Universitas Negeri Padang
Pendahuluan
Menurut para pakar sosiologi masyarakat dan kebudayaan tidak bersifat
statis, melainkan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Hanya saja perubahan yang meliputi semua aspek kehidupan termasuk individu itu
sendiri tentu saja tidak sama kadarnya ada yang bersifat lambat, cepat maupun
drastis. Modernisasi dalam hal ini termasuk yang drastis dan telah memberikan
dampak yang boleh dikatakan cukup dahsyat terhadap kehidupan komunitas serta
budayanya. Hal ini bisa jadi disebabkan kemajuan tehnologi yang sangat pesat
yang membuat batas antara satu negara dengan negara lain bahkan satu budaya
dengan budaya lain semakin menipis. Semua peristiwa yang terjadi diujung dunia
lain dapat dilihat oleh semua umat di bumi bahkan dapat ditiru. Perubahan yang
terjadi tentunya tergantung kepada sikap masyarakat yang mene-rimanya. Seperti
yang dikatakan oleh Kleden dalam makalahnya (2003), kalau seseorang menghadapi
berbagai pengaruh kebudayaan itu secara kreatif, maka apa pun yang jatuh ke
tangannya akan menghasilkan suatu cipta-budaya, tetapi kalau dihadapi dengan
sikap menerima saja maka yang tercipta hanyalah budaya tiruan yang lebih
menunjukkan asal usul pengaruh tersebut.
Modernisasi masuk bagaikan air bah yang tidak dapat dibendung sedikitpun,
merubah tuntutan hidup serta pola pikir manusia yang ikut membentuk karakter
manusia itu sendiri sekaligus masyarakat dan budayanya. Kecenderungan otonomi
diri yang terjadi terutama bagi masyarakat Minangkabau yang hidup dikota-kota
kecil apalagi kota besar, telah melemahkan ikatan tradisional. Kehidupan sosial
mereka telah dipengaruhi oleh tuntutan hidup serta unsur-unsur kebudayaan
moderen. Misalnya kehidupan yang biasa dijalani dengan keluarga besar berganti
dengan keluarga inti. Rumah Gadang di Minangkabau yang dihuni oleh keluarga
besar telah berganti dengan rumah biasa yang hanya dihuni oleh keluarga inti
yaitu ayah, ibu dan anak. Sementara menurut adat Minangkabau yang menganut
sistem matrilinial, perempuan memegang posisi terpenting di Rumah Gadang, tidak
hanya sebagai penerus generasi tetapi pewaris yang memiliki hak sebagai
penentu, serta mengelola harta keluarga tersebut. Sedangkan pada keluarga inti,
mereka telah merupakan satu satuan ekonomis dan sosial yang berdiri sendiri,
dengan ayah yang memegang posisi tertinggi dalam keluarga. Ayah sekaligus
pengelola ekonomi keluarga. Suami yang menurut adat sebagai tamu di rumah istri
dan anak-anaknya semakin berpengaruh terhadap istri dan anak-anaknya. Dia tidak
lagi sebagai tamu melainkan sebagai orang yang memegang posisi tertinggi dan
berkuasa. Sepintas terlihat adanya pergeseran yang terjadi terutama terhadap
posisi perempuan. Akankah hilang posisi perempuan yang selama ini mendapat
tempat lebih tinggi dari laki-laki? Masih dapatkah perempuan mempertahankan fungsinya
di dalam arus modernisasi yang mengkondisikan terciptanya suatu perubahan?
Makalah ini merupakan analisis posisi perempuan Minangkabau yang digambarkan
oleh novel Negeri Perempuan, karangan Wisran Hadi (2001). Wisran Hadi adalah
seorang pengarang yang banyak berkutat dalam cerita Minang, tidak hanya novel
tetapi juga drama. Dari karya-karyanya tergambar bahwa pengarang tidak saja
memahami seluk beluk adat Minangkabau tetapi juga mengikuti dan mencemaskan
fenomena yang sedang berkembang di dalam budaya Minang. Dengan membaca novel
Negeri Perempuan, kita dapat menyelami fenomena yang tumbuh di dalam masyarakat
dan budaya Minangkabau yang terkenal dengan sistem Matrilinialnya.
Posisi perempuan dalam budaya Minangkabau
Posisi perempuan dalam budaya Minangkabau
Masyarakat Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa yang
menganut sistem kekerabata matrilinial. Sistem ini boleh dikatakan langka
mengingat jumlah suku yang menganut sistem ini dapat dihitung dengan jari.
Sistem Matrilinial adalah sistem yang didasarkan pada garis keturunan ibu. Jadi
garis keturunan seseorang dengan segala aspek-aspeknya dihitung menurut garis
keturunan ibu.(Ibrahim dkk 1982). Nama keluarga atau marga yang dipakainya
bukanlah marga bapak tetapi marga dari ibunya. Posisi perempuan dalam keluarga
sangat penting dan berpengaruh terutama perempuan tertua dalam Rumah Gadang,
namun kekuasaan dijalankan oleh saudaranya yang laki-laki, yaitu sebagai ninik
mamak atau mamak ( Syahrizal. 2002). Perempuan mempunyai posisi yang lebih
tinggi dari laki-laki yang disebut sebagai Bundo
atau Ibu. Fungsi utamanya adalah penerus garis keturunan, oleh sebab itu
harus dihormati, dijaga dan dilindungi. Posisi dan fungsi perempuan di
Minang tergambar dari kutipan di bawah ini:
Umbun puruak aluang
bunian
Pusek jalo kumpulan
tali
Sumarak di dalam
kampuang
Hiasan di dalam
nagari
Nan gadang basa
batuah
Kok hiduik tampek
banasa
Kok mati tampek
baniaik
Ka undang undang ka
Madinah
Ka payuang panji ka
sarugo. (Hakimy. Dt Rajo Penghulu 1978)
Dari kutipan di atas tercermin begitu banyak peran yang harus dipikul
perempuan. Bundo Kanduang adalah panggilan terhadap kaum perempuan menurut adat
Minangkabau yang berarti Ibu. Sedangkan Kanduang maksudnya sejati. Jadi Bundo
Kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifat keibuan dan
kepemimpinan.(Hakimy). Tempat utama bagi perempuan adalah di rumah, tetapi dia
bukanlah sebagai hiasan saja, melainkan sebagai kunci. Artinya dia adalah orang
yang menentukan segalanya. Dia adalah ahli waris yang memegang posisi
tertinggi. Hal ini diperjelas oleh ungkapan `Umbun puruak pagangan kunci,`
umbun puruak aluang bunian` yakni perempuan adalah pemegang kunci hasil
ekonomi. Dialah yang memegang harta, memeliharanya, menyimpan dan mengatur
penggunaannya secara bijaksana. Dengan kata lain dia lah yang mengelola hasil
ekonomi untuk kehidupan keluarga, dan rumahtangganya.. Dia sebagai sumber yang
sangat me-nentukan baik atau buruknya anggota keluarga. Dia menjadi panutan
dalam keluarganya, rumah tangganya dan kaumnya, tempat bertanya dan meminta
pendapat. Perempuan adalah induk atau ibu tempat mengadukan segala persoalan.
Semua ini tersirat dalam `Kok hiduik tampek banasa. Kok mati tampek baniaik.`
Dua bait terakhir dari kutipan diatas yaitu `Ka undang undang ka Madinah. Ka
payuang panji ka sarugo` menguatkan bahwa idealnya perempuan menjadi panutan,
suri tauladan baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian sebagai
perempuan, dia harus dapat menjaga dirinya dari aib yang akan merusak nama
keluarga. Dari perspektif feminis ada dua hal yang berkontradiksi dari kutipan
diatas. Di satu sisi dapat diartikan bahwa sebagai perempuan dia tahu
menghargai dirinya. Dia harus mawas diri sehingga dapat menjauhi tindakan yang
melecehkan dirinya sendiri yang merupakan umpan empuk bagi patriarki. Di sisi
lain perempuan dituntut untuk memiliki ciri dan sifat sesuai ketentuan yang
diciptakan patriarki. Christyawaty dalam makalahnya (2002) mengungkapkan bahwa
perempuan Minang secara ideal tradisional menduduki posisi yang layak. Sebagai
penerus generasi dia berhak menjadi pewaris, pengelola hasil dari sumber
ekonomi keluarga serta mempunyai hak suara dalam musyawarah.
Menurut Adat Minangkabau Bundo Kanduang mempunyai hak suara yang sama
dengan kaum laki-laki dalam musyawarah. Suara dan pendapat perempuan sangat
menentukan lancar atau tidaknya suatu pekerjaan yang akan dilaksanakan di dalam
lingkungan kaum dan pesukuan (Hakimy 1978). Artinya dia tidak dimarginalkan
tetapi diikut-sertakan dalam membuat suatu keputusan. Dengan demikian posisi
perempuan setara dengan laki-laki bahkan lebih tinggi dalam beberapa hal.
Mereka dapat berbagi dan berdiskusi dengan laki-laki untuk mencari solusi yang
terbaik. Pepatah Minang lainnya yang mendukung posisi perempuan ialah `duduak
samo randah tagak samo tinggi`. Ungkapan ini memberikan makna bahwa hubungan
yang terbentuk dalam masyarakat adalah kesetaraan bukan hirarki. Jadi setiap
musyawarah perempuan tidak pernah ditinggalkan. Dengan demikian terlihat bahwa
pada dasarnya menurut adat Minang perempuan tidak dimarginalkan melainkan
memiliki posisi. Jadi emansipasi bagi perempuan sudah berjalan sejak dulu dalam
budaya Minangkabau. Namun kepemimpinan tetap dipegang oleh laki-laki sebagai
mamak. Sehingga peranan laki-laki dalam keluarga juga sangat menentukan. Dia
tidak saja bertanggung jawab sebagai ayah dalam keluarganya, tetapi juga
bertanggung jawab atas anak-anak dari saudara perempuannya yang disebut sebagai
kemenakannya. Tata aturan kehidupan ini tergambar dari Rumah Gadang tersebut.
Walaupun kekuasaan terletak di tangan laki-laki, dia tidak dapat berbuat semaunya
atas harta warisan yang dipegang oleh perempuan. Apa pun yang akan dilakukan
laki-laki atas harta warisan harus mendapat persetujuan dulu dari perempuan.
Laki-laki juga diikut-sertakan dalam musyawarah keluarga istrinya tetapi
sebagai Urang Sumando (tamu dalam keluarga istrinya) dia hanya boleh memberikan
pendapat kalau diminta dan pendapatnya ini dapat dipertimbangkan (Rajab.
1969).
Perempuan Minang juga dituntut menjadi perempuan yang mandiri, tidak
menggantungkan hidupnya secara ekonomi pada orang lain. Dia harus bisa mengatur
kehidupannya sendiri agar hidupnya tidak membebani orang lain. Dia harus arif
akan situasi yang dihadapinya sehingga dapat mengambil tindakan yang harus
dilakukannya. Ikut berpikir mencari solusi untuk persoalan yang dihadapi dan
bersedia bekerja keras demi keluarganya. Kemandirian ini tercermin dari kutipan
di bawah ini;
Namuah bajariah
bausaho
Pandai malukih
manarawang
Pandai maukia jo
batanun
Tahu disuri mato
karok
Tahu di batang rabah
tagak
Arif bijaksano
digunokan
Kok tak pandai bak
kian
Bukan banamo
parampuan (A.B. Datuk Madjo Indo 1999.yang dikutip Christyawaty)
Yang dimaksud dengan parampuan menurut adat Minangkabau adalah gadis, istri
ataupun ibu yang senantiasaa mempunyai sifat terpuji menurut adat, yang
dilengkapi dengan segala kecakapan dan pengetahuan sesuai kemampuan perempuan
serta berbudi luhur (Hakimy 1978). Makna yang dapat ditangkap dari kutipan ini
ialah perempuan tidak hanya harus menyadari kemampuannya tetapi diberi peluang
untuk mengembang-kan potensi diri bahkan dituntut untuk dapat menggali potensi
tersebut. Untuk itu dengan sendirinya perempuan harus memiliki pendidikan dan
ilmu pengetahuan. Kemampuan-nya ini dapat diandalkannya untuk hidup sehingga
dia tidak lagi menggantungkan hidup-nya secara ekonomi pada laki-laki, baik
sebagai ayah maupun sebagai suami. Seorang perempuan ikut bertanggung jawab
atas kehidupan keluarga, rumahtangga dan masya-rakatnya. Bertanggung jawab atas
dirinya, menjaga sikap untuk menjaga nama baiknya dan keluarga. Menghormati
orangtuanya serta ninik-mamak. Mengerti dan memahami apa yang akan dihadapi
oleh keluarga. Dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana dia berada,
tahu menempatkan diri sesuai pada tempatnya agar tidak janggal di mata
masyarakatnya, misalnya menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih kecil
dan menghargai sesama besar, memahami adat dan aturan yang berlaku di dalam
budaya Minangkabau. Sebagai istri dia bertanggung jawab atas rumah tangganya,
pandai mengatur kehidupan rumah tangga, setia mendampingi suami baik dalam
keadaan susah maupun senang. Dia tidak hanya menyerahkan nasib pada suaminya
tetapi ikut membantu suami dalam mengelola rumah tangganya, bahkan turut
meringankan beban rumah tangga. Sebagai ibu dia bertanggung jawab atas
anak-anaknya, mendidik mereka baik secara mental maupun sipritual sehingga
tidak salah jalan dalam menempuh dan menetapkan pilihan dalam hidupnya. Jadi
tanggung jawab serta tuntutan terhadap perempuan dalam budaya Minang cukup
berat.
Seperti budaya lainnya, budaya Minangkabau tidak bersifat statis melainkan
sangat dinamis. Budaya ini mengakui hakekat perubahan dan terbuka untuk
perubahan tersebut. Pepatah Minang telah mengungkapkan kedinamisan budaya ini `
Sakali aie gadang, sakali tapian barubah` maksudnya kalau air bah datang tepian
sungai tentu akan berubah. Ungkapan ini memberikan makna bahwa masyarakat
Minang menyadari bahwa peru-bahan itu akan terjadi dan mereka harus mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan itu. Mereka tidak akan menghindari perubahan
tetapi berusaha mengantisipasi atau menyiap-kan diri untuk perubahan yang
dihadapinya. Akan tetapi aie gadang atau air bah yang datang biasanya
memporak-porandakan semua yang sudah tertata dengan rapi. Air bah tersebut
merusak tatanan yang telah ada atau yang telah digunakan sebelumnya. Akan
halnya modernisasi yang bagaikan air bah, melanda nilai-nilai yang menjadi
karakter dasar masyarakat Minang umumnya. Tuntutan kebutuhan hidup misalnya,
yang sangat meningkat membuat sikap hidup menjadi sangat individualis dan
materialistik. Sehingga hubungan sosial yang ada dalam masyarakat tidak lagi
bersifat vertikal melainkan cenderung bersifat horisontal. Jadi harta, pangkat,
kedudukan, seragam dan segala embel-embelnya ikut mengkondisikan orang untuk
menduduki posisi tertinggi dalam masyarakat.
Dari judulnya saja `Negeri Perempuan` novel ini sudah menimbulkan
pertanyaan seperti: ada apa dengan Negeri Perempuan? Masalah apa yang dihadapi
dalam negeri perempuan? Dan masihkah perempuan dapat mempertahankan negerinya
dizaman adikuasa ini? Negeri Perempuan karya Wisran Hadi mengangkat
permasalahan sirnanya posisi kaum perempuan Minangkabau. Dalam novel ini sosok
perempuan Minangkabau direpresentasikan oleh Bundo yang selalu didampingi oleh
anak perempuannya Reno. Reno adalah seorang perempuan karir, yang memilih
menjadi dosen. Selain Bundo dan Reno, novel ini juga menghadirkan tokoh
perempuan lainnya yaitu Oncu1 adik seibu dengan
Bundo, Marajuti2, dan Bu Lansia3. Kehadiran
tokoh-tokoh ini memperlihatkan kekuatan sekaligus melemahkan posisi perempuan.
Bundo dan Reno digambarkan sebagai perempuan yang berusaha menjalankan
peranannya sesuai tatacara adat dalam budaya Minang, namun mereka terdesak dan
tak berdaya ketika posisinya diambil alih begitu saja. Sementara Oncu, Marajuti
dan Bu Lansia memanfaatkan kekuatan yang didasarkan pada materi, kepangkatan
dan kecemburuan sosial. Mereka tidak menem-patkan diri pada posisi perempuan
menurut tatanan budaya Minang.
Fokus penceritaan adalah Bundo dan anaknya Reno yang merefleksikan posisi
perempuan dalam adat Minangkabau. Bundo adalah perempuan tertua dalam
keluarganya begitu pula Reno. Melalui Bundo dan Reno novel ini mempresentasikan
celah-celah yang memberikan peluang yang menyebabkan tergesernya posisi
perempuan. Alur cerita diawali dengan perubahan yang terjadi pada tatanan hidup
masyarakat Minang. Pembangunan daerah wisata yang didirikan di tanah pusaka
Bundo memberikan corak baru bagi kehidupan kaumnya. Perubahan lapangan kerja
dan pola pikir manusia ikut membentuk pola tingkah laku serta karakternya.
Secara tidak langsung peranan Bundo mulai tergeser. Dia tidak lagi
diikut-sertakan dalam pengelolaan wilayah ini apalagi sebagai penentu atau
tempat bertanya. Tempatnya telah diambil alih oleh orang-orang yang berwenang
mengurus wisata demi pembangunan daerah. Dengan adanya perubahan,
benturan-benturan sosial mulai terjadi. Konflik demi konflik mulai bermunculan.
Namun Bundo digambarkan oleh narator sebagai orang yang berlapang dada menerima
semua perubahan demi kemakmuran kaumnya.
Konflik pertama ialah ketika Bundo dihadapkan pada pendirian Rumah Gadang
Limo Ruang. Menurut adat Minang, Rumah Limo Ruang dapat didirikan oleh suatu
kaum apabila di dalam kaum itu ada penghulu ( Hadi. 57). Pembangunan rumah ini
dipaksakan karena materi yang mendukungnya. Marajuti mendesak kakak
laki-lakinya untuk mendirikan rumah tersebut di kampungnya. Ambisi Marajuti
dipicu oleh materi yang dimiliki oleh sang kakak, Diringgiti4. Pembangunan rumah
ini memicu perdebatan yang sengit di antara para penghulu yang merasa bahwa
Marajuti telah melangkahi aturan yang ada. Di sini tersirat betapa nilai-nilai
budaya yang dianut selama ini mulai luntur hanya karena materi. Mereka tidak
lagi menjalankan tata cara, aturan sebagaimana mestinya. Benturan ini tercermin
dari kutipan berikut:
……” Sudah setengah abad aku hidup di sini, setiap orang
yang akan mendirikan Rumah Limo Ruang harus memberitahu Bundo lebih dulu. Tapi
Marajuti tidak melakukannya. Bukankah ini awal dari suatu pelecehan terhadap
adat itu sendiri?. Katanya mau beradat, tapi dia sendiri yang melecehkan
adatnya” (Hadi. 59)
Jelas rusaknya tatanan budaya, tidak saja oleh arus dari luar, melainkan
oleh kaumnya sendiri yang menganggap dirinya moderen, tetapi tidak memahami
aturan peradatan, norma serta nilai-nilai yang terkandung dalam budayanya
sendiri. Materi yang dimilikinya ikut berbicara dan menentukan apa yang akan
dilakukannya. Peranan Bundo tidak terlihat lagi, dikalahkan oleh materi. Ambisi
yang didukung oleh materi lebih mendapat tempat ketimbang norma budaya itu
sendiri. Bundo dan Reno tidak dapat berbuat selain memberikan maaf atas apa
yang telah mereka lakukan dengan harapan peristiwa ini tidak akan terulang
lagi. Keikhlasan Bundo yang disampaikan melalui putusan Reno tergambar dari
kalimat ini `Yang terlanjur sudahlah, tapi jangan diulangi untuk masa yang akan
datang`(Hadi.65).
Konflik ternyata belum berhenti tetapi berlanjut dengan keinginan Marajuti
untuk menjadikan kakaknya penghulu. Pemilihan penghulu menurut adat dalam
budaya Minang adalah berdasarkan `raso jo pareso`, serta alua dan patuik.
Artinya orang dapat menduduki posisi tertentu karena `arif bijaksana, berbudi
luhur, punya rasa kemanusiaan yang tinggi, serta memahami aturan, norma, nilai
adat yang berlaku dan pantas untuk memegang posisi tersebut, disetujui oleh
kaumnya, dan ditentukan oleh hasil musyawarah serta mufakat. Selain itu, gelar
penghulu tersebut berlaku turun temurun dari mamak ke kemenakan. Gelar ini baru
dapat dipakai oleh kemenakan kalau mamak tidak lagi dapat menjalankan tugasnya
sebagai penghulu atau kepala kaumnya, karena tutup usia atau sudah uzur.
Pergantian ini harus dimusyawarahkan dan dimufakatkan untuk menetapkan siapa
kemenakan yang pantas menyandang gelar ini. Bukan ditetapkan oleh atasannya,
atau terpilih karena kepangkatannya, apalagi atas kemauan sendiri.Terlihat di sini
kecenderungan manusia yang didorong oleh keserakahan serta ambisi untuk
memiliki segalanya. Kemiskinan akan pengetahuan budaya tetapi bergelimang
materi merupakan faktor untuk membuat orang buta akan hal yang sangat krusial
sehingga menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Jadi memberikan gelar
penghulu kepada orang yang bukan alurnya, dan tidak sesuai dengan adat yang
berlaku jelas telah menyalahi norma yang berlaku. Hal ini hanya dilakukan oleh
orang yang tidak mengerti tentang adat. Dalam hal ini Bundo harus berlapang
dada memberikan izin untuk memberikan gelar penghulu pada Diringgiti.
Semua acara penobatan ini seharusnya diselenggarakan di rumah Bundo,
sebagai perempuan tertua dalam keluarga dan kaumnya. Oncu, adik Bundo seibu
yang ketakutan bahwa bundo akan mendapat materi yang berlimpah dari Diringgiti,
merebut penyeleng-garaan ini. Karena dia tidak memahami peradatan dan tata cara
serta nilai adat yang sesungguhnya, terjadilah ketimpangan-ketimpangan, yang
menimbulkan penyimpangan. Sementara Bundo dan Reno berusaha untuk tetap
menjalankan fungsinya sesuai aturan dan norma adat Minangkabau.
Alur terus bergerak membentur konflik yang lebih pelik. Bu Lansia istri
seorang kepala daerah juga sangat berambisi mendapatkan gelar penghulu untuk
suaminya. Dengan dalih kepala daerah dia harus menjadikan suaminya sebagai
penghulu pula dalam nagari tersebut. Di sini terlihat ambisi telah ikut
mengkondisikan terciptanya ruang salah tempat. Bu Lansia memanfaatkan
kepangkatan yang dimiliki oleh suaminya, tanpa memahami nilai-nilai budaya yang
sudah tertata. Sesuai dengan namanya Bu Lansia( Langsir), cenderung bertindak
seenaknya menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya sehingga terjadi salah
tempat. Menjabat penghulu jelas tidak berkaitan samasekali dengan menjadi
pejabat. Kedudukan atau posisi yang didapatkan seseorang dalam suatu
pemerintahan tidak dapat disamakan dengan kedudukan atau posisi yang didapatkan
seseorang dalam kaumnya.
Bundo dan Reno untuk kesekian kalinya mengalah, terpaksa memberikan izin untuk
penobatan gelar tersebut. Ada dua makna yang dapat diambil dari kutipan berikut
ini:
….. para penghulu langsung menanyakan dan mendesak Reno
apa nama gelar yang pantas diberikan pada Barajoan5. Setelah beberapa
saat diam, Reno kemudian menetapkan bahwa nama gelar yang tepat dipakai oleh
Barajoan adalah Bakaresi6. Tidak seorang pun
dari yang hadir memrotes…………………. Para penghulu yang dikenal kritis dan jago
pepatah petitih itu tiba-tiba diam dan menerima sebuah putusan dari seorang
perempuan. (117)
Pertama tentang posisi perempuan. Keputusan untuk menolak penobatan
penghulu jelas tidak dapat dilakukan oleh Reno. Pemaksaan kehendak, yang
diselubungi oleh kepang-katan, untuk menjadi penghulu secara tidak langsung
sudah menggeser posisi serta fungsi Bundo dan Reno sebagai perempuan.
Segelintir fungsi Reno masih berjalan pada tempat-nya, yaitu membuat keputusan
dan ikut menentukan gelar penghulu. Menurut Hakimy (1978) gelar penghulu (gelar
pusaka) dalam suatu kaum tidak dapat dilaksanakan kalau kaum perempuan belum
setuju. Dan kalau terjadi yang demikian dilaksanakan juga, dianggap
pengangkatan gelar penghulu tersebut tidak sah. Di sini fungsi Bundo dan Reno
masih diakui oleh sekelompok kecil yang masih tunduk akan norma serta aturan
adat, yang direpresentasikan oleh sekelompok penghulu. Mereka tidak dapat
melaksanakan penobatan kalau belum diikut-sertakan Bundo dan Reno. Kedua, makna
dari nama `Barajoan` dalam bahasa Minang ialah merajakan diri sendiri. Jadi dia
sendiri yang menganggap bahwa dirinya raja. Sehingga bebas melakukan apa yang
diinginkannya. Arogansinya lebih menonjol didukung oleh posisi yang didudukinya
dalam pemerintahan bukan dalam adat dan budaya Minang. Begitu pula makna dari
kata `Bakaresi` (dikerasi) mempunyai konotasi yang negatif bagi masyarakat
Minang. Artinya kepenghuluan yang didapatkannya bukanlah pilihan kaum ataupun
masyarakat atas sifatnya yang arif bijaksana atau budi luhurnya dan pantas
untuk memangku gelar tersebut, disetujui kemenakan serta kaumnya melainkan
karena pemaksaan kehendak. Jadi kepenghuluan yang dimilikinya bukanlah alur serta
haknya dan tidak pada tempatnya yang merupakan suatu distorsi kepenghuluan.
Kepangkatannya telah bermain untuk menciptakan kondisi salah tempat. Sebagai
intelektual dan hidup di zaman serba moderen tokoh seharusnya dapat memahami
dan mendalami norma dan nilai–nilai budayanya sendiri. Akan tetapi yang terjadi
adalah sebaliknya, justru dia yang memulai menciptakan ruang salah tempat.
Arogansi kepemimpinan yang direfleksikan oleh tokoh (Barajoan) dapat
ditemui dalam masyarakat riil. Begitu banyak orang yang salah kaprah
mengartikan posisi kepenghuluan. Penghulu bukan raja, atau bangsawan. Memang
penghulu memegang kekuasaan tetapi bukan kekuasaan penuh seperti seorang raja.
Mereka dipilih dan dapat diberhentikan dari penghulu oleh kaumnya sewaktu-waktu
kalau dia tidak memenuhi persyaratan lagi. Sementara raja tidak dapat
digantikan begitu saja, semua titahnya adalah aturan yang harus dipatuhi. Jadi
ada semacam gejala baru dalam masyarakat untuk membangsawankan diri. Mereka
menganggap dengan demikian harkat dirinya sebagai manusia terangkat.
Konflik ini terus memuncak sampai pada persoalan payung kuning yaitu payung
kebesaran untuk raja atau pucuk adat (pimpinan tertinggi dalam kaum). Reno
memperlihatkan kekuasaannya serta menegakkan adat dan norma yang seharusnya.
Dia tidak mengizinkan pemakaian payung kuning yang tidak pada tempatnya. Dari
kutipan berikut ini tercermin bagaimana Reno berusaha mempertahankan posisi dan
fungsinya yang sudah mulai sirna.
“ Palimo! Payung kuning itu bukan milik kalian! Aku yang
berhak memutuskan siapa yang harus dipayungi dan siapa yang tidak! Payung itu
tidak boleh dikeluarkan! Sudah kuberi kebebasan di rumahku malah mau mengambil
semua yang ada!” katanya tajam. Kemudian dia maju beberapa langkah lagi ke
depan Palimo. “ Palimo tahu, bukan si Joan yang harus dipayungi dengan payung
pusakaku! Katakan kepada induk semangmu itu! Dia tidak akan dipayungi dengan
payungku walau berapa pun tinggi pangkatnya di negeri ini! “ lanjut Reno………
(129-130)
Ketegasan dan putusan Reno mencerminkan bahwa dia orang yang menentukan
dalam mengatur harta benda keluarga serta penggunaannya. Payung kuning adalah
payung yang digunakan hanya untuk memayungi penghulu Pucuk ( pimpinan tertnggi)
pada upacara adat. Tidak semua penghulu dapat menggunakannya. Payung kuning
merupakan ikon yang memberikan makna serta nilai tersendiri. Reno menegakkan
nilai-nilai yang sakral. Penyalahgunaan payung kuning secara sembarangan
berarti menurunkan nilainya. Di samping itu juga dapat dimaknai bahwa upacara
kepenghuluan hanyalah semacam ritual sekedar memenuhi persyaratan budaya.
Kehadirannya cenderung merupakan suatu keharusan saja. Seperti yang diungkapkan
oleh Hardiman dalam tulisannya (Kompas July 2003). Masyarakat kita tidak lagi
sepenuhnya feodal, juga belum sepenuhnya demokratis, melainkan sebuah salad,
sebuah kesalahtempatan sosial. Jadi mereka yang menganggap dirinya intelek dan
moderen ternyata sangat dangkal pengetahuannya akan budaya sendiri. Sehingga
tanpa disadari inilah faktor-faktor yang ikut menghancurkan norma serta
nilai-nilai budaya yang katanya harus dilestarikan.
Arogansi dan ambisi yang tinggi mulai berbicara menghalalkan segala cara.
Nilai dan kesakralannya tidak menjadi soal. Hal ini hanya dapat dipahami oleh
orang yang mengerti makna sebuah simbol budaya. Kebutaan akan norma dan nilai
budaya ter-gambar dari tindakan Bu Lansia yang menyuruh orang membuat payung
kuning tersebut untuk suaminya. Jadi upacara adat yang diadakan untuk Barajoan
sesuai dengan selera mereka yang menganggap dirinya moderen, namun tidak sesuai
dengan norma dan nilai adat yang seharusnya. Seperti yang tersirat dari kutipan
berikut ini:
……. “Semuanya berpakaian lengkap. Barajoan beserta
seluruh familinya memakai pakaian adat yang sangat meriah. Bertabur kilatan
cahaya mulai dari destar sampai keujung sepatu. Bu Lansia sebagai istri
penghulu memakai pakaian adat yang sudah dimodifikasi. Meriah dan serba
gemerlapan. Barajoan dipayungi dengan payung kuning yang dibawa keluarganya
sendiri.
……………………………………………………………
…. “ Mereka membawa payung sendiri” bisik salah seorang perempuan di
samping Reno.
“ Seratus buahpun payung seperti itu dipakainya di rumah
ini tidak akan ada artinya” jawab Reno tersenyum. Bundo mencubit bahu Reno
pelan sambil tersenyum.(133-134)
Kata `bertabur kilatan cahaya` , `serba gemerlapan` dan `modifikasi``
mencerminkan adanya unsur-unsur baru yang diserap tanpa mempertimbangkan
nilainya. Secara ideal tradisional, adat Minang tidak memakai model yang
diungkapkan diatas, yang menunjukkan uporia. Adat Minang dikenal dengan
falsafahnya`hemat dan pantas`. Begitu pula semua larangan serta fasilitas yang
tidak diizinkan penggunaannya, bagi kelompok ini bukanlah merupakan hambatan
yang berarti. Nilai bukanlah menjadi persoalan yang signifikan apalagi simbol
yang mencerminkan kesakralan. Bagi kelompok ini sepertinya keuporian lebih
diutamakan dibanding kesakralan. Sehingga upacara ini tidak lebih sekedar
ritual saja. Pada hal upacara untuk penghulu bukanlah semacam upacara
pelantikan dalam kurun waktu yang tertentu, akan tetapi upacara kepemimpinan
sekaligus penegakan norma serta nilai-nilai budaya yang akan dijalankan oleh
masyarakatnya. Kehadiran materi dan kekuasaan secara implisit lebih signifikan.
Norma seperti posisi perempuan dapat diambil alih oleh materi dan kekuasaan
tersebut.
Alur terus berjalan mencapai klimaks yaitu pendirian Rumah Gadang Sambilan
Ruang. Rumah ini adalah rumah raja yang digunakan untuk pertemuan para
penghulu, dan kerapatan adat. Rumah tersebut merupakan simbol kerajaan Minangkabau.
Bundo adalah Bundo Kanduang, pewaris sah rumah gadang yang terbakar. Pendirian
kembali rumah gadang ini diperkasai oleh Rajasyah dari Negeri Sembilan, yang
masih keluarga Bundo. Menurut aturan, pendirian Rumah Gadang tidak boleh
dimonopoli oleh satu orang tetapi diurun rembuk, didirikan oleh keluarga, dan
kaum. Dua penghulu gadungan, Barajoan dan Diringgiti, berebut untuk mendirikan
rumah itu kembali di tanah pusako Bundo. Diringgiti memonopoli pendirian rumah
karena materi yang dimilikinya dengan alasan membalas budi baik Bundo.
Sementara Barajoan merasa berhak karena posisinya sebagai penguasa di daerah
tersebut.
Pembangunan ini akhirnya diambil alih oleh Barajoan sebagai kepala daerah
dengan dalih membangun nagari. Rumah ini dijadikan tempat orang mendapatkan
informasi tentang budaya Minang. Dalam pembangunan ini terlihat betapa ambisi,
kekuasaan dan pemaksaan kehendak semakin merajalela. Bentuk, tata ruang, serta
ukiran rumah tersebut sesuai selera penguasa. Ditambah lagi Bu Lansia sebagai istri
pejabat ikut mengatur warna dan dekorasi yang menurutnya harus moderen dan
semarak. Tidak ketinggalan Oncu yang meminta ukuran rangkiang di halaman rumah
harus sama besar walaupun menyalahi adat. Dia tidak mau mendapat rangkiang yang
lebih kecil dari Bundo. Barajoan telah mengunakan kekuasaannya membangun rumah
tersebut sesuai dengan aturan yang dibuatnya sendiri tanpa musyawarah apalagi
meminta pendapat Bundo.
“Seluruh bangunan di daerah ini sudah saya perintahkan
agar semua atapnya diberi tajuk. Demi menjaga kelestarian arsitektur nenek
moyang kita. Masa Rumah Sambilan Ruang tidak mengikuti ketetapan yang saya buat
sebagai kepala daerah?” kata Barajoan ketika beberapa orang penghulu mencoba
menjelaskan tentang pemakaian tajuk pada sebuah dapur.” ( 265)
Dari kutipan diatas tergambar pemaksaan kehendak memegang peranan yang
sangat penting. Semua aturan yang dipakai dalam budaya Minang hilang tanpa
kesan digantikan oleh arogansi yang tinggi. Kata `musyawarah` apalagi mufakat
yang selama ini menjadi falsafah hidup masyarakat Minang hilang tanpa noda.
Hirarki timbul dengan `aku yang berkuasa`. Apalagi falsafah hidup `alua dan
patuik` dan `katuju dek urang banyak` terkikis habis tanpa meninggalkan bekas.
Jadi pelestarian budaya yang diagung-agungkan selama ini, ternyata adalah
budaya yang diisi oleh kearoganan dan kekuasaan. Artinya budaya yang direkayasa
menurut selera penguasa yang menganggap dirinya mahatahu. Para penghulu tidak
lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Akan halnya posisi perempuan dalam kutipan
ini terhapus sudah, mereka bahkan tidak diikut-sertakan sama sekali. Sebutan
Bundo kanduang masih diagungkan namun mereka tidak tahu pasti posisinya dimana.
Mereka dikalahkan oleh kekuasaan yang berada di tangan penguasa yang bertopeng
kepala daerah. Menurut Foucault (1977.p175) kekuasaan sama luasnya dengan
lembaga sosial, tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah
jaringan-nya; relasi-relasi kekuasaan saling terjalin dengan jenis relasi lain
dimana mereka memainkan sekaligus peran pengondisian dan yang terkondisikan.
Jadi materi, kepang-katan, ambisi serta arogansi saling mendukung dan
memperkuat kekuasaan yang meng-kondisikan perempuan termarginal. Mereka tetap
hadir tetapi hanya sebagai lambang Bundo Kanduang. Fungsi dan posisinya hanyut
dibawa arus deras modernisasi.
Posisi perempuan yang kini sirna, tersirat pada akhir cerita. Alur cerita
diakhiri oleh kebingungan Reno akan posisi dirinya sebagai perempuan dalam
budaya Minang. Dia berada dalam ketidakpastian akan posisinya. Secara teori
perempuan dikatakan mempu-nyai posisi, namun dalam kenyataan dia adalah
kelompok yang dimarginalkan.
……..” Siapakah sebenarnya dirinya yang kini sedang
berhadapan dengan monumen kebanggaan itu, sementara dia merasakan tidak punya
kebanggaan apa-apa lagi. Siapakah dirinya yang berdiri sendiri di hadapan
sejarah kerajaan Nagariko? Siapakah dirinya yang tertegun sendiri diantara
kebanggaan masa lalu dengan keraguan hari ini. (272).
Kutipan ini mengartikulasikan suara perempuan yang posisinya di ambang
kepunahan. Mereka tidak lagi berada dalam kelompok musyawarah, yang
merepresentasikan kesetaraan. Mereka ada tetapi tiada. Artinya kualitas sebagai
Bundo kanduang tersebut telah sirna. Sungguh ironis memang. Sementara
emansipasi perempuan untuk merebut posisi kesetaraan itu sangat marak sejalan
dengan modernisasi. Akan tetapi yang terjadi di dalam budaya Minangkabau
sebaliknya. Perubahan sosial dan pola pikir yang mem-pengaruhi karakter manusia
dan budayanya secara tidak langsung telah menyingkirkan posisi perempuan. Jadi
posisi perempuan yang secara tradisional tidak dimarginalkan sekarang justru
menjadi kabur. Rumah Gadang didirikan dengan segala kepalsuannya, tanpa
memiliki Limpapeh dalam arti sebenarnya. Menurut norma, rumah gadang tidak akan
berdiri kalau tidak ada Limpapehnya. Artinya adat tidak akan berjalan
sebagaimana mestinya kalau fungsi dan posisi perempuan tidak ada.
Dari segi pendidikan perempuan Minang tidak ketinggalan, pada dasarnya
peluang itu dari awal sudah ada dan sekarang bahkan makin berkembang. Jadi
budaya Minang yang menuntut perempuan bersifat cerdik, tahu dan pandai (
Hakimy1978) tidak tergeser melainkan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari
banyaknya perempuan Minang yang berhasil dalam karirnya di segala bidang
kedisiplinan ilmu. Dalam novel ini pendidikan dan pengetahuan perempuan Minang
direpresentasikan oleh Reno. Dia tidak hanya tinggal dirumah sebagai istri
tetapi menjadi perempuan karir, yaitu sebagai dosen. Reno betul-betul
mencerminkan ciri perempuan Minang: Bundo Kanduang dalam keluarga dan kaumnya,
istri/ibu dalam rumah tangganya dan pendidik serta kaum intelektual di dalam
masyarakat luas. Dia telah memainkan peran yang berbeda dalam situasi yang
berbeda pula. Konteks sosial telah melibatkan dan menempatkannya dalam makna
sosial yang saling berbeda. Menurut Hall (yang dikutip Woodward 1999) ada
saatnya kita dipo-sisikan secara berbeda pada waktu dan tempat yang berbeda
sesuai dengan peranan sosial yang kita mainkan. Dengan demikian peranan sosial
mempunyai makna serta nilai tersendiri di dalam situasi dan kondisi tertentu.
Ironisnya Marajuti, Bu Lansia serta Oncu justru menempatkan dirinya pada posisi
yang berlaku untuk semua situasi dan kondisi. Mereka tidak memahami peran yang
dimainkannya sehingga salah tempat lebih banyak ditimbulkan oleh tindakannya.
Mereka telah salah kaprah mengartikan fungsi dan posisi perempuan dalam budaya
Minang. Tanpa laki-laki, mereka tidak berarti sama sekali. Tanpa Diringgiti
yang mengandalkan materinya, Marajuti tidak mempunyai kekuatan. Begitu pula Bu
Lansia, tanpa suaminya yang pejabat pemerintahan, dia tidak akan mendapatkan
kekuasaan. Oncu mendapatkan keinginannya karena kebaikan hati Bundo. Ketiga
perempuan ini menggunakan peluang yang merupakan gambaran keinferioran
perempuan. Mereka didominasi oleh patriarki dan nafsunya sendiri. Dan mereka
jualah yang membuat patriarki semakin dalam mencekamkan kuku-kukunya. Mereka
bukanlah Bundo Kanduang yang diinginkan oleh budaya Minang. Semua tindakan yang
dilakukannya tidak mencerminkan sifat-sifat Bundo kanduang menurut alua dan
patuik, apa lagi raso jo pareso dalam budaya Minangkabau.
Dua tokoh laki-laki, Diringgiti dan Barajoan, lebih mencerminkan
stereotipnya laki-laki. Mereka menunjukkan kekuasaannya dengan mengandalkan
materi dan kepangkatan. Kedua tokoh ini mempresentasikan bagaimana patriarki
muncul ke permukaan sembari memperkokoh tempat berdirinya. Keberjayaan
patriarki tidak hanya dalam novel melainkan dapat dirasakan dalam perkembangan
yang terjadi pada budaya Minangkabau yang dikenal dengan sistem kekerabatan
matrilinial.
Penggambaran posisi perempuan Minangkabau pada era Modernisasi dalam novel
Negeri Perempuan ini cukup memprihatinkan. Modernisasi yang diyakini sebagai
pembawa pencerahan bagi perempuan karena memberikan peluang untuk mencapai
kesetaraan, tidak berlaku sepenuhnya pada perempuan Minang. Modernisasi telah
membuat celah-celah bagi unsur-unsur yang dapat menggeser posisi perempuan yang
secara tradisional lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini dapat disadari begitu
banyak faktor yang membuat posisi perempuan di ambang kesirnaan. Gaya hidup dan
pola pikir masyarakat merupakan faktor utama yang memperkasai sirnanya posisi
tersebut. Rumah Gadang yang selama ini tempat perempuan merepresentasikan
posisi dan fungsinya, sekarang hanyalah sebuah simbol. Bundo kanduang secara
perlaha-lahan tergeser bahkan dimarginalkan. Semua posisi dan fungsinya diambil
alih oleh patriarki yang terselubung di balik materi dan pejabat pemerintah.
Materi, kekuasaan dan ambisi yang bermain memberikan peluang pada patriarki
untuk mencekamkan kukunya lebih tajam dan memperkokoh akar-akarnya. Patriarki
tidak berarti laki-laki saja tetapi melibatkan perempuan. Dalam novel ini
terlihat begitu banyak perempuan yang mendukung patriarki dan menghancurkan
posisinya sendiri sebagai perempuan. Kemudian faktor yang tak kalah pentingnya
adalah kebutaan akan peradatan, tatacara serta nilai-nilai suatu budaya dapat
memusnahkan budaya itu sendiri.
Perubahan yang digambarkan oleh novel ini berkaitan dengan perubahan yang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Jadi novel ini bukan sekedar merefleksikan
hilangnya posisi perempuan serta permasalahan yang sedang dihadapi tetapi juga
mencoba memaparkan persepsi realita yang berkembang di dalam masyarakat luas.
Secara implisit novel ini telah memberikan pengetahuan serta informasi tentang
improfisasi salah kaprah terhadap budaya Minangkabau umumnya dan posisi
perempuan khususnya. Dengan demikian novel ini tidak hanya ditujukan pada
perempuan melainkan pada semua masyarakat Minang.
Satu hal yang dapat diambil dari novel ini adalah sikap kritis yang
ditampilkan secara implisit. Dengan permainan kata, misalnya yang terefleksi
dari nama-nama tokoh, nama daerah, narator berusaha memperlihatkan dan
membangkitkan kesadaran masyarakat Minangkabau khususnya untuk menyikapi
situasi dan kondisi yang hadir dalam realita. Dengan membaca novel ini sedikit
banyaknya orang akan mendapatkan gambaran tentang budaya Minangkabau yang
sesungguhnya. Kemudian menyadari bagaimana distorsi itu hadir dan menyebar yang
dipicu oleh berbagai faktor yang berkembang seiring dengan Modernisasi.
Patriarki pun ikut mencuat namun terselubung di balik modernisasi.
Christyawaty. Eny 2002 . Refleksi Perempuan Minangkabau
di Tengah Perubahan Sosial dalam Suluah Buletin Kesejarahan, Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Vol 2. No 3 Desember.
Dhavida. Usria (ed) 2002 Beberapa Naskah Kuno Sumatra
Barat . DPSS.Sumbar
Foucault . Michel. 1977. Power / Knowledge . Terjemahan
.Bentang Budaya. Yogyakarta.
Hadi. Wisran. 2001 Negeri Perempuan, Pustaka Firdaus.
Jakarta
Hakimy. Idrus, DT Rajo Penghulu. 1978 . Buku Pegangan
Bundo Kanduang di Minangkabau. CV Rosda . Bandung
…………1984 Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau .
Remaja Karya. Bandung
Hardiman. F.Budi . 2003 Merayakan Keterpecahan atau
tentang “ Ego yang Terfragmentasi” Bentara. Kompas 4 July.2003
Ibrahim. Anwar 1982. Upacara Tradisional Daerah Sumatra
Barat . Dokumen Kebudayaan Daerah. Depdikbud
Kleden. Ignas. 2003. Dua ProposisiTentang Perkembangan
dan kebijakan Budaya dengan Referensi Ajip Rosidi. Makalah Seminar Sehari
Sastra Sunda. Mei, UNPAD.
Rajab. Muhammad .1969. Sistem Kekerabatan di Minangkabau.
Center for Minangkabau Studies. Padang.
Syahrizal. 2002 Melihat Arah Perubahan Sistem Kekerabatan
Matrilinial Minang-kabau dalam Suluah Buletin Kesejarahan, Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Vol 2. No 3 Desember.
Woodward, Kathryn ( ed). 1999. Identity and Difference . Sage . London
3 Lansia (Lansir) ,
yakni bagaikan kereta api yang selalu bergerak memindahkan posisi gerbong (
Umar Yunus dalam kata pengantar Negeri Perempuan.)
4 Diringgiti: Kata
Ringgit merupakan simbol kekayaan bagi orang Minang. Jadi diringgiti maksudnya
dia diberi kekayaan. Dalam hal ini Diringgiti dimodali oleh mertuanya sehingga
kehidupannya berhasil.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di
Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar