Balai Bahasa Semarang
Pamuka: Membaca Potensi
Keaslian- Masa Silam-Modern
Di tengah rutinitas kerja penelitian tentang sastra modern Indonesia dan pembelajaran
sastra yang menjadi spesialisasi bidang saya, saya sempat terpesona oleh hasil
penelitian sastra asli (indigeneous
literature)[1]
di daerah-daerah “pedalaman” Indonesia yang pernah dilakukan oleh peneliti di
Balai-Balai Bahasa dan induk tempat kerja saya, Pusat Bahasa. Begitu banyak,
dan insya Allah masih banyak lagi,
hasil penelitian tentang sastra asli Indonesia ini. Obyeknya pun bermacam-macam, seperti sastra
lisan (yang terbanyak), hikayat, cerita pendek, puisi, sastra lakon, naskah
lama, serta biografi sastrawan[2].
Penelitian-penelitian tentang sastra asli tersebut umumnya berupa analisis
struktur, yang menghasilkan deskripsi tentang unsur-unsur intrinsik sastra,
serta analisis fungsi dan nilai budaya. Adapun penelitian tentang naskah (sastra)
lama berupa inventarisasi, transliterasi, serta kajian bentuk/wujud dan isi
naskah. Namun, penelitian-penelitian tersebut masih jarang yang mengemukakan
problematik teoretisnya, sehingga kita belum mendapatkan jawaban terhadap
masalah teori yang digunakan. Walaupun di dalam bab tertentu dikemukakan
kerangka teori yang dijadikan acuan, teori itu kurang dioperasionalkan dalam
bab analisis.
Lalu, saya mengandaikan jika saja penelitian-penelitian terhadap sastra
asli daerah Indonesia tersebut dilakukan sebagai kesatuan bidang penelitian,
tidak secara terpisah-pisah. Maksudnya,
dari segi ilmiah, kita melakukan semacam revitalisasi indigenous literature[3],
yaitu penelitian dan penggalian khazanah sastra asli yang disertai pencarian
akar kebudayaan jauh ke “pedalaman” dan masa silam dengan bermacam-macam
objeknya yang situs-situsnya terbentang luas dari Aceh hingga Papua. Upaya ini
tiada lain untuk memperoleh pengetahuan tentang sastra-sastra asli Indonesia
dengan memperlakukannya sebagai satu komunitas sastra, di mana unsur-unsur
kedaerahannya saling berkaitan[4].
Upaya tersebut akan membuktikan dan memberikan kesadaran
yang lebih kuat bahwa budaya Indonesia yang kaya variasi itu adalah satu
kesatuan (Rusyana, 1993:2). Mungkin
inilah maksud A. Teeuw yang mengatakan bahwa sastra-sastra daerah tersebut
tidak cukup kita teliti hanya dalam rangka kedaerahannya karena ada cross connections, yaitu hubungan
silang, lewat batas bahasa dan suku, dan dapat kita amati baik dari segi
sejarah maupun dari segi tipologi
(Teeuw, 1982:13). Sehingga bukan
tidak mungkin kita akan mendapatkan gambaran utuh untuk menyusun ilmu sastra (poetika) dan kritik sastra yang mengindonesia.
Dan, jika yang dituju dari revitalisasi indigeneous literature itu adalah
terwujudnya ilmu sastra (poetika) dan
kritik sastra Indonesia yang khas Indonesia, penelitian dan penggalian
masalah-masalahnya harus disandarkan kepada karya sastra asli Indonesia sendiri
(yang tersebar di berbagai daerah dengan bahasa asli daerahnya) [5].
Namun, kita tak perlu menutup sebelah mata bahwa sastra modern Indonesia
pun (baik yang berbahasa daerah maupun berbahasa Indonesia) dapat dilihat
sebagai khazanah yang bisa menyumbangkan poetika
dan kritik sastra yang berwatak Indonesia.
Sebab, bagaimanapun keaslian sastra Indonesia tidak cukup dilihat dari
sastra daerah dan sastra lamanya meskipun sastra-sastra tersebut mengandung
sifat asli (belum mendapat pengaruh Barat).
Kita perlu menampakkan bahwa sastra modern Indonesia telah banyak yang
menggali khazanah sastra lama untuk dimanfaatkan tekniknya. Di dalamnya ada upaya mengelola keaslian
budaya daerah sebagai teknik. Teknik ini
menjadi hal penting untuk ditampakkan, bukan sekedar latar atau manusia
daerahnya. Mantra, misalnya, di tangan
Sutardji Calzoum Bachri, dapat bertransformasi sedemikian rupa dan telah
menampak dalam khazanah sastra modern Indonesia. Pada Ramadhan KH, dalam Priangan
Si Jelita, kita melihat teknik
tembang Sunda. Demikian juga dalam Blues untuk Bonnie, meskipun berlatar
Amerika, tidak membuat aroma khas Jawa Rendra (seperti juga dalam Balada Orang-orang Tercinta yang sarat
dengan aroma dolanan anak-anak Jawa)
menjadi berbau Amerika.
Revitalisasi indigenous literature ini
dapat dilakukan melalui 1) pemaknaan karya sastra dengan memahami
refleksi-refleksi pikiran masyarakatnya, 2) penggalian nilai-nilai sosial
budaya dalam sastra melalui pencarian (a) hubungan sastra dengan norma-sosial budaya atau (b)
hubungan pencipta karya sastra dengan mimesis, tradisi, dan pembaharuan, serta
3) menemukan kembali hubungan kemantapan wujud karya sastra dengan
variasi-variasinya. Upaya-upaya ini
tentunya perlu dilakukan sampai ke problematik teoretis dan tidak
sebatas pendokumentasian atau pendeskripsian.
Sebagai langkah awal dari revitalisasi, di bawah ini
diungkapkan beberapa hasil pembacaan terhadap wacana sastra asli
Indonesia. Metode yang digunakan adalah
metode pembacaan konfigurasi, yang biasa disebut dengan nama “management by objective”, yaitu
pembacaan yang didasarkan pada objek sasarannya atau “tujuan menentukan cara”
(Sutardja, 1997 & 2000)[6]. Pembacaan ini dapat dimulai dari membaca
bahasa, dilanjutkan dengan membaca nada, kasunyatan,
dan pasemon.
Bermula Membaca Bahasa
Yang paling nyata dari sastra-sastra asli di Indonesia adalah keberagaman bahasa yang
digunakan sebagai alat ekspresinya. Tentunya, hal pertama yang perlu disadari adalah fungsi yang tak kalah penting dari bahasa,
selain sebagai alat komunikasi, yaitu bahasa sebagai alat perekam ide
dan gagasan-gagasan sehingga peradaban bisa diwariskan dari generasi ke
generasi. Bagaimanapun rumusan dan
pengertian para ahli tentang sastra, bahasa tetap merupakan sarana komunikasi
seni untuk penciptaan karya sastra yang tidak dapat diabaikan. Bahasa bagi
karya sastra dapat disamakan dengan garis dan bidang bagi seni lukis,
gerak dan irama pada seni tari, nada dan irama untuk seni musik.
Dalam ilmu komunikasi modern, dan ilmu bahasa yang menjadi ajang kenaikan
pamor konstruksionisme sosial selama dasawarsa 1960-an dan 1970-an, hubungan
antara bahasa dengan kenyataan budaya menjadi bahan kajian penting. Sampai
sekarang, kebanyakan orang percaya bahwa bahasa, selain dipengaruhi oleh faktor-faktor
struktural intrinsiknya, juga dipengaruhi oleh beragam faktor di luarnya, yakni
jagat sosial-budaya di mana bahasa itu dipakai manusia, termasuk bahasa yang
terdapat dalam karya sastra.
Sebagian para pakar berpendapat bahwa manusia terkungkung oleh bahasa. Manusia tidak dapat berpikir kecuali dalam
bahasa yang dikuasainya. Pandangan
tersebut sebagai pengembangan lebih lanjut dari pendapat yang menyatakan bahwa
masyarakat yang berbeda bahasanya dapat dikatakan hidup dalam dunia realitas
yang berbeda, dalam arti bahwa bahasa mempengaruhi cara berpikir
masyarakat. Dengan demikian bahasa
mempengaruhi bagaimana masyarakat melihat dunia sekelilingnya. Suatu ilusi
apabila kita menyangka manusia menyesuaikan diri dengan realitas sekelilingnya
tanpa menggunakan bahasa, dan adalah tidak benar bahwa bahasa tidak lebih
daripada alat komunikasi semata-mata yang dengan tidak secara sengaja kita
gunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah komunikasi antarmanusia dan alat
berpikir yang spesifik.
Salah satu teori klasik yang dijadikan acuan tentang pengaruh bahasa pada
cara bagaimana manusia memahami dunianya tersebut disusun oleh Edward Sapir
bersama muridnya, Benjamin Lee Whorf, kita mengenalnya sebagai "teori
relativitas linguistik" (The Theory
of Linguistics Relativity) atau "hipotesis Sapir-Whorf" (The Sapir-Whorf Hypothesis). Sapir-Whorf
mengatakan apa yang kita pahami sebagai "dunia nyata" ini pada
dasarnya adalah "realitas" yang kita bina secara tidak kita sadari
berdasarkan bahasa yang kita gunakan. Kita melihat, mendengar dan mengalami
realitas seperti halnya sekarang, semuanya karena bahasa yang kita gunakan.
Kebiasaan-kebiasaan berbahasa dalam masyarakat ini pun menyodorkan
pilihan-pilihan penafsiran tertentu yang sudah “jadi” kepada kita. Struktur bahasa kita telah terlebih dahulu
menentukan bagaimana kita seharusnya memahami realitas. Faktanya adalah, ‘dunia
nyata' sebagian besar secara tak disadari dibangun di atas landasan kebiasaan
berbahasa dalam kelompok budaya yang bersangkutan. Umat manusia tidak hidup di dalam dunia objektif
semata, tidak juga dalam dunia kegiatan sosial sebagaimana biasanya kita
pahami, melainkan hidup dalam genggaman bahasa tertentu yang menjadi wahana
ekspresi masyarakatnya masing-masing (Whorf, 1956: 134).
Kelompok asli budaya kita,
sama seperti kelompok-kelompok lain, mempunyai ‘mikrokosmos pemikiran', yang
mewakili pandangan-dunia kita atas ‘jagat besar' alias ‘makrokosmos'. Apa yang
kita miliki, cara kita memandang ‘jagat besar', jika disandingkan dengan
pandangan kelompok budaya lain akan berbeda. Kita dapat mengambil contoh dari
bahasa Jawa untuk melihat bagaimana
orang Jawa memandang dunianya yang
tercermin dari bahasanya. Salah satu
perbedaan yang sangat mendasar antara bahasa Jawa dan bahasa Indonesia adalah
bahasa Jawa mengenal adanya tingkatan-tingkatan bahasa, sedangkan dalam bahasa
Indonesia tidak. Ada tiga tingkatan
dalam bahasa Jawa, yaitu (1) ngoko,
yang dianggap bahasa kasar dan bersifat paling informal, (2) krama, yang dianggap berada di
tengah-tengah (agak halus dan agak formal), dan (3) krama inggil, yang dipandang sebagai bahasa Jawa paling halus dan
juga paling formal. Dalam bahasa Jawa,
seseorang dapat bertanya secara ngoko,
"Kowe wis mangan durung?",
bisa juga secara krama, "Sampeyan pun nedha napa dereng?",
atau secara krama inggil, "Panjenengan sampun dhahar menapa dereng?". Ketiga kalimat yang berbeda tersebut memiliki
makna yang sama dalam bahasa Indonesia, yaitu "Kamu sudah makan belum?".
Hal ini membawa pemahaman pada kita bahwa kategori "halus" dan "kasar" dan kedekatan hubungan antarindividu merupakan
hal penting dalam budaya Jawa.
Seperti halnya bahasa
Indonesia, bahasa Inggris juga tidak mengenal bahasa bertingkat seperti bahasa
Jawa sehingga terjemahan kalimat-kalimat di atas adalah "Have you eaten?" atau bisa juga
"Did you eat?". Sesuatu yang menarik dari dua kalimat
tersebut, yaitu kata kerja to eat
mengalami perubahan. Dalam bahasa
Inggris, kata kerja mengalami perubahan seiring dengan waktu dilakukannya kerja
tersebut sehingga dikenal istilah tense
yang tidak ada dalam bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia. Dari sinilah kita mengetahui bahwa waktu
dianggap lebih penting atau lebih berharga oleh orang Inggris daripada orang
Jawa. Sebaliknya, bagi lingkungan budaya
Jawa tinggi rendahnya kedudukan seseorang lebih penting dalam kehidupan mereka
daripada soal waktu.
Kita dapat mengatakan bahwa
dengan menggunakan bahasa-bahasa yang berbeda para penutur bahasa itu mengalami
realitas yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan tiap-tiap bahasa, melalui
perbendaharaan kata dan hukum-hukum tata bahasanya, telah menentukan bagaimana
pengguna bahasa-bahasa itu seharusnya memahami dunianya. Dalam karya sastra, misalnya, para penulis
dalam memilih kata tidak hanya mempertimbangkan aspek makna (lihat saja
mantra!), tetapi juga nilai rasa, nilai
suasana, dan getaran-getaran tertentu dalam batin pembuat dan penikmatnya. Dalam hal ini, efek yang ditimbulkan
oleh bahasa untuk melukiskan secara
tepat pengalaman batin penulis atau masyarakat penikmatnya menjadi pertimbangan
utama. Bahasa dalam karya sastra lama, seperti dalam syair, mantra,
pantun, kekuatannya terletak pada
pilihan kata dan pilihan bunyi. Seperti
terlihat dalam larik-larik puisi lisan Lio[7]
berikut ini.
Poke Nitu
‘Lempar Setan’
Mbana no ke’e-ke’e ‘berjalan dengan tenang-tenang’
Tiru ma’e bete ‘rotan
jangan membelit’
Gai ma’e balo ilalang jangan membelit’
Topo ma’e neka ‘parang jangan melukai’
Teka ma’e siba ‘kapak jangan
mencederai’ [8]
Berdasarkan tuturan lisan
tersebut, puisi ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan primitif zaman dulu,
yaitu masyarakat animisme dan dinamisme.
Mereka memilih nama benda-benda, seperti rotan, ilalang, parang, dan kapak
karena dalam ada kepercayaan bahwa benda-benda itu didiami oleh orang-orang
yang telah meninggal. Selain percaya
adanya yang Mahatinggi, mereka juga percaya bahwa roh orang mati masih
berlindung di dalam benda-benda itu.
Orang Lio juga mempercayai
bahwa segala sesuatu yang ada ini sesungguhnya ada yang mengawali, yaitu asal
dari sesuatu yang sekarang ada. Konsep
pemikiran mereka tercermin dari penyebutan nenek,
kakek, leluhur, dan yang bersemayam di bulan. Kata-kata untuk menyatakan itu menggunakan
pilihan kata-kata embu ‘kakek’, mamo ‘nenek’, bupu ‘kakek’, babo ‘nenek’;
atau du’a ‘tua-tua’, lulu ‘langit’, dan wula ‘bulan’, seperti terlihat dalam kutipan puisi berikut
ini.
Du’a eo gheta lulu wula ‘yang tua berada di atas bulan’
Kau pai dowa da gharu kau ‘engkau telah memanggilnya
kembali ke
tempat asalmu’
Kau niu dowa …. ‘engkau telah
memanggilnya…….’
Atau dalam larik-larik berikut
ini.
Embu mamo bupu bapo ‘nenek moyang kakek leluhur’
Nira talo sai kami ‘perhatikan kami’
Keu ngoso du’a lulu wula ‘mohon belas kasihan dari
yang tua
yang di atas bulan’ [9]
Masalah bahasa dan realitas
sosial masyarakat memang sudah lama menjadi perhatian dalam kajian karya
sastra, terutama yang menggunakan bahasa asli daerahnya. Hal itu wajar karena bahasa beserta
penggunaannya berada dalam kehidupan manusia dan menjadi alat komunikasi
manusia, ia “terkungkung” oleh
bahasanya. Manusia tidak dapat berpikir
kecuali dalam bahasa yang dikuasainya. Bahasa mempengaruhi cara berpikir
masyarakat karena dunia realitas yang dihadapi oleh masyarakat tersebut juga
berlainan. Dari pandangan ini, kita
menyadari bahwa bahasa berperan tidak hanya sebagai sarana berkomunikasi,
tetapi bahasa pun ditempatkan sebagai cerminan ide, gagasan, cara pandang, dan
pola pikir masyarakat pemakainya. Terlebih dalam khasanah sastra asli di
pedalaman Indonesia yang dibuat dalam bahasa aslinya.
Membaca Nada
(Tone)
Nada dalam
konteks ini diartikan sebagai refleksi sikap penulis atau pembuat karya sastra
(terhadap pembaca), cara, suasana hati, pandangan moral, bahkan mungkin hal
kepribadiannya pun merembes dan tercermin dalam karyanya. Sikap pengarang dalam tuturannya mungkin
ramah, tidak memihak, angkuh, suka mecampuri urusan orang lain, intim,
berkelakar, dan sebagainya.[10]
Nada dalam karya sastra adalah sebuah konsep
penting yang mengimplikasikan bahwa sastra itu seperti sebuah pembicaraan yang
membutuhkan seorang pembicara dan seorang pendengar. Nada menjadi suatu sikap yang diangkat oleh
pembicara terhadap pendengar –sikap penulis terhadap karya, peristiwa,
karakter, atau pembaca/pendengar—dikumpulkan dan dipahami dari jenis sintaksis
dan kosakata yang digunakan (Gray, 1996:211).
Pada dasarnya, bagaimana sikap pengarang terhadap pembacanya dapat
dirasakan dari pernyataan atau ungkapannya (biasanya tidak langsung
dinyatakan), apakah pengarang bersikap ramah, angkuh, dan rendah hati atau
apakah ia ingin menggurui, menyindir, atau bersikap lugas. Nada tuturan pengarang merefleksikan kesadaran
pengarang tentang hubungannya dengan pembaca dan bagaimana ia mendudukkan
pembacanya dalam tema yang diungkapkannya.
Nada seorang pengang menjadi bagian penting karena
nada menunjukkan secara langsung bagaimana suasana “pribadi” yang sedang
berbicara. Sikap pengarang terhadap
pembacanya ini banyak bergantung kepada kondisi pengarang pada saat itu dan
keadaan masyarakat sekitarnya. Apakah
masa itu penuh dengan tekanan dari yang sedang berkuasa, ketidakadilan,
ketimpangan sosial, dan sebagainya.
Apakah ia juga curiga, marah, kecewa, frustasi atau apakah ia bisa
memahami dan menerima, mengejek, penuh rasa terima kasih, dan seterusnya.
Semua nada ini bisa ditangkap oleh seorang pembaca
atau pendengar. Suasana “roh” seseorang
ketika berbicara sangat penting untuk untuk memahami ke mana arah
pembicaraanya. Bahkan “untiran-untiran”-nya pun bisa lebih
jelas, setelah fenomena nada dikaitkan dengan fenomena-fenomena lain, sikap
bahasa, kerangka pikirnya, dan hal-hal lain pada kesempatan lain. Semua jenis fenomena itu telah menyatu dalam
satu konfigurasi sosok seorang pengarang, menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Dalam masyarakat Jawa, kita mengenal ragam puisi sastra Jawa yang salah
satunya berupa tembang macapat
‘membaca empat’, yaitu tembang yang pemutusannya empat suku kata. Pengarang tembang biasanya akan memilih salah
satu jenis tembang yang bisa mewakili nada-nya dan itu telah tersedia
jenis-jenisnya. Misalnya, pengarang
memilih Asmaradana atau Durma.
Pengarang akan memilih tembang asmarandana untuk membingkai wacana yang
bertema rindu dendam asmara atau untuk merayu dalam percintaan. Kata asmaradana itu sendiri berasal dari kata
asmara dan dahana (api), yang memiliki makna harfiah "api asmara".
Karena itu, pola dalam puisinya—yang
menurut cerita tutur diciptakan oleh Sunan Giri—mengandung nada sedih, suatu kesedihan akibat dirundung
asmara. Atau memilih tembang Durma untuk mengungkapkan kemarahan,
cerita suatu peperangan, atau nasihat yang keras. Arti kata durma ini memang agak sulit ditemukan
dalam kamus, arti yang agak dekat hanyalah durmanggala
dan durmata. Kata pertama berarti
bersifat buruk atau kecelakaan; sedangkan kata kedua berarti buruk adatnya.
Pola persajakan durma yang menurut
tradisi tutur diciptakan oleh Sunan Bonang, memiliki nada keras, bengis, dan
kasar, sehingga metrum ini lebih tepat untuk wacana yang benada “keras” atau
marah.
Membaca
Kasunyatan [11]
Dalam khazanah sastra asli daerah di Indonesia,
atau pada sastra lamanya, pencipta karya atau masyarakat pendukungnya
membingkai sesuatu atau masalah dengan mengandalkan pada kasunyatan yang ia
hayati. Mengingat bahwa kerapkali hal
itu muncul dalam karya sastra daerah yang ada di “pedalaman” Indonesia,
kasunyatan ini menjadi kunci dalam mendekati, memaknai, dan memahami karya
tersebut.
Teori sastra atau prinsip-prinsip sastra yang
mengindonesia tentunya dihadapkan pada masalah mengembangkan teknik-teknik yang
mapan untuk menghayati dan memanfaatkan kenyataan serta memahami dan mengikuti
kasunyatan dengan segala implikasinya.
Sebagai contoh, apakah yang dialami orang-orang Balantak[12]
dalam cerita “Jin Padi” (Di Im Na Pae)
boleh disebut kasunyatan atau bukan.
Cerita ini merupakan cerita mitos yang berhubungan dengan unsur magis,
yaitu unsur kepercayaan masyarakat Balantak terhadap kekuatan gaib yang perlu
mereka perhitungkan dalam melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan. Mereka percaya bahwa padi mempunyai jin yang
menjaga padi yang mereka tanam. Oleh
karenanya, apabila akan menanam padi, mereka terlebih dahulu memberikan sesajen
kepada jin padi. Jika padi telah
dipanen, petani mengadakan upacara panenan walaupun panenan itu tidak berhasil
dengan baik. Jika sesajen serta upacara
sakral itu tidak dilaksanakan, masyarakat Balantak percaya bahwa jin padi akan
marah, dan akan mengganggu warga desa.
Gangguan dapat berupa wabah penyakit atau kegagalan panen waktu yang
akan datang. Cerita jin padi ini
diwariskan turun temurun dari orang tua, terutama pemuka adat, dan dipercayai
kebenarannya. Cerita ini pun
memperlihatkan bahwa masyarakat Balantak mempunyai kepercayaan bahwa ada
kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi segala aktivitas kehidupannya
sehari-hari.
Apakah
cerita itu kasunyatan? Untuk menjawab
pertanyaan ini kita berangkat dari pemaknaan kesadaran. Kita telah mengakui bahwa kesadaran adalah
sesuatu yang paling tinggi kualitasnya dibandingkan dengan hal-hal lain di
dunia ini. Sebab, ciri khas yang
membedakan manusia dari binatang adalah karena kesadarannya itu. Ungkapan itu ternyata lebih gampang diucapkan
oleh sembarang orang daripada kenyataannya.
Ada perhubungan tertentu antara kekuatan kesadaran dengan perasaan,
memori, dan pikiran bawah sadar. Semakin
kuat kesadarannya, semakin berkurang unsur-unsur lainnya. Nyatanya, beberapa persen perbuatan yang kita
lakukan dengan penuh kesadaran. Banyak
hal rutin kita lakukan hanya dengan kesadaran setengah-setengah, seperti
menggosok gigi, memasang kancing baju, bahkan kitapun baru sadar punya jempol
kaki ketika jempol itu terinjak orang lain.
Dalam hal memasang kancing baju, misalnya, bukankah
sering terjadi kelupaan satu atau dua kancing apabila kita sedang tergesa-gesa
dan baru tahu setelah diperingatkan orang lain.
Dari kenyataan-kenyataan di atas bolehlah dikatakan, sesungguhnya hanya
pada saat tertentu sajalah kita ini bertindak sebagai “jejer” (jati diri) manusia yang sadar. Barangkali kita akan merasa lebih cemas lagi
karena ternyata kesadaran itu sendiri sulit dibuktikan adanya. Hanya masing-masing kita sendiri yang
mengerti dan bisa menyatakan dirinya sadar.
Dengan perkataan lain hanya melalui direct
introspective appeal saja kesadaran kita dapat kita hayati dan alami
(Sutardja, 1997:97-104).
Kesadaran manusia yang bersifat khas itu merupakan arah dari proses alam itu sendiri
yang memang harus dibina. Kesadaran
seseorang berada di antara kutub “personaliti”
dan “impersonaliti”, yang “punya jati diri” dan “tak punya jati
diri”. Karenanya hal-hal yang menjurus
kepada “impersonaliti” perlu dijauhi untuk dirinya. Sejauh mana seseorang mampu mewujudkan
personalitas dalam dirinya, tergantung pada kasunyatannya. Kasunyatan memang bukan hasil proses interpretasi
ataupun proses penyimpulan (inferensi). Seperti telah disinggung di atas bahwa nada
muncul ketika kita menghadapi sebuah wacana atau perilaku sebuah masyarakat
yang kebetulan kita telah memiliki setumpuk bahan memori tentang mereka. Seketika memori bermunculan membentuk satu
nuansa yang menggelitik perasaan kita sedemikian rupa sehingga kita mendapat
gambaran sifat atau sosok yang sedang kita hadapi. Gambaran itulah
kasunyatan. Yang menarik ialah
kasunyatan yang terbuka bagi hati kita kadang-kadang berlawanan sekali dengan
kenyataan yang kita saksikan dengan mata kepala kita.
Membaca Pasemon
Pasemon dapat merupakan kesadaran kolektif, dapat
pula merupakan kesadaran individual.
Kesadaran individual adalah kesadaran yang muncul pada saat seseorang
secara intuitif menyaksikan “kasunyatan” ketika ia melihat atau membaca suatu
kejadian di luar dirinya. Dengan
demikian, kejadian atau peristiwa pada dunia kasatmata (fenomenal) merangsang munculnya “makna” dalam dunia tankasatmata. Perbedaan kenyataan fenomenal dan kasunyatan
yang tankasatmata adalah pada sifatnya: kontekstual dan keterikatan pada ruang
dan waktu pada kenyataan dan tak terikat waktu dan ruang pada kasunyatan. Jadi kasunyatan menunjuk pada kualitas secara
murni, sehingga bisa berlaku untuk banyak kejadian atau peristiwa yang berbeda
tetapi mengacu pada suatu semangat yang sama.
Pasemon biasanya berbentuk cerita yang dapat menunjukkan kasunyatan
tertentu. Ada dua macam pasemon, yaitu
pasemon tradisional dan modern (Sutardja, 1997).
Sebagai contoh, dalam sebuah televisi swasta beberapa bulan lalu pernah
disiarkan sebuah sinetron, yang diambil dari cerita Ramayana, tentang kelahiran
Hanoman. Saya melihat pasemon modern dan
tradisional berpadu di sana. Ceritanya
diambil dari cerita klasik dengan media pandang-dengar
yang modern. Pasemon yang menampak dalam
cerita tersebut ialah ciri-cirinya yang serba penuh lambang, serba simbolik.
Segala yang bersifat pasemon selalu memacu orang untuk memberikan tafsiran akan
makna pasemon tersebut. Jika kita simak
lakon kehidupan Hanoman yang dilukiskan dalam cerita tersebut (cerita tersebut
diambil dari Serat Lokapala) simbol apa gerangan yang
tersirat di dalamnya?
Kita dapat memahami simbol dalam cerita itu dengan
terlebih dahulu meneliti hadirnya cupu
manik asthagina yang menjadi
pangkal sebab terjadinya kisah yang penuh dramatik itu. Cupu merupakan suatu wadah berbentuk bundar berukuran kecil terbuat
dari kayu atau logam. Manik artinya
permata, melambangkan sesuatu yang indah edi-peni.
Asthagina artinya delapan macam sifat
yang harus dimiliki oleh seorang brahmana, yaitu (1) daya sarwa buthesu (belas kasih kepada sekalian makluk), (2) ksatim (suka memaafkan, sabar), (3) anasunyah (tidak kecewa atau menyesal),
(4) saucam (suci lahir batin) (5) anayasah (tidak mengeluarkan tenaga
berlebih-lebihan. Jw. nyengka, ngaya),
(6) manggalam (beritikad baik), (7) akarpanyah (tidak merasa miskin baik
dalam hal batiniah maupun lahiriah, begitu pula dalam hal budi), dan (8) asprebah
(tidak berkeinginan atau bahwa nafsu duniawi) (Timoer, 2003).
Kedelapan sifat tersebut mengibaratkan sesuatu yang harus mengisi alam
semesta yang disinari matahari. Matahari adalah sumber energi, dari sinilah cupu manik asthagina dilambangkan
sebagai energi keutamaan pang mengisi kehidupan jagat semesta. Tokoh-tokoh yang langsung terlibat dalam
kasus cupu manik ini ialah Resi
Gotama, Dewi Windradi, Subali, Sughriwa, Anjani, Batara Guru, dan Hanoman.
Kiranya kita semua sudah memaklumi bahwa tokoh-tokoh wayang dengan karakter dan
perilakunya itu melambangkan kehidupan manusia, dalam bahasa Jawa disebut 'wewayanganing ngaurip'.
Tokoh Resi Gotama digambarkan sebagai seorang brahmana yang memiliki
cita-cita luhur untuk kesempurnaan hidup, tetapi ia kurang memperhatikan
orang-orang sekelilingnya, termasuk istri dan anak-anaknya. Itu sebabnya ia
tidak mengetahui ulah istrinya yang “selingkuh” dengan Batara Surya. Windradi
lambang ego atau pribadi yang perilakunya menyeleweng dengan Batara Surya.
Batara Surya adalah Dewa Matahari, sumber daya kehidupan yang berisi segala
sifat kesempurnaan (cupu manik Asthagina),
tetapi daya sebaik apapun kalau disalah gunakan juga akan menjadi malapetaka.
Windradi menjadi arca batu oleh kutukan Gotama dan dibuang jauh-jauh, artinya
daya hati murni membuang daya akal yang mestinya harus menyatu.
Subali dan Sugriwa pun dikuasai oleh itikad-itikad tidak baik, yang ingin
memiliki cupu dengan pamrih, artinya mereka menginginkan kesempurnaan (asthagina) tetapi dengan disertai watak meri (iri) sedang kesempurnaan hidup
adalah darma tanpa pamrih. Akhirnya mereka berdua terkena mala, berubah menjadi kera. Anjani
memperoleh kesempurnaan (asthagina)
tanpa pamrih, murni, namun toh terkena imbas perilaku ibunya yang immoral.
Tubuhnya masih tubuh manusia, hanya muka, tangan dan kakinya yang berubah
menjadi muka, tangan dan kaki kera.
Batara guru sang dewaraja lambang supremasi manusia paling utama, ia
memberi makan daun sinom kepada Anjani yang sedang bertapa yang menyebabkan
kehamilannya adalah simbol semata menyatunya keutamaan (belas kasihan Batara
Guru) dan keprihatinan (Anjani dengan tapa-bratanya)
yang membuahkan lahirnya Hanoman.
Dengan demikian, Hanoman itu sendiri merupakan pasemon kesempurnaan yang
ada dalam cupu manik asthagina, maka
Hanoman dalam perjalanan hidupnya senantiasa energik memiliki delapan kekuatan
adikodrati (di atas kekuatan insaniah). Ia punya cita-cita tinggi, melakukan darma tanpa pamrih, menjadi wirotama yang mahambeg pinandhita. Menyatunya daya lahir dan batin menjadi satu
berkelana mengumpulkan kebenaran dan kearifan yang akan menjadi tahtanya eling
selaras dengan pengabdiannya yang setia kepada Prabu Ramawijaya Sang Wisnu
Murti. Hal ini dapatlah kita asumsikan bahwa Hanoman adalah personifikasi cupu manik asthagina itu sendiri.
Pasemon lain tampak pada cerita lisan, misalnya, kisah pertarungan Aji Saka
untuk membebaskan rakyat dari kanibalisme Prabu Dewatacengkar, lambang manusia
yang tamak dan suka makan daging manusia. Untuk usahanya itu, Aji Saka rela
menyerahkan dirinya untuk menjadi mangsa Dewatacengkar dengan imbalan bumi
selebar ikat kepalanya (udheng).
Namun, ketika udheng itu digelar,
semakin tambah lebar, melebar, dan melebar terus sampai akhirnya Dewatacengkar
terpental di Laut Selatan dan menjelma menjadi bajul (buaya) putih. Pasemon
apa yang bisa ditarik dari cerita itu?
Aji Saka itu lambang seorang pemimpin, yang disebut Sang Aji. Untuk
membebaskan rakyatnya, ia harus berani mengambil resiko, meski membawa korban
dirinya sendiri. Kiranya, untuk saat ini pun kita perlu Sang Aji, yang rela
mengorbankan diri dan kroninya, bahkan
berani “diplonco” DPR sekalipun. Sang
Aji yang kita perlukan adalah seseorang yang mau mbabar udheng agar bisa mudheng
(paham), mbabar akal dan nurani
memahami kehendak rakyat, untuk mengibaskan lawan-lawan yang ngregoni (merecoki) pemulihan ekonomi,
kepercayaan, dan politik di Indonesia.
Lalu, siapa lawan kita itu? Bajul
putih! Itu lambang bahaya negara. Yakni, mereka yang cenderung menggunakan
sistem peradaban (Barat?) sebagai kulit luarnya, dan mereka yang sangat lihai
memutihkan harta kekayaan pribadinya. Konsekuensinya bagi para sang Aji di
Indonesia, mereka harus berani melakukan introspeksi, mawas diri, atau mulat sarira. Dalam bahasa Jawa, mulat sarira itu merupakan tingkatan
ketiga setelah tepa salira
(tolerensi), dan nandhing sarira
(sosialisasi diri). Sementara kata sarira
itu, lengkapnya bisa sarira satunggal,
sarira sajati, atau sari-rasa-tunggal,
sari-rasa-jati. Intinya adalah pengolahan diri.
Sementara pelajaran, buku-buku, ilmu dan sebagainya, hanyalah sebagai guru
bakal. Sedang guru dadi-nya adalah mulat-sarira-diri.
Bisa dipahami jika para pujangga, para sarjana linuwih, ulama, pejabat, dan elit
politik dulu pada umumnya sedikit bicara, sabda
pandhita ratu, sepisan dadi tanperlu diklarifikasi. Tekanan pada pengolahan
diri itu adalah sebagai pembinaan kepribadian. Para pemuka masyarakat, para
pemimpin harus bisa asung tuladha,
golongan menengah mangun karsa, dan
masyarakat mayoritas tut wuri handayani. Dalam pewayangan, nandhing sarira itu menghasilkan diri dan kepribadian yang lain dan
berbeda. Misalnya aneka rupa dan ragam wayang kulit. Sedang tepa slira berarti bertemu dalam
kesamaan arti, yakni bayang-bayang kehidupan di tangan dalang yang tunggal.
Adapun mulat sarira itu bertemunya
dalang dengan "tuan rumah" yang nanggap
dalang bermain wayang.
Banyak karya sastra modern yang merupakan pasemon, karena
tidak sekedar bercerita tentang peristiwa saja. Pasemon semacam itu
sesungguhnya merupakan sindiran terhadap kenyataan yang sedang terjadi. Kekuatan pasemon terletak pada kasunyatan yang
disaksikan oleh pengarangnya. Di sini ada hubungan antara kasunyatan dengan
kenyataan. Kasunyatan menyoroti sebuah
kenyataan atau kejadian dengan menambahkan suatu dimensi tertentu sedemikian
rupa sehingga kejadian itu bisa dipahami secara menyeluruh dalam kaitannya
dengan proses kehidupan.
Contohnya adalah pasemon dari Umar Kayam yang terbaca
dalam cerpen Seribu Kunang-kunang di
Manhattan. Cerpen berlatar Amerika ini dinilai sebagai salah satu cerpen
terpenting dalam sejarah penulisan cerita pendek Indonesia. Cerpen ini sendiri
berkisah tentang Marno, mahasiswa Indonesia di AS yang menjalin cinta dengan
Jean, perempuan yang sudah bersuami. Marno sendiri meninggalkan seorang istri
di Indonesia.
Umar Kayam sendiri menciptakan Pak Ageng, tokoh fiktif
yang ia ciptakan untuk kolom mingguannya di Harian Kedaulatan Rakyat yang sangat menggelitik. Konon, sosok Pak Ageng sebenarnya adalah
personifikasi dari Umar Kayam sendiri. Dalam kolom yang sudah menjelma menjadi
empat buku, yaitu “Mangan Ora Mangan
Kumpul”, “Sugih Tanpa Bandha”, “Madhep Ngalor Sugih, Madep Ngidul Sugih”, dan “Satrio Piningit ing Kampung Pingit”,
Pak Ageng dilukiskan sebagai pensiunan Dirjen Radio dan Televisi, jabatan yang
memang pernah disandang Kayam, yang hidup bersama dua pembantu dan anak-anak
sang pembantu. Mereka adalah Mr. Rigen, Ms. Nansiyem dan dua anak mereka yang
bandel dan lucu. Sosok-sosok dalam kolom
yang hadir setiap hari Selasa itu seakan-akan hidup di tengah-tengah
pembacanya. Pak Ageng bersama dengan tim "kitchen cabinet"-nya mengomentari masalah-masalah aktual yang
tengah berkembang di masyarakat, dengan "pasemon-pasemon" Jawa yang lugu namun kritis. Wallahu Alam.
Daftar Pustaka
Cuddon, J. A. 1989. A Dictionary of Literary Term.
London:W&J Mackay Limited.
Effendi, Sofyan B. Kambay, Abd. Rahmad Tiban, 2000, Struktur Sastra Lisan Balantak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdiknas.
Ellen, R. and H. Harris.1996. "Concepts of Indigenous Environmental
Knowledge in Scientific and Development Studies Literature - A critical
Assessment", paper untuk East-West
Environmental Linkages Network Workshop 3, Canterbury, 8-10 Mei 1996, dalam http://www.kk.ecu.edu.au/papers/sforrest04.htm.
Esten, Mursal. (ed.). 1988. Menjelang
Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Gray, Martin. 1996. The Dictionary of
Literary Terms. London:Longman Group Ltd.
Hasjim, Nafron, dkk. 1993. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1975-1993. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdiknas.
Padmapuspita, Asia. 1981. Serat
Kandhaning Ringgit Purwa. Yogyakarta: Yayasan Centhini.
Ranggawarsita. 1987. Serat Cemporet. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusyana, Yus. 1993. “Keadaan
Penelitian Dewasa ini Tentang Sastra Daerah”dalam http://dbp.gov.my/mab2000/Penerbitan/Rampak/yr97.pdf .
----. 1994. Cerita-Cerita Nusantara
tentang Padi, Bukit Kekokohan dan Kelenturan Sebuah Komunitas Sastra,
makalah untuk Seminar Nasional Kajian Budaya Kawasan Timur Indonesia, Manado,
29 November - 1 Desember 1994.
Sutardja, I. 1997. Psikolinguistik,
Dasar-Dasar Epistemologi dan Static View.
Surakarta: UNS Press.
----. 2000. “The Relevance of
Aphorisms in the Study on the Austronesian Languages and Cultures with a
Psycholinguistic Approach” dalam Prosiding
Konperensi Antar Hubungan Bahasa dan Budaya di Kawasan Non-Austronesia.
Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM.
Tarno, dkk. 2000. Tuturan Ritual
dalam Sastra Lisan Lio. Jakarta: Pusat Bahasa.
Teeuw. 1982. Khazanah Sastra Indonesia, Beberapa Masalah
Penelitian dan Penyebarluasannya. Jakarta : Balai Pustaka.
Timoer, Soenarto. 2003. “Hanoman Sang Wirotama Mahambeg Pinandhita”
dalam http://wayang.i-2.co.id/arsip/hanoman1.htm.
Whorf, Benjamin Lee. 1956. Language, Thought and Reality: Selected
Writings of Benyamin Lee Whorf (Ed. John B. Carrol). Cambridge, Mass: MIT
Press.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas
Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
[1] Indigenenous
literature dipakai untuk menyebut sastra yang dihasilkan dan dikembangkan
oleh suatu masyarakat dengan budaya dan komunitas yang asli. Penelitian indigenenous literature mulai mendapat perhatian serius seiring
berkembangnya isu Indigeneous Knowledge, yang
digunakan secara sinonimi dengan ilmu ‘tradisional’ dan ‘lokal’ untuk
membedakan ilmu yang dikembangkan oleh suatu masyarakat yang terdefinisi dari
sitem ilmu internasional atau yang disebut sistem “Barat”, yang diturunkan melalui universitas,
pusat-pusat penelitian pemerintah, dan industri swasta (Ellen, 1996).
[2] Sebagai
gambaran, kita gunakan data sepuluh tahun lalu tentang kegiatan penelitian sastra-sastra
asli di daerah yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) pada kurun waktu 1975-1993, yaitu (1) Aceh,
Alas, Gayo (di Aceh); (2) Batak Angkola, Batak Simalungun, Karo, Melayu Medan,
Melayu Langkat; (3) Melayu Panai, Melayu Serdang (di Sumatra Utara); (4)
Mentawai, Minangkabau (di Sumatra Barat); (5) Kerinci, Melayu Jambi (di Jambi);
(6) Melayu Riau, Talang Mamak (di Riau); (7) Kayu Agung, Komering, Melayu
Bangka, Melayu Belitung, Musi (di Sumatra Selatan); (8) Lampung, Dialek Abung,
Dialek Pesisir (di Lampung); (9) Melayu Betawi (di DKI Jakarta); (10) Sunda (di
Sunda Barat); (11) Jawa (di Jawa Tengah, DI Yogyakarta; (12) Jawa, Madura (di
Jawa Tmur); (13) Iban, Melayu Sambas, Sangen (di Kalimantan Barat); (14) Banjar
(di Kalimantan Selatan); (15) Bantik, Sangir, Talaud, Totemboan (di Sulawesi
Utara); (16) Kaili, Mori, Saluan, Toli-Toli (di Sulawesi Tengah); (17) Tolaki,
Wolio (di Sulawesi Tenggara); (18) Bugis, Mandar, Toraja Saídan (di Sulawesi
Selatan); (19) Bali (di Bali); (20) Sasak, Sumbawa (di Nusa Tenggara Barat);
(21) Abui, Dawan, Roti (di Nusa Tenggara Timur); (22) Tetum Belu, Tetun (di
Timor Timur); (23) Alune, Kei (di Maluku) (Hasjim, dkk., 1993). Adapun selama kurun waktu 1975—1998, penelitian
sastra secara umum sebanyak 464 topik.
[3] Seperti yang dilakukan di Amerika dengan suku-suku
Indian-nya dan di Australia dengan suku Aborigin-nya. Istilah revitalisasi indigenous literature ini mungkin sulit diterjemahkan untuk hal yang sama di
Indonesia seperti gerakan Revitalisasi
Sastra Pedalaman yang pernah ada.
[4]
Misalnya, penelitian terhadap mitos padi menunjukkan bahwa dalam sastra
daerah se-Indonesia terdapat pola dasar yang sama, lalu berkembang menjadi pola
yang beraksesori dan keislaman, sebagai hasil komunikasi dengan unsur-unsur
baru (lihat Rusyana, 1994).
[5] Telah banyak gagasan, baik dalam tulisan di surat kabar,
majalah, maupun dalam diskusi serta seminar sastra. Misalnya, pada tahun 1988 (23—26 Maret)
Universitas Bung Hatta berkerjasama dengan HISKI dan Pusat Bahasa mengadakan
seminar sastra yang bertema Menjelang
Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Banyak gagasan menarik
tentang upaya menemukan ilmu dan kritik sastra khas Indonesia, di antaranya
makalah dari Subagio Sastrowardoyo, Budi Darma, Riris K. Toha Sarumpaet, Umar
Junus, dll.
[6] Metode ini diungkapkan oleh I. Sutardja dalam mata
kuliah sosiologi sastra dan psikolinguistik pada program sarjana di UNS serta
mata kuliah psikolinguistik pada program pasacasarjana di UNS dan UGM (yang
kebetulan penulis mengikuti kedua-duanya).
Pada dasarnya, metode ini untuk membedakan pandangan
sastra/psikolinguistik sebagai “seni berkomunikasi” dan sebagai “ilmu
pengetahuan”. Pada ilmu pengetahuan,
sasarannya adalah “tahu”, sedangkan sebagai seni berkomunikasi sasarannya
adalah keberhasilan dalam berkomunikasi.
[7] Puisi Lisan Lio ini merupakan salah satu jenis sastra
lisan Lio, selain oro (nyanyian
bersama) dan nyanyian ratapan. Sastra
lisan ini eksis dengan cara dituturkan dan disebarluaskan dengan bahasa
Lio. Orang-orang Lio merupakan, penduduk
asli yang menempati sebagian Kabupaten Ende di Nusa Tenggara Timur. Wilayah persebarannya meliputi Kecamatan:
Detusoko, Ndona, Maurole, dan Wolowaru (Tarno, dkk. 2000:2-3).
[8] Puisi lisan ini biasanya dinyanyikan saat hendak membuka
kebun baru atau bercocok tanam, yang bertujuan untuk mengusir roh jahat.
[9] Tuturan ini sebagai doa yang disampaikan pada upacara
penguburan orang dewasa yang meninggal dunia karena sakit. Puisi semacam ini variannya sangat banyak dan
nilainya sakralnya masih sangat berpengaruh.
“The reflection of writer’s attitude
(especially towards his readers), manner, mood, and moral outlook in his work,
even perhaps the way his personality pervades the work. The counterpart of tone of voice in speech,
which may be friendly, detached, pompous, officious, intimate, bantering and so
forth.”
[11] Kasunyatan dapat diartikan untuk menyatakan hal yang ada
di luar wujud nyata yang ada pada suatu benda, objek, referen, atau peristiwa
itu sendiri.
[12] Nama Balantak di samping sebagai nama bahasa juga
berfungsi sebagai nama suku, yaitu suku Balantak yang bermukim di Kecamatan
Balantak dan Lamala, Kabupaten Luwuk Banggai, Sulawesi Tengah. (Effendi,
Kambay, Tiban, 2000:4-5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar