CERPEN Yetti A.KA
Mereka berteman
baik dari kecil meski tidak pernah belajar di sekolah yang sama. Sudah beberapa
lama ini pula Naru tahu kalau Layang memiliki dada yang berat. Kadang saat main
di rumah Naru, Layang mengeluh tentang dadanya itu. Setengah berfantasi karena
ingat cerita Jack dan Pohon Kacang Ajaib Naru bertanya: Layang, apa kau
merasa ada yang tumbuh di dadamu, semacam kacang ajaib yang terus membesar?
Layang tertawa mendengar
pertanyaan Naru (ah, benarkah ia sungguh-sungguh tertawa?). Lalu ia membuka
bajunya, memperlihatkan dada tipis dengan tulang-tulang yang seakan ingin
keluar. Apa menurutmu dada ini tidak terlalu tipis untuk sebatang kacang yang
besar, Naru? tanyanya. Naru merasa bersalah pada Layang karena tidak dapat membantunya
untuk merasa lebih baik. Sesuatu yang—menurut cerita Layang—menghimpit dan
hampir-hampir tidak menyisakan ruang kosong untuk bernapas, pada saat-saat
tertentu.
Ketika mereka
sudah sama-sama lulus SMA, Layang kembali membicarakan dadanya pada Naru, “Aku
berpikir kalau sebenarnya ada seekor kupu-kupu raksasa di dadaku. Kupu-kupu itu
berwarna hitam, memiliki mata yang keras, dan sayap yang besar. Pantas saja ia
berat sekali. Warna yang hitam, Naru. Kau bisa bayangkan, bukan?”
“Mana mungkin,
Layang, dada kamu kan tipis sekali.” Naru tidak mau mengalah karena masih ingat
bahwa Layang sendiri pernah bilang kalau kacang ajaib terlalu besar untuk bisa
ada di dadanya, seharusnya begitu juga dengan kupu-kupu raksasa.
Mata Layang
berkaca-kaca, “Ayah juga bilang begitu. Ia bahkan menamparku karena
menganggapku terlampau kekanak-kanakan. Ayah sama sekali tidak menyukai ideku. Malah
ia berjanji akan memukul kalau aku mengatakan hal yang tidak-tidak lagi
padanya. Kau juga sama rupanya. Padahal aku hanya mencoba memikirkan sesuatu
yang menghibur. Kau tahu dengan membayangkan kupu-kupu raksasa maka aku
mengerti alasan kenapa dadaku amat berat. Kemudian saat aku tidak kuat lagi, aku
tinggal membuka baju dan membiarkan kupu-kupu itu terbang (sebab ia punya
sayap, kacang ajaib tidak). Alangkah menyenangkan, Naru, bermain tanpa membawa
dada yang membebanimu. Kau tidak akan mengerti tentang itu.”
Setelah
hari itu, Naru sama sekali tidak bertemu lagi dengan Layang. Ia sering mencari ke
rumah Layang pada sore hari, sepulang kuliah. Ayah temannya itu malah mengancam
agar Naru tidak mengganggu Layang yang sedang membersihkan debu-debu di kaca
jendela atau membersihkan sarang laba-laba di loteng. Laki-laki itu memang
tidak menyukai semua teman-teman Layang.
Adakah Layang
pernah tertawa sejak ia tidak bertemu Naru lagi? Entahlah. Naru kehilangan
jejak Layang. Kata teman-teman, Layang sudah pindah pula ke rumah neneknya.
Naru curiga itu salah satu taktik yang dilakukan si ayah untuk menjauhkan
Layang dari orang lain. Lelaki itu bisa melakukan berbagai cara, sebab ia
tampak licik.
Barulah beberapa
bulan kemudian Naru dapat sedikit kejelasan tentang Layang. Mama yang membawa
kabar itu. Sambil memperlihatkan foto seorang gadis yang sengaja disamarkan di
majalah khusus wanita, mama berujar, “Meski disamarkan gadis ini mirip sekali
dengan Layang. Dia diperkosa ayah tirinya selama bertahun-tahun. Kasus ini
terbuka karena gadis itu memberi pengakuan pada neneknya. Gadis malang.
Alangkah malangnya.”
Naru melihat
foto itu. Benar sekali, dia Layang. Naru sangat mengenal rambut atau bibir atau
hidungnya. Lalu Naru ingat soal dada Layang yang berat. Pantas saja. selama
bertahun-tahun Layang menyimpan rahasia yang teramat besar. Teramat hitam,
persis warna kupu-kupu yang ia bayangkan.
Mama pun
berujar, “Tapi beruntung sekali kau tak berteman lagi dengannya, Naru.
Beruntung sekali. Aku tidak ingin kau terlibat dalam hidup seseorang yang
berantakan. ”
Naru menatap
mama dengan sedih.
***
Jika Naru sangat
ingin berjumpa Layang setelah lima belas tahun mereka tidak lagi bertemu, itu
karena mendadak dada Naru sangat berat. Ia hampir-hampir tidak bisa berdiri
dibuatnya. Beruntung ada Nani, pembantu di rumahnya. Nani menolong Naru untuk
istirahat di tempat tidur. Naru sengaja tidak menelepon suami, mengabarkan
kalau sesuatu terjadi padanya. Lagipula seandainya ia menelepon, paling lelaki itu akan menyuruh
Naru mengatasi persoalan itu sendiri. Anak-anak
juga tidak perlu tahu. Naru tidak ingin konsentrasi mereka buyar.
“Apa perlu dipanggilkan
dokter?” tanya Nani khawatir.
Naru menolak
tawaran Nani. Ia beralasan, setelah istirahat yang cukup, dadanya akan kembali
normal dan ia bisa beraktivitas seperti biasa. Seminggu ini Naru memang terlalu
memaksa diri untuk ikut berbagai kegiatan di luar rumah—dari senam hingga
kegiatan sosial. Naru minta pada Nani untuk meninggalkan kamar dan berpesan
kalau ia tidak ingin diganggu bila ada panggilan telepon dari teman-temannya. Naru
tidak ingin bicara pada siapa-siapa. Ia hanya mau pintu kamar segera ditutup.
Lalu bagai anak kecil, Naru akan segera memejamkan mata dengan harapan saat
terbangun nanti dadanya sudah ringan kembali. Layang pernah bercerita ia sering
melakukan hal itu, dan apa salahnya Naru mencoba sekarang ini.
Kenyataannya,
Naru justru tidak bisa tidur.
Naru meraba dadanya.
Saat itu juga ia merasa sedang meraba dada Layang yang tipis. Ada tulang-tulang
yang menonjol. Naru mengambil sebuah cermin dan mengarahkannya pada dadanya.
Bahkan saat menarik napas, dada itu tampak bergetar hebat. Benarkah begini
rasanya, Layang, beban yang menghimpit atau menyesak di dadamu?
Sangat menyiksa,
Naru, saat tertawa pun dada itu tetap saja berat, kata Layang waktu itu.
Kenapa kau tidak
berusaha mengosongkannya?
Aku sudah
mencobanya. Tidak berhasil.
Memangnya kau
melakukan apa?
Macam-macam.
Apa salah
satunya dengan menangis kencang-kencang?
Ayah tidak suka
aku menangis. Itu akan membuat ayah ketakutan setengah mati.
Lalu apa yang
akan kaulakukan?
Kata ayah, aku
harus diam. Itu saja. Nanti dadaku akan sembuh sendiri.
Naru mulai ketakutan.
Mulai merasa tidak akan pernah normal lagi. Berapa lama ia bisa tahan seperti Layang.
Ah, benarkah Layang bisa bertahan dengan dadanya yang berat, selama lima belas tahun
mereka tidak bertemu lagi. Naru ingin sekali bertemu Layang, mau menceritakan
tentang dadanya yang tiba-tiba berat.
***
Dengan berbagai
cara, termasuk bertanya pada nenek yang ternyata masih terlihat sehat, akhirnya
Naru menemukan Layang di rumah petak yang sempit. Pada mulanya Layang sama
sekali tidak mengenali Naru. Sebaliknya Naru masih mengingat dengan baik semua
yang ada pada diri Layang; rambut yang berombak, bibir yang tebal, atau hidung
yang besar. Bila ada yang berubah, Naru melihat wajah Layang justru hidup
merona. Senyumnya juga memperlihatkan betapa ia bukan Layang yang berantakan.
Atau Layang yang pernah diperkosa ayah tirinya. Oh, tidak. Naru tidak akan
mengungkit itu semua. Pasti Layang sudah membakarnya bersama sobekan kertas berisi
puisi atau lukisan gagal yang dibuatnya saat mereka masih sering main sama-sama
dulu.
“Kau jauh
berubah dari Naru yang kukenal,” ujar Layang dengan suara bergetar.
“Kau justru
tidak berubah sama sekali. Kau Layang yang benar-benar masih kukenal,” kata
Naru. Mereka berpelukan lama.
‘Kau salah,”
bantah Layang, “Aku bukan Layang yang dulu lagi. Lihatlah betapa sebenarnya aku
sangat berbeda.”
Layang benar. Ia
memang berbeda. Naru yakin bahkan Layang tidak lagi memiliki dada yang berat.
Bagaimana ia bisa melewatinya?
Layang menyuguhi
Naru segelas sirup rasa melon dan setoples kue kering.
“Kubuat
sendiri,” ujar Layang, “Maksudku kue kering ini.”
“Sampai sekarang
aku tidak bisa masak,” kata Naru cepat.
“Mungkin kau tak
berbakat,” Layang tertawa.
“Aku memang tak
mau. Aku tidak suka dapur dan segala macamnya.”
“Kau terdengar
sinis. Kau ada masalah?” selidik Layang.
“Di sini,” ujar
Naru menunjuk dada.
Mata Layang
membelalak. Spontan saja ia meletakkan tangannya di dada Naru. “Ma-af,” ujarnya
terpatah, “Aku masih saja menganggapmu teman remajaku.”
Naru tersenyum
kecil, “Apa yang dapat kausimpulkan tentang dadaku, Layang?”
“Dadamu tenang. Bahkan
aku tak merasakan ada sesuatu di sana selain angin yang berhembus pelan.”
Naru menggeleng.
Mendesah. Berujar: Dadaku terasa berat, dan aku mulai ketakutan. Sungguh,
begitulah yang kurasakan.
“Kau akan
baik-baik saja.”
“Kau tidak perlu
membohongi aku tentang ini. Kau pasti bisa merasakan ada yang tidak beres di dadaku.”
“Naru, apa kau tidak
bahagia?”
Satu detik. Tiga
detik. Lima detik. Suara Layang bagai bola-bola kecil yang menggelinding kian
kemari. Terus menggelinding. Menggiring Naru pada pusat, pada titik di mana ia menyimpan
banyak riak yang tak benar-benar ia sadari atau tidak benar-benar ingin ia buka
selama ini. Seumur hidup Naru tidak pernah bertanya pada diri sendiri tentang
apakah ia bahagia atau tidak. Seumur hidup, bahkan ketika Naru masih anak manis
mama dan papa. Setelah menikah, Naru tidak tahu juga apakah ia bahagia, pun
ketika ia melahirkan dua anak lelaki yang sekarang sudah lebih tinggi dari
tubuhnya. Ia menjalani peran sebaik mungkin, kecuali soal ia yang tidak bisa
berada di dapur. Ia tidak tahan bau bumbu-bumbuan.
Hanya saja dua
minggu lalu perasaan Naru memang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Sesuatu
hidup, menjalar, dan memenuhi dadanya. Sungguh sesak. Seolah-olah dada Naru
dipenuhi cairan atau tumbuh sebatang kacang yang besar.
“Naru?”
“Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu. Entahlah.” Bola mata Naru berkedip cepat. Naru membiarkan
dirinya menangis, sebab tidak ada seseorang yang akan ketakutan jika ia
menangis.
***
Beberapa hari setelah
bertemu Layang, dada Naru makin berat saja. Ia juga mulai takut banyak hal.
Dari takut ketinggian, takut hutan, takut jembatan, takut gelap, hingga takut
mati. Bermalam-malam Naru tidak tidur. Suami dan anak-anak mulai khawatir. Naru
tetap tak ingin ke dokter. Ia malah takut membayangkan mata dokter yang
menyelidik.
Naru memutuskan
untuk kembali menemui Layang. Ia merasa berada di dekat Layang akan jauh lebih
tenang, sebab ia bisa menangis. Nani yang mengantar. Mereka cukup telepon taksi.
Suaminya telah berangkat ke kantor pagi-pagi, agar tidak terjebak macet. Ada
rapat penting, katanya. Bisa jadi begitu. Bisa jadi juga ia bosan menghadapi
Naru.
Naru tiba di
depan rumah Layang. Pintunya tertutup. Ada kemungkinan temannya itu sedang
menerima tamu karena ada sepasang sepatu dengan kaos kaki yang terserak di
depan pintu. Naru hampir berbalik ketika ia merasa mengenal sepatu dan kaos
kaki itu. Benar sekali. Ia tidak mungkin keliru. Barangkali saja rumah petak
Layang terlalu sempit untuk menampung sepatu di dalam atau seseorang itu
buru-buru, begitu tidak sabaran.
Nani memegang
tangan Naru. Ia tampak sekali ingin menjaga dan memastikan kalau semua
baik-baik saja. Naru tersenyum pada Nani yang kelihatan bingung. Dada Naru justru
secara perlahan kembali ringan. Begitu ringan. Ternyata ia tidak butuh
siapa-siapa untuk sembuh, tapi cukup satu kejutan yang bisa membangunkannya dari
tidur terlalu lama.
Tanpa perlu memikirkan ada banyak kebetulan yang bisa
terjadi dalam hidup, kini Naru akan pulang dengan dada yang ringan. Dan
tentunya ia tidak perlu takut pada apa-apa lagi karena perasaannya sudah
melampaui rasa takut itu sendiri.
Jalan
Enam Mei, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar