OLEH Gus tf
Kolektor dan Pekerja Puisi
Pembicaraan atau
diskusi dengan topik “Refleksi Sastra Sumatra Barat”, menurut hemat saya, baik
dibatasi dengan, pertama, agar tidak
melebar dan lebih dalam, pembicaraan difokuskan pada dua atau tiga dasawarsa
terakhir. Dengan demikian pem-bicaraan akan sangat mungkin hanya tentang karya
sastra yang penulisnya masih hidup, dan diharapkan berada di ruangan ini. Pun
sebenarnyalah, apa guna, atau arti, kata “refleksi” bagi mereka yang telah
mati? Dan oleh karenanya, kedua,
izinkanlah saya untuk mungkin akan
bicara lebih banyak tentang orang-orang, tentang para penulis, dibanding karya
sastra. Bukan hanya karena kata “refleksi” membuat saya mesti berketat dengan
para pelaku sastra, melainkan keniscayaan bahwa topik kita kali ini hanya akan
omong kosong tanpa melibatkan impuls dan daya-juang sastrawan untuk sesuatu
yang di kemudian hari mungkin disebut “pencapaian”.
Harap,
Cemas
Pada paruh pertama dua dasawarsa
terakhir, kita memiliki Bako, Warisan,
dan sejumlah drama Wisran Hadi, menyusul Robohnya
Surau Kami dan sejumlah karya AA Navis lain yang bagai “pemain” tunggal
se-panjang dua atau tiga dasawarsa sebelumnya. Pada paruh kedua berikutnya kita
memiliki Tamu, dengan Kemarau dan sejumlah cerpen lain seperti
Jodoh yang diterbitkan kembali. Pada
paruh ini AA Navis dan Wisran Hadi bagai ganti-berganti memperoleh peng-hargaan
dan prestasi. Apresiasi yang pantas juga perlu kita berikan kepada Sembilu Darah, yang membuat Rusli
Marzuki Saria memperoleh penghargaan pertama kali. Kecuali itu, konsistensi AA
Navis; ketidakhilangan Harris Effendi Thahar; munculnya Yusrizal KW dan Ismet
Fanany yang diperlihatkan dalam kumpulan cerpen Kompas, adalah hal lain yang patut kita cermati.
Pada paruh kedua ini pula, melalui
berbagai iven lomba dan publikasi yang luas, kita juga mencatat munculnya Adri Sandra dan Iyut Fitra. Patut
pula dica-tat Khairul Jasmi dan Ode Barta Ananda, yang selain publikasi karya
mereka mulai meluas, cerpen-cerpen mereka adalah nomine cerpen terbaik Indonesia Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 1998.
Catatan serupa, dengan berbagai silang-pendapat (antara kebanggaan dan
kecemasan, antara angguk takzim dan cemoohan), akan bisa diteruskan. Tetapi,
yang kemudian segera menyergap saya, adalah kenyataan begitu banyak nama dengan
begitu banyak karya timbul-tenggelam mencuat-menghilang dalam belantara
kesusastraan di daerah kita. Alwi Karmena, Syarifuddin Arifin, Asri Rosdi,
Amran SN, Sofia Trisni, Alda Wimar, Inriani, Dasril Ahmad, Yunizar Nassyam,
Armeynd Sufhasril, Yeyen Kiram, Nelson Alwi, adalah beberapa nama di antara
mereka.
Ada juga yang tetap menulis, tetapi
tampaknya memiliki masalah akan kontinuitas. Di antara mereka dapat saya sebut
Upita Agustine, Hasanuddin WS, Emral Jamal, Ahmad Gazali, Asril Koto, Abrar
Khairul Ikhirma, Nita Indrawati Arifin, Yurnaldi, Syofiardi Bachyul JB, Prel T,
Ichwanul Arif, Nasrul Azwar, Fadlillah, Yusril, Yusril Ardanis Sirompak, Hary B
Kori’un, Yaan ZN, Luzi Diamanda, Eddie MNS Soemanto, Ratna Komala Sari,
Abdulkadir Linin. Ada pula yang tampak tidak memiliki masalah, tetapi bukan
“garansi” bahwa kita tak perlu cemas mereka bakal hilang. Irman Syah, Wannofri
Samry, M Isa Gautama, Eddy Pranata PNP adalah beberapa nama yang saya pikir ada
di kategori ini. Dan akhirnya kalau rajin mengamati, ada gelombang terakhir
seperti Meifrizal, S Metron M, A Hernawan, Sondri BS dan beberapa nama lagi
yang siap mewarnai dunia kesusastraan Indonesia di Su-matra Barat.
Segera tampak, begitu banyak potensi.
Belum lagi nama yang saya tak ingat dan puluhan (mungkin ra-tusan) nama lain
yang telah “mati”. Mendadak ada yang janggal, ada yang ganjil, dalam dunia
kesusastraan kita: Perbandingan jumlah pelaku sastra sama sekali tak signifikan
dengan karya sastra yang patut dicatat. Jumlah karya sastra yang kita miliki
terlalu sangat ke-cil dibanding jumlah sastrawan yang kita punya. Maka, di
manakah, atau faktor apakah, sebab atau sumber persoalannya?
Akar
Apakah sebab seorang sastrawan tak
mampu me-lahirkan karya sastra yang patut diperhitungkan atau dicatat,
sebenarnya adalah pertanyaan klasik. Dan jawaban yang juga klasik, adalah
karena si sastrawan kurang atau tak memiliki daya-juang, kurang atau tak mau
terus belajar, kurang atau tak selalu menambah wawasan. Akan tetapi, apakah
sebenarnya sebab-sebab seperti itu muncul, dan ada, dalam diri sastrawan?
Sepanjang yang saya amati, sastrawan
atau pelaku-pelaku sastra di daerah kita adalah pelaku-pelaku sastra yang cepat
terbeban. Begitu seseorang mulai tampak jadi bakal calon penulis atau pengarang
mi-salnya, ada saja mulut yang segera menyebut-nyebut soal visi, akar, aleh-bakua, dan yang semacamnya.
Me-nurut hemat saya, ini sungguh kontraproduktif karena kerja (proses) kreatif
sebenarnya adalah laku terbuka tanpa beban. Untuk menulis, seseorang harus
berada dalam keadaan ringan, enjoy,
bermain-main. Maka beban, atau apa pun keharusan,
mestinya nonsen.
Kata-kata visi, akar, aleh-bakua, telah membuat se-orang bakal
calon pengarang bagai berada di mesin jagal. Seseorang melesat seperti meteor
dan kemudian hilang; akan begitulah. Bahkan, untuk seorang penga-rang yang
bukan bakal calon pun, semua kata itu tak penting. “Keterbukaan” (proses)
kreatif dalam keya-kinan saya, telah lebih dari segalanya. Seperti rumah,
seluruh dindingnya adalah jendela. Seperti black-hole,
ia menganga, menyerap apa pun yang melesat me-layang di jagat raya. Visi, aleh-bakua, semua akan ter-sedot, datang
sendiri ke kebesaran (baca: kemuliaan) manusia. Dan akar, tradisi, apakah yang
benar-benar dapat dikatakan akar atau tradisi kebudayaan kita? Adakah sesuatu
yang benar-benar bisa disebut sebagai asli “produk” Minangkabau? Bahkan di
kampung saya, dalam barih balabeh
Luhak Limopuluah yang menceri-takan tentang Si Jambi anak Rajo di Ranah (salah
seorang pemegang Ulayat Limo Rajo di Talago Gantiang) disebutkan, bahwa Si
Jambi hanya bisa disunat de-ngan pisau yang dilahirkan si ibu bersamanya.
Sebuah kisah lain versi dari mitologi Hindu yang juga ada versi lainnya dalam
mitologi Yunani. Kata Jostein Gaarder, bukti fisik bisa lenyap atau
dilenyapkan; tetapi bukti kultural tidak.
Kebersetujuan,
Asketik
Bentuk lain keterbebanan bakal calon
sastrawan di daerah kita, saya kira, karena terlalu sungkan dan mu-dah kagum
kepada beberapa sastrawan generasi sebe-lumnya. Sikap ini tidaklah jelek jika
tak disertai de-ngan semangat berserah, yang membuat bakal calon pelaku sastra
bagai kehilangan keyakinan (bahkan ke-percayaan) pada diri sendiri.
Sepanjang pengamatan saya, hal ini terutama
terjadi pada calon pelaku sastra (yang karena satu dan lain hal berada) di
lingkar komunitas Wisran Hadi. Komen-tar atau kalimat-kalimat Wisran Hadi yang
mestinya dijadikan bandingan, menjadi kontraproduktif karena disikapi sebagai
kebenaran. Di sini, sebenarnya, se-suatu yang tragis telah terjadi.
Keberbedaan, sebagai “unsur” dan sifat dasar dari kreativitas, terbunuh. Yang
akan serta-merta naik adalah keseragaman, kesamaan pendapat, kebersetujuan.
Sampai di sini saya ingat Mark Twain. Katanya, “Bukanlah sesuatu yang hebat
jika kita berpikir serupa; perbedaan pendapatlah yang membuat kuda
terpacu.” Dan kini tak ada kuda. Tak ada
pacuan. Seseorang melesat seperti meteor dan ke-mudian hilang.
Dan yang juga buruk, sifat kritis
menjadi lenyap. Da-lam konteks Wisran Hadi ini misalnya, kita begitu saja
percaya bahwa Tamu (apalagi telah mendapat hadiah Buku Utama dari
IKAPI) adalah novel yang bagus. Kita tidak berusaha melihat misalnya, bahwa
kita sebe-narnya tak mendapat gambaran yang kongkret tentang kawasan kecil yang
terjepit oleh Perumnas, seperti yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Atau Orang-orang Blanti, tidakkah novel
Wisran itu menjemukan? Hampir di tiap bagian kita didedahi cebar pikiran, di
mana dengan itu pengarangnya meringkus atau mela-kukan pembenaran. Juga
terhadap karya lain seperti Bako dan Warisan.
Tidakkah pada Bako kita berha-dapan
dengan teks yang cenderung biografis di tengah-tengah tokoh-tokoh lain yang
sebenarnya potensial multi-konflik? Novel itu, mestinya, bisa lebih “besar” dari
bentuk atau keberadaannya sekarang. Dan Warisan,
dilihat dari penampilan tokohnya yang seperti James Bond, saya kira itu novel
pop.
Titik di mana terdapat kesamaan
pendapat, tempat di mana lahir kata setuju, di situ kreativitas beku. Maka
untuk bisa mencipta, tak lain, para pelaku sastra harus berpaling kepada
dirinya. Dirinya adalah besar, dirinya adalah berbeda. Ia mesti menghargai
manusia dalam dirinya, yang memliki elan;
yang memiliki keajaiban, yang dipercayakan Tuhan – sebagai kemuliaan – kepadanya.
Dalam konteks kreatif, tak dapat tidak, ia adalah makhluk asketik.
Penutup
Menutup refleksi ringkas ini, kita
berharap di bela-kang hari semakin kurang para pelaku sastra yang “mati”. Untuk
lebih memberi iklim, dalam pikiran saya, kita mestinya juga mempunyai sejumlah
penulis esai sastra di daerah ini. Pemikiran yang tajam dan cerdas, akan sangat
berguna bagi para pelaku sastra untuk memperluas wawasan dan bandingan. Kenapa
saya ka-takan esais sastra dan bukan kritikus sastra, karena kritikus sastra di
Indonesia lebih sering bertumpu pada teori dan teks sastra, tanpa menyentuh
wilayah yang penting dan mendasar yang disebut proses.
Sebenarnya kita memeliki beberapa nama
yang saya kira potensial untuk itu. Ivan Adilla, Hasanuddin WS, Suryadi, M
Yusuf, Elfialdi, Fadlillah, Nasrul Azwar, AD Erizal, Yusriwal, Wannofri Samry,
A Hernawan adalah beberapa di antara mereka. Mursal Esten adalah nama yang juga
pernah sangat saya harap, tetapi sayang ru-panya ia lebih tertarik kepada dunia
yang lebih “besar” bernama kebudayaan.
Akhirnya, kita tunggu masa depaan dari
karya-karya yang baru terbit seperi Parewa,
Nyanyian Anak Cucu, Hadiah dari Rantau, Ketika Jenderal Pulang, Orang-orang
Blanti, dan Dermaga Lima Sekoci. Kita berterima kasih kepada penerbit Angkasa dan Citra Budaya Indonesia yang agaknya telah memberi peluang dan era
baru dalam dunia kesusastraan Indonesia di Sumatra Barat. Apalagi kita tahu,
sebentar lagi juga bakal terbit Si Padang
(kumpulan cerpen karya Harris Effendi Thahar Si Padang sudah diterbitkan Kompas tahun 2003-editor), Sang Pengeluh, Simpang, Empat Lakon Perang
Paderi (kumpulan naskah drama karya
Wisran Hadi sudah diterbitkan oleh Angkasa
Bandung tahun 2002-editor), dan Darat tak Bertepi. Siapa
tahu, di antara karya-karya itu ada yang menyusul popularitas Warisan, Bako, dan bahkan Robohnya Surau Kami.
Catatan
Tulisan ini pada seminar “Refleksi Sastra
Sumatra Barat” yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat 10
Januari 2001 dan dimuat dalam buku “Menyulam Visi: Catatan DKSB”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar