Sabtu, 07 Desember 2013

Naru dan Layang



CERPEN Yetti A.KA
 Mereka berteman baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Sudah beberapa lama ini pula Naru tahu kalau Layang memiliki dada yang berat. Kadang saat main di rumah Naru, Layang mengeluh tentang dadanya itu. Setengah berfantasi karena ingat cerita Jack dan Pohon Kacang Ajaib Naru bertanya: Layang, apa kau merasa ada yang tumbuh di dadamu, semacam kacang ajaib yang terus membesar?
Layang tertawa mendengar pertanyaan Naru (ah, benarkah ia sungguh-sungguh tertawa?). Lalu ia membuka bajunya, memperlihatkan dada tipis dengan tulang-tulang yang seakan ingin keluar. Apa menurutmu dada ini tidak terlalu tipis untuk sebatang kacang yang besar, Naru? tanyanya. Naru merasa bersalah pada Layang karena tidak dapat membantunya untuk merasa lebih baik. Sesuatu yang—menurut cerita Layang—menghimpit dan hampir-hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk bernapas, pada saat-saat tertentu.

Ketika mereka sudah sama-sama lulus SMA, Layang kembali membicarakan dadanya pada Naru, “Aku berpikir kalau sebenarnya ada seekor kupu-kupu raksasa di dadaku. Kupu-kupu itu berwarna hitam, memiliki mata yang keras, dan sayap yang besar. Pantas saja ia berat sekali. Warna yang hitam, Naru. Kau bisa bayangkan, bukan?”
“Mana mungkin, Layang, dada kamu kan tipis sekali.” Naru tidak mau mengalah karena masih ingat bahwa Layang sendiri pernah bilang kalau kacang ajaib terlalu besar untuk bisa ada di dadanya, seharusnya begitu juga dengan kupu-kupu raksasa.
Mata Layang berkaca-kaca, “Ayah juga bilang begitu. Ia bahkan menamparku karena menganggapku terlampau kekanak-kanakan. Ayah sama sekali tidak menyukai ideku. Malah ia berjanji akan memukul kalau aku mengatakan hal yang tidak-tidak lagi padanya. Kau juga sama rupanya. Padahal aku hanya mencoba memikirkan sesuatu yang menghibur. Kau tahu dengan membayangkan kupu-kupu raksasa maka aku mengerti alasan kenapa dadaku amat berat. Kemudian saat aku tidak kuat lagi, aku tinggal membuka baju dan membiarkan kupu-kupu itu terbang (sebab ia punya sayap, kacang ajaib tidak). Alangkah menyenangkan, Naru, bermain tanpa membawa dada yang membebanimu. Kau tidak akan mengerti tentang itu.”
  Setelah hari itu, Naru sama sekali tidak bertemu lagi dengan Layang. Ia sering mencari ke rumah Layang pada sore hari, sepulang kuliah. Ayah temannya itu malah mengancam agar Naru tidak mengganggu Layang yang sedang membersihkan debu-debu di kaca jendela atau membersihkan sarang laba-laba di loteng. Laki-laki itu memang tidak menyukai semua teman-teman Layang.
Adakah Layang pernah tertawa sejak ia tidak bertemu Naru lagi? Entahlah. Naru kehilangan jejak Layang. Kata teman-teman, Layang sudah pindah pula ke rumah neneknya. Naru curiga itu salah satu taktik yang dilakukan si ayah untuk menjauhkan Layang dari orang lain. Lelaki itu bisa melakukan berbagai cara, sebab ia tampak licik.
Barulah beberapa bulan kemudian Naru dapat sedikit kejelasan tentang Layang. Mama yang membawa kabar itu. Sambil memperlihatkan foto seorang gadis yang sengaja disamarkan di majalah khusus wanita, mama berujar, “Meski disamarkan gadis ini mirip sekali dengan Layang. Dia diperkosa ayah tirinya selama bertahun-tahun. Kasus ini terbuka karena gadis itu memberi pengakuan pada neneknya. Gadis malang. Alangkah malangnya.”
Naru melihat foto itu. Benar sekali, dia Layang. Naru sangat mengenal rambut atau bibir atau hidungnya. Lalu Naru ingat soal dada Layang yang berat. Pantas saja. selama bertahun-tahun Layang menyimpan rahasia yang teramat besar. Teramat hitam, persis warna kupu-kupu yang ia bayangkan.
Mama pun berujar, “Tapi beruntung sekali kau tak berteman lagi dengannya, Naru. Beruntung sekali. Aku tidak ingin kau terlibat dalam hidup seseorang yang berantakan. ”
Naru menatap mama dengan sedih.
***
Jika Naru sangat ingin berjumpa Layang setelah lima belas tahun mereka tidak lagi bertemu, itu karena mendadak dada Naru sangat berat. Ia hampir-hampir tidak bisa berdiri dibuatnya. Beruntung ada Nani, pembantu di rumahnya. Nani menolong Naru untuk istirahat di tempat tidur. Naru sengaja tidak menelepon suami, mengabarkan kalau sesuatu terjadi padanya. Lagipula seandainya  ia menelepon, paling lelaki itu akan menyuruh Naru  mengatasi persoalan itu sendiri. Anak-anak juga tidak perlu tahu. Naru tidak ingin konsentrasi mereka buyar.
“Apa perlu dipanggilkan dokter?” tanya Nani khawatir.
Naru menolak tawaran Nani. Ia beralasan, setelah istirahat yang cukup, dadanya akan kembali normal dan ia bisa beraktivitas seperti biasa. Seminggu ini Naru memang terlalu memaksa diri untuk ikut berbagai kegiatan di luar rumah—dari senam hingga kegiatan sosial. Naru minta pada Nani untuk meninggalkan kamar dan berpesan kalau ia tidak ingin diganggu bila ada panggilan telepon dari teman-temannya. Naru tidak ingin bicara pada siapa-siapa. Ia hanya mau pintu kamar segera ditutup. Lalu bagai anak kecil, Naru akan segera memejamkan mata dengan harapan saat terbangun nanti dadanya sudah ringan kembali. Layang pernah bercerita ia sering melakukan hal itu, dan apa salahnya Naru mencoba sekarang ini.
Kenyataannya, Naru justru tidak bisa tidur.
Naru meraba dadanya. Saat itu juga ia merasa sedang meraba dada Layang yang tipis. Ada tulang-tulang yang menonjol. Naru mengambil sebuah cermin dan mengarahkannya pada dadanya. Bahkan saat menarik napas, dada itu tampak bergetar hebat. Benarkah begini rasanya, Layang, beban yang menghimpit atau menyesak di dadamu?
Sangat menyiksa, Naru, saat tertawa pun dada itu tetap saja berat, kata Layang waktu itu.
Kenapa kau tidak berusaha mengosongkannya?
Aku sudah mencobanya. Tidak berhasil.
Memangnya kau melakukan apa?
Macam-macam.
Apa salah satunya dengan menangis kencang-kencang?
Ayah tidak suka aku menangis. Itu akan membuat ayah ketakutan setengah mati.
Lalu apa yang akan kaulakukan?
Kata ayah, aku harus diam. Itu saja. Nanti dadaku akan sembuh sendiri.
Naru mulai ketakutan. Mulai merasa tidak akan pernah normal lagi. Berapa lama ia bisa tahan seperti Layang. Ah, benarkah Layang bisa bertahan dengan dadanya yang berat, selama lima belas tahun mereka tidak bertemu lagi. Naru ingin sekali bertemu Layang, mau menceritakan tentang dadanya yang tiba-tiba berat.
***     
Dengan berbagai cara, termasuk bertanya pada nenek yang ternyata masih terlihat sehat, akhirnya Naru menemukan Layang di rumah petak yang sempit. Pada mulanya Layang sama sekali tidak mengenali Naru. Sebaliknya Naru masih mengingat dengan baik semua yang ada pada diri Layang; rambut yang berombak, bibir yang tebal, atau hidung yang besar. Bila ada yang berubah, Naru melihat wajah Layang justru hidup merona. Senyumnya juga memperlihatkan betapa ia bukan Layang yang berantakan. Atau Layang yang pernah diperkosa ayah tirinya. Oh, tidak. Naru tidak akan mengungkit itu semua. Pasti Layang sudah membakarnya bersama sobekan kertas berisi puisi atau lukisan gagal yang dibuatnya saat mereka masih sering main sama-sama dulu.
“Kau jauh berubah dari Naru yang kukenal,” ujar Layang dengan suara bergetar.
“Kau justru tidak berubah sama sekali. Kau Layang yang benar-benar masih kukenal,” kata Naru. Mereka berpelukan lama.
‘Kau salah,” bantah Layang, “Aku bukan Layang yang dulu lagi. Lihatlah betapa sebenarnya aku sangat berbeda.”
Layang benar. Ia memang berbeda. Naru yakin bahkan Layang tidak lagi memiliki dada yang berat. Bagaimana ia bisa melewatinya?
Layang menyuguhi Naru segelas sirup rasa melon dan setoples kue kering.
“Kubuat sendiri,” ujar Layang, “Maksudku kue kering ini.”
“Sampai sekarang aku tidak bisa masak,” kata Naru cepat.
“Mungkin kau tak berbakat,” Layang tertawa.
“Aku memang tak mau. Aku tidak suka dapur dan segala macamnya.”
“Kau terdengar sinis. Kau ada masalah?” selidik Layang.
“Di sini,” ujar Naru menunjuk dada.
Mata Layang membelalak. Spontan saja ia meletakkan tangannya di dada Naru. “Ma-af,” ujarnya terpatah, “Aku masih saja menganggapmu teman remajaku.”
Naru tersenyum kecil, “Apa yang dapat kausimpulkan tentang dadaku, Layang?”
“Dadamu tenang. Bahkan aku tak merasakan ada sesuatu di sana selain angin yang berhembus pelan.”
Naru menggeleng. Mendesah. Berujar: Dadaku terasa berat, dan aku mulai ketakutan. Sungguh, begitulah yang kurasakan.
“Kau akan baik-baik saja.”
“Kau tidak perlu membohongi aku tentang ini. Kau pasti bisa merasakan ada yang tidak beres di dadaku.”
“Naru, apa kau tidak bahagia?”
Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Suara Layang bagai bola-bola kecil yang menggelinding kian kemari. Terus menggelinding. Menggiring Naru pada pusat, pada titik di mana ia menyimpan banyak riak yang tak benar-benar ia sadari atau tidak benar-benar ingin ia buka selama ini. Seumur hidup Naru tidak pernah bertanya pada diri sendiri tentang apakah ia bahagia atau tidak. Seumur hidup, bahkan ketika Naru masih anak manis mama dan papa. Setelah menikah, Naru tidak tahu juga apakah ia bahagia, pun ketika ia melahirkan dua anak lelaki yang sekarang sudah lebih tinggi dari tubuhnya. Ia menjalani peran sebaik mungkin, kecuali soal ia yang tidak bisa berada di dapur. Ia tidak tahan bau bumbu-bumbuan.
Hanya saja dua minggu lalu perasaan Naru memang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sesuatu hidup, menjalar, dan memenuhi dadanya. Sungguh sesak. Seolah-olah dada Naru dipenuhi cairan atau tumbuh sebatang kacang yang besar.
“Naru?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Entahlah.” Bola mata Naru berkedip cepat. Naru membiarkan dirinya menangis, sebab tidak ada seseorang yang akan ketakutan jika ia menangis.
***
Beberapa hari setelah bertemu Layang, dada Naru makin berat saja. Ia juga mulai takut banyak hal. Dari takut ketinggian, takut hutan, takut jembatan, takut gelap, hingga takut mati. Bermalam-malam Naru tidak tidur. Suami dan anak-anak mulai khawatir. Naru tetap tak ingin ke dokter. Ia malah takut membayangkan mata dokter yang menyelidik.
Naru memutuskan untuk kembali menemui Layang. Ia merasa berada di dekat Layang akan jauh lebih tenang, sebab ia bisa menangis. Nani yang mengantar. Mereka cukup telepon taksi. Suaminya telah berangkat ke kantor pagi-pagi, agar tidak terjebak macet. Ada rapat penting, katanya. Bisa jadi begitu. Bisa jadi juga ia bosan menghadapi Naru.
Naru tiba di depan rumah Layang. Pintunya tertutup. Ada kemungkinan temannya itu sedang menerima tamu karena ada sepasang sepatu dengan kaos kaki yang terserak di depan pintu. Naru hampir berbalik ketika ia merasa mengenal sepatu dan kaos kaki itu. Benar sekali. Ia tidak mungkin keliru. Barangkali saja rumah petak Layang terlalu sempit untuk menampung sepatu di dalam atau seseorang itu buru-buru, begitu tidak sabaran.
Nani memegang tangan Naru. Ia tampak sekali ingin menjaga dan memastikan kalau semua baik-baik saja. Naru tersenyum pada Nani yang kelihatan bingung. Dada Naru justru secara perlahan kembali ringan. Begitu ringan. Ternyata ia tidak butuh siapa-siapa untuk sembuh, tapi cukup satu kejutan yang bisa membangunkannya dari tidur terlalu lama.
Tanpa perlu  memikirkan ada banyak kebetulan yang bisa terjadi dalam hidup, kini Naru akan pulang dengan dada yang ringan. Dan tentunya ia tidak perlu takut pada apa-apa lagi karena perasaannya sudah melampaui rasa takut itu sendiri.

Jalan Enam Mei,  2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kristenisasi di Ranah Minang

Foto: Kompasiana Pemeluk   Kristen sudah masuk ke Minang-kabau sejak Plakat Panjang ditandatangani tahun 1833 silam. Beratus tahun berlalu, ...