata dasar. Demikian juga dengan larik (8)-(11). Konkatenasi dari larik
(8) ke larik (9) adalah kata lungguhna
ke kata lungguh, sedangkan
konkatenasi dari larik (9) ke larik (10) adalah kata degna ke kata ngadeg.
Adapun konkatenasi dari larik (10) ke larik (11) adalah kata lakokna ke kata mlaku. Sementara itu, formula repetisi tautotes dalam mantra JG3
pada larik (5)-(6) berupa perulangan kata dhanyang,
sedangkan pada larik (9)-(11) berupa perulangan kata roh-mandi, sukma-mandi, cipta-mandi dalam satu konstruksi larik.
Sementara itu, formula paralelisme sinonim terdapat pada
larik (9)-(11) mantra JG1. Formula
paralelisme sinonim merupakan kesejajaran yang menggunakan kata berbeda,
tetapi memiliki arti sama. Kesejajaran tersebut terlihat pada penggunaan kata kadhung dan sing dalam matra yang sama, sedangkan sinonim terdapat pada kata edan, gendheng, dan bunyeng.
Meskipun memiliki nuansa yang agak berbeda, ketiga kata tersebut mengacu pada
kondisi psikologis yang sama, yakni gila. Di dalam formula paralelisme sinonim
tersebut juga terdapat formula repetisi anafora dan repetisi tautotes. Formula
repetisi anafora terdapat pada perulangan kata kadhung dalam setiap awal larik, sedangkan formula repetisi
tautotes terdapat pada perulangan kata edan,
gendheng, dan bunyeng dalam
sebuah konstruksi larik.
Adapun formula paralelisme yang membentuk larik (dengan isi
yang bervariasi) terdapat pada unsur sugesti
dalam mantra JG2, yakni
pada larik (4)-(6). Formula paralelisme
tersebut berupa frase, yakni gabungan kata sun dengan kata ulang wolak-walik, remet-remet, dan
kerik-kerik. Ketiga kata ulang tersebut merupakan bentuk variasi yang
memiliki makna sama (atau hampir sama), yakni sebuah upaya untuk mengganggu
atau menggoda. Di dalam formula paralelisme yang membentuk larik tersebut juga
terdapat formula repetisi anafora, yakni berupa perulangan kata sun pada setiap awal larik.
Sebagaimana yang terjadi dalam varian mantra SM, khususnya
SM2, dalam varian mantra JG juga terdapat larik yang secara langsung tidak
menunjukkan adanya kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi
matra yang sama. Larik tersebut adalah larik (4) mantra JG3.[32]
Meskipun demikian, larik tersebut
termasuk sebagai bentuk formula. Sebab, ia merupakan larik yang
melandasi larik-larik berikutnya atau larik yang diuraikan ke dalam larik-larik
berikutnya, terutama larik (5)-(8). Oleh karena itu, larik (4) mantra JG3
tersebut dapat disebut sebagai klausa superimpos (superimposed clause), yakni klausa yang berlapis, sedangkan larik
(5)-(8) dapat dikatakan sebagai klausa subordinat (subordinate clause).[33]
Bentuk-bentuk formula tersebut diungkapkan dalam rangka
untuk menyampaikan ide hakiki. Berikut ini dibahas ide hakiki yang disampaikan
dalam bentuk formula, baik yang berpola paralelisme maupun repetisi. Ide hakiki
formula paralelisme sintaktis dalam mantra JG1 adalah sabetake, yakni penggunaan kekuatan dengan cara dicambukkan. Hal tersebut didukung atau dipertegas
oleh ide hakiki formula repetisi anafora yang berupa perulangan frase sun sabetake pada setiap awal larik.
Kekuatan tersebut dicitrakan sebagai kekuatan yang sangat dahsyat sehingga apa
pun yang dicambuk menjadi hancur (gunung
menjadi gugur, lemah menjadi bangka, segara menjadi asat dan ombak menjadi sirep). Dengan kekuatan semacam itu maka
ketika “dicambukkan” kepada ati
seseorang, ia akan “hancur” atau “luluh”. Artinya, orang tersebut akan jatuh
cinta secara berlebihan kepada si pemantra. Dengan demikian, makna perulangan
kata sabetake yang digabung dengan
frase yang variatif pada pola paralelisme sintaktis tersebut adalah untuk
membangun sugesti atau image atas
kekuatan dahsyat mantra yang bersangkutan.
Sementara itu, ide hakiki formula paralelisme sintaktis
dalam mantra JG2 adalah upaya agar si objek senantiasa melakukan aktivitas
secara berkelanjutan. Hal itu tercermin dari rentetan kata terakhir pada
masing-masing larik [larik (7)-(11)], yakni tangekna,
lungguhna, degna, lakokna, dan playokna.
Fenomena seperti itu hampir sama dengan yang terjadi atau terdapat pada mantra
SM2, sebagaimana telah dibahas. Perbedaannya, dalam mantra SM2, yang melakukan
adalah sira atas perintah isun, sedangkan dalam mantra JG2, yang
melakukan adalah isun (sun) sendiri. Dengan demikian, dalam
mantra JG2, isun selalu berusaha agar
si objek senantiasa melakukan aktivitas secara berkelanjutan. Misalnya, ketika
si objek sedang tidur (turu), isun membangunkannya (tangekna), dan ketika si objek sudah bangun (tangi), isun “mendudukkannya”
(lungguhna). Begitu seterusnya,
hingga ketika si objek sedang berjalan (mlaku)
pun isun mempengaruhinya untuk berlari
(playokna). Hal tersebut mengandung
makna bahwa si objek tidak boleh dalam keadaan diam (turu), tetapi harus selalu beraktivitas yang berujung pada
mendekatnya si objek kepada si subjek (pemantra). Dalam mendekat pun tidak
dilakukan dengan cara berjalan (mlaku),
tetapi dengan cara berlari (playokna),
dengan harapan agar tujuan si subjek dalam memikat si objek dapat lebih cepat
tercapai.
Sementara itu, formula repetisi anafora dan formula
konkatenasi dalam mantra JG2 tersebut memberi penegasan dalam rangka membangun
sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan kata kecaruk dalam posisi matra yang sama dan perulangan kata bentukan
menjadi kata dasar (tangekna-tangi,
lungguhna-lungguh, degna-ngadeg, dan lakokna-mlaku)
menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Sementara itu, ide hakiki formula paralelisme sintaktis
dalam mantra JG3 dibagi menjadi tiga bagian, mengingat bentuk formula dalam
mantra tersebut juga dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, memiliki ide hakiki dhanyang.
Dhanyang adalah roh leluhur yang
tinggal di tempat-tempat tertentu yang oleh masyarakat setempat diyakini
sebagai garis keturunan mereka. Istilah kaki-nini yang digabung dengan kata dhanyang diartikan sebagai garis
keturunan yang setara dengan kakek dan nenek, sedangkan bapa-ibu setara dengan ayah dan ibu. Penyebutan bapa-ibu tersebut memiliki arti yang
berbeda dari penyebutan bapak-emak
pada larik berikutnya. Penyebutan yang terakhir tersebut memiliki arti “orang
tua biologis”. Adapun penyebutan dhanyang-dhanyang
tersebut memiliki makna bahwa mereka diharapkan bersedia membantu kepada
pemantra melalui kekuatan gaibnya sehingga akan terhimpun kekuatan gaib yang
lebih dahsyat dalam mantra yang bersangkutan. Bagian kedua, memiliki ide hakiki kuma
dengan variasi poteh dan abang. Hal tersebut sama dengan fenomena
yang terjadi pada mantra SM3. Sebagaimana yang telah dibahas dalam mantra SM3,
dalam mantra JG3 ini kuma poteh
memiliki arti cairan putih yang berasal dari bapak, yakni berupa sperma, sedangkan kuma abang adalah cairan merah yang berasal dari ibu, yakni berupa
darah keperawanan (ovarium).
Menyatunya kedua cairan itu melambangkan embrio kehidupan yang didasarkan oleh
cinta kasih. Bagian ketiga, memiliki
ide hakiki mandi (‘manjur’),
khususnya dalam keterkaitannya dengan kepemilikian bersama antara ira dan isun. Mandi adalah suatu
kondisi yang menunjukkan adanya efektivitas kekuatan gaib. Kekuatan gaib akan
dapat dirasakan oleh seseorang apabila ia memiliki kepercayaan atau keyakinan
terhadap hal tersebut. Dengan demikian, peranan sugesti cukup signifikan dalam
membentuk prakondisi atau image
terhadap suatu kekuatan gaib agar menjadi mandi.
Selain itu, banyak mantra atau ucapan dukun yang mandi karena, setidak-tidaknya, dilandasi
oleh tiga hal. Pertama, landasan
pemahaman dan penghayatan si subjek (dukun) terhadap rahasia kosmologi melalui
simbol-simbol tubuh, baik yang berdimensi verbal maupun nonverbal, sebagai
kunci pintu masuk untuk menghayati rahasia hidup atau rahasia alam.[34]
Kedua, adanya kesesuaian antara lahir
dan batin; menyatunya ucapan/pikiran dan tindakan; begitu niat dinyatakan, ia
harus dilaksanakan.[35]
Ketiga, kemampuan membangkitkan
kekuatan tubuh yang berupa kekuatan bioplasma, bioelektron, dan tenaga
psikokinetis melalui mekanisme laku mistik.[36]
Dengan demikian, makna mandi dalam
kaitannya dengan roh, sukma, dan cipta adalah tercapainya keinginan atau kehendak yang dijalani atas
dasar keyakinan dengan mekanisme laku mistik. Selain itu, adanya
kekuatan-kekuatan yang dimiliki ira
yang dijadikan acuan oleh isun, juga
memiliki peran yang signifikan. Fenomena semacam itu juga terjadi pada mantra
SM3, sebagaimana yang telah dibahas. Oleh karena itu, semua kekuatan gaib milik
ira “diserap” dan dimiliki oleh isun sehingga isun memiliki kekuatan gaib yang dapat diandalkan dan mandi. Selanjutnya, perlu disinggung
tentang larik (4) yang berbunyi sedulur
papat lima badan. Sebagaimana yang telah dibahas pada mantra SM2, sedulur papat lima badan merupakan
konfigurasi papat-lima. Sedulur papat merupakan empat unsur
“saudara spiritual”, yakni berupa nafsu aluamah,
amarah, supiyah, dan mutmainah,
sedangkan lima badan merupakan unsur kelima yang mengendalikan atau yang
menjadi pusat kosmis dari keempat unsur lainnya, yakni berupa diri atau jiwa. Sementara itu, formula repetisi anafora dan repetisi tautotes
dalam mantra JG3 tersebut, sebagaimana yang terjadi pada mantra JG2, juga
memberi penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib.
Perulangan kata kuma dalam posisi
matra yang sama dan perulangan kata dhanyang,
roh-mandi, sukma-mandi, dan
cipta-mandi dalam satu konstruksi larik menimbulkan citra penyemangat dalam
mempertegas sugesti tersebut.
Sementara itu, ide hakiki pola paralelisme sinonim dalam
mantra JG1 adalah edan sing edan dengan
berbagai variasinya (gendheng dan bunyeng). Larik-larik yang membentuk
pola tersebut mengandung dua harapan yang kontradiktif, yakni di satu sisi
adanya harapan agar si objek menjadi gila, sedangkan di sisi lain adanya
keinginan yang sebaliknya. Makna hal tersebut adalah agar si objek berada dalam
kondisi-antara atau posisi-antara, yakni posisi antara gila dan waras. Dalam
realitas empiris, posisi tersebut “diterjemahkan” menjadi tergila-gila
(rasa cinta yang relatif melebihi batas). Tergila-gila
dalam konteks mantra JG bukan sekadar bentuk rasa cinta yang mendalam,
melainkan cenderung sebagai rasa cinta yang membabi-buta, dan bahkan telah
melewati batas etika sosial. Hal tersebut terbukti bahwa banyak korban mantra
JG yang berteriak-teriak memanggil orang yang “digandrungi” (si pemantra),
sambil menari-nari dengan pakaian yang berantakan. Sementara itu, formula
repetisi anafora dan repetisi tautotes dalam mantra JG1 tersebut juga memberi
penegasan dalam rangka membangun sugesti terhadap kekuatan gaib. Perulangan
kata kadhng dalam setiap awal larik
dan perulangan kata edan, gendheng, dan bunyeng dalam satu konstruksi larik
menimbulkan citra penyemangat dalam mempertegas sugesti tersebut.
Adapun ide hakiki pola paralelisme yang membentuk larik
dalam mantra JG2 adalah wolak-walik. Kata ulang wolak-walik yang dirangkai dengan jantung
ati mengalami variasi menjadi remet-remet
dan kerik-kerik ketika digabung
dengan kata limpa dan sikil. Makna ide hakiki tersebut adalah
merupakan upaya untuk membuat si objek menjadi gelisah sehingga relatif mudah
untuk diperdaya. Ide hakiki formula repetisi anafora dalam mantra JG2 yang
berupa perulangan kata sun dalam
setiap awal larik memberi dorongan sugesti atas tercapainya godaan yang
dilakukan si pemantra terhadap si objek.
Selain formula, di dalam ketiga varian mantra JG juga
terdapat ekspresi formulaik. Semua larik yang membentuk struktur mantra JG
merupakan ekspresi formulaik, karena semua larik tersebut tersusun atas dasar
pola formula. Pola formula pada unsur sugesti
tersusun atas larik-larik dalam satu varian teks dengan kondisi matra yang
sama, baik menyangkut penggunaan kata maupun frase. Dalam mantra JG1,
penggunaan kata dalam pola formula dapat dipilah menjadi dua macam, yakni frase
dengan unsur kata yang sama dan frase dengan unsur kata yang bervariasi. Frase
jenis yang pertama terdapat pada sun
sabetake, sedangkan frase jenis kedua terdapat pada kadhung edan, kadhung gendheng, kadhung bunyeng, sing edan, sing
gedheng, dan sing bunyeng.
Sementara itu, dalam mantra JG2, penggunaan kata dalam pola formula terdapat
pada frase dengan gabungan kata yang bervariasi. Hal itu terlihat pada frase sun wolak-walik, sun remet-remet, sun
kerik-kerik, kecaruk turu, kecaruk tangi, kecaruk lungguh, secaruk ngadeg,
kecaruk mlaku, sun tangekna, sun lungguhna, sun degna, sun lakokna, dan sun playokna. Adapun dalam mantra JG3,
pola formulanya berupa frase dengan gabungan kata yang bervariasi. Hal itu
terlihat pada frase kaki dhanyang, bapa
dhanyang, nini dhanyang, ibu dhanyang, kuma poteh, kuma abang, asale bapak ira,
asale emak ira, roh ira mandi, sukmanira mandi, ciptanira mandi, roh isun
mandi, sukmanisun mandi, dan
ciptanisun mandi.
Formula dapat membantu terbentuknya wacana ritmis sehingga
ia merupakan salah satu alat bantu untuk mengingat kembali dengan mudah dan
cepat. Formula dalam mantra dapat membantu mempermudah seseorang dalam
menghafalkan mantra, baik menyangkut bentuk formula dalam satu varian teks
maupun dalam perbandingan antarvarian teks. Hal tersebut dapat dilakukan pada
mantra SM dan JG. Sebagaimana diketahui, pada dasarnya, mantra tidak boleh
dituliskan sehingga seorang murid harus menghafal mantra dengan cara
mendengarkan mantra yang dilafalkan oleh gurunya (dukun). Dengan memperhatikan
bentuk-bentuk formula tersebut, seorang murid akan lebih cepat menghafal mantra
karena tinggal mengisi variasi-variasi kata atau frase yang paralelistik atau
repetitif ke dalam pola formula yang telah ada.
Tradisi Santet
sebagai Pranata Budaya
Salah satu konsep dasar fungsi yang populer adalah konsep
fungsi Malinowski. Konsep dasar fungsi
Malinowski (Baal, 1987:51) menekankan bahwa segala aktivitas kebudayaan
sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri
manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya dan juga kebudayaan itu
sendiri. Menurut Malinowski (Koentjaraningrat, 1987:167), selain untuk
kepentingan hidup orang secara individual (fungsi individual), pembicaraan
fungsi juga menyangkut kepentingan keseluruhan masyarakat (fungsi sosial). Dalam
kaitannya dengan kepentingan keseluruhan masyarakat (sosial), fungsi sosial
mantra dapat dipilah menjadi fungsi yang bersifat integratif dan fungsi yang
bersifat disintegratif. Sifat fungsi mantra yang kontradiktif tersebut paralel
dengan pandangan Kleden (1985:230-232) ketika membicarakan nilai budaya,
khususnya nilai budaya Jawa. Menurutnya, nilai budaya yang selama ini dipahami
dalam makna yang tunggal sebenarnya mengandung makna yang dualistis; di satu
sisi mencerminkan makna yang luhur (positif), tetapi di sisi lain
diinterpretasikan berpotensi mengandung makna yang sebaliknya (negatif). Hal
itu disebabkan oleh adanya ambivalensi atau bahkan multivalensi setiap nilai
budaya.[37]
Demikian juga dengan mantra SM dan JG; keduanya memiliki ambivalensi nilai, yakni
nilai yang berdimensi positif (baik) dan negatif (jelek), yang kemudian
terefleksi dalam fungsi yang bersifat integratif dan disintegratif. Fungsi yang
bersifat integratif mengandung nilai budaya yang positif karena dimaksudkan
sebagai upaya membangun kebersamaan secara komunal dalam rangka mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang berdimensi sosial, sedangkan fungsi yang bersifat
disintegratif mengandung nilai budaya yang negatif karena dapat menciptakan
disharmoni antarsesama (atau bahkan dapat pula bersifat destruktif).
Secara historis, mantra SM dan JG yang diklasifikasikan
sebagai mantra jenis santet tersebut
pada awalnya dimanfaatkan oleh orang tua untuk mencarikan jodoh anaknya (upaya
untuk besanan). Dari sini, kemudian
muncul pemahaman bahwa mantra jenis santet
yang nota bene untuk pengasihan
tersebut bukan hanya bermakna mesisan
kanthet (‘biar terikut’), melainkan juga sekaligus mesisan benthet (‘biar retak’).
Mesisan kanthet dimanfaatkan untuk
“menyatukan” si anak dengan calon (jodoh) pilihan orang tua, sedangkan mesisan benthet digunakan untuk
“memisahkan” si anak dengan pacarnya (atau, bagi yang belum mempunyai pacar,
untuk “menutup” kemungkinan hubungan dengan pihak lain). Perlu dijelaskan juga,
bahwa mesisan kanthet sebenarnya
tidak cukup untuk diartikan sebagai “menyatukan” dua orang, tetapi secara tidak
langsung juga dapat dimaknai sebagai “menyatukan” dua keluarga atau kelompok
keluarga; hal senada juga berlaku untuk mesisan benthet. Bertolak dari sini, mesisan
kanthet dapat dikatakan sebagai embrio fungsi yang bersifat integratif,
sedangkan mesisan benthet merupakan
embrio fungsi yang bersifat disintegratif. Dari sifat tulus yang dikandungnya,
mantra SM lebih cenderung berorientasi pada mesisan
kanthet, sedangkan mantra JG yang mengandung sifat dendam lebih cenderung
berorientasi pada mesisan benthet.
Namun, hal tersebut tidak berlaku secara mutlak karena adanya unsur ambivalensi
nilai budaya pada kedua mantra tersebut.
Tradisi pemanfaatan mantra jenis santet (pengasihan) yang digunakan dalam rangka “mencari” jodoh
telah berlangsung secara turun-temurun dan didukung oleh jaringan sosial yang
bersifat egaliter sebagai konteksnya. Bertolak dari hal tersebut, dapat
diketahui bahwa mantra santet (SM dan
JG) memiliki fungsi sosial sebagai alternatif pranata sosial tradisonal atau
pranata budaya lokal kelompok etnik Using (Saputra, 2003c). Dalam konteks ini,
pranata sosial dimaksudkan sebagai sistem perilaku sosial yang bersifat resmi
beserta adat-istiadat dan sistem norma yang mengaturnya, yang bertumpu pada
mekanisme tradisional, guna memenuhi berbagai kebutuhan manusia dalam hidupnya
(lihat, Hutomo, 1987:10).[38]
Mantra jenis santet dikatakan sebagai
alternatif pranata sosial atau
pranata budaya karena secara historis pemanfaatan mantra tersebut dalam rangka mencari jodoh hanya
digunakan ketika pranata-pranata sosial tradisional lainnya tidak mampu lagi
menampung aspirasi atau memecahkan problema mereka. Pranata-pranata sosial
tradisional tersebut meliputi tradisi gredoan,
bathokan, dan mlayokaken atau colongan (lihat,
Marwoto, 2001). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada “masa lampau”
(ketika pemanfaatan mantra dan ngelmu
gaib tidak dimaksudkan sebagai jalan pintas semata) pranata sosial tradisonal
yang dijalani orang Using untuk mencari jodoh adalah melalui tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken.
Akan tetapi, ketika pranata-pranata sosial tersebut tidak mampu lagi menampung
keinginan mereka (seseorang atau sekelompok orang), alternatif mekanisme
terakhir adalah menggunakan mantra jenis santet
(kekuatan gaib), termasuk mantra SM dan JG.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang ketiga
pranata sosial tradisional yang berupa tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken,
berikut diuraikan secara sekilas.[39]
Tradisi gredoan merupakan salah satu
khazanah budaya Using yang berupa mekanisme proses pencarian jodoh. Kata gredoan itu sendiri berarti ‘godaan,’
atau dalam batas tertentu juga dimaknai sebagai ‘pacaran.’ Dengan demikian,
tradisi gredoan dapat dipahami
sebagai sebuah mekanisme budaya lokal dalam proses melakukan godaan kepada
lawan jenis, untuk kemudian menuju jenjang pacaran, dan pelaminan. Tradisi gredoan banyak dilakukan di desa-desa
Using, seperti Desa Pengantigan, Labanasem, Gintangan, Macanputih, Gombolirang,
Mangir, Bunder, dan Pakistaji. Tradisi gredoan
dilaksanakan pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Prosesi gredoan berlangsung dalam rangkaian
peringatan Maulid Nabi, khususnya pada saat mempersiapkan hidangan yang dilakukan
oleh para gadis. Pada saat gadis-gadis sedang memasak, para jejaka menggodanya.
Karena dapur yang digunakan untuk memasak terbuat dari gedhek, para jejaka berusaha untuk mencuri pandang dengan cara
mengintip gadis-gadis tersebut. Bahkan, tidak jarang tangan-tangan jahil para
jejaka berusaha melubangi dinding bambu tersebut untuk dapat mengintip dengan
lebih leluasa lagi. Para gadis, yang memang sudah tahu bahwa mereka diintip,
tidak jarang yang berusaha bertingkah semenarik mungkin. Dengan demikian,
secara tidak langsung, mereka melakukan interaksi sosial dalam rangka menarik
simpati lawan jenis. Jejaka yang telah menjatuhkan pilihannya pada seorang
gadis kemudian masuk ke rumah tersebut dan mulai berkenalan. Dalam perkenalan
itu, mereka berinteraksi tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara psikis.
Perasaan, baik secara simpati maupun empati, dicurahkan kepada pilihannya,
walaupun seringkali dengan sikap malu-malu. Pada malam peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW (yang biasanya dilakukan di masjid-masjid) dan hari-hari
berikutnya, mereka telah “resmi” berpacaran. Jenjang berikutnya yang harus
dilaluinya adalah jenjang pernikahan.
Tradisi bathokan
juga merupakan salah satu khazanah budaya Using dalam mekanisme pencarian
jodoh. Ada dua versi berkenaan dengan istilah bathokan tersebut. Versi pertama, bathokan berasal dari kata dasar bathok yang secara harafiah berarti ‘tempurung kelapa,’ sedangkan
versi kedua, menyebutkan bahwa istilah tersebut berasal dari kata bathuk, yang secara harafiah berarti ‘dahi.’
Hingga kini, kedua istilah tersebut masih menjadi bahan perdebatan. Secara
historis, tradisi bathokan yang kini
lebih dikenal dengan istilah warung
bathokan itu merupakan mediasi terutama bagi gadis-gadis yang sudah cukup
umur, tetapi belum mendapatkan jodoh. Orang tua yang menginginkan anak gadisnya
segera mendapatkan jodoh berusaha untuk membuatkan sebuah warung. Warung
tersebut biasanya menjajakan kopi atau
teh, lengkap dengan jajanan atau makanan kecil. Warung yang dijaga seorang
(atau beberapa orang) gadis tersebut merupakan mediasi untuk mendatangkan para
pemuda. Para pemuda yang datang memang tidak hanya makan-minum, tetapi yang
lebih utama adalah dapat berkenalan dengan gadis-gadis penjaganya. Sambil minum
kopi atau teh, para pemuda tersebut melantunkan syair-syair atau basanan daerah Using atau Banyuwangen dengan tujuan untuk dapat
memikat hati gadis penjaga warung. Tidak jarang para pemuda itu beradu
ketrampilan bersyair. Isi syair dapat berupa sanjungan, tetapi dapat juga
berupa sindiran. Biasanya, yang paling pandai melantunkan syair akan menarik
perhatian si gadis. Para tamu yang datang ke warung tidak duduk di kursi,
tetapi di atas tempurung kelapa (bathok).
Tempurung kelapa ini diatur melingkari meja berkaki pendek, tempat untuk
menaruh kue dan minuman. Karena tempat duduk yang terbuat dari bathok itulah, warung tersebut dinamakan
warung bathokan.
Versi lain tentang asal-usul bathokan dikemukakan oleh Supranoto (Anis, 1989). Menurutnya, kalau
ada suatu keramaian (misalnya perayaan hari-hari besar atau bersejarah), akan
muncul beberapa buah warung kopi di sekitar tempat keramaian tersebut. Warung
tersebut menggunakan meja pendek sehingga penjualnya (gadis) duduk
berhadap-hadapan dengan para pembeli. Karena berhadap-hadapan, tak jarang dahi
penjual “beradu” atau bersentuhan dengan dahi pembeli. Hal itulah yang membuat
warung tersebut disebut warung bathokan
(berasal dari bathuk ‘dahi’ yang
saling berdekatan atau bersentuhan). Dengan demikian, eksistensi warung bathokan sangat dirasakan oleh pemuda-pemudi
sebagai mediasi pencarian jodoh.[40]
Tradisi mlayokaken
merupakan salah satu mekanisme pencarian jodoh, yang hingga kini masih hidup di
desa-desa Using. Tradisi mlayokaken
sering juga disebut sebagai mlayokaken
lare atau colongan.[41]
Secara harafiah, kata mlayokaken berarti
‘melarikan,’ kata mlayokaken lare berarti ‘melarikan anak/seseorang,’
sedangkan kata colongan berarti
‘pencurian.’ Dengan demikian, tradisi mlayokaken,
mlayokaken lare, atau colongan
dimaknai sebagai tradisi melarikan seorang gadis yang dilakukan oleh seorang
jejaka untuk dinikahi.[42]
Mekanisme mlayokaken diawali oleh
kesadaran antara si gadis dan si jejaka atas saling ketertarikan mereka. Dapat
dikatakan bahwa keduanya sudah mulai merasakan kasih sayang, bahkan menginjak
ke jenjang pacaran. Langkah berikutnya, pihak si jejaka melakukan negosiasi
dengan si gadis, baik secara langsung maupun tidak langsung, tentang kapan dan
di mana proses mlayokaken dilakukan.
Proses pelarian ini sama sekali tidak diketahui oleh keluarga si gadis, tetapi
diketahui oleh keluarga si jejaka. Selama berada di rumah si jejaka, si gadis
tidur secara terpisah hingga hari pernikahan tiba. Si jejaka beserta
keluarganya berusaha keras untuk menjaga keselamatan si gadis, termasuk ancaman
penyerobotan kembali oleh keluarga si gadis. Sebab tidak menutup kemungkinan
terjadinya perkelahian yang seru antarkeluarga untuk memperebutkan si gadis,
demi harga diri keluarga (Kusnadi, 1988).
Langkah berikutnya, sehari atau dua hari kemudian pihak si
jejaka mengirim utusan yang disebut colok
(jaruman). Secara harafiah, colok
berarti ‘obor’ atau ‘lampu,’ yang kemudian dapat dimaknai sebagai “juru
penerang” atau “mediator untuk berdiplomasi.” Oleh karena itu, utusan tersebut
adalah orang “pilihan,” yang mampu menjelaskan kepada keluarga si gadis bahwa anaknya kini sedang
berada di rumah jejaka yang mencurinya untuk dinikahi, dan sekaligus bertugas
meyakinkan keluarga tersebut apabila mereka tidak dapat menerima kenyataan tersebut.[43]
Selain itu, colok juga bertugas untuk
memusyawarahkan tentang hari pernikahan yang dapat disepakati oleh kedua belah
pihak. Dalam tradisi mlayokaken ini,
seluruh biaya pernikahan ditanggung oleh
pihak jejaka.
Aktivitas mlayokaken
atau colongan terjadi karena adanya
tiga alasan, yaitu (1) pihak keluarga si gadis
kurang berkenan terhadap si jejaka, dapat disebabkan status sosial atau
eknomi, (2) rencana waktu pelaksanaan perkawinan yang telah disepakati orang
tua kedua belah pihak dirasakan oleh si gadis dan si jejaka terlalu lama, dan (3)
adanya perjodohan sepihak, yakni si gadis dijodohkan dengan seorang jejaka yang
sebelumnya tidak dikenal atau tidak dicintainya (Supijatun, 1990).
Kembali ke persoalan mantra jenis santet sebagai sebuah alternatif pranata sosial tradisional atau
pranata budaya lokal. Dengan perubahan sosial yang dinamis dan tuntutan
kemajuan zaman yang secara langsung maupun tidak langsung “merongrong”
intensitas tradisi lokal, dalam perkembangan selanjutnya, pemanfaatan mantra santet seringkali tidak sesuai lagi
dengan mekanisme budaya Using. Artinya, ada pergeseran budaya yang berorientasi
pada budaya instan, yang kemudian berpengaruh pada mekanisme pemanfaatan mantra
santet, yakni mantra santet dimanfaatkan secara langsung
tanpa terlebih dahulu melewati tradisi gredoan,
bathokan, dan mlayokaken. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “belakangan” ini
(ketika perubahan sosial merambah, dan budaya instan mulai berpengaruh terhadap
kesadaran orang Using) pemanfaatan mantra santet
hanya sebatas sebagai jalan pintas untuk memudahkan (mempercepat) pemenuhan
hasrat. Oleh karena itu, fungsi sosialnya tidak lagi sebagai sebuah alternatif pranata sosial tradisional,
tetapi sudah meningkat (terlepas dari dimensi positif atau negatifnya) menjadi
pranata sosial tradisional atau prnata budaya lokal itu sendiri.
Dari deskripsi tersebut dapat dijelaskan bahwa fungsi sosial
yang utama mantra santet (SM dan JG) adalah sebagai pranata sosial tradisional atau
pranata budaya lokal. Hal itu sesuai dengan pendekatan psikologis yang
dinyatakan oleh Sutardja (1996:40) bahwa secara naluriah suatu kelompok etnik
telah memiliki mekanisme dalam menghadapi dan memecahkan problema-problema
sosial budaya yang diwarisi dari nenek moyangnya, yakni berupa mekanisme budaya
atau pranata sosial tradisional. Namun, perlu disinggung pula bahwa sifat
ambivalensi atau multivalensi sebuah nilai budaya menjadikan mantra SM dan JG
juga memiliki fungsi lain, yakni fungsi sebagai penekan atau pemaksa berlakunya
tata nilai dalam masyarakat dan peningkat perasaan solidaritas kelompok. Fungsi
sebagai penekan atau pemaksa berlakunya tata nilai terlihat dari esensi mantra
atau kekuatan gaib yang terfokus pada upaya memanipulasi kesadaran seseorang,
sedangkan fungsi sebagai peningkat perasaan solidaritas kelompok terlihat dari
jaringan sosial yang (secara tidak langsung) dibentuk atas dasar persamaan
kepentingan (ngelmu gaib). Selain
itu, secara langsung maupun tidak langsung, mantra SM dan JG juga berfungsi
sebagai penebal emosi religiositas atau kepercayaan, baik terhadap kekuatan-kekuatan
dunia mikrokosmos, makrokosmos, maupun kekuasaan Sang Khalik. Beberapa dimensi
fungsi sosial tersebut (disadari atau tidak), pada akhirnya, akan bermuara pada
pemeliharaan harmoni atau keselarasan hubungan mikrokosmos dan makrokosmos.
Sebagai sebuah pranata sosial atau kultural, mekanisme
penggunaan mantra SM dan JG (tradisi santet)
perlu dipertanyakan dimensi moralitasnya. Sebagaimana ditegaskan oleh
Magnis-Suseno (1985:184) bahwa kekuatan batin atau ngelmu gaib (mantra) tidak harus diterima berdasarkan norma-norma
moral yang mutlak, tetapi dapat diterima dalam konteks paham
etika-yang-relatif-terhadap-tempat pada batas-batas kemungkinannya. Artinya,
secara norma-moral-mutlak (agama), tradisi santet
termasuk dalam wilayah kejahatan (dosa) karena adanya unsur pemaksaan atau
manipulasi kesadaran. Akan tetapi, dari sudut pandang
etika-yang-relatif-terhadap-tempat-yang-tepat, tradisi tersebut tidak termasuk
dalam wilayah kejahatan. Dengan kata lain, tradisi lokal tersebut selayaknya
diposisikan dalam konteks moralitas kultural, bukan moralitas normatif
(Saputra, 2001b:265). Hal itu didasari atas konsekuensi bahwa suatu kelakuan
yang sesuai dengan kekuatan-kekuatan (tradisi/budaya) setempat atau
tenaga-tenaga batin seseorang adalah betul dalam arti moral budaya lokal.
Konsekuensi selanjutnya, tidak dapat dinilai bahwa mantra SM dan JG merupakan
sesuatu yang jahat. Alasan terakhir inilah yang menjadi landasan pemahaman yang
diwarisi orang Using (dari tradisi/budaya Blambangan) hingga kini sehingga
Armaya (2001) berani mengambil kesimpulan bahwa mantra jenis santet (SM dan JG) termasuk white magic (bukan black magic). Klasifikasi yang terakhir ini perlu dipertanyakan
kembali sebab apabila klasifikasinya didasarkan pada magi yang dikandung oleh
mantra, mantra SM tergolong sebagai yellow
magic, sedangkan mantra JG tergolong sebagai red magic (dengan asumsi, klasifikasi magic tidak terbatas pada aksioma black magic dan white magic
saja).
Penutup
Sebagai puisi lisan, mantra SM dan JG didominasi oleh unsur
kelisanan, baik dalam aspek komposisi, performance,
maupun transmisinya. Selain itu, mantra jenis santet tersebut juga didominasi oleh pola formula dan ekspresi
formulaik, baik dalam perbandingan antarvarian teks maupun dalam masing-masing
varian teks. Konvensi struktural mantra tersebut tersusun atas enam unsur yang
membentuk keutuhan struktur, yang meliputi unsur judul, pembuka, niat, sugesti,
tujuan, dan penutup.
Dalam konteks budaya Using, tradisi santet bukan sekadar berfungsi sebagai sarana yang bersifat
integratif dan disintegratif dalam rangka memperlancar perjodohan, melainkan
telah menjadi sebuah pranata sosial atau pranata budaya lokal. Hal tersebut
berlangsung, terutama, ketika pranata-pranata budaya lainnya, seperti tradisi gredoan, bathokan, dan mlayokaken, tidak mampu lagi mengakomodasi
kepentingan keseharian kelompok etnik Using.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 1999a. “Dari Antropologi
Budaya ke Sastra, dan Sebaliknya” (Makalah Seminar Sastra Banding). Fakultas
Sastra UGM, 18 November 1999.
-----. 1999b. “Strukturalisme Levi-Strauss untuk
Arkeologi Semiotik,” dalam Humaniora.
(Jurnal FS UGM). No. 12,
September-Desember 1999.
Ali, Hasan. 1991. “Tata Bahasa Using: untuk
Pegangan Guru” (belum terbit). Banyuwangi.
-----. 1994. “Bahasa dan Sastra Using di
Banyuwangi,” dalam Gema Blambangan,
No. 032, Banyuwangi: Pemerintah Daerah Kabupaten Dati II Banyuwangi.
Anderson,
Benedict R. O’G. 2000. Mitologi dan
Tolesansi Orang Jawa. Diterjemahkan Ruslani. Yogyakarta: Qalam.
Anis.
1989. “Warung Bathokan, Tradisi yang Melenceng,” dalam Surabaya Post, 13 Januari.
Armaya.
2001. “Istilah Santet Perlu Dipertanyakan,” dalam Radar Banyuwangi, 28 September.
Baal, J. van. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. (Jilid 2).
Jakarta: Gramedia.
Basri, Hasan. 2000. “Sekilas tentang Sastra Using
Banyuwangi,” (Makalah pada Sarasehan
Pemanfaatan Potensi Kebahasaan dan Kesastraan dalam Rangka Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah di Propinsi Jawa Timur). Surabaya: Balai
Bahasa Surabaya, 20 Juni.
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Diterjemahkan
Akhmad Fedyani Saefuddin. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Damono, Sapardi Djoko. 1999. “Kelisanan dalam
Keberaksaraan: Kasus Puisi Indonesia Modern,” dalam Kalam (Jurnal Kebudayaan),
edisi 13.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta:
Grafiti Pers.
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and the Verbal arts. London: Chapman and Hall.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Diterjemahkan Francisco Budi Hardiman.
Yogyakarta: Kanisius.
Herusantosa,
Suparman. 1987. “Bahasa Using di Kabupaten Banyuwangi,” (Disertasi S-3).
Jakarta: UI.
Hutomo, Suripan Sadi. 1987. Cerita Kentrung Sarahwulan di Tuban. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-----. 1991. Mutiara
yang Terlupakan. Surabaya: HISKI
Jatim.
Kleden, Ignas. 1985. “Masyarakat dalam Persepsi
Kebudayaan,” dalam Alfian (ed.), Persepsi
Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia.
Koentjaraningrat, 1987. Sejarah Teori Antropologi. (Jilid 1). Jakarta: UI Press.
-----. 1994. Kebudayaan
Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kompas. 1998. “Kasus Banyuwangi dan Budaya Using,” dalam Kompas, Jakarta, 19 Oktober.
Koran Tempo. 2001. “Alas Purwo: Angker tapi Aman,”
dalam Koran Tempo, Jakarta, 13 Juni.
Kusnadi. 1988. “Mlayokaken sebagai Tradisi
Perkawinan dalam Masyarakat Using Banyuwangi: Sebuah Catatan Budaya,” dalam Buletin Sastra, No. 2, Juni, Jember: FS
UNEJ.
-----. 1990. “Using: Sosok Budaya Orang
Pinggiran,” dalam Buletin Sastra,
No.1 (1), Mei, Jember: FS UNEJ.
-----. 1993. “Santet dalam Pandangan Orang Using”,
dalam Surya, 11 September.
Levi-Strauss, Claude. 1997. Mitos, Dukun, dan Sihir. Diterjemahkan Agus Cremers dan John de Santo. Yogyakarta: Kanisius.
Lord, Albert B. 1981. The Singers of Tales. Cambridge: Harvard University Press.
Magnis-Suseno, Franz. 1985. Etika
Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia.
Marwoto. 2001. “Mantra Santet: Refleksi Pranata Sosial Tradisional Komunitas Using di Banyuwangi.” (Laporan Penelitian). Jember: Lembaga Penelitian UNEJ.
Ong, Walter J. 1989. Orality and Literacy: the Technologizing of the Word. London: Methuen.
Piaget, Jean. 1995. Strukutralisme. Diterjemahkan Hermoyo. Jakarta. YOI.
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Diterjemahkan Daniel Dhakidae.
Jakarta: Rajawali.
Saputra, Heru S. P. 1999. “Mantra Using: Suatu
Pemahaman Awal” dalam Argapura (Jurnal UNEJ), Vol. 19. No. 1 dan 2, Tahun 1999,
Jember: UNEJ.
-----. 2001a. “Dominasi Kekuasaan
dan Pemiskinan Budaya: Kasus Sastra Lisan Using, Banyuwangi,” (Makalah pada Seminar PILDA HISKI Komda
Yogyakarta), Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta, 11 September.
-----. 2001b. “Tradisi Mantra
Kelompok Etnik Using di Banyuwangi,” dalam Humaniora
(Jurnal FIB UGM),
Vol. XIII. No. 3/2001. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
-----. 2002. “Sedulur Papat, Lima
Badan: Mantra dalam Dimensi Kosmologis Budaya Using,” dalam Agus Sariono dan
Titik Maslikatin (Penyt.), Bahasa dan
Sastra Using: Ragam dan Alternatif Kajian. Jember: Tapal Kuda.
-----. 2003a. “Mantra Sabuk Mangir dan Jaran Goyang dalam Budaya Using
di Banyuwangi,” Tesis S-2. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
-----. 2003b. “Simbol, Analogi, dan Alegori” dalam Humaniora (Jurnal FIB UGM), Vol.
XV. No. 1/2003. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM.
-----. 2003c. “Tradisi Mantra
sebagai Pranata Budaya Lokal,” (Makalah pada
Diskusi KOMsBAT / Komunitas Studi Budaya Etnik). Pusat Studi Kebudayaan
UGM, 29 Mei 2003.
Singodimayan, Hasnan. 1999. “Sinkretisme, Ciri
Khusus Masyarakat Adat Using,” dalam Banyuwangi
Pos, Banyuwangi, 25-31 Juli 1999.
Skorupski, John. 1983. Symbol and Theory. Cambridge: Cambridge University
Press.
Supijatun. 1990. “Mengenal Sekilas tentang Adat
Perkawinan Mlayokaken pada Masyarakat Using di Kabupaten Banyuwangi,” (Laporan
Penelitian). Jember: Lembaga Penelitian UNEJ.
Suryadi. 1993. “Ilmu Sastra Lisan di Indonesia:
Persoalan Konsep dan Objek Penelitian”, (Makalah pada Seminar Tradisi Lisan
Nusantara), Jakarta: FS UI, 9-11 Desember 1993.
Suryadipura, Paryono. 1958. Manusia dengan Atomnya di Dalam Keadaan Sehat dan Sakit: Antropobiologi
Berdasarkan Atomfisika. Semarang: Usaha Mahasiswa.
Sutardja.
1996. “Tradisi Lisan dalam Pendekatan Psikolog” dalam Warta ATL: Jurnal Pengetahuan
dan Komunikasi Peneliti dan Pemerhati Tradisi Lisan. Edisi III, November.
Sweeney, Amin. 1980. Authors and Audiences in Traditional Malay Literature. Berkeley:
Center for South and Southeast Asia Studies, University of California.
-----. 1999. “Kajian Tradisi Lisan dan Pembentukan
Wacana Kebudayaan.”(Makalah pada Seminar Internasional Tradisi Lisan III),
Jakarta, 14-16 Oktober 1999.
Teeuw, A. 1988. Sastra
dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya-Girimukti Pasaka.
Wirata, Putu. 1995. “Orang Using, Suku Terasing?”
dalam Matra, No. 104, Maret. Jakarta.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di
Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
* Dipresentasikan pada PILNAS XIII HISKI di Universitas
Airlangga, Surabaya, 26-28 Agustus 2003.
[1] Brunvand membagi folklor menjadi tiga tipe, yaitu: (1) verbal folklore (folklor lisan), (2) partly verbal folklore (folklor setengah
lisan), dan (3) nonverbal folklore
(folklor bukan lisan) (Danandjaja, 1984:21-22).
[2] Keenam variasi regional kebudayaan tersebut adalah: (1)
kebudayaan Arek, (2) kebudayaan Tengger, (3) kebudayaan Madura, (4) kebudayaan
Mataraman, (5) kebudayaan Pendalungan, dan (6) kebudayaan Using (Hatley dalam
Kusnadi, 1990). Pembagian variasi regional kebudayaan Jawa Timur tersebut
berbeda dari pembagian yang dilakukan Koentjaraningrat (1994:25-29), yang meliputi:
Pesisir Wetan, Mancanegari, Madura, Surabaya, Tanahsabrang Wetan, dan
Blambangan.
[3] Empat macam magi
tersebut adalah magi hitam terkandung dalam jenis mantra sihir (untuk membunuh), magi merah dan kuning terkandung dalam
jenis mantra santet (untuk pengasihan),
sedangkan magi putih terkandung dalam jenis mantra penyembuhan. Selain mantra
Using, sepengetahuan penulis, hanya ada dua jenis magi dalam mantra, yakni magi
putih dan hitam. Hal ini dapat dilihat pada mantra Jawa (Koentjaraningrat,
1994; Magnis-Suseno, 1985), mantra Sunda (Rusyana, 1970; Sastrawijaya, 1992),
mantra Banjar (Ismail,dkk.,1996), mantra Panesak (Subadiyono, 1999), mantra
Bali (Atmadja, 1998), sedangkan mantra Tengger justru hanya mengenal magi putih
saja, karena mantra Tengger merupakan doa pemujaan (Supardjana, dkk.,
1997).
[4] Secara
sosiologis, komunitas Using khususnya dan masyarakat Banyuwangi umumnya,
mengalami semacam trauma akibat adanya isu pembantaian terhadap (menurut
dugaan) dukun “santet” (istilah yang lebih tepat adalah sihir), September-Oktober 1998, di Banyuwangi. Padahal, berdasarkan
akar budaya dan tradisi peninggalan Blambangan, Using, hingga kini belum ada peristiwa pembunuhan secara terbuka
terhadap dukun sihir. Oleh karena
itu, kasus di Banyuwangi tersebut tidak mengakar pada tradisi Using sebagai
peninggalan budaya Blambangan, tetapi lebih sebagai rekayasa elite politik
kekuasaan (Kompas, 1998).
[5] Istilah santet dalam budaya Using dapat
diidentikkan dengan istilah pelet dalam
budaya Jawa.
[6] Kata ndika memiliki tingkat kesopanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kata
rika; keduanya memiliki arti yang sama dengan sira dan ira. Namun, dari tingkat kesopanannya, kata ndika dan rika masih
jauh di bawah kata Jawa penjenengan (wawancara
dengan Hasan Ali, 68 tahun, 20 Oktober 2001).
[7] Menurut Anderson (2000:1), pada awalnya,
peneliti asing sering mengidentifikasi adanya “sinkretisme Jawa” dan
“relativisme Jawa” sebagai konsep dasar watak orang Jawa; tetapi belakangan
(terutama semenjak pecahnya revolusi nasional Indonesia), watak orang Jawa
lebih populer dengan sebutan “toleransi” yang di dalamnya dilandasi sikap
lapang dada.
[8]
Menurut Hasnan Singodimayan, maunya diri tidak identik dengan semaunya
sendiri; maunya diri lebih bernuansa positif, sedangkan semaunya sendiri lebih
bernuansa negatif. Sebagai contoh, sifat maunya diri pada orang Using terlihat,
misalnya, pada makanan yang bernama rujak soto. Karena maunya diri mencampurkan
antara rujak dengan soto maka jadilah makanan rujak soto, salah satu makanan
khas Banyuwangi (wawancara, 17 Oktober 2001).
[9] Ketika yang bersangkutan bersedia menjalani sumpah pocong, mengindikasikan dia “bersih”. Tetapi, ketika yang
bersangkutan menolak, secara implisit tuduhan terhadap dia benar adanya. Kalau
sudah begitu, dia akan diusir dari komunitasnya (tetapi beberapa waktu
kemudian, ketika keadaan sudah reda, dia dapat kembali lagi). Sementara itu,
apabila dia “tidak bersih” tetapi tetap bersedia menjalani sumpah pocong, dia akan
dilaknat oleh Allah (hal ini sudah menjadi keyakinan kolektif), yakni sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Selain sumpah
pocong, dapat juga dilakukan
mekanisme jalan pintas, yakni orang yang merasa dirugikan membalasnya dengan ngelmu sihir juga. Jadi, ada semacam perang sihir. Pihak yang kalah akan meminta bantuan kepada orang yang ngelmu-nya lebih tinggi. Hal semacam itu
merupakan fenomena kekerasan tertutup.
[10] Dalam mitologi Jawa Kuno dikenal istilah mancapat dan mancalima, yakni asosiasi warna yang berkaitan dengan arah mata
angin dalam pemukiman; warna putih menunjukkan arah timur, merah menunjukkan
selatan, kuning menunjukkan barat, hitam menunjukkan utara, sedangkan
percampuran warna-warna tersebut (banyak warna) menunjukkan tengah/pusat
(Ahimsa-Putra, 1999b:3-5).
[11] Penulisan istilah-istilah tersebut sesuai
dengan penuturan nara sumber. Menurut Suryadipura (1958:197-198),
istilah-istilah tersebut berasal dari istilah lauwwamah, ammarah, sufiah, dan
muthmainnah. Istilah lain dari keempatnya adalah egocentros, polemos, eros, dan
religios. Dalam perspektif keislaman, istilah atau frase sedulur papat tersebut dikaitkan dengan
empat malaikat, yakni Jibril, Mikail, Isrofil, dan Izroil.
[12] Menguasai tidak selalu berarti memiliki
(misalnya: orang sewa rumah, berarti menguasai tapi tidak memilikinya).
[13] Tentang homeopathic
magic dan contagions magic, lihat
Frazer (dalam Skorupski, 1983:126-152).
[14] Analogi adalah semacam “metode” untuk menafsirkan alam
kodrat dan eksistensi manusia. Ia dapat dimanfaatkan untuk memandang sesuatu
melampaui apa yang diamati secara langsung dengan diwakili tanda-tanda
(Saputra, 2003b:116).
[15] Wawancara, 16 Agustus 2000.
[16] Tentang manunggaling
kawula-Gusti, lihat Zoetmulder (1990).
[17] Secara administratif, Alas Purwo yang dikenal sebagai
Semenanjung Blambangan, terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan
Purwoharjo. Hutan seluas 43.420 hektare itu ditetapkan sebagai Taman Nasional
lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan tahun 1992.
[18] Alas Purwo menjadi “kiblat” bagi orang-orang yang gemar
perklenikan atau hal-hal magis. Kebanyakan orang yang datang ke sana bermaksud
untuk semedi di sejumlah tempat, khususnya di dalam gua-gua. Gua-gua yang
favorit dikunjungi para pencari wangsit
di Alas Purwo, antara lain, Gua Istana, Gua Padepokan, dan Gua Selomangleng.
Konon, menurut kisah yang beredar dalam masyarakat, sebelum menjadi Presiden,
Bung Karno telah tiga kali mengunjungi Alas Purwo, yakni pada tahun 1918, 1929,
dan 1938 (Koran Tempo, 2001).
[19] Berkaitan dengan ucapan beberapa dukun yang kurang
seragam dari segi kefasihan, terutama menyangkut kata-kata yang bernuansa
Islami atau diambil dari ayat-ayat Al Quran, penulis memutuskan untuk
menuliskannya secara seragam dengan berpedoman pada nara sumber yang paling
fasih.
[20] Upaya mencari formula dengan model seperti itu dilandasi
oleh penelitian Sweeney (1999) terhadap data lisan “Lagu Si Hitam Manis”
(Negeri Sembilan Malaysia) dan data elektronik “Joget Hitam Manis” (Best of Mus
Mulyadi). Dalam penelitian itu, Sweeney berupaya untuk mencari persamaan
formula di antara kedua data tersebut.
[21] Pencantuman angka 1-3 hanya digunakan sebagai
identifikasi dan tidak berpengaruh terhadap esensi judul masing-masing
mantra.
[22] Dalam teks mantra JG juga terdapat kata asih, tetapi kata tersebut tidak
mengalami perulangan sebagaimana dalam mantra SM. Dengan demikian, tingkat
ketulusan kedua mantra tersebut berbeda.
[23] Dalam hal ini, ketulusan harus dipahami dalam konteks
budaya lokal, bukan dalam konteks norma teologis. Dalam koteks norma teologis,
tidak ada istilah “ketulusan” dalam hal penggunaan mantra atau ngelmu gaib, karena ia merupakan
rekayasa atau manipulasi atas kesadaran seseorang. Dalam konteks budaya lokal,
meskipun penggunaan mantra SM merupakan sebuah model rekayasa atas kesadaran,
tetapi ia dilandasi oleh spirit kebaikan. Kualitas spirit kebaikan tersebut
akan menjadi lebih jelas apabila mantra SM dikomparasikan dengan mantra-mantra
yang bersifat destruktif (sihir),
atau setidak-tidaknya dikomparasikan dengan mantra JG.
[24] Pembahasan komposisi skematik, bandingkan dengan Sweeney
(1980:63-74).
[25] Njaluk tulung
merupakan bentuk frase, tetapi ia menduduki posisi matra yang sama dengan kata nyalami dan kongkon.
[26] Karena kedua larik tersebut, secara langsung, tidak
menunjukkan pola dengan kondisi matra yang sama, keduanya tidak dibubuhi garis
lurus.
[27] Pembahasan unperiodic
enjambement, lihat Lord (1981:54).
[28] Kata nyalami
pada larik (3)
tidak sekadar berarti “memberi salam”, tetapi cenderung
memuat maksud tertentu atau memiliki pamrih
(‘tujuan sampingan’) tertentu yang bermuara pada upaya permintaan tolong.
[29] Dalam budaya Jawa
dikenal sebagai sedulur
papat lima pancer (memiliki makna yang sama dengan sedulur papat lima badan).
[30] Di wilayah lain, seni jaranan lebih dikenal dengan sebutan seni jaran kepang, kuda lumping, atau jathilan.
[31] Sebagaimana telah dibahas dalam mantra SM3, kata ira dan isun yang digabung dengan kata berakhiran vokal akan membentuk
enklitik sehingga menjadi -nira dan -nisun.
[32] Sebagaimana yang terjadi pada mantra SM2, karena larik
(4) mantra JG3, secara langsung, tidak menunjukkan pola dengan kondisi matra
yang sama, larik tersebut tidak dibubuhi garis lurus.
[33] Pembahasan superimposed
clause dan subordinate clause
tersebut, bandingkan dengan Lord (1981:54).
[34] Secara
empiris, banyak kalangan
yang merasa mandi doanya apabila menggunakan sarana media komunikasi lokal
(verbal/nonverbal), karena merasa mampu menghayati hingga pada tataran
sugestif; hal ini belum tentu didapatkan ketika menggunakan “bahasa lain.”
[35] Lebih lanjut, lihat Beatty (2001:246-247). Dalam
perkembangan zaman, banyak orang yang tidak mampu, atau tidak mau, atau tidak
mau tahu, untuk menyatukan ucapan/pikiran dan tindakan sehingga integritas kian
menjadi barang yang terasa istimewa.
[36] Wawancara dengan Hasnan Singodimayan, (70 tahun), 3
September 1999.
[37] Dengan
sifat ambivalensi atau
multivalensi nilai budaya,
maka nilai budaya
gotong royong yang nota
bene memiliki nilai budaya yang luhur karena mampu menciptakan
kebersamaan atau hubungan yang harmonis atarsesama (bersifat positif)
berpotensi mengandung nilai budaya yang mampu mendistorsi kemampuan kreatif
individual atau bahkan menciptakan sikap ketergantungan kepada bantuan orang
lain (bersifat negatif). Hal yang sama juga terjadi pada mekanisme kekeluargaan
(bersifat positif) yang dapat menciptakan sikap nepotisme (bersifat negatif);
hormat kepada senioritas (bersifat positif) yang dapat menciptakan sikap tanpa
inisiatif; berperilaku sabar (bersifat
positif) yang dapat menciptakan sikap pasrah kepada nasib (Kleden, 1985:231).
[38] Sekadar sebagai perbandingan, tidak hanya mantra atau ngelmu gaib yang dapat dijadikan sebagai
pranata sosial, tetapi mitos-mitos juga memberikan dasar-dasar bagi
pranata-pranata sosial dan rasionalisasi-rasionalisasi hak-hak sosial yang
istimewa (lihat, Geertz, 1992:2).
[39] Selain tradisi gredoan, bathokan,
dan mlayokaken
(colongan), dikenal juga tradisi ngleboni,
ngunggah-unggahi dan ngayuh. Ngleboni yang arti harafiahnya
‘memasuki’, yakni si jejaka (sendiri dan tanpa sepengetahuan keluarganya)
dengan kesatria memasuki rumah atau keluarga si gadis dan secara langsung
meminta/melamar si gadis (yang sebelumnya telah menyetujuinya) untuk
dinikahinya. Berkebalikan dengan ngleboni,
dalam ngunggah-unggahi si gadis
datang ke rumah si jejaka (biasanya sudah melalui proses pendekatan atau
pacaran) dan meminta untuk dinikahi. Sementara itu, ngayuh biasanya dilakukan oleh orang tua si gadis yang tertarik
kepada seorang jejaka untuk kemudian dijodohkan dengan anak gadisnya. Biasanya,
si gadis berasal dari keluarga mampu, tetapi mempunyai cacat fisik sehingga
merasa rendah diri atau tidak percaya diri untuk mencari jodoh.
[40] Dalam transformasinya kini, warung bathokan tidak lagi dimanfaatkan secara kultural sebagai mediasi
proses pencarian jodoh, tetapi telah diselewengkan menjadi semacam tempat
prostitusi terselubung. Perempuan-perempuan penjaganya bukan lagi gadis,
melainkan janda atau ibu rumah tangga yang kehidupan keluarganya tidak lagi
harmonis. Pembelinya pun lebih berorientasi ke persoalan pemenuhan nafsu
seksual. Warung-warung tersebut memang tetap menjual kopi atau teh beserta
makanan kecilnya, tetapi penjaganya adalah perempuan-perempuan bayaran. Perempuan-perempuan
tersebut dibayar oleh pemilik warung dengan cara bagi hasil, pemilik warung 80%
sedangkan penjaganya 20%. Adapun uang tips yang diberikan oleh para pembeli
menjadi hak milik perempuan-perempuan tersebut (Anis, 1989).
[41] Ada sebagian masyarakat Using
yang menganggap sama
antara mlayokaken dan colongan, tetapi
sebagian lainnya menganggap
berbeda. Menurut Fatrah Abal, (70 tahun), dalam mlayokaken, sebelumnya telah terjadi pertunangan antara si gadis
dan si jejaka, tetapi salah satu pihak (biasanya si jejaka) merasa tidak sabar.
Sementara itu, dalam colongan belum
terjadi pertunangan, dan satu hal yang penting bahwa colongan lebih mempunyai nilai prestise yang berupa sikap kesatria
atau “jantan” dari si jejaka (Wawancara, 15 Oktober 2001).
[42] Tradisi serupa
dengan berbeda nuansa juga
terdapat pada kelompok etnik lainnya,
misalnya di Batak dikenal
dengan sebutan mangalna, di
Makassar atau Bugis dengan istilah silariang,
dan di Bali dengan terminologi mrangkat
atau ngrorod.
[43] Dengan bahasa
sandi, colok akan berteriak di depan
rumah si gadis: “Awas, ada pencurian anak ayam! Siapa yang
merasa kehilangan anak ayam …?!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar