OLEH Maya Lestari Gf
Dan lalu, ketika kuburan itu selesai dibuat, maka
berdirilah sekalian orang di tepiannya. Berkata salah satunya.
“Sudah selesai, persis seperti yang diminta,” tuturnya
sambil menyeka muka penuh keringat. Wajahnya dikotori butir-butir tanah basah
dimamah gerimis. Pagi mendung. Cuaca tak bersahabat. Tapi sebelas orang itu
terus bahu-membahu menggali hingga ke dasar. Satu koma delapan meter dalam
lubang kuburan itu. Panjangnya seukuran itu pula. Persis seperti yang diminta
oleh orang yang akan berkubur di situ.
“Sekarang mari kita berteduh dulu,” berujar yang lain, ia
mengenakan caping bambu basah. Titik air jatuh perlahan dari tiap tepiannya,
“Sebentar lagi jenazah mungkin akan sampai.”
Mungkin sebagai tanda setuju, yang lain mengangguk lalu
cepat bergegas ke pinggir pemakaman umum itu. Di salah satu sudutnya berdiri
sebuah rumah kecil usang yang dibangun dari seng-seng karatan, milik sang
penjaga kubur. Sang penjaga kubur itu sendiri akan berkubur hari ini. Di lubang
yang baru selesai digali. Saat ini, tubuh kaku itu berada di mushalla. Bersiap
hendak disembahyangkan.
Suatu ketika kilat datang. Urat-urat apinya tergambar di
langit abu-abu. Beberapa penggali kubur itu bergidik. Sedikit. Ngeri.
“Entah bagaimana si Tua itu bisa mati,” salah seorang
membuka percakapan, “Dua hari setelah ia tiada baru ditemukan mayatnya. Itupun
oleh orang yang keluarganya hendak dikubur hari ini.”
Tak ada jawaban. Hanya gerimis saja yang turun semakin
renyai di hari basah itu.
“Entah jantungan, entah karena demam. Dia tergeletak
begitu saja di dipannya.”
Kembali tak ada yang menyahut. Sama-sama mereka
membayangkan wajah tua seorang lelaki berusia lebih tujuh puluh tahun yang
tidak punya apapun untuk hidup selain status sebagai penjaga kuburan. Sudah
lama sekali ia berada di sana untuk menjaga pemakaman. Orang-orang bahkan
curiga ia dilahirkan dan dibesarkan di tanah pekuburan itu. Sekali waktu,
bergaung cerita ia adalah anak angkatnya si Jundai yang tak bisa pergi dari
pemakaman karena harus menjaga ibunya yang tiap malam bergelantungan di pohon
beringin. Pohon beringin itu sendiri tak dijumpai di pemakaman. Hanya
orang-orang yang bercerita saja pandai berkias, bahwa pohon beringin itu tampak
hanya tiap malam Jum’at. Entah benar, entah tidak. Tapi cerita itu sudah cukup
membuat bulu kuduk anak-anak seumur jagung meremang dan lari ketakutan ke bawah
ketiak ibunya.
“Jangankan anak, bini saja dia tidak punya,” yang lain
ikut-ikut berkomentar. Tangannya gemetar menyulut rokok. Gerimis membawa angin
dingin hingga ke sumsum.
“Jadi dia benar-benar hidup sendiri?”
“Tiap malam menjaga pekuburan? Hiiiy.”
“Memang aneh si Tua itu. Dulu ditawari jadi penjaga
sekolah dia tak mau. Ia malah mengurus mayat-mayat.”
“Ternyata masih hidup juga di dunia ini orang aneh macam
dia.”
“Ah, bukan soal aneh. Hidup ini memang sering membuat
orang sehat jadi gila. Tak bertimbang akal. Yang cantik jadi buruk, yang gagah
jadi jelek. Yang kaya jadi miskin. Yang pintar malah jadi penjaga kuburan.”
Beberapa orang tertawa.
“Dan si tua bangka itu ikut-ikutan rupanya.”
“Huss. Bagaimanapun, tak baik menggunjing orang yang
sudah mati,” salah seorang yang agaknya masih punya rasa sopan santun
mengingatkan, “Sudah, biarkan saja dia. Baiknya kita tunggu saja orang-orang
membawa jenazahnya.”
Kata-kata itu seolah jadi komando karena kemudian
kumpulan itu dicekam diam. Gerimis makin kencang menebarkan dingin.
Bersama, mata mereka mengarah ke gerbang makam. Entah
kenapa, jenazah yang ditunggu tidak kunjung datang.
**
Si Tua Penjaga Kuburan itu tak dikenal dengan nama
apapun. Ia hanya disapa, dipanggil, disebut dan diperbincangkan dengan nama si
Tua saja. Pagi-pagi sekali, ia pergi ke mushala kecil tak jauh dari kuburan
untuk bersembahyang. Di sana ia duduk agak lama. Tepekur. Orang-orang yang
sempat melihat ia dalam keadaan demikian melontarkan dugaan bahwa ia tengah
menyesali nasibnya yang tak kunjung membaik dari dulu. Ya, bagaimana bisa
dibilang baik, kalau sedari muda pekerjaannya hanya sebagai tukang penjaga
kuburan? Setiap mayat akan berkubur, ia bergegas-gegas mengambil cangkul dan
menggali tanah. Lalu setelah mayat selesai dikubur, ia mendapat tugas, amanat,
pesan dan lain sebagainya untuk menjaga kuburan itu baik-baik. Ia mendapat upah
yang bermacam ragam setiap kali selesai upacara pemakaman. Ada yang lima ribu,
sepuluh ribu, bahkan pernah seratus ribu. Tapi lebih sering upahnya berjumlah
lima ribu saja. Seolah-olah itulah tarif yang memang dimateraikan oleh petugas
balaikota kepadanya.
Setiap kali musim ziarah datang–dan itu sering terjadi
selama bulan Ramadhan, ia bisa dibilang panen uang. Sebab, hampir seluruh
keluarga si penghuni kubur di situ berkunjung dan memberinya uang. Bila ada
seratus keluarga yang berkunjung selama bulan Ramadhan, maka ia bisa mendapat
uang sejumlah lima ratus ribu rupiah, itu pun kalau rata-rata keluarga
memberinya lima ribu. Terkadang ia malah diberi dua puluh atau lima puluh ribu.
Pada saat-saat seperti inilah biasanya para warga sekitar mengandung iri dengki
dalam perasaannya kepada si Tua Penjaga Kuburan itu. Ya, sebab, terlihat begitu
mudah ia menerima uang sementara yang lain harus bersusah payah kerja mendapat
uang lebih untuk menyambut hari raya.
Kadang-kadang, penduduk kampung terbit pula sifat kurang
ajarnya. Pernah, suatu malam Ramadhan seusai shalat tarawih, ia didatangi
orang-orang yang mengaku petugas kampung. Mereka meminta si Tua itu untuk
memberikan pajak pekuburan. Alasannya, tanah pekuburan itu adalah tanah
kampung. Karena si Tua Penjaga Kuburan itu telah tinggal di sana, maka sudah
sepantasnya ia memberikan pajak tempat tinggal kepada kampung. Tak jelas apa
kesudahan dari kisah di atas. Yang ditahu orang-orang kampung, setelahnya tak
ada lagi orang yang berani mendatangi si Tua itu untuk di(palak)mintai uangnya.
Kadang-kadang, terbit pula pertanyaan di hati orang-orang
kampung tentang mengapa si Tua itu mau saja jadi penjaga kubur. Padahal,
kuburan itu biasanya diserupakan dengan suatu keadaan yang mengerikan atau
menakutkan atau menyeramkan. Bayangkan saja, yang berkubur di dalamnya kan
orang yang sudah mati. Entah mati wajar, mati bunuh diri, mati kecelakaan, mati
melahirkan atau mati dibunuh. Orang yang masih berpikiran waras, tak mungkin
mau ditunjuk jadi penjaga kubur kecuali kalau upahnya memang tinggi. Si Tua itu
betul-betul membuat orang kampung tak habis pikir.
Pernah, sekali waktu ada keinginan di hati orang-orang
kampung untuk bertanya langsung padanya. Tapi, entah kenapa, setiap kali mau
bertanya lidah seolah terasa kelu. Sebenarnya, meski penasaran, terbit juga
rasa heran di hati orang-orang kampung tentang mengapa mereka begitu penasaran
ingin tahu. Bukankah sebaiknya dibiarkan saja si Tua itu dengan kehidupannya?
Mungkin dia senang dengan pekerjaannya. Mungkin itu pilihan hidupnya. Ya, kalau
bukan itu pilihan hidupnya, mengapa ia begitu tekun menjalaninya selama puluhan
tahun?
Sampai di sini, orang-orang kampung kemudian memilih
untuk membiarkan saja si Tua itu. Membiarkan ia hidup damai bersama
kuburan-kuburan yang dijaganya. Demikianlah senantiasa kondisinya. Sampai suatu
pagi, datang kabar yang begitu mengagetkan orang-orang kampung.
“Si Tua Penjaga Kuburan itu meninggal!”
Mendadak hidup seluruh penduduk kampung berubah.
**
Ia tak memiliki keluarga, tak memiliki saudara, pun tak
memiliki teman dekat. Yang dimilikinya hanyalah rumah gubuk buruk di tepi tanah
pekuburan dan setangkai cangkul, sandarannya untuk mencari nafkah. Karena itu
tak ada yang menangisi kepergiannya, tak ada yang meratap, dan tak ada pula
orang yang memukul-mukul dada saking sedihnya. Yang ada hanyalah ekspresi
keheranan dan pertanyaan.
“Mengapa ia bisa meninggal?”
Pertanyaan itu tak perlu dijawab. Betul-betul tak perlu
dijawab. Karena orang yang meninggal itu pasti karena ia sudah bertemu dengan
ajalnya. Jatah hidupnya di dunia sudah habis. Rezekinya sudah tak ada lagi.
Yang paling perlu ditanyakan sebetulnya adalah: apa perkara yang menjadi sebab
kematiannya. Namun tak ada yang menanyakannya.
Matahari baru saja berangkat naik, ketika hampir seluruh
penduduk kampung yang mendengar berita kematiannya, berdatangan ke mushalla
kecil tempat si Tua itu biasa bersembahyang seumur hidupnya. Menurut Mantri
yang memeriksanya tadi, perkiraan waktu kematiannya sekitar dua hari lalu.
Namun, hampir tak ada yang mempercayai pernyataan ini. Sebab, tubuh si Tua itu
tidak membusuk bau yang membuat sakit pangkal hidung. Lalat pun tak ada yang
hinggap ke atas tubuhnya.
“Sudahkah disiapkan lubang pemakamannya?” bertanya salah
seorang.
“Sudah!” menyahut beberapa orang.
“Baguslah, setelah gerimis reda, kita antarkan dia ke kuburnya.”
Hening tiba-tiba meraja. Tak ada suara yang keluar. Makin
lama, makin banyak orang yang berdatangan hendak melihat keadaan si Tua itu. Ia
sudah dimandikan beberapa saat yang lalu. Sekarang, tubuhnya sudah dikafan
dengan kain yang sangat bersih dan lembut. Kain itu ditemukan seseorang di
rumah gubuknya. Di atas tumpukan kain kafan itu ada pesan bertuliskan: Buatkan lubang setinggi dan selebar satu
koma delapan untuk kuburanku, kain ini jadikan kafan.
Gerimis mulai pudar ketika salah seorang tetua kampung
memutuskan untuk mulai menyalatkan si Tua. Orang-orang kampung yang berdatangan
bergegas-gegas pergi berwudhu. Entah kenapa terbit keinginan sangat kuat di
hati orang-orang kampung untuk berbuat baik kepada orang tua itu di akhir
keberadaannya di atas dunia ini. Mushalla itu sendiri tak sanggup menampung
jemaah. Banyak orang akhirnya mengambil tempat di pekarangan mushalla. Tak ada
yang peduli pada hari yang gerimis setitik demi setitik. Toh mereka tidak
bersujud. Hanya berdiri. Itu pun tidak lama.
Tepat pukul setengah delapan, akhirnya keranda yang
membawa tubuh si Tua itu bergerak menuju rumah terakhirnya yang berukuran tak
lebih lapang dari rumah gubuknya selama hidup di dunia. Iring-iringan jenazah
terlihat panjang. Laki-laki, wanita, anak-anak, dewasa, tua, muda, semua
bersatu dalam iringan itu. Perlahan mereka mulai mengingat semua kebaikan si
Tua. Ia tak pernah menyakiti orang, tak pernah melontarkan kata-kata kasar.
Bahkan, tak pernah satu pun orang yang bertemu dengannya dalam keadaan ia tak tersenyum.
Ia selalu saja tersenyum dan wajah ramahnya itu terkadang menimbulkan
kenyamanan di dalam hati. Secara perlahan-lahan, mulai timbul berbagai
puji-pujian padanya.
Tanpa berpanjang-panjang, begitu sampai, orang-orang
segera mengangkat tubuh si Tua dari keranda dan memasukkannya ke dalam lubung
kubur. Ia dibaringkan dengan begitu mudah, dan orang-orang bisa merasa tubuhnya
begitu ringan untuk diangkat. Ketika kain penutup wajahnya dibuka, seulas
senyum tenang terukir di wajahnya. Senyum yang lebih indah dari senyumnya
selama di dunia. Beberapa jenak orang-orang yang menurunkan jenazahnya
tertegun, lalu saling berpandangan. Perlahan menyadari, bukan orang biasa yang
mereka kubur ini. Mungkin si Tua itu salah satu tamu langit yang paling di
tunggu.
Sekejap bulu kuduk mereka merinding lalu satu perasaan
aneh mengalir. Haru, sedih. Tanah mulai diturunkan. Perlahan. Pelan. Menimbuni
tubuh si Tua itu. Tak berapa lama ia pun lenyap dari pandangan berganti dengan
tanah pekuburan coklat.
Hari masih terlalu pagi, ketika akhirnya mereka menyadari
pemakaman itu sudah selesai. Nisan kosong sudah ditancapkan dan do’a pun telah
selesai dipanjatkan. Perlahan, antara enggan dan keinginan untuk bertahan,
orang-orang kampung meninggalkan pekuburan itu. Dalam hati terus bertanya-tanya.
Mengapakah begitu agungnya terasa kematian si Tua itu. Hanya seorang penjaga
makam, tapi telah diangkat derajatnya sedemikian mulia oleh kematian.
Hari masih terlalu pagi ketika para peziarah itu
meninggalkan pemakaman. Sepenuhnya tanpa suara. Sesekali kepala-kepala itu
menoleh ke belakang. Ke onggokan tanah kubur yang baru ditinggalkan. Wajah si
Tua Penjaga Kuburan itu terbayang-bayang. Sedetik pertanyaan muncul entah
kenapa : Siapakah sesungguhnya lelaki itu?
**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar