OLEH Ka’bati
Penulis Novel Padusi dan Mahasiswa Sosiologi Pascasarjana Unand
Saat ini–setidaknya
di Kota Padang—sangat sulit kita
mencari kepala perempuan yang bebas dari
tusukan jarum atau untaian manik-manik dan segala aksesoris lainnya,
terutama pada jam-jam kerja. Perempuan PNS, perempuan guru, perempuan dosen,
perempuan mahasiswa, perempuan dokter, perempuan politik, siswi sekolah
rata-rata berdandan cenderung sama; Rambut di kucir tinggi lalu dibungkus
dengan kain berbahan kaos yang diikat ketat. Belum cukup puas dengan tutup
seperti itu, rambut dan kepala ditimbuni lagi dengan jilbab warna warni dan
dipaku dengan peniti rumbai-rumbai, alasannya: Modis.
Tetapi dari mana
munculnya keinginan tampil modis dengan jilbab ala India dan Timur Tengah—setidaknya
India/Timur Tengah yang mereka imajinasikaan—itu?
Ini jelas tak ada
hubungannya langsung dengan perintah tuhan tetapi ini erat kaitannya dengan
Perda berbusana muslim yang ada di kota ini. Perda itu telah mengkondisikan
tubuh perempuan dalam pengawasan penguasa, untuk tampil sebagaimana yang
dikehendaki; Berjilbab. Ketika tekanan ‘wajib jilbab’ muncul berbarengan dengan
keharusan untuk tampil modis yang gencar dikampanyekan media, maka muncullah
beragam gaya orang dalam berjilbab. Inilah yang dipandang sebagai bentuk kreatifitas.
Tetapi sesungguhnya itu tak lain dari kreatifitas yang lahir dari kungkungan.
Bermula dari Perda-Perda
yang dibuat oleh penguasa, kehidupan masyarakat kota Padang ini kemudian
menjadi terkendalikan dalam sebuah sistem pengawasan (surveillance) global.
Kita seolah-olah berada dalam sebuah penjara yang sipirnya adalah kita sendiri.
Bayangkan saja, betapa menyedihkannya kondisi tersebut. Tiba-tiba saja kita
merasa canggung jika anak-anak kita pergi ke sekolah tanpa jilbab, merasa
bersalah ketika pergi ke kantor tidak membungkus kepala dengan jilbab tetapi
tidak merasa terganggu ketika jilbab itu digantung selepas jam sekolah atau jam
kerja dan menggantinya dengan pakaian musim panas yang serba longgar dan
terbuka jika ingin ke warung atau berbual dengan tetangga.
Memang hal ini
tampaknya sederhana dan seolah-olah bersesuaian dengan perintah agama, tetapi
sesungguhnya di balik itu ada sebuah jebakan yang telah disiapkaan oleh
pemegang kekuasaan yang sangat sadar bahwa tubuh sesungguhnya adalah kekuatan.
Karena itu wacana pengaturan tubuh baik tubuh sosial maupun tubuh individu
sangat penting. Tubuh perlu dikontrol dan diawasi serta didisiplinkan agar
mudah ‘dikendalikaan’. Itulah yang sedang dialami oleh manusia, dan
sesungguhnya yang paling rentan dalam pengaruh pengawasan ini adalah tubuh
perempuan. Lalu siapa yang muncul sebagai hero (yang mengeruk keuntungan) dibalik
semua fenomena ini? Tentu saja pembuat peraturan. Kondisi ini kemudian diklaim
oleh penguasa sebagai keberhasilan mereka mengatur masyarakat. Kepatuhan
masyarakat menjadi modal untuk mempertahankan kekuasaan.
Pembicaraan-pembicaraan
di atas mengemuka dalam diskusi bertemakan tubuh perempuan dan globalisasi yang
digelar LSM Nurani Perempuan (NP), Jumat (6/4) lalu. Dalam diskusi yang dihadiri oleh para aktivis
perempuan, akademisi dan budayawan tersebut, Drs. Fadlillah.M.Si, dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unand Padang yang
hadir sebagai pembicara mengajak perempuan untuk membebaskan dirinya dari
kungkungan kekuasaan yang menghegemoni tubuh perempuan lewat pengetahuan.
“Diperlukan sebuah sistem pendidikan yang membebaskan. Perlu ada sekolah untuk
perempuan,” ujar Fadlillah dalan closing statementnya.
Tekanan yang
tercipta dari sebuah sistem otoritas hannya bisa dibongkar dengan mewacanakan
hal baru yang mencerahkan. Perempuan harus diajak keluar dari lingkaran
kekuasaan yang mengkonstruksi kehidupan mereka dan kemudian membebaskan mereka
dari tuhan-tuhan palsu yang berwujud pemerintah, senat dan perda-perda,
demikian pendapat Dra.
Ranny Emilia
M.Phil, akademisi dari FISIP Unand. “Kerusakan masyarakat ini sudah sistemik.
Kita harus melawannya dengan mendekonstruksi sistem yang ada. Membongkar kekeliruan
berpikir pemerintah, akademisi dan politikus yang tampil sebagai pemegang
kekuasaan yang korup. Perempuan mesti mengambil peran dalam proses dekonstruksi
ini,” ujarnya antusias.
Rezki Khainidar dari Yayasan
Anak Indonesia berpendapat bahwa penguasaan terhadap tubuh sebenarnya tidak
hanya terhadap perempuan, tetapi juga terhadap anak-anak dan lelaki. “Pokoknya
disemua lini kehidupan kita telah dijajah oleh sistem kekuasaan besar. Bahkan
untuk melahirkan anak saja yang merupakan proses sangat alamiah, kita tidak
punya kesanggupan lagi. Segalanya harus dengan keputusan dokter. Tuhan kita
telah diambil alih. Rukun iman kita juga telah bertambah!” ujar dokter yang
memutuskan jadi aktivis ini.
Melengkapi wacana
yang berkembang dalam diskusi, Rusli Marzuki Saria mengemukakan bahwa yang
harus diupayakan adalah memunculkan sikap kritis perempuan. “Perempuan itu
mestinya jadi pembangkang. Jangan menurut saja,” ujar penyair yang akrab dengan sapaan Papa
ini. Dengan membangkang terhadap arus utama yang deras, maka perempuan bisa
membebaskan dirinya. Tidak terbawa arus begitu saja. Hal inilah yang menurut
Papa belum banyak muncul di Padang.
Menanggapi Papa, Jendrius, kandidat doktor Universitas
Malaya
berpendapat bahwa yang sangat perlu dibebaskan itu adalah perempuan kelas
menengah yang ada dalam sistem birokrasi pemerintahan, karena berdasarkan
penelitian, merekalah yang sangat rentan di pengaruhi, karena mereka berada
langsung di bawah naungan sistem sekaligus menjadi agen (aktor) dari sistem
tersebut. Ini menunjukkan bahwa sistemlah yang membuat perempuan tak berdaya.
Buktinya One-One pedagang sayur di Pasar Raya malah tidak terpengaruh oleh
segala macam model jilbab tersebut. Mereka, kaum perempuan yang dipandang kelas
bawah itulah yang berani membangkang pada pemerintah juga terhadap sistem besar
yang jauh lebih mapan. “Bahkan menceraikan suami yang tidak memberikan
penghasilan, atau menikah sampai tiga-empat kali bagi mereka hal biasa. Coba,
mana ada perempuan kelas menengah yang seberani mereka?” tunjuk Jendrius yang
bekerja sebagai peneliti dan dosen di FISIP Unand.
Diskusi dengan
tema-tema pembebasan di atas memang menarik untuk diikuti sebagai dinamika
sosial. Persoalannya adalah, bagaimana membawa ide-ide yang muncul saat diskusi
ke dalam sebuah gerakan sosial yang membumi. Di sinilah seringkali
kelemahannya. Ide yang muncul menjadi impoten (layu) ketika dibenturkan dengan
sistem yang sedang berjalan. Ada ‘kemalasan’ untuk berbuat, ada rasa tidak
berdaya ketika yang dituntut adalah kerja keras. Kalau sudah begini maka apa
boleh buat.
Namun menurut saya,
apa yang dilakukan oleh Nurani Perempuan, dengan menggelar diskusi seperti ini
adalah sebuah kerja awal yang baik. Membuka ruang-ruang bagi publik (public space) untuk membicarakan masalah
mereka, perempuan membicarakan tubuh mereka. Ruang publik penting sebagai
tempat individu-individu merumuskan diri mereka sendiri, wujud dari perlawanan
terhadap sistem dan kolonialisasi baru yang menjajah kehidupan.
Semoga saja LSM Nurani
Perempuan dan LSM-LSM lainnya di kota ini mampu mengagendakan kegiatan diskusi-diskusi
terbuka seperti ini secara rutin. Dan kita sebagai warga masyarakat jangan
sampai melewatkan keberadaan ruang-ruaang diskusi tersebut. Inilah bentuk
sederhana dari sekolah perempuan (Sakola Padusi) yang kita cita-citakan. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar