Sabtu, 07 Desember 2013

Peziarah Pulang Terlalu Pagi



OLEH Maya Lestari Gf
Dan lalu, ketika kuburan itu selesai dibuat, maka berdirilah sekalian orang di tepiannya. Berkata salah satunya.
“Sudah selesai, persis seperti yang diminta,” tuturnya sambil menyeka muka penuh keringat. Wajahnya dikotori butir-butir tanah basah dimamah gerimis. Pagi mendung. Cuaca tak bersahabat. Tapi sebelas orang itu terus bahu-membahu menggali hingga ke dasar. Satu koma delapan meter dalam lubang kuburan itu. Panjangnya seukuran itu pula. Persis seperti yang diminta oleh orang yang akan berkubur di situ.

“Sekarang mari kita berteduh dulu,” berujar yang lain, ia mengenakan caping bambu basah. Titik air jatuh perlahan dari tiap tepiannya, “Sebentar lagi jenazah mungkin akan sampai.”
Mungkin sebagai tanda setuju, yang lain mengangguk lalu cepat bergegas ke pinggir pemakaman umum itu. Di salah satu sudutnya berdiri sebuah rumah kecil usang yang dibangun dari seng-seng karatan, milik sang penjaga kubur. Sang penjaga kubur itu sendiri akan berkubur hari ini. Di lubang yang baru selesai digali. Saat ini, tubuh kaku itu berada di mushalla. Bersiap hendak disembahyangkan.
Suatu ketika kilat datang. Urat-urat apinya tergambar di langit abu-abu. Beberapa penggali kubur itu bergidik. Sedikit. Ngeri.
“Entah bagaimana si Tua itu bisa mati,” salah seorang membuka percakapan, “Dua hari setelah ia tiada baru ditemukan mayatnya. Itupun oleh orang yang keluarganya hendak dikubur hari ini.”
Tak ada jawaban. Hanya gerimis saja yang turun semakin renyai di hari basah itu.
“Entah jantungan, entah karena demam. Dia tergeletak begitu saja di dipannya.”
Kembali tak ada yang menyahut. Sama-sama mereka membayangkan wajah tua seorang lelaki berusia lebih tujuh puluh tahun yang tidak punya apapun untuk hidup selain status sebagai penjaga kuburan. Sudah lama sekali ia berada di sana untuk menjaga pemakaman. Orang-orang bahkan curiga ia dilahirkan dan dibesarkan di tanah pekuburan itu. Sekali waktu, bergaung cerita ia adalah anak angkatnya si Jundai yang tak bisa pergi dari pemakaman karena harus menjaga ibunya yang tiap malam bergelantungan di pohon beringin. Pohon beringin itu sendiri tak dijumpai di pemakaman. Hanya orang-orang yang bercerita saja pandai berkias, bahwa pohon beringin itu tampak hanya tiap malam Jum’at. Entah benar, entah tidak. Tapi cerita itu sudah cukup membuat bulu kuduk anak-anak seumur jagung meremang dan lari ketakutan ke bawah ketiak ibunya.
“Jangankan anak, bini saja dia tidak punya,” yang lain ikut-ikut berkomentar. Tangannya gemetar menyulut rokok. Gerimis membawa angin dingin hingga ke sumsum.
“Jadi dia benar-benar hidup sendiri?”
“Tiap malam menjaga pekuburan? Hiiiy.”
“Memang aneh si Tua itu. Dulu ditawari jadi penjaga sekolah dia tak mau. Ia malah mengurus mayat-mayat.”
“Ternyata masih hidup juga di dunia ini orang aneh macam dia.”
“Ah, bukan soal aneh. Hidup ini memang sering membuat orang sehat jadi gila. Tak bertimbang akal. Yang cantik jadi buruk, yang gagah jadi jelek. Yang kaya jadi miskin. Yang pintar malah jadi penjaga kuburan.”
Beberapa orang tertawa.
“Dan si tua bangka itu ikut-ikutan rupanya.”
“Huss. Bagaimanapun, tak baik menggunjing orang yang sudah mati,” salah seorang yang agaknya masih punya rasa sopan santun mengingatkan, “Sudah, biarkan saja dia. Baiknya kita tunggu saja orang-orang membawa jenazahnya.”
Kata-kata itu seolah jadi komando karena kemudian kumpulan itu dicekam diam. Gerimis makin kencang menebarkan dingin.
Bersama, mata mereka mengarah ke gerbang makam. Entah kenapa, jenazah yang ditunggu tidak kunjung datang.
**

Si Tua Penjaga Kuburan itu tak dikenal dengan nama apapun. Ia hanya disapa, dipanggil, disebut dan diperbincangkan dengan nama si Tua saja. Pagi-pagi sekali, ia pergi ke mushala kecil tak jauh dari kuburan untuk bersembahyang. Di sana ia duduk agak lama. Tepekur. Orang-orang yang sempat melihat ia dalam keadaan demikian melontarkan dugaan bahwa ia tengah menyesali nasibnya yang tak kunjung membaik dari dulu. Ya, bagaimana bisa dibilang baik, kalau sedari muda pekerjaannya hanya sebagai tukang penjaga kuburan? Setiap mayat akan berkubur, ia bergegas-gegas mengambil cangkul dan menggali tanah. Lalu setelah mayat selesai dikubur, ia mendapat tugas, amanat, pesan dan lain sebagainya untuk menjaga kuburan itu baik-baik. Ia mendapat upah yang bermacam ragam setiap kali selesai upacara pemakaman. Ada yang lima ribu, sepuluh ribu, bahkan pernah seratus ribu. Tapi lebih sering upahnya berjumlah lima ribu saja. Seolah-olah itulah tarif yang memang dimateraikan oleh petugas balaikota kepadanya.
Setiap kali musim ziarah datang–dan itu sering terjadi selama bulan Ramadhan, ia bisa dibilang panen uang. Sebab, hampir seluruh keluarga si penghuni kubur di situ berkunjung dan memberinya uang. Bila ada seratus keluarga yang berkunjung selama bulan Ramadhan, maka ia bisa mendapat uang sejumlah lima ratus ribu rupiah, itu pun kalau rata-rata keluarga memberinya lima ribu. Terkadang ia malah diberi dua puluh atau lima puluh ribu. Pada saat-saat seperti inilah biasanya para warga sekitar mengandung iri dengki dalam perasaannya kepada si Tua Penjaga Kuburan itu. Ya, sebab, terlihat begitu mudah ia menerima uang sementara yang lain harus bersusah payah kerja mendapat uang lebih untuk menyambut hari raya.
Kadang-kadang, penduduk kampung terbit pula sifat kurang ajarnya. Pernah, suatu malam Ramadhan seusai shalat tarawih, ia didatangi orang-orang yang mengaku petugas kampung. Mereka meminta si Tua itu untuk memberikan pajak pekuburan. Alasannya, tanah pekuburan itu adalah tanah kampung. Karena si Tua Penjaga Kuburan itu telah tinggal di sana, maka sudah sepantasnya ia memberikan pajak tempat tinggal kepada kampung. Tak jelas apa kesudahan dari kisah di atas. Yang ditahu orang-orang kampung, setelahnya tak ada lagi orang yang berani mendatangi si Tua itu untuk di(palak)mintai uangnya.
Kadang-kadang, terbit pula pertanyaan di hati orang-orang kampung tentang mengapa si Tua itu mau saja jadi penjaga kubur. Padahal, kuburan itu biasanya diserupakan dengan suatu keadaan yang mengerikan atau menakutkan atau menyeramkan. Bayangkan saja, yang berkubur di dalamnya kan orang yang sudah mati. Entah mati wajar, mati bunuh diri, mati kecelakaan, mati melahirkan atau mati dibunuh. Orang yang masih berpikiran waras, tak mungkin mau ditunjuk jadi penjaga kubur kecuali kalau upahnya memang tinggi. Si Tua itu betul-betul membuat orang kampung tak habis pikir.
Pernah, sekali waktu ada keinginan di hati orang-orang kampung untuk bertanya langsung padanya. Tapi, entah kenapa, setiap kali mau bertanya lidah seolah terasa kelu. Sebenarnya, meski penasaran, terbit juga rasa heran di hati orang-orang kampung tentang mengapa mereka begitu penasaran ingin tahu. Bukankah sebaiknya dibiarkan saja si Tua itu dengan kehidupannya? Mungkin dia senang dengan pekerjaannya. Mungkin itu pilihan hidupnya. Ya, kalau bukan itu pilihan hidupnya, mengapa ia begitu tekun menjalaninya selama puluhan tahun?
Sampai di sini, orang-orang kampung kemudian memilih untuk membiarkan saja si Tua itu. Membiarkan ia hidup damai bersama kuburan-kuburan yang dijaganya. Demikianlah senantiasa kondisinya. Sampai suatu pagi, datang kabar yang begitu mengagetkan orang-orang kampung.
“Si Tua Penjaga Kuburan itu meninggal!”
Mendadak hidup seluruh penduduk kampung berubah.
**

Ia tak memiliki keluarga, tak memiliki saudara, pun tak memiliki teman dekat. Yang dimilikinya hanyalah rumah gubuk buruk di tepi tanah pekuburan dan setangkai cangkul, sandarannya untuk mencari nafkah. Karena itu tak ada yang menangisi kepergiannya, tak ada yang meratap, dan tak ada pula orang yang memukul-mukul dada saking sedihnya. Yang ada hanyalah ekspresi keheranan dan pertanyaan.
“Mengapa ia bisa meninggal?”
Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Betul-betul tak perlu dijawab. Karena orang yang meninggal itu pasti karena ia sudah bertemu dengan ajalnya. Jatah hidupnya di dunia sudah habis. Rezekinya sudah tak ada lagi. Yang paling perlu ditanyakan sebetulnya adalah: apa perkara yang menjadi sebab kematiannya. Namun tak ada yang menanyakannya.
Matahari baru saja berangkat naik, ketika hampir seluruh penduduk kampung yang mendengar berita kematiannya, berdatangan ke mushalla kecil tempat si Tua itu biasa bersembahyang seumur hidupnya. Menurut Mantri yang memeriksanya tadi, perkiraan waktu kematiannya sekitar dua hari lalu. Namun, hampir tak ada yang mempercayai pernyataan ini. Sebab, tubuh si Tua itu tidak membusuk bau yang membuat sakit pangkal hidung. Lalat pun tak ada yang hinggap ke atas tubuhnya.
“Sudahkah disiapkan lubang pemakamannya?” bertanya salah seorang.
“Sudah!” menyahut beberapa orang.
“Baguslah, setelah gerimis reda, kita antarkan dia ke kuburnya.”
Hening tiba-tiba meraja. Tak ada suara yang keluar. Makin lama, makin banyak orang yang berdatangan hendak melihat keadaan si Tua itu. Ia sudah dimandikan beberapa saat yang lalu. Sekarang, tubuhnya sudah dikafan dengan kain yang sangat bersih dan lembut. Kain itu ditemukan seseorang di rumah gubuknya. Di atas tumpukan kain kafan itu ada pesan bertuliskan: Buatkan lubang setinggi dan selebar satu koma delapan untuk kuburanku, kain ini jadikan kafan.
Gerimis mulai pudar ketika salah seorang tetua kampung memutuskan untuk mulai menyalatkan si Tua. Orang-orang kampung yang berdatangan bergegas-gegas pergi berwudhu. Entah kenapa terbit keinginan sangat kuat di hati orang-orang kampung untuk berbuat baik kepada orang tua itu di akhir keberadaannya di atas dunia ini. Mushalla itu sendiri tak sanggup menampung jemaah. Banyak orang akhirnya mengambil tempat di pekarangan mushalla. Tak ada yang peduli pada hari yang gerimis setitik demi setitik. Toh mereka tidak bersujud. Hanya berdiri. Itu pun tidak lama.
Tepat pukul setengah delapan, akhirnya keranda yang membawa tubuh si Tua itu bergerak menuju rumah terakhirnya yang berukuran tak lebih lapang dari rumah gubuknya selama hidup di dunia. Iring-iringan jenazah terlihat panjang. Laki-laki, wanita, anak-anak, dewasa, tua, muda, semua bersatu dalam iringan itu. Perlahan mereka mulai mengingat semua kebaikan si Tua. Ia tak pernah menyakiti orang, tak pernah melontarkan kata-kata kasar. Bahkan, tak pernah satu pun orang yang bertemu dengannya dalam keadaan ia tak tersenyum. Ia selalu saja tersenyum dan wajah ramahnya itu terkadang menimbulkan kenyamanan di dalam hati. Secara perlahan-lahan, mulai timbul berbagai puji-pujian padanya.
Tanpa berpanjang-panjang, begitu sampai, orang-orang segera mengangkat tubuh si Tua dari keranda dan memasukkannya ke dalam lubung kubur. Ia dibaringkan dengan begitu mudah, dan orang-orang bisa merasa tubuhnya begitu ringan untuk diangkat. Ketika kain penutup wajahnya dibuka, seulas senyum tenang terukir di wajahnya. Senyum yang lebih indah dari senyumnya selama di dunia. Beberapa jenak orang-orang yang menurunkan jenazahnya tertegun, lalu saling berpandangan. Perlahan menyadari, bukan orang biasa yang mereka kubur ini. Mungkin si Tua itu salah satu tamu langit yang paling di tunggu.
Sekejap bulu kuduk mereka merinding lalu satu perasaan aneh mengalir. Haru, sedih. Tanah mulai diturunkan. Perlahan. Pelan. Menimbuni tubuh si Tua itu. Tak berapa lama ia pun lenyap dari pandangan berganti dengan tanah pekuburan coklat.
Hari masih terlalu pagi, ketika akhirnya mereka menyadari pemakaman itu sudah selesai. Nisan kosong sudah ditancapkan dan do’a pun telah selesai dipanjatkan. Perlahan, antara enggan dan keinginan untuk bertahan, orang-orang kampung meninggalkan pekuburan itu. Dalam hati terus bertanya-tanya. Mengapakah begitu agungnya terasa kematian si Tua itu. Hanya seorang penjaga makam, tapi telah diangkat derajatnya sedemikian mulia oleh kematian.
Hari masih terlalu pagi ketika para peziarah itu meninggalkan pemakaman. Sepenuhnya tanpa suara. Sesekali kepala-kepala itu menoleh ke belakang. Ke onggokan tanah kubur yang baru ditinggalkan. Wajah si Tua Penjaga Kuburan itu terbayang-bayang. Sedetik pertanyaan muncul entah kenapa : Siapakah sesungguhnya lelaki itu?
**


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...