OLEH Ivan Adilla
Kritikus Sastra
Ivan Adilla |
Refleksi adalah menapak jejak masa lalu. Untuk tidak terlalu
menyulitkan, jejak yang ingin ditapaki kali ini adalah yang berkaitan dengan
kritik sastra, yang dari sana kita bisa melebarkannya ke bidang seni lain juga.
Dirumuskan dengan pendek, tahun-tahun yang kita lalui sejak
dua atau tiga puluh tahun yang lalu diakhiri dengan ironi yang menguat. Dunia
sastra dan seni pada umumnya di Sumatra Barat menutup abad ini dengan ironi.
Ironi itu adalah; Ironi pertama, semakin banyak sastrawan muncul, semakin baik
mutu karya, tetapi semakin tak ada kritik dan kritikus yang dengan setia dan
tekun mengamati itu semua. Ironi kedua, semakin banyak perguruan tinggi sastra
dibuat, semakin banyak alumnus dan sarjana sastra, semakin tak ada kritikus
yang lahir. Ironi ketiga, dugaan bahwa Fakultas Sastra adalah ujian yang
menakutkan untuk calon kritikus, kini telah memper-lihatkan kenyataannya.
Padahal, sebaliknya, pergu-ruan tinggi untuk menulis karya sasrta tak pernah
ada tetapi sastrawan makin banyak.
Ironi
Pertama
Masa lima tahun terakhir merupakan musim pemenang untuk bagi
para sastrawan Sumatra Barat. Hampir selalu dalam lomba penulisan karya sastra,
sas-trawan dari daerah ini menjadi salah seorang peme-nang. Bahkan dalam
beberapa kasus, mereka mendo-minasi para unggulan. Hal itu misalnya terjadi
dalam berbagai lomba penulisan puisi yang diadakan oleh ber-bagai komunitas dan
lembaga di Jawa dan Bali, ter-utama. Dan dalam beberapa tahun ini juga,
sastrawan Wisran Hadi, Rusli Marzuki Saria, AA Navis menerima penghargaan di tingkat nasional mau
pun regional ber-dasarkan penilaian terhadap prestasi karya mereka. Di kalangan
muda-muda, banyak sastrawan bermun-culan dan memperlihatkan kekuatan dan
dinamika mereka. Bisa dikatakan bahwa dari segi kreator, kini sedang terjadi
siklus pertumbuhan dan kemunculan para sastrawan untuk daerah Sumatra Barat.
Kesuburan para sastrawan ini sama sekali tidak mendapat
perhatian yang berimbang dari bidang kiritik. Banyak karya yang diluncurkan,
banyak karya ditulis, tetapi bisa dikatakan bahwa hampir tidak ada generasi
baru dari bidang kiritik sastra. Dikatakan “hampir”, karena ada Suryadi,
kritikus yang dimasukkan Korrie Layun Rampan dalam Angkatan 2000. Tetapi
Suryadi berkiprah di Jakarta dan buku-bukunya terutama tentang tradisi lisan.
Pilihan Korrie untuk mema-sukkan ia sebagai penulis kritik dari generasi 2000
setidaknya memperlihatkan bahwa karyanya layak di-perhatikan dan telah dihargai
orang. Disebabkan keberadaannya di Jakarta, perhatian terhadap karya yang
ditulis dan lahir dari Sumatra Barat tidak banyak. Dari generasi sebelumnya,
ada Mursal Esten, dan kini hanya ada satu orang juga.
Mungkin sudah takdir
bahwa untuk satu generasi hanya ada satu kritikus. Mursal tentu tidak sendirian
di fakultasnya, begitu juga Suryadi punya banyak teman semasa kuliahnya. Tetapi
ternyata yang jadi memang tidak banyak. Bahkan dibanding masa sebe-lumnya,
terjadi penurunan. Pada masa sebelumnya, ada kritkus kreatif seperti Darman
Moenir, tetapi pada masa-masa yang terakhir ini, tidak ada lagi penulis kreatif
yang menulis kritik. Memang Gus tf menulis beberapa esai sastra, tetapi baru
beberapa buah. Inilah ironi kita di abad lalu.
Ironi Kedua
Di awal 80-an dua Fakultas Sastra baru berdiri di Padang,
yaitu di Universitas Bung Hatta dan Universitas Andalas, dan menyusul kemudian
di Universitas Eka Sakti. Sebelumnya telah lama berdiri FPBS IKIP dengan
jurusan Indonesia dan Inggris, serta jurusan sastra Arab di Fakultas Adab IAIN.
Bertambahnya jumlah Fakultas Sastra tidak secara signifikan
bertambah juga jumlah kritikus. Malah makin hilang. Penulis kritik dari IAIN IB
seperti Yulizal Yunus dan Shofwan Karim Elha kini hampir tidak ter-baca
tulisannya dalam bidang kritik sastra, begitu juga banyak teman generasinya di
IKIP Padang, seperti Amril Chanhars, atau Dasril Ahmad dan AD Erizal dari
Universitas Bung Hatta, serta M Yusuf dari Universitas Andalas.
Apakah dengan demikian bisa disimpulkan bahwa perguruan
tinggi kita gagal melahirkan kritikus? Saya agak sangsi untuk menjawabnya.
Masalahnya begini. Ketika mereka berstatus sebagai mahasiswa, banyak yang
menulis kritik, tetapi begitu mereka tamat bekerja maka kritiknya tidak pernah
ada lagi. Artinya, pergu-ruan tinggi ternyata bisa mengondisikan orang ketika
mahasiswa berada di kampus, tetapi gagal meyakinkan mahasiswa itu bahwa bidang
yang sudah mereka ma-suki adalah kerja baik dan bermanfaat seperti peker-jaan
di bidang lain juga. Banyaknya mahasiswa yang menulis kritik ini sampai
sekarang masih berjalan. Hampir semua koran yang menyediakan bidang kebudayaan,
kolom kritiknya diisi oleh para maha-siswa. Kalau begitu, apakah jika seseorang
sudah ke luar dari perguruan tinggi, masih juga keberhasilan mereka dibebankan
kepada perguruan yang sudah me-lahirkannya?
Ironi Ketiga
Koran telah menyediakan rubrik untuk kritik dan mahasiswa
dengan rajin mengisinya. Tetapi anehnya ketika mahasiswa itu tamat, mereka tidak
pernah lagi menulis di koran. Hal ini juga bisa ditafsirkan bahwa koran yang
sudah berbaik hati itu tidak mampu me-mikat penulisnya untuk setia menulis.
Tulisan dari orang-orang nyata tidak setia inilah yang dimuat oleh para
redaktur. Redaktur kebudayaan kita agaknya ter-lalu sibuk dengan tugas lain,
sehingga bisa dikatakan bahwa kini tulisan yang dimuat melalui seleksi yang
lemah sekali. Saya kira juga terjadi penurunan mutu pada kritik yang ditulis di
koran sekarang karena se-leksi yang lemah ini. Bisa dikatakan tidak ada
redaktur halaman budaya sekarang yang menyamai ketekunan dan kepenuhperhatian
Papa Rusli dan Indra Nara Persada. Penulis-penulis yang diloloskan tulisannya
oleh kedua redaktur ini sebagaian besar jadi dan betah untuk terus menulis. Kedua
orang ini rupanya tahu betul mana penulis yang benar-benar berisi dan ber-minat
menulis, mana yang sekadar ingin popupler atau ingin yang lain. Hal itu baru
mungkin didapat jika re-daktur benar-benar memperhatikan mutu tulisan.
Kritik yang dimuat di koran-koran kita yang makin banyak
sekarang ini ternyata mutunya lebih rendah dari sebelumnya. Akibat seleksi yang
lemah tadi, maka penulispun tidak punya upaya dan dipaksa untuk me-naikan mutu
tulisannya. Pada sisi lain, penulis malas berpayah-payah karena penghargaan
untuk tulisan di koran kita teramat sangat murah sekali. Sehingga me-reka
menilai tidak sebanding dengan usaha yang di-lakukan untuk menaikan mutu
tulisan. Akibatnya, kita berada dalam situasi yang ironis itu. Kritik dan
sejenisnya hanya menjadi batu loncatan untuk men-jadi penulis di bidang lain,
untuk menambah panjang daftar karya di curiculum vitae, untuk bekerja di di
koran dan seterusnya. Kritik sastra baru menjadi ‘daerah persinggarahan’ bagi
orang yang berminat mencari pekerjaan yang berkait dengan media-massa.
Ironis Keempat
Ada jarak yang yang terjalu jauh untuk diloncati dari menulis
kritik di media yang lemah seleksinya dengan menulis kritik yang panjang dan
lebih serius untuk jurnal. Tak banyak yang mampu menjembatani jarak ini. Bagi
para alumnus baru yang terbiasa menulis di koran, bersaing dengan penulis dari
tingkat senior di tingkat nasional
teramat sulit. Dan selama ini tidak ada jembatan yang bisa menghubungkan
dan menjadi perantara ada beberapa jurnal atau majalah yang per-nah diusahakan,
tetapi mati di tengah jalan. Semisal Pasamayan, dan jurnal Genta Budaya
sendiri.
Penutup
Tahun-tahun penuh ironi telah kita lalui. Apakah ia akan
menanjak menjadi tragedi ataukah ia akan ber-alih menjadi keadaan yang lebih
baik, amat tergantung pada sikap dan kerja keras kita.
Catatan
Tulisan ini disampaikan pada seminar “Refleksi Sastra Sumatra Barat”
yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Barat 10 Januari 2001 dan
dimuat di dalam buku “Menyulam Visi: Catatan DKSB”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar