Selasa, 17 Desember 2013

Refleksi Sastra Sumatra Barat

OLEH Gus tf
Kolektor dan Pekerja Puisi

Pembicaraan atau diskusi dengan topik “Refleksi Sastra Sumatra Barat”, menurut hemat saya, baik dibatasi dengan, pertama, agar tidak melebar dan lebih dalam, pembicaraan difokuskan pada dua atau tiga dasawarsa terakhir. Dengan demikian pem-bicaraan akan sangat mungkin hanya tentang karya sastra yang penulisnya masih hidup, dan diharapkan berada di ruangan ini. Pun sebenarnyalah, apa guna, atau arti, kata “refleksi” bagi mereka yang telah mati? Dan oleh karenanya, kedua, izinkanlah saya untuk mungkin  akan bicara lebih banyak tentang orang-orang, tentang para penulis, dibanding karya sastra. Bukan hanya karena kata “refleksi” membuat saya mesti berketat dengan para pelaku sastra, melainkan keniscayaan bahwa topik kita kali ini hanya akan omong kosong tanpa melibatkan impuls dan daya-juang sastrawan untuk sesuatu yang di kemudian hari mungkin disebut “pencapaian”. 
Harap, Cemas

Pada paruh pertama dua dasawarsa terakhir, kita memiliki Bako, Warisan, dan sejumlah drama Wisran Hadi, menyusul Robohnya Surau Kami dan sejumlah karya AA Navis lain yang bagai “pemain” tunggal se-panjang dua atau tiga dasawarsa sebelumnya. Pada paruh kedua berikutnya kita memiliki Tamu, dengan Kemarau dan sejumlah cerpen lain seperti Jodoh yang diterbitkan kembali. Pada paruh ini AA Navis dan Wisran Hadi bagai ganti-berganti memperoleh peng-hargaan dan prestasi. Apresiasi yang pantas juga perlu kita berikan kepada Sembilu Darah, yang membuat Rusli Marzuki Saria memperoleh penghargaan pertama kali. Kecuali itu, konsistensi AA Navis; ketidakhilangan Harris Effendi Thahar; munculnya Yusrizal KW dan Ismet Fanany yang diperlihatkan dalam kumpulan cerpen Kompas, adalah hal lain yang patut kita cermati.

Pada paruh kedua ini pula, melalui berbagai iven lomba dan publikasi yang luas, kita juga mencatat  munculnya Adri Sandra dan Iyut Fitra. Patut pula dica-tat Khairul Jasmi dan Ode Barta Ananda, yang selain publikasi karya mereka mulai meluas, cerpen-cerpen mereka adalah nomine cerpen terbaik Indonesia Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998. Catatan serupa, dengan berbagai silang-pendapat (antara kebanggaan dan kecemasan, antara angguk takzim dan cemoohan), akan bisa diteruskan. Tetapi, yang kemudian segera menyergap saya, adalah kenyataan begitu banyak nama dengan begitu banyak karya timbul-tenggelam mencuat-menghilang dalam belantara kesusastraan di daerah kita. Alwi Karmena, Syarifuddin Arifin, Asri Rosdi, Amran SN, Sofia Trisni, Alda Wimar, Inriani, Dasril Ahmad, Yunizar Nassyam, Armeynd Sufhasril, Yeyen Kiram, Nelson Alwi, adalah beberapa nama di antara mereka.

Ada juga yang tetap menulis, tetapi tampaknya memiliki masalah akan kontinuitas. Di antara mereka dapat saya sebut Upita Agustine, Hasanuddin WS, Emral Jamal, Ahmad Gazali, Asril Koto, Abrar Khairul Ikhirma, Nita Indrawati Arifin, Yurnaldi, Syofiardi Bachyul JB, Prel T, Ichwanul Arif, Nasrul Azwar, Fadlillah, Yusril, Yusril Ardanis Sirompak, Hary B Kori’un, Yaan ZN, Luzi Diamanda, Eddie MNS Soemanto, Ratna Komala Sari, Abdulkadir Linin. Ada pula yang tampak tidak memiliki masalah, tetapi bukan “garansi” bahwa kita tak perlu cemas mereka bakal hilang. Irman Syah, Wannofri Samry, M Isa Gautama, Eddy Pranata PNP adalah beberapa nama yang saya pikir ada di kategori ini. Dan akhirnya kalau rajin mengamati, ada gelombang terakhir seperti Meifrizal, S Metron M, A Hernawan, Sondri BS dan beberapa nama lagi yang siap mewarnai dunia kesusastraan Indonesia di Su-matra Barat.

Segera tampak, begitu banyak potensi. Belum lagi nama yang saya tak ingat dan puluhan (mungkin ra-tusan) nama lain yang telah “mati”. Mendadak ada yang janggal, ada yang ganjil, dalam dunia kesusastraan kita: Perbandingan jumlah pelaku sastra sama sekali tak signifikan dengan karya sastra yang patut dicatat. Jumlah karya sastra yang kita miliki terlalu sangat ke-cil dibanding jumlah sastrawan yang kita punya. Maka, di manakah, atau faktor apakah, sebab atau sumber persoalannya?

Akar

Apakah sebab seorang sastrawan tak mampu me-lahirkan karya sastra yang patut diperhitungkan atau dicatat, sebenarnya adalah pertanyaan klasik. Dan jawaban yang juga klasik, adalah karena si sastrawan kurang atau tak memiliki daya-juang, kurang atau tak mau terus belajar, kurang atau tak selalu menambah wawasan. Akan tetapi, apakah sebenarnya sebab-sebab seperti itu muncul, dan ada, dalam diri sastrawan?

Sepanjang yang saya amati, sastrawan atau pelaku-pelaku sastra di daerah kita adalah pelaku-pelaku sastra yang cepat terbeban. Begitu seseorang mulai tampak jadi bakal calon penulis atau pengarang mi-salnya, ada saja mulut yang segera menyebut-nyebut soal visi, akar, aleh-bakua, dan yang semacamnya. Me-nurut hemat saya, ini sungguh kontraproduktif karena kerja (proses) kreatif sebenarnya adalah laku terbuka tanpa beban. Untuk menulis, seseorang harus berada dalam keadaan ringan, enjoy, bermain-main. Maka beban, atau apa pun keharusan, mestinya nonsen.

Kata-kata visi, akar, aleh-bakua, telah membuat se-orang bakal calon pengarang bagai berada di mesin jagal. Seseorang melesat seperti meteor dan kemudian hilang; akan begitulah. Bahkan, untuk seorang penga-rang yang bukan bakal calon pun, semua kata itu tak penting. “Keterbukaan” (proses) kreatif dalam keya-kinan saya, telah lebih dari segalanya. Seperti rumah, seluruh dindingnya adalah jendela. Seperti black-hole, ia menganga, menyerap apa pun yang melesat me-layang di jagat raya. Visi, aleh-bakua, semua akan ter-sedot, datang sendiri ke kebesaran (baca: kemuliaan) manusia. Dan akar, tradisi, apakah yang benar-benar dapat dikatakan akar atau tradisi kebudayaan kita? Adakah sesuatu yang benar-benar bisa disebut sebagai asli “produk” Minangkabau? Bahkan di kampung saya, dalam barih balabeh Luhak Limopuluah yang menceri-takan tentang Si Jambi anak Rajo di Ranah (salah seorang pemegang Ulayat Limo Rajo di Talago Gantiang) disebutkan, bahwa Si Jambi hanya bisa disunat de-ngan pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya. Sebuah kisah lain versi dari mitologi Hindu yang juga ada versi lainnya dalam mitologi Yunani. Kata Jostein Gaarder, bukti fisik bisa lenyap atau dilenyapkan; tetapi bukti kultural tidak.

Kebersetujuan, Asketik

Bentuk lain keterbebanan bakal calon sastrawan di daerah kita, saya kira, karena terlalu sungkan dan mu-dah kagum kepada beberapa sastrawan generasi sebe-lumnya. Sikap ini tidaklah jelek jika tak disertai de-ngan semangat berserah, yang membuat bakal calon pelaku sastra bagai kehilangan keyakinan (bahkan ke-percayaan) pada diri sendiri.

Sepanjang pengamatan saya, hal ini terutama terjadi pada calon pelaku sastra (yang karena satu dan lain hal berada) di lingkar komunitas Wisran Hadi. Komen-tar atau kalimat-kalimat Wisran Hadi yang mestinya dijadikan bandingan, menjadi kontraproduktif karena disikapi sebagai kebenaran. Di sini, sebenarnya, se-suatu yang tragis telah terjadi. Keberbedaan, sebagai “unsur” dan sifat dasar dari kreativitas, terbunuh. Yang akan serta-merta naik adalah keseragaman, kesamaan pendapat, kebersetujuan. Sampai di sini saya ingat Mark Twain. Katanya, “Bukanlah sesuatu yang hebat jika kita berpikir serupa; perbedaan pendapatlah yang membuat kuda terpacu.”  Dan kini tak ada kuda. Tak ada pacuan. Seseorang melesat seperti meteor dan ke-mudian hilang.

Dan yang juga buruk, sifat kritis menjadi lenyap. Da-lam konteks Wisran Hadi ini misalnya, kita begitu saja percaya bahwa Tamu  (apalagi telah mendapat hadiah Buku Utama dari IKAPI) adalah novel yang bagus. Kita tidak berusaha melihat misalnya, bahwa kita sebe-narnya tak mendapat gambaran yang kongkret tentang kawasan kecil yang terjepit oleh Perumnas, seperti yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Atau Orang-orang Blanti, tidakkah novel Wisran itu menjemukan? Hampir di tiap bagian kita didedahi cebar pikiran, di mana dengan itu pengarangnya meringkus atau mela-kukan pembenaran. Juga terhadap karya lain seperti Bako  dan Warisan. Tidakkah pada Bako kita berha-dapan dengan teks yang cenderung biografis di tengah-tengah tokoh-tokoh lain yang sebenarnya potensial multi-konflik? Novel itu, mestinya, bisa lebih “besar” dari bentuk atau keberadaannya sekarang. Dan Warisan, dilihat dari penampilan tokohnya yang seperti James Bond, saya kira itu novel pop.

Titik di mana terdapat kesamaan pendapat, tempat di mana lahir kata setuju, di situ kreativitas beku. Maka untuk bisa mencipta, tak lain, para pelaku sastra harus berpaling kepada dirinya. Dirinya adalah besar, dirinya adalah berbeda. Ia mesti menghargai manusia dalam dirinya, yang memliki elan; yang memiliki keajaiban, yang dipercayakan Tuhan – sebagai kemuliaan – kepadanya. Dalam konteks kreatif, tak dapat tidak, ia adalah makhluk asketik.

Penutup

Menutup refleksi ringkas ini, kita berharap di bela-kang hari semakin kurang para pelaku sastra yang “mati”. Untuk lebih memberi iklim, dalam pikiran saya, kita mestinya juga mempunyai sejumlah penulis esai sastra di daerah ini. Pemikiran yang tajam dan cerdas, akan sangat berguna bagi para pelaku sastra untuk memperluas wawasan dan bandingan. Kenapa saya ka-takan esais sastra dan bukan kritikus sastra, karena kritikus sastra di Indonesia lebih sering bertumpu pada teori dan teks sastra, tanpa menyentuh wilayah yang penting dan mendasar yang disebut proses.

Sebenarnya kita memeliki beberapa nama yang saya kira potensial untuk itu. Ivan Adilla, Hasanuddin WS, Suryadi, M Yusuf, Elfialdi, Fadlillah, Nasrul Azwar, AD Erizal, Yusriwal, Wannofri Samry, A Hernawan adalah beberapa di antara mereka. Mursal Esten adalah nama yang juga pernah sangat saya harap, tetapi sayang ru-panya ia lebih tertarik kepada dunia yang lebih “besar” bernama kebudayaan.

Akhirnya, kita tunggu masa depaan dari karya-karya yang baru terbit seperi Parewa, Nyanyian Anak Cucu, Hadiah dari Rantau, Ketika Jenderal Pulang, Orang-orang Blanti, dan Dermaga Lima Sekoci.  Kita berterima kasih kepada penerbit Angkasa dan Citra Budaya Indonesia yang agaknya telah memberi peluang dan era baru dalam dunia kesusastraan Indonesia di Sumatra Barat. Apalagi kita tahu, sebentar lagi juga bakal terbit Si Padang (kumpulan cerpen karya Harris Effendi Thahar Si Padang  sudah diterbitkan Kompas tahun 2003-editor), Sang Pengeluh, Simpang, Empat Lakon Perang Paderi (kumpulan naskah drama karya Wisran Hadi sudah diterbitkan oleh Angkasa Bandung tahun 2002-editor), dan Darat tak Bertepi.  Siapa tahu, di antara karya-karya itu ada yang menyusul popularitas Warisan, Bako, dan bahkan Robohnya Surau Kami.

Catatan
Tulisan ini pada seminar “Refleksi Sastra Sumatra Barat” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat 10 Januari 2001 dan dimuat dalam buku “Menyulam Visi: Catatan DKSB”.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...