OLEH
Puji Santosa
Pusat
Bahasa, Jakarta
puji_santosa@kompascyber.com
Pada tanggal 23–26 Maret 1988 di Universitas Bung Hatta, Padang,
Sumatera Barat, diadakan sebuah “Seminar Susastra Indonesia” yang membahas
tentang teori dan kritik susastra Indonesia yang relevan, yakni teori dan
kritik sastra yang berpijak pada bumi sendiri. Makalah seminar di Padang itu
kemudian dikumpulkan oleh Mursal Esten dan diterbitkan menjadi buku oleh
penerbit Angkasa Bandung (1989) dengan judul Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relavan. Namun,
sampai sekarang tidak ada gayung bersambut, tidak ada tindak lanjut atas
gagasan pencarian, penggalian, penemuan, dan pengembangan menjelang teori dan
kritik susastra Indonesia yang relevan dengan kondisi dan situasi karya sastra
Indonesia dan daerah yang disuarakan melalui seminar tersebut. Mereka (para
pembicara dan pencetus gagasan seminar itu) kemudian lebih asyik dan menarik
dengan teori-teori dan kritik sastra Barat. Kehidupan teori dan kritik sastra
Barat masih mendominasi kehidupan akademik di kampus-kampus perguruan tinggi di
Indonesia, juga sebagai sarana utama penelitian di lembaga-lembaga penelitian
di Indonesia, bahkan menjadi perbincangan hangat (tak pernah basi) di
forum-forum pertemuan ilmiah, seminar, simposium, dan kongres Bahasa Indonesia
dari waktu ke waktu.
Memang ada beberapa pakar sastra (selain para pembicara dalam seminar
itu) yang mencoba melontarkan gagasan teori dan kritik sastra yang berpijak
pada bumi sendiri, yakni berdasarkan pada karya sastra Indonesia dan daerah
yang ditelitinya. Namun, ada juga gagasan pengembangan teori dan kritik sastra
itu tetap tinggal sebagai gagasan saja. Tidak ada pengembangan lebih lanjut,
seperti kritik sastra ganzheit (Arief Budiman, 1968), kritik sastra Rawamangun
(M. Saleh Saad, 1968), kritik sastra kontekstual (Arief Budiman dan Ariel
Heryanto, 1984), dan kesusastraan pasemon
(Goenawan Mohamad, 1992). Ada juga gagasan penggalian teori dan kritik sastra
yang relevan dan berpijak pada bumi sendiri yang langsung diaplikasikan
terhadap karya sastra yang ditelitinya, seperti “kaidah estetika rasa dan yoga”
yang dilakukan oleh I Kuntara Wirjamartana (1990) dalam penulisan disertasinya
tentang Arjuna Wiwaha, dan “teori
sastra bangesgresem” ‘banyol, nges, greget, sem’ yang
dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono (1989) dalam penulisan disertasinya tentang
novel Jawa tahun 1950-an. Saya pun mencoba melontarkan gagasan tentang
“estetika kasunyatan” yang
diaplikasikan melalui telaah teks “Warisan Langgeng” karya R. Soenarto
Mertowardojo dalam Simposium Internasuonal Pernaskahan Nusantara VII, di Universitas
Udayana, Denpasar, Bali, 28–30 Juli 2003.
Ada beberapa penyebab yang menjadi kendala utama tidak dikembangkannya
lebih lanjut teori dan kritik sastra hasil penggalian dan penemuan sastra lokal
itu, misalnya (1) tidak adanya sambutan yang meriah dari khalayak masyarakat
sastra di Indonesia, (2) pencetus gagasan itu kurang percaya diri terhadap
hasil temuan dan galiannya, (3) para pakar, peneliti, kritikus, dan akademikus
lebih percaya dan lebih mantap dengan teori dan kritik sastra Barat, dan (4) tidak
ada semangat atau motivasi yang kuat dari pencetus dan penggali gagasan teori
dan kritik sastera yang relevan dengan karya sastra Indonesia itu untuk
dikembangkan lebih jauh dan mendalam. Kendala seperti itulah sekiranya yang
menghambat laju perkembangan teori dan kritik sastra yang relevan dengan
kondsisi dan situasi sastra di Indonesia.
Hal ini berbeda keadaannya dengan di negeri Malaysia. Shafie Abu Bakar
(Oktober 1992) melontarkan gagasan “teori sastra takmilah” sebagai teori sastra
Islam, bersifat syumul, lahir dari pendekatan keagamaan, dan falsafahnya
berprinsipkan tauhid (Hassan, 2003: 4). Menurut pengamatan Hassan (2003) teori
sastra takmilah telah mendapat sambutan dari para peneliti dan pengkaji sastra
Islam di Malaysia pada beberapa perguruan tinggi, seperti Universitas
Kebangsaan Malaysia (1996), Universitas Sains Malaysia (1999), Universitas
Malaya (1999), dan Universitas Putra Malaysia (1997). Sambutan meriah terhadap
“teori sastra takmilah” itu diwujudkan dalam bentuk penulisan disertasi peringkat
ijazah doktor, tesis peringkat ijazah tinggi (master), dan skripsi peringkat
ijazah pertama (sarjana). Bahkan, Hassan sendiri memperkenalkan “teori sastra
takmilah” melalui artikelnya yang bertajuk “Asar
Belum Berakhir Aplikasinya Terhadap Teori Takmilah” (Pangsura Bilangan 16 Jilid 9, Januari-Juni 2003: 3–18).
Lalu, apa dan bagaimana dengan gagasan teori sastra bangesgresem? Teori sastra bangesgresem
(akronim dari: banyol, nges, greget, sem) digali dari estetika
pedalangan gagrag Surakarta. Sapardi
Djoko Damono adalah pakar sastra yang menggali dan menemukan teori sastra bangesgresem yang kemudian diaplikasikan
terhadap telaah novel Jawa tahun 1950-an melalui disertasinya Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur (1989). Meski telah dicetuskan lebih dari satu dasawarsa
yang lalu dan buku disertasi itu telah diterbitkan dan cetak ulang dua kali
(Pusat Bahasa, 1993, dan Bentang Budaya, 2000), teori sastra bangesgresem kurang atau bahkan boleh
dikatakan tidak ada sambutan yang meriah dari masyarakat sastra dikarenakan
hanya merupakan suatu bagian dari bab “Dunia Pewayangan dalam Novel” pada
disertasi Sapardi itu. Seolah ada anggapan bahwa teori sastra bangesgresem yang
dilontarkan oleh Sapardi itu hanya cocok untuk menganalisis, menelaah, mendedah
novel-novel Jawa yang berbau cerita wayang. Apakah karena itu Sapardi sendiri
kurang serius mengembangkan teori sastra hasil galian dan temuannya? Dua buku
kumpulan esai Sapardi, Politik Ideologi
dan Sastra Hibrida (1999) dan Sihir
Rendra: Permainan Makna (1999) tak ada satu artikel pun yang berbicara
tentang teori sastra bangesgresem.
Saya telah mencoba memperkenalkan dan mengangkat teori sastra bangesgresem yang diaplikasikan dalam
ulasan singkat sajak-sajak Goenawan Mohamad dalam Kakilangit (sisipan majalah Horison)
nomor 39 Edisi bulan April 2000. Namun, sungguh amat disayangkan oleh Redaksi Kakilangit naskah itu tidak layak muat,
dianggap kurang sesuai dengan tingkat apresiasi siswa SLTA, dan ulasan itu
digantikan Agus R. Sarjono dengan artikelnya yang bertajuk “Goenawan Mohamad:
Mempertanyakan yang Mapan dengan Gumam”. Sementara itu, proses kreatif Goenawan
Mohamad yang bertajuk “Estetika Puisi Sebagai Pasemon” yang saya tulis tetap dimuat. Oleh karena itu, saya
perkenalkan konsep-konsep dasar teori sastra bangesgresem dan aplikasinya terhadap sajak-sajak Goenawan. Tentu
perkenalan itu hanya selintas, belum sampai pada permasalahan yang sesungguhnya
karena terbatasnya halaman. Sungguh beruntung siswa SLTA dan guru bahasa
Indonesia yang membaca Kakilangit sejak
awal telah mengenal teori sastra yang berbijak pada bumi sendiri. Rencana semua
tulisan di Kakilangit akan dicetak
menjadi buku oleh Horison atas bantuan
Ford Foundation.
Teori sastra bangesgresem bertolak
dari empat unsur estetika pedalangan wayang kulit (purwa) gagrag Surakarta, yaitu banyol,
nges, greget, dan sem, di samping
janturan, gendhing, sabetan, antawecana,
renggep, udanagari, dan tutug (Damono,
2000: 342). Keempat unsur estetika pedalangan itu erat sekali hubungannya
dengan emosi pembaca dan kemampuan dalang (juga sastrawan) menyusun kata-kata
dalam karya yang ditampilkan. Setiap pembaca karya sastra yang mendasarkan pada
estetika pedalangan beranggapan bahwa sastrawan yang benar-benar unggul dan
berkualitas adalah seorang sastrawan yang mampu menghadirkan lelucon sehingga
pembaca merasa geli atau ikut tersenyum karena ada sesuatu yang lucu, humor,
jenaka (banyyol), mampu membuat
terharu ketika dalam suasana sedih dan duka (nges), mampu menimbulkan ketegangan sehingga menggugah emosi
pembaca dengan geram serta amarahnya ketika dalam suasana menjengkelkan dan
heroik (greget), dan mampu
membangkitkan kepekaan erotisme pembaca (sem).
Banyol arti harafiahnya: ‘lucu’, ‘jenaka’ (KBBI,
2001: 106), ‘canda’, ‘humor’, dan ‘lawak’. Sementara, kata banyolan berarti ‘lelucon’, ‘lawakan’, ‘gurauan’, ‘kelakar’, dan
‘olok-olok’. Banyol merupakan unsur
estetika sastra yang mengandung sifat lucu, jenaka, lawakan, atau humor yang
disesuaikan dengan tempat, waktu, dan keadaan (situasi dan kondisi). Sastra
sebagai banyolan sudah lama kita
kenal, misalnya pantun jenaka, puisi humor, drama komedi, dagelan Srimulat, dan
ketoprak humor. Banyol erat sekali
hubungannya dengan adegan lucu, ejekan, sindiran atau ironi, dan plestan kata.
Ketika membaca sajak-sajak F. Rahardi terkumpul dalam Silsilah Garong atau Tuyul
(1990) dan kumpulan cerpen Kentrung
Itelile (1993) banyak mengjhadirkan banyol-banyol
yang penuh ledekan terhadap situasi dan kondisi sosial tertentu. Sajak
“Definisi Tuyul” jelas meledek Pusat Bahasa atas batasan kata tuyul dalam Kamus Besar bahasa Indonesia. Rahardi mengatakan demikian:
“Definisi Tuyul” (Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia/ yang disusun oleh/ Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan/
Pengembangan Bahasa/ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan/ diterbitkan
oleh/ Balai Pustaka Jakarta 1988 - Entri terakhir/ Huruf T - halaman 978) Tuyul
(konon yang berdasarkan cerita masyarakat/ yang ada)/ makhluk halus berupa
bocah berkepala gundul/ yang oleh/ orang yang memeliharnya dapat diperintah/
untuk mencuri/ uang dsb. Jelas ini merupakan suatu ironi bagi pejabat yang
korupsi, mencuri uang dan kekayaan negara, dan sekaligus kelakaran buat Tim
Perumus Kamus Pusat Bahasa yang hanya mendasarkan pada konon cerita masyarakat
yang ada, bukan berdasarkan pada fakta atau penelitian.
Sementara itu, sajak “Penjelasan Menteri Penerangan Tentang Tuyul” karya
F. Rahardi pula jelas meledek dan penuh lelucon untuk meniru gaya menteri
penerangan saat itu, yaitu Harmoko. Demikian halnya membaca sajak-sajak Joko
Pinurba (2001) yang terkumpul dalam Di
Bawah Kibaran Sarung (Magelang: Indonesia Tera) juga banyak menampilkan
lelucon-lelucon yang menarik sebagai sindirian halus, ledekan, atau parodi
terhadap suatu keadaan tertentu. Joko meledek kaidah penciptaan sajak yang
memiliki formula baku, seperti tembang macapat dalam kesusastraan Jawa, yang
ditiru sepenuhnya oleh Linus Suryadi A.G. untuk dibahasa-Indonesikan dalam Pengakuan Partiyem. Kesusastraan Jawa
yang dianggap adiluhung oleh pemiliknya ia ledek, ia permainkan, dengan
penciptaan konvensi baru sebagai dekontruksi dari kemapanan keadaan yang telah
ada. Unsur estetika banyol juga
dimanfaatkan oleh Joko Pinurbo sekadar untuk menurunkan urat syaraf yang tegang
karena situasi sosial, politik, dan budaya yang membelenggunya. Ketika membaca
judul sajak "Celana", “Kisah Seorang Nyumin”, “Bayi di Dalam Kulkas”,
dan “Daerah Terlarang” bagi mereka yang memahami arti kata-kata dan isi sajak
itu akan segera tertawa (kalau tidak sampai terpingkal-pingkal dan
terkecing-kencing dalam celana), cukup tersenyum geli sendiri. Dalam
sajak-sajak Djoko Pinurba itu ada unsur-unsur banyolnya.
Nges dalam arti kamusnya: ‘baik’, ‘mengesankan’
(Mardiwarsito, 1985: 221) atau ’menawan
hati’, dan ‘menyenangkan’ (Nardiati, 1993: 95). Sebagai unsur estetika sastra, nges merupakan unsur estetika yang mampu
menimbulkan keharuan atau suasana hati yang trenyuh
ketika karya sastra itu bersuasana sedih, duka lara, berkabung atau
kematian. Nges juga mampu
membangkitkan dinamika makna yang lebih kreatif jika sajak itu bersuasana
heroik, mencekam keadaan yang dikisahkan secara baik dan menarik hati. Seorang
pembaca sajak Goenawan Mohamad akan ikut terhanyut ke dalam suasana terharu
ketika ikut membayangkan perpisahan antara tokoh Damar Wulan dan Anjasmara
dalam sajak "Asmaradana" atau dalam “Sandyakala Ning Majapahit” karya
Sanusi Pane. Kesedihan itu juga dapat dirasakan ketika Dewi Kunthi kehilangan
mahkota kewanitannya yang diserahkan kepada Dewa Matahari dalam sajak
"Persetubuhan Kunthi" karya Goenawan Mohamad yang akhirnya Dewi
Kunthi tidak memiliki apa-apa lagi. Atuapun kesedihan yang dirasakan tokoh
Anglingdarma ketika ditinggal mati bunuh diri permaisurinmya dalam sajak
“Dongeng Sebelum Tidur” Goenawan Mohamad. Itu semua dapat hadir dalam diri
pembaca berkat adanya unsur estetika nges
yang mampu menawan pembaca untuk berempati dan sekaligus bersimpati.
Greget secara harfiah berarti: ‘nafsu (semangat,
kemauan) untuk berbuat’ (KBBI, 2001: 357). Sajak-sajak Goenawan Mohamad, baik
yang terkumpul dalam Asmaradana (1993),
Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan
Sajak-Sajak Lengkap (2001) memiliki greget untuk memberi pasemon kepada seseorang atau keadaan
tertentu yang dianggapnya tidak benar dan tidak pada tempatnya.
Melalui greget itulah Goenawan
mencoba menawarkan ide, gagasan, dan pemikiran sebagai jalan tengah pemecahan
terbaik yang dihadapi oleh seseorang atau keadaan tertentu. Hanya greget-lah yang merupakan unsur estetika
puisi yang mengandung sifat tegang, marah, emosional, dan bersemangat karena
terjadi berbagai konflik kepentingan. Dari judul sajak "Penangkapkan
Sukra" atau “Zagreb” karya Goenawan Mohamad unsur greget sudah muncul di sana. Sajak
pertama tentang pembunuhan sadis di Jawa pada zaman kerajaan Kartasura (abad
17–18) dan sajak kedua tentang pembunuhan di Sarajevo, Yogoslavia, dalam abad
20 yang lalu. Setelah membaca keseluruhan isi sajak "Penangkapan
Sukra" ternyata unsur greget semakin
sublim dan menguat. Emosi pembaca akan segera tersentak ketika merasakan
kepedihan Sukra yang disekap, disiksa, ditusuki lembing, dan matanya dimasuki
semut. Orang pun menjadi gregetan (geram)
ketika menyaksikan peristiwa seperti itu tak seorang pun yang protes: "Seluruh Kartasura tak bersuara."
Atau pembukaan sajak “Zagreb” yang penuh greget “Ibu itu datang membawa sebuah bungkusan, datang jauh dari/ Zagreb. Ibu
itu datang membawa bungkusan, berisi sepotong/ kepala, dan berkata kepada
petugas imigrasi yang memeriksanya:/ ‘Ini anakku’”. Pembunuhan sadis di
Sarajevo yang benar-benar melanggar HAM berat tak digubris oleh masuyarakat
dunia. Dibiarkan berlalu begitu saja pembasmian antaretnis, yang kemudian
terjadi juga di Sambas, Kalimantan Barat, di negeri kita.
Adapun sem merupakan unsur
estetika sastra yang mampu menimbulkan suasana romantis, membangkitkan kepekaan
erotik, dan memikat pembaca dalam hubungannya dengan adegan percintaan atau
seksual. Secara etimologi kata sem berasal
dari kata sengsem, yang berarti:
‘berahi’, ‘gemar’, ‘suka’ (Mardiwarsito, 1985: 291) atau ‘senang, tertarik,
perhatian kepada’ (Nardiati, 1995: 240). Dengan kata lain sem berarti ‘gemas’,
‘suka kepada seseorang atau sesuatu’, ataupun
‘asmara berahi’. Ketika membaca judul sajak "Asmaradana"
(Goenawan Mohamad, Subagio Sastrowardojo, Danarto) atau Asmaraloka (Danarto) bagi mereka yang tahu arti kata itu, segera
muncul unsur estetika sem. Kata asmara berarti: percintaan, dan kata dana yang berasal dari kata dahana, berarti: api. Jadi,
"Asmaradana" berarti: api percintaan, dan asmaraloka berarti ‘tempat bercinta’.
Dalam percintaan tentu muncul suasana romantis yang menyenangkan, yang membawa
unsur estetika sem. Demikian juga
dengan membaca judul sajak "Persetubuhan Kunthi" Goenawan Mohamad
akan membawa asosiasi pembaca pada unsur estetika sem. Apalagi dalam dua bait awal sajak itu diungkapkan: "Semakin ke tengah tubuhmu/ yang telanjang/
dan berenang/ pada celah teratai merah.// Ketika desau angin berpusar/ ikan
pun/ ikut menggletar", akan segera berasosiasi ke arah sem. Dalam sajak "Dongeng Sebelum
Tidur" Goenawan Mohamad dengan ungkapan: "pada malam itu. Nafsu di ranjang telah jadi teduh/ dan senyap
merayap antara sendi dan sprei", terdapat unsur estetika sem yang sublim dan kuat. Karya sastra
yang menonjolkan unsur erotis, seperti Pengakuan
Pariyem karya Linus Suryadi jelas-jelas menghadirkan atau mengekspos
estetika sem.
Keempat unsur estetika teori sastra, bangesgresem, tersebut tidak secara serentak semuanya hadir
dalam satu puisi yang utuh pendek. Kadang kala hanya ada satu, dua atau tiga
unsur estetika sastra tersebut yang menonjol hadir dalam satu puisi, misalnya banyolnya saja, ngesnya saja, gregetnya
saja, atau semnya saja. Dalam sajak
"Pariksit" yang selesai ditulis oleh Goenawan Mohamad pada tahun
1963, ketika ia berusia 22 tahun, sebenarnya mengandung keempat unsur estetika
sastra bangesgresem. Sajak ini pernah
ditanyakan oleh seseorang, yang biasa menulis esai tentang sastra di koran Indonesia Raya pada tahun 1969, secara
langsung kepada Goenawan Mohamad tentang proses kreatifnya menulis sajak
tersebut. Apa yang menjadi makna sajak itu? Goenawan tidak bisa menjawabnya. Ia
menjadi gagap, merasa malu, bingung, rikuh, dan juga barangkali marah. Goenawan
tidak bisa menerangkan sajak yang pernah ditulisnya. Ini merupakan suatu contoh
estetika sastra bangesgresem yang
ditulis Goenawan Mohamad secara lengkap yang bebas ditafsirkan arti dan
maknanya oleh pembaca. Toh makna itu tidak pernah final dipahami oleh pembaca
dan sudah barang tentu pengarangnya sendiri. Puisi yang sudah jadi itu bebas
ditafsirkan arti dan maknanya oleh siapa pun, termasuk dengan pendekatan teori
sastra bangesgresem ini.
Sajak "Pariksit" Goenawan Mohamad memiliki keempat unsur
estetika bangesgresem sebagai pasemon kepada masyarakat Jawa dan
masyarakat sastra Indonesia, karena cerita itu digali oleh Goenawan Mohamad
dari sumber cerita wayang. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa keempat
unsur estetika puisi bangesgresem sebagai
pasemon tersebut berasal dari estetika pedalangan wayang kulit gagrag
Surakarta. Wayang kulit purwa yang dimainkan oleh seorang dalang dalam waktu
semalam suntuk, dari pukul 21.00 hingga pukul 05.00 dini hari itulah yang
memiliki struktur isi keempat unsur estetika bangesgresem. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila sajak
naratif "Pariksit" yang terdiri atas lima bagian dan dua bait
pengantar memungkinkan keempat unsur estetis bangesgresem itu hadir dalam satu sajak yang utuh. Hal ini jelas
menandakan bahwa Goenawan Mohamad piawai menulis puisi sebagai pasemon yang menggali dari khazanah
cerita, sastra, dan budaya daerahnya sendiri. Proses kreatif yang dilakukan
oleh Goenawan Mohamad, meskipun telah dibuatnya gagap oleh budayanya sendiri,
tidak lagi memerlukan estetika, teori dan kritik sastra Barat. Ia lebih
berpijak pada bumi sendiri, pada akar budaya sendiri, bahkan dengan
pengembangan gagasan demitologi-demitologinya.
Prospek ke masa depan dengan teori sastra bangesgresem tentu dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menelaah,
mengkaji, atau mengkritik berbagai jenis karya sastra yang ada, baik sastra
Indonesia, sastra daerah, maupun sastra asing. Apa yang dikemukan di atas baru
sebatas pada dasar atau pokok teoritis sastra yang menggali dari khazanah
sastra lokal pedalangan gagrag Surakarta. Kegiusan teori sastra bangesgresem baru akan terbukti setelah
diaplikasikan pada berbagai jenis karya sastra yang ada. Sebagai tindak lanjut
pengembangan teori sastra bangesgresem pada awalnya boleh diuji-cobakan untuk
menelaah karya sastra yang berwarna lokal Jawa, seperti novel Pengakuan Pariyem atau kumpulan puisi Tirta Kamandanu karya Linus Suryadi
A.G.; karya-karya Umar Kayam seperti Sri
Sumarah dan Bawuk, Para Priyayi, Jalan Menikung; karya-karya Y.B.
Mangunwijaya seperti Roro Mendut, Genduk
Duku, Lusi Lindri, Durga Umayi, Burung-Burung Manyar; karya Dorothea Rosa
Herliany dalam kumpulan cerpenya Blencong;
dan karya Darmanto Yatman dalam kumpulan puisi Sori Gusti. Berangkat dari warna-warna lokal Jawa terlebih dahulu,
baru kemudian ke berbagai penjuru dunia akan mampu membuktikan seberapa cocok
kelokal-geniusan teori sastra bangesgresem.
Memang ada prediksi bahwa sastra Indonesia yang berwarna lokal Jawa itu identik
dengan dunia kisah pewayangan yang diangkat ke dalam karya sastra Indonesia
modern. Tentu harapan ini saya tujukan kepada berbagai lembaga perguruan tinggi
yang membuka jurusan sastra dan budaya atau pendidikan bahasa dan sastra, serta
lembaga-lembaga penelitian sastra dan budaya untuk mengaplikasikan dan
pengembangkan teori sastra bangesgresem.
Ali, Lukman. (editor). 1978. Tentang Kritik Sastra: Sebuah Diskusi. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi,
Isi, dan Struktur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
-------- 1999. Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
-------- 1999. Sihir Rendra: Permainan Makna. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
-------- 2000. Priyayi Abangan:
Dunia Novel Jawa Tahun 1950-an. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Esten, Mursal. (editor) .1989. Menjelang Teori dan Kritik Susastra
Indonesia Yang Relevan. Bandung: Angkasa.
Hassan, Mohammad Mokhtar. 2003.
“Asar Belum Berakhir: Aplikasinya
Terhadap Teori Takmilah” dalam Pangsura Bilangan
16 Jilid 9 Edisi Januari–Juni 2003: 3–18.
Ismail, Taufiq. et al.. (ed). 2002. Horison Sastra Indonesia 1 Kitab Puisi. Jakarta: Horison dan Ford Fundation.
Jatman, Darmanto. 2002. Sori Gusti.
Semarang: LIMPAD
Kayam, Umar. 1975. Sri Sumarah dan
Bawuk. Jakarta: Pustaka Jaya.
--------- 1992. Para Priyayi.
Jakarta: Grafiti.
--------- 1999. Jalan Menikung.
Jakarta: Grafiti.
Mangunwijaya, J.B. 1983. Burung-Burung
Manyar. Jakarta: Jambatan.
--------- 1984. Roro Mendut.
Jakarta: Gramedia.
--------- 1987. Genduk Duku.
Jakarta: Gramedia
--------- 1987. Lusi Lindri.
Jakarta: Gramedia.
--------- 1990. Durga Umayi.
Jakarta: Gratifiti.
Mardiwarsita, L., et al. 1985. Kamus Praktis Jawa–Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mohamad, Goenawan. 1993.
“Kesusastraan, Pasemon” dalam Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
-------- 1993. Asmaradana. Jakarta: Grasindo.
-------- 1998. Misalkan Kita di Sarajevo. Jakarta:
Kalam.
-------- 2001. Sajak-Sajak Lengkap
1961–2001. Jakarta: Metafor Publishing.
Nardiati, Sri, et al., 1983. Kamus Bahasa Kawa-Bahasa Indonesia I dan II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Pinurbo, Djoko. 2001. Di Bawah
Kibaran Sarung. Magelang: Indonesia Tera.
Prawiroatmodjo, S. 1985. Bausastra Jawa–Indonesia. Cetakaan ke-3.
Jakarta: Gunung Agung.
Santosa, Puji. 2000. “Estetika
Puisi sebagai Pasemon” dalam Kakilangit Nomor 39, hal. 15–17, sisipan
majalah sastra Horison Nomor 4 Tahun
XXXIV, edisi bulan April 2000.
--------- 2001. “Sumbangan
Sastra Jawa dalam Menghadapi Zaman Edan” makalah Kongres Bahasa Jawa III,
Yogyakarta: 15–21 Juli 2001. Makalah ini kemudian dimuat dalam majalah Fenomena nomor 9, Universitas Widya
Dharma Klaten.
--------- 2003. “Estetika Kasunyatan
dalam Warisan Langgeng Karya R. Soenarto Mertowardojo” Makalah disampaikan
dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VII. Universitas Udayana
dan Manasa, Denpasar--Bali, 28–30 Juli 2003.
Sarjono, Agus R. 2000. “Goenawan
Mohamad Mempertanyakan yang Mapan dengan Gumam” dalam Kakilangit Nomor 39, hal. 9–11, sisipan majalah sastra Horison Nomor 4 Tahun XXXIV, edisi bulan
April 2000.
Sudaryanto, et al., 2001. Kamus Pepak
Basa Jawa. Yogyakarta: Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa.
Suryadi A.G., Linus. 1981. Pengakuan
Pariyem. Jakarta: Sinar Harapan.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori
Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. 2001. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional dan Balai
Pustaka.
Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Arjunawiwâha.
Yogyakarta: Dutacana dan ILDEP.
Dipaparkan dalam PILNAS HISKI VIII di Universitas Airlangga, Surabaya, tanggal 26—28 Agustus
2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar